“L-loh, kok bisa?” Amira tergagap.
“Bisa apa, Mbak?”
“Lu vcall gue duluan, ya?”
“Dih, mana ada?” tampik Arsyil. “Mbak Mira yang vcall aku duluan.”
Amira menggeleng. “Enggak mungkin!”
“Apanya yang enggak mungkin, Mbak? Lihat aja entar di log panggilan. Yang manggil duluan aku apa Mbak Mira?”
Amira menangkupkan kedua telapak tangannya untuk menutupi wajah, sementara ponselnya berdiri menyandar di depan vas bunga dekat laptop. Apa iya tadi jarinya sudah menyentuh gambar kamera hingga membuat panggilan video ke nomor Arsyil? Ah, ternyata selain kaki, jari pun bisa terpeleset. Apalagi hati, terpeleset brondong. Eh!
“Enggak usah malu, Mbak. Aku udah denger, kok, semua yang Mbak Mira bilang.”
“Hah?” Amira membuka telapak tangannya. “Emang gue bilang apaan?”
“Mbak Mira bilang gini: Arsyil harus klarifikasi kenapa sampai bilang ke Gala bakal tinggal di rumah segala. Emang dia siapa? Suami aku? Nembak aja belum.”
Mata Amira melebar.
“Siapin mental, ya, Mbak. Aku bakal nembak Mbak Mira di depan–“
Tut!
Amira segera menyentuh gambar gagang telepon warna merah.
Di seberang sana, Arsyil terkekeh dan langsung jungkir balik di atas kasur spring bed-nya. Dia merasa bahwa cintanya tak bertepuk sebelah tangan walau Amira selalu mengelak tak menyukai bocil sepertinya.
“Bocil-bocil begini juga aku mampu nafkahin kamu lahir batin, Mbak,” ucapnya seraya menatap langit-langit plafon kamarnya.
Segera ia bergegas menuju kamar mandi untuk meluruhkan sisa keringat usai olahraga di halaman rumah. Walau baru sembilan belas tahun, Arsyil termasuk remaja dengan tubuh proporsional. Tubuh padat berisi dengan otot-otot yang mulai terbentuk sempurna ia dapatkan setelah rutin berolahraga semenjak kelas XI. Tinggi badan mencapai 182cm dengan berat 66kg.
Di bawah guyuran air shower yang hangat-hangat kuku, bayangan single mom dengan tubuh mungil nan imut itu datang berkelebat. Fantasi liar Arsyil sebagai lelaki normal mulai terusik. Kulit putih dan tubuh mungil Amira dengan wajah ayu yang hampir mirip aktris Song Hye-kyo membuat kepalanya mendadak sakit menahan hasrat naluri kelelakiannya.
“Shit!” umpatnya. “Mbak Mira ... tolong Arsyil, Mbak ....” Dia menengadah dengan senyum tampannya.
Arsyil segera mengganti guyuran air hangat dengan air dingin untuk meredam kobaran panas dalam tubuhnya. Sempat ia melirik sabun, tetapi kepalanya menggeleng kuat-kuat. Tak mau berlama-lama, Arsyil pun segera menyudahi aktivitasnya dan berganti pakaian.
***
Di kampus Tunas Muda, Arsyil datang dengan Ducati merahnya. Kehadirannya selalu membuat banyak wanita berbisik-bisik dan mleyot berjamaah. Padahal ia tak melakukan apa pun. Hanya berjalan dan menyapa beberapa temannya.
“Abib!”
Habib Sahid yang akrab dipanggil Abib itu menoleh.
“Hey, Syil. Baru dateng?”
Arsyil mengangguk dan melingkarkan lengan ke pundak teman baiknya itu.
“Pulang kuliah, gue main ke kafe, ya?”
“Main ya tinggal main aja, Syil. Tumben-tumbenan izin segala.”
Arsyil terkekeh. “Takut lu sibuk, entar gue dicuekin.”
“Idih, najis. Gemulai amat bahasa lu, anj*r.”
Mereka tergelak bersama dengan langkah terus menuju kelas. Di lorong kampus, Arsyil dan Abib sudah seperti model yang berjalan di atas catwalk. Keduanya tak luput dari sapuan mata para gadis-gadis kampus.
“Pagi, Arsyil ....”
“Hai, Abib ....”
Dua pria tampan itu hanya membalas dengan senyum ramah dan anggukan kepala. Tidak perlu berlebihan jika tak mau disebut sebagai the next Garangan. Sebab, Arsyil pernah menyinggung hal tersebut dalam salah satu kontennya.
“Hanya seorang pecundang yang mampu menghidupkan rasa dalam hati wanita, tapi pergi tanpa mau membalasnya.”
Akun sosial media dan channel Youtube-nya langsung diserbu barisan kaum Hawa. Sejauh ini, wajah tampannya yang sangat menjual tak pernah Arsyil gunakan untuk membual. Berteman sewajarnya dan bergaul seperlunya. Namun, hanya dengan Abib dia terbilang cukup dekat.
“Eh, ibu bilang kalau semalem lu ke rumah. Beneran?” tanya Abib.
“Iya.”
“Ngapain?”
“Niatnya sih, mau main sama ponakan lu, Bib.”
“Gala?”
“Ada lagi emang?”
“Ya enggak ada, sih.”
“Nah, ngapain nanya?”
Abib hanya mengedikkan bahu.
“E ... Syil, gue mo nanya sesuatu, deh, sama lu.”
“Apaan?”
“Gue kayak mencium sesuatu.”
Arsyil menghentikan langkah dan mulai menghidu kedua ketiaknya secara bergantian. “Gue udah mandi, Bib.”
“Bukan bau badan lu, Bokir!”
“Lah terus?”
“Bau-bau aroma pendekatan.”
Kedua alis tebal Arsyil bertaut.
“Enggak usah pura-pura bego, Syil. Jujur sama gue, lu lagi berusaha ambil hati Gala buat nakhlukin Mbak Mira, kan?”
Baru hendak membuka mulut, teman-teman sekelas dan sejurusan dengan keduanya saling berebut masuk kelas. Arsyil urung menjawab, lantara dosen sudah berjalan menuju ruangan mereka.
“Nanti kita obrolin lagi.”
Abib hanya mengangguk patuh.
Waktu terus berjalan. Tak terasa hari sudah beranjak sore. Abib dan Arsyil menuju parkiran kampus. Sesekali keduanya mengobrol dan terkekeh hingga kaki memijak pelataran parkir dan menaiki motornya masing-masing hendak menuju kafe milik Amira.
Sementara di tempat mengais rezeki, Amira berusaha membuang jauh-jauh rasa malunya lantaran monolognya tadi pagi malah didengar langsung oleh Arsyil. Kesibukannya di kafe sedikit mengalihkan perasaan malu dan canggung jika nanti bertemu dengan si brondong tengil itu.
“Semoga dia enggak ke sini. Aamiin.”
Amira kembali bekerja membantu kesibukan di kafe. Hingga seorang lelaki datang dan duduk di salah satu meja. Memanggil waitres dan memintanya untuk memanggilkan pemilik kafe.
“Maaf, Kak, mau pesan apa? Biar sama saya saja,” ucap salah satu pelayan wanita dengan sopan.
“Saya mau ketemu Amira,” balasnya dengan nada dingin. “Panggilkan dia ke sini!”
“Maaf, dengan Bapak siapa?”
Pria itu melirik sinis. Tadi kakak, sekarang bapak, pikirnya.
“Kamu bilang saja, papanya Gala mau ketemu.”
Pelayan dengan hijab rapi itu segera mundur dan mengangguk hormat. Dengan cepat waitres dengan seragam kaus warna merah itu memberitahu atasannya yang sedang ikut sibuk di dapur.
“Siapa?”
“Orang itu bilang papanya Gala, Mbak.”
Amira menghela napas dan memejam sesaat, lalu melepas apron dan mencuci tangannya.
“Ada apa dia datang ke sini?” gumam Amira dalam hati.
Segera Amira merapikan tampilan agar tak terlihat kacau di depan mantan suaminya. Bukan mau tebar pesona, Amira hanya ingin menunjukkan, bahwa ia jauh lebih cantik dan terawat saat lepas dari bayang-bayang lelaki durjana itu.
“Ehem! Selamat sore. Ada yang bisa dibantu?”
Dewo–mantan suami Amira–meneliti penampilan sang mantan istri dari bawah sampai atas. Ya, dia cukup terkejut setelah hampir lima tahun tak pernah melihat Amira. Dewo mendua saat Amira tengah hamil dan badannya menjadi seperti buntalan kentut. Begitu kalimat menohok yang pernah keluar dari bibir Dewo.
“Amira?”
“Ada yang bisa dibantu?” sapa Amira ramah. Padahal dalam hati ingin sekali ia menghajar wajah standar tak tahu rasa bersyukur itu.
“Mir, k-kamu cantik sekali,” ujar Dewo takjub.
“Maaf, ada keperluan apa Anda datang ke mari?” Amira hanya berusaha ramah kepada setiap pengunjung yang datang.
Dewo berdiri dan hendak meraih tangan Amira. Namun, sebuah tangan yang lebih berotot dengan kulit bersih segera mencekal lengan Dewo.
“Jangan sentuh calon istri saya!”
“M-Mas Dewo?”Amira terpaku saat pulang dari klinik bidan tempat biasa ia cek kandungan. Pulang-pulang disuguhi pemandangan di mana dua insan berlainan jenis tanpa sehelai benang sedang adu fisik penuh peluh dan nafsu setan.Air mata Amira luruh tanpa komando. Dewo benar-benar gila. Ia bermain kuda-kudaan dengan wanita lain di kamar pribadinya dengan sang istri. Cepat-cepat dua insan yang diliputi gairah itu menarik selimut.“A-Amira?” Dewo tampak gugup. Wajahnya pias dan pucat seperti mayat. “B-bukannya kamu mau menginap di rumah ibu setelah cek kandungan?”Amira tak bisa mengucapkan kata-kata. Hatinya benar-benar remuk dihajar realita di depan mata. Saat ia dan janinnya harus berjuang dengan kondisi kehamilan yang lemah, Dewo malah bermain gila di rumah kontrakan mereka.“Mas Dewo ... aku udah basah, Mas. Ayolah ...,” desah wanita di samping Dewo dengan tak tahu malu.Dapat Amira pastikan, bahwa keduanya belum sampai dipuncak yang ingin dituju. Terlihat dari wajah Dewo yang masih di
Tak mau ditipu anak kecil, Dewo segera merebut ponsel Amira untuk memastikan ucapan Arsyil. Seketika Dewo membeku, kakinya seperti mengakar di lantai, dan jari-jarinya kebas melihat nominal yang benar-benar masuk pada nomor rekening Amira.Sementara Amira tersenyum puas saat bisa membuat Dewo mati kutu dengan adegan bohongan ini. Masalah uang itu, nanti setelah episode ini selesai tayang, Amira akan mentransfer balik pada rekening Arsyil.“Sayang, aku lapar ...,” rengek Arsyil dengan mengembungkan kedua pipinya.Ya ampun, gemas banget. Amira mengerjap saat sadar telah mengagumi Arsyil secara tidak sengaja.“Ya ampun, Sayang ... maaf, ya. Aku sampai lupa. Yuk, kita makan di ruangan aku aja. Takut ada yang ganggu,” bisik Amira yang masih dapat didengar jelas oleh Dewo.“Siap, Sayang.”Arsyil menggenggam tangan Amira dan menge
Abib lagi-lagi harus menerima telepon dari salah satu teman kampusnya yang mau reservasi kafe untuk acara ulang tahun. Tangan yang sudah menyentuh handle pintu ruangannya bersama Amira urung ia putar. Merasa haus, Abib pun bergegas ke dapur sembari menerima telepon.“Iya, Sya. Gimana?”“Bib, bulan depan pas malam minggu pertama, kafe lu gue boking, ya?”“Boleh, boleh. Untuk acara apa, Sya?”“Ultah gue, Bib.”“Wih, jatah umur lu semakin berkurang, dong, Sya?”“Sialan lu, Bib!”Abib tergelak dan meminta maaf karena hanya bercanda.“Untuk makan dan minum bisa request, kan?”“Bisa dong, Sya. Pelanggan adalah raja. Entar gue kasih diskon kalau tamunya banyak.”“Sip, sip. Entar gue
Bu Zahroh mengernyit menatap lelaki dengan kemeja lengan pendek dan celana bahan itu. Wajahnya seperti tak asing, pikirnya.“Bu ....”Dewo maju dan hendak meraih tangan mantan sang mertua untuk diciumnya. Namun, dengan cepat Bu Tami menyembunyikan tangan kiri di punggung dengan tangan kanan masih menggandeng tangan Gala. Dewo tercekat mendapati reaksi mantan mertuanya.“Ibu mau ke mana? Biar Dewo antar.”Bu Zahro langsung membulatkan mulut saat sadar, bahwa lelaki di hadapannya saat ini adalah mantan suami Amira.“Nggak perlu! Kakiku masih sehat buat jalan!” jawab Bu Tami, ketus. “Ayo, Bu!” lanjutnya mengajak Bu Zahro melanjutkan langkah sembari menarik pelan tangan Gala.“Ini Gala?”Bu Tami menyadari sesuatu dan langsung menggendong anak tampan berusia 5 tahun itu. “Bukan
“Apa?! Gala diculik?”Mendengar nama sang buah hati disebut, Amira langsung menoleh ke arah adiknya.“Gala diculik?” lirih Amira dengan mata membola dan langsung mendekati Abib.“Ibu sekarang di mana?”‘Ibu di rumah. Itu penculiknya gedor-gedor pintu terus. Cepetan pulang!’‘Nek ... Gala takut ....’ Terdengar rengekan Gala setelah kalimat Bu Tami yang terdengar panik.“Ibu, Ibu tenang, ya. Kunci semua pintu, Ibu sama Gala masuk kamar dan kunci juga pintunya. Abib sama Mbak Mira pulang sekarang juga.”Klik. Bu Tami langsung memutus panggilan.Dewo terus mengetuk pintu rumah mantan mertuanya dengan tak sabar. Niatnya hanya ingin bertemu Gala, tetapi Bu Tami malah menyebutnya sebagai penculik. Jika saja Dewo datang saat Amira dan Abib sudah di rumah,
Bahu Dewo luruh saat mendengar panggilan sang putra untuk pria yang usianya jauh di bawahnya. Hatinya hancur mendapati kenyataan. Jangankan memanggilnya papa, mengenali Dewo saja tidak. Mungkin itu tak seberapa dibanding sakit yang Amira rasakan dulu. Namun, diperlakukan sebagai orang yang tak dikenali putra kandungnya saja rasanya begitu pilu.“Papa Cil,” panggil Gala.“Iya, Sayang?”“Gala pengen main ke timezone,” pintanya setengah merengek.“Timezone yang di Mall?”Jagoan tampan itu mengangguk.“Tanya dulu sama Mama. Boleh, enggak?”Gala menoleh pada muara kasihnya yang menatap sang buah hati dengan penuh cinta.“Boleh, Ma?”Melihat kejadian yang sempat membuat Gala ketakutan, Amira pun mengangguk demi melihat senyum mereka
Semenjak kejadian di area Timezone waktu itu, Arsyil dan Amira sempat viral di jejagat maya lantaran ada seseorang yang mengabadikan moment tersebut. Walau tak sedikit yang mencibir karena usia keduanya terpaut cukup jauh, tetapi ada juga yang mendukung tanpa mau memperkeruh kolom komentar akun Bibir Dower itu. “Cantik, sih, sayang jendes.” “Cantikan juga aku ke mana-mana. Masih segel pula.” “Serius itu calon istrinya Arsyil? Kuat banget dukunnya.” “Janda semakin di depan. Perawan minggir dulu, Gan!” “Pawangnya sudah berpengalaman lahir dan batin.” “Arsyil udah kena pelet.” “Cocok, kok, Kak. Semoga selalu bahagia, ya.” “Emak ... anak perawanmu kalah sama janda.” “Apa salahnya sama janda? Yang salah itu cara berpandang kalian.” “Bung, jandanya buat gue aja. Barter sama perawan. Gimana?” Dan masih banyak lagi komentar-komentar soal hubungan mereka. Hubungan yang sebenarnya belum jelas hitam di atas putihnya. Amira sudah memperkirakan hal ini akan ramai diperbincangkan jika Ars
“Sial!”Dewo mengumpat dan mematikan ponselnya setelah melihat video berdurasi tak lebih dari 30 detik itu. Mantan istrinya yang semakin cantik sedang dipepet brondong tampan, terkenal, dan tajir.“Aku yakin kamu enggak main polosan, Mir,” ujar Dewo berburuk sangka. “Mana mungkin pria muda tertarik sama bekas orang?” lanjutnya dengan tersenyum miring.Dewo mulai berpikir keras untuk bisa kembali mendapatkan hati Amira. Pasalnya, dia adalah anak yatim piatu yang besar di sebuah panti. Setelah resmi digugat cerai oleh Amira, Dewo semakin hidup susah. Orang tua tak punya, pekerjaan pun tak ada.Gala. Ya, Gala satu-satunya alat untuknya bisa kembali hidup nyaman bersama Amira. Selain semakin cantik dan memiliki usaha kafe, Dewo tak akan kedinginan dan kepanasan di rumah petak milik temannya ini.“Mandi, Wo. Jangan main hape terus. Kerja. Hidu
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Ponsel Arsyil berdering tepat ketika ia baru saja pulang kerja. Sebuah panggilan masuk dari kantor polisi. Kening suami Amira berkerut.“Halo. Selamat sore, Pak!”‘Selamat sore, Pak Arsyil. Kami mau mengabarkan hasil dari perkembangan kasus yang sudah tim kami selidiki.’“Baik, Pak. Silakan!”Arsyil duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penasaran dari sang istri. Melihat gelagat istrinya yang tentu sangat penasaran, Arsyil langsung me-loud speaker suara di seberang sana. “Dari kepolisian,” ucap Arsyil lirih. Amira pun mengangguk paham.‘Tim kami berhasil menemukan barang bukti yang tertinggal di TKP kebakaran rumah mertua Anda.’Arsyil dan Amira membenarkan duduknya dan lebih saksama dalam menajamkan pendengaran.‘Sebuah sarung tangan yang diduga dipakai oleh pelaku. Walau hanya sebelah, tim forensik berhasil mengidentifikasi sebuah sidik jari.’“Siapa pelakunya, Pak?” sela Amira tak sabar.‘Dari hasil fingerprint scanner, sidik jari tersebut milik seorang wanita bernama Riana Lar
Amira belum bisa memejamkan matanya walau ia sudah cukup lelah. Sebuah fakta yang baru ia ketahui tentang siapa Riana membuat istri Arsyil kian gelisah. Jika benar ia datang kembali untuk balas dendam, apakah mungkin jika dulu Dewo berselingkuh dengan Riana lantaran wanita itu yang sengaja menggoda suaminya lebih dulu? Alasannya tentu saja untuk menghancurkan rumah tangga Amira sebagai putri dari Wandi. Dan kini wanita itu ingin lanjut part dua, begitu? Benar-benar keterlaluan! Amira mengembuskan napas panjang dengan memunggungi Arsyil. Namun, dua detik kemudian helaan itu berubah menjadi sebuah desahan. Tentu saja karena aksi nakal dari sebuah tangan. Ya, itu adalah tangan Arsyil yang kembali menjelajah di depan tubuh sang istri. Dua sejoli itu memang masih polos tanpa sehelai benang dalam satu selimut. Mereka baru saja selesai melepas birahi di tempat yang semestinya. Halalan toyyiban. Tentu saja ak
Bukan rahasia umum lagi saat Wandi mendadak membatalkan pertunangannya dengan Rita. Desas-desus yang berembus pun sampai di telinga Tami. Gadis ayu berbalut hijab itu pun merasa kasihan pada pria tersebut. Sudah mencintai sepenuh hati, tapi malah dikhianati. Sungguh miris sekali. Namun, siapa sangka jika takdir malah mempersatukan mereka setelah setahun Wandi mengubur harapannya? Ya, Tami dan Wandi berjodoh dan menikah. Kabar soal Rita yang hamil dengan sang mantan sudah hilang terbawa angin. Dua sejoli yang tengah menikmati masa-masa indah pengantin baru itu pun mendengar kabar jika Rita telah melahirkan. Namun, siapa yang menyangka jika Rita depresi setelah melahirkan seorang bayi perempuan? Sungguh hebat pakar informasi di masa kini. Detail sekali. “Semua yang kamu tanyakan jawabannya benar, Nak Arsyil. Rita memang mantan tunangan bapaknya Amira dan Abib,” jawab Bu Tami. Arsyil, Amira, dan
“Nih, Lus, buat gantiin baju syar’i yang gue pinjem!” Riana meletakkan lima lembar pecahan uang seratus ribu di meja depan Lusi, wanita yang sudah membesarkan Gaby, putrinya bersama Dewo. “Kenapa diganti uang, Ri? Bajunya mana?” “Udah kotor. Dahlah, mending lu beli lagi aja. Kurang enggak segitu?” “Cukup, sih.” “Oke. Lu beli aja yang baru.” Riana menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Lusi menatapnya dengan cukup heran. “Kamu dari mana, sih, Ri? Tumben pinjam gamisku segala?” “Ada casting jadi ukhti-ukhti solehah. Tapi gue enggak lulus, gue lupa kalau diri gue dah bobrok.” Lusi terkekeh. Wanita berhijab lebar itu pun belum lama hijrah. Jadi masih dalam tahap belajar juga. “Dewo udah jadi nengokin Gaby, Lus?” Lusy mengangguk. “Udah. Bahkan dia ngobrol banyak sama Ma
Di TKP, para warga sudah berbondong-bondong mengalirkan air dari selang dan juga menggunakan ember. Tak berapa lama setelahnya, sirene mobil pemadam kebakaran pun berbunyi.Kobaran api cukup besar hingga membuat warga kewalahan jika hanya memadamkan kobaran api dengan cara manual. Bu Tami sudah menangis dalam pelukan Amira. Ia berusaha menenangkan sang muara kasih atas musibah kali ini.Adib dan Nasya datang setelah para petugas berseragam merah kombinasi kuning itu berhasil menjinakkan si jago merah. Bagian rumah yang terbakar cukup parah. Namun, Abib dan Amira berusaha meredam kekalutan sang ibu dengan membesarkan hatinya. Berjanji akan segera merenovasi rumah peninggalan almarhum bapak mereka agar kembali apik seperti semula. “Udah, ya, Bu. Apinya udah padam. Yang penting enggak ada korban. Masalah perabot dan apa pun itu bisa kita beli lagi, bisa diperbaiki ulang,” hibur Amira dengan mengusap-usap punggung ibunya.Nasya pun berada di sebelah sisi sang mertua. Saat baru datang, i
Pak haji langsung menurunkan kaca mobilnya ketika melihat warga lain yang tengah berjalan. Mereka dua orang. Hanya dengan lambaian tangan, dua pemuda itu pun mendekat.“Eh, Pak Haji Mukhlas, mau ke mana, Pak?”“Saya ada urusan di kompleks sebelah. Tapi, kebetulan ada yang mencurigakan, makanya saya berhenti dulu."“Mencurigakan gimana, Pak?”“Tuh, lihat!” Telunjuk pak haji mengarah pada seseorang yang terlihat aneh.“Itu siapa, Pak?”“Yo ndak tahu, kok tanya saya.”Pemuda satunya terkekeh mendengar jawaban pak haji yang sempat legendaris dengan sebutan YNTKTS.“Gerak-geriknya mencurigakan. Bukan Mbak Mira, deh, kayaknya. Bu Tami apalagi.”Pak haji dan seorang lagi mengangguk.“Samperin, yok! Takutnya pelaku pelemparan kaca rumah Bu Tami beberapa hari yang lalu. Atau jangan-jangan ... dia mau lanjut prat dua?”“Part, Beg*k! Bukan prat."“Iya, itu maksudnya.”Pak haji pun turun mengikuti dua pemuda tersebut. Wanita itu tampak tak sadar jika gerak-geriknya sudah diikuti oleh tiga orang d