Share

Part 04 - Mas Adi

Author: Lady_EL
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Part 04 - Mas Adi

Aku tak bisa berhenti tertawa tatkala melihat wajah pak Arjun yang tampak kesal karena hasil penculikannya terhadapku berakhir sia-sia.

Bagaimana tidak? Setelah aku berbisik begitu, orang pinter tadi mengiyakan. Alhasil pak Arjun hanya tersenyum kikuk lalu pamit pulang setelah memberikan uang pada si bapak pinter itu.

“Kalau kamu nggak mau berhenti ketawa, beneran saya turunin kamu!” ancamnya sudah kedua kalinya.

Namun, aku tetaplah tertawa karena sungguh tak tahan untuk menghentikan tawa ini. Alhasil secara tiba-tiba pak Arjun menepikan mobilnya ke bahu jalan.

“Eh, Pak, iya saya minta maaf. Abis bu—”

“Turun!” perintahnya.

“Tapi ini masih di tol, Pak. Kalau saya ketabrak gimana?” Aku beralasan klise.

“Jalan ke pinggir bisa kan, Ketabrak gimana?!”

“Saya nggak mau turun! Kalau bapak paksa, saya laporin bapak ke polisi karena udah nyulik dan tinggalin saya di tol,” ancamku.

Terlihat wajah pak Arjun memerah padam menahan emosi. Namun, aku tak peduli dari pada aku luntang lantung di tengah tol yang jaraknya masih sangat jauh untuk ketemu jalan raya.

“Ketawa lagi beneran saya turunin kamu!”

Akhirnya pak Arjun mengalah dan kembali melajukan mobilnya.

“Maaf deh, Pak. Saya ketawa bukan ngetawain bapak aja, tapi ngetawain kita yang sudah melewati banyak hal sejak kemarin hasilnya?” Aku berusaha mencairkan suasana hatinya yang memanas. “Sesekali boleh kok kita ngetawain diri kita atas kebodohan yang kita lakuin.”

Pak Arjun hanya menanggapiku dengan dehaman kecil. Tak lama kami pun saling diam sampai perjalanan sudah tiba di Jakarta.

“Rumah kamu di mana?”

Aku menoleh padanya yang masih dengan tenang menyetir dan melihat jalanan.

“Bapak berhentiin saya di restoran bapak aja, rumah saya dekat kok dari sana, saya bisa naik taksi online.”

“Saya anter aja, sekalian saya minta maaf sama orang tua kamu, udah bawa anak gadis orang keluar Jakarta.”

“Eh, jangan Pak. Lagian orang tua saya nggak serumah, saya tinggal sendiri, Pak.” Duh pak Arjun ini gimana ya, tadi mau turunin aku di tol. Sekarang kekeh mau anterin.

“Ngekost?” tanyanya lagi.

Aduh aku harus jawab apa ya? Kata Sela jangan kasih tahu kalau aku udah janda, tapi kalau Arjun kekeh mau anterin dan lihat rumahku pasti kaget. Rumah sebesar itu tinggal sendiri tanpa orang tua ditambah dia tahunya aku ini anak gadis, disangka simpanan pejabat lagi nanti aku.

“Nggak, Pak. Rumah kakak saya, kebetulan kakak saya pindah ke Bekasi dapet rumah dari perusahaannya. Jadi rumahnya yang di Jakarta suruh saya tinggalin.”

“Jadi intinya kamu nggak ngekost?”

“I-iya gitu deh, Pak. Dari pada bapak tanyanya satu-satu, jadi saya jelasin sekalian,” jawabku.

“Okey arahin aja nanti, satu arah ke restoran saya kemarin kan?”

“I-iya, Pak.”

Ya sudah deh aku pasrah, dari omongan emang si pak Arjun ini maksudnya mau tanggung jawab anterin sampai rumah karena sudah bawa aku keliling Bogor sampai nginap. Dari pada aku tolak lagi nanti jatuhnya dia curiga, yang penting aku sudah kasih alasan kalau rumah yang aku tinggalin ini rumah kakakku yang sebenarnya adalah rumah pemberian mas Adi.

Mantan suamiku yang terpaksa menceraikanku karena tuntutan marga yang katanya masih dalam garis keturunan dari kerajaan di Jogja. Dia memaksaku menerima rumah tersebut dengan alasan untuk anak kami -Bima- walau Bima lebih banyak menghabiskan waktu di Bekasi karena aku harus bekerja menghidupi diri. Sekalipun mas Adi tetap bertanggung jawab atas kehidupanku, tapi aku tak pernah menggunakan uangnya. Aku sempat menolak, tetapi dia mengancam akan mengambil Bima. Alhasil aku hanya menerima dan menyimpannya untuk masa depan Bima kelak.

“Rumah kakak kamu besar juga, pasti sudah mapan,” komentar pak Arjun saat tiba di depan rumah yang sejak tadi aku arahkan.

Aku menoleh padanya yang ternyata sudah turun dan menungguku turun juga dari mobilnya. Aku menatap rumah dua tingkat yang sangat besar untuk kutinggali sendiri, sesekali aku sering meminta Sela untuk menginap menemaniku. Rumah yang dulu aku dan mas Adi impikan akan memiliki banyak anak untuk memenuhi setiap sudut ruangan kini semua itu hanyalah mimpi yang telah hilang dalam semalam.

“Iya, Pak. Hasil warisan kakek istrinya, dan tabungan kakak saya, katanya rumah ini mereka cita-citakan untuk memiliki banyak anak. Tapi, jadi saya yang tinggalin.” Aku kembali berbohong demi menutupi status dan kepahitan yang terjadi padaku beberapa tahun lalu.

“Ya, sudah. Saya pulang dulu. Makasih sudah mau saya repotkan sejak kemarin.” Pak Arjun tersenyum sambil memutari mobilnya menuju kursi kemudi.

Aku mengangguk dan tersenyum. “Sama-sama, Pak. Jangan sungkan, saya masih siap jadi mak comblangnya bapak kok,” gurauku membuatnya melotot tak senang.

“Jangan cerita apa pun ke Sela. Dia itu biang gosip dari jaman kuliah.”

“Siap!” Aku memberi hormat layaknya anak pramuka.

Pak Arjun hanya menggeleng dan berdecak, tak lama teleponnya berbunyi, pelakunya adalah aku. Sambil berjalan mundur memasuki gerbang aku berkata padanya di telepon. “Halo, Pak. Saya sudah simpan nomor saya di hp bapak, jadi kalau berubah pikiran boleh telepon. Saya banyak teman yang masih jomlo kok.”

“Ish dasar anak ini, bener-bener ngelunjak! Saya nggak butuh dijodohin!” teriaknya yang cukup membuatku menjauhkan selularku dari telinga.

“Maaf, anda siapa berada di depan rumah saya?”

Mampus itu suara mas Adi.

“Hem saya ….”

“Pak Arjun, buruan pergi! Itu Kakak saya galak kalau tahu adiknya dianterin laki-laki,” ujarku berbisik sambil berlari kecil memasuki rumah.

“Oh, maaf, Pak. Saya lagi nyari rumah teman saya, tapi sepertinya saya salah blok.”

“Oh, maaf kalau gitu, Pak. Blok berapa ya, bisa saya bantu?” tanya suara mas Adi.

“Ah, nggak apa, Pak. ini saya lagi telponan sama teman saya. Katanya saya diminta keluar dulu dari blok ini. Maaf ya, Pak.”

“Oh, gitu? Ya sudah, semoga cepat ketemu ya, Pak.”

“Baik, Pak. Makasih ya,” ujar pak Arjun mengakhiri pembicaraan ringan dengan mas Adi.

Aku pun langsung mematikan sambungan telepon dan bergegas menuju kamar di lantai dua lalu mengganti pakaianku sebelum mas Adi masuk dan mencari keberadaanku.

**

Related chapters

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 01 - Sumpah Sonia

    Part 01 - Sumpah Sonia Sonia Putri Panjaitan atau kalian bisa singkat menjadi SPP adalah nama pemberian mendiang kakek gue. Banyak panggilan dari nama tersebut yang sering dijadikan bahan becandaan teman dari SMP, SMA bahkan pas gue kuliah, sampai dosen gue juga sering banget ngejek nama itu. Salah satu yang sering dia cetuskan tuh, “Ngerti ora, Son?!” Maksudnya, “ngerti nggak, Son?” Son disitu bukan sambungan dari bahasa jawa apalagi inggris, tapi maksudnya ya nama gue -Sonia- disingkat sama dia cuma Son. Dari situ hampir tiap hari ketemu teman, panggilnya ngikutin si dosen gelo itu. Mentang-mentang masih muda, pinter dan … ganteng sih emang, tapi ngeselin banget. Dia selalu aja seenaknya merintah gue untuk buat ini dan itu ditiap tugas yang dia kasih kalau nggak mau nilai gue dikasih F. Gue rasa kalau ada nilai Z mungkin dikasih sam

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 02 - Check in

    Part 02 - Check in “Iya, dukun, tapi jangan ngomong gitu di depan orangnya. Disantet tahu rasa kamu!” “Ih, Bapak nyeremin amat mainannya dukun!” Aku bergidik ngeri mendengar pengakuannya yang pergi ke dukun. Pak Jun melirikku kesal. “Kamu kira saya mau. Ini karena nenek saya khawatir sama jodoh saya, makanya beliau ngajak ke orang pinter dan katanya saya ini disumpahin sama orang.” “Terus Bapak percaya?” tanyaku menyela. “Awalnya enggak, tapi barusan saya denger omongan kamu sama Sela. Saya jadi sedikit percaya, makanya mau bawa kamu ke orang pinter itu.” Aku berpikir sejenak mencerna ucapan Pak Jun yang sedikit sulit untuk dicerna kayak sayur kangkung.

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 03 - “Orang Pinter”

    Part 03 - “Orang Pinter”Aku berjalan mondar mandir sambil menggigitin kuku sebagai bentuk kebiasaanku kalau sedang panik.Oh ya ampun, gimana bisa baru seharian sm si Jun, gue udah megang …. Ah jangan dilanjutkan.Sekarang mending mikirin kenapa itu orang bisa masuk dan mandi? Apa nggak ada permisinya gitu. Dikira semalam beneran udah gentle, taunya?“Sonia! Bisa jelasin apa maksudnya tadi?!” tuntutnya membuatku terperanjat saat mendengar suara baritonnya.Aku berbalik dan melirik sedikit dirinya. Terlihat ia kini sudah berpakaian dengan rambut yang dibiarkan sedikit acak-acakan dan beberapa tetesan air masih berjatuhan ke bajunya.“Loh, saya yang harusnya ta

Latest chapter

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 04 - Mas Adi

    Part 04 - Mas AdiAku tak bisa berhenti tertawa tatkala melihat wajah pak Arjun yang tampak kesal karena hasil penculikannya terhadapku berakhir sia-sia.Bagaimana tidak? Setelah aku berbisik begitu, orang pinter tadi mengiyakan. Alhasil pak Arjun hanya tersenyum kikuk lalu pamit pulang setelah memberikan uang pada si bapak pinter itu.“Kalau kamu nggak mau berhenti ketawa, beneran saya turunin kamu!” ancamnya sudah kedua kalinya.Namun, aku tetaplah tertawa karena sungguh tak tahan untuk menghentikan tawa ini. Alhasil secara tiba-tiba pak Arjun menepikan mobilnya ke bahu jalan.“Eh, Pak, iya saya minta maaf. Abis bu—”“Turun!” perintahnya.

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 03 - “Orang Pinter”

    Part 03 - “Orang Pinter”Aku berjalan mondar mandir sambil menggigitin kuku sebagai bentuk kebiasaanku kalau sedang panik.Oh ya ampun, gimana bisa baru seharian sm si Jun, gue udah megang …. Ah jangan dilanjutkan.Sekarang mending mikirin kenapa itu orang bisa masuk dan mandi? Apa nggak ada permisinya gitu. Dikira semalam beneran udah gentle, taunya?“Sonia! Bisa jelasin apa maksudnya tadi?!” tuntutnya membuatku terperanjat saat mendengar suara baritonnya.Aku berbalik dan melirik sedikit dirinya. Terlihat ia kini sudah berpakaian dengan rambut yang dibiarkan sedikit acak-acakan dan beberapa tetesan air masih berjatuhan ke bajunya.“Loh, saya yang harusnya ta

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 02 - Check in

    Part 02 - Check in “Iya, dukun, tapi jangan ngomong gitu di depan orangnya. Disantet tahu rasa kamu!” “Ih, Bapak nyeremin amat mainannya dukun!” Aku bergidik ngeri mendengar pengakuannya yang pergi ke dukun. Pak Jun melirikku kesal. “Kamu kira saya mau. Ini karena nenek saya khawatir sama jodoh saya, makanya beliau ngajak ke orang pinter dan katanya saya ini disumpahin sama orang.” “Terus Bapak percaya?” tanyaku menyela. “Awalnya enggak, tapi barusan saya denger omongan kamu sama Sela. Saya jadi sedikit percaya, makanya mau bawa kamu ke orang pinter itu.” Aku berpikir sejenak mencerna ucapan Pak Jun yang sedikit sulit untuk dicerna kayak sayur kangkung.

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 01 - Sumpah Sonia

    Part 01 - Sumpah Sonia Sonia Putri Panjaitan atau kalian bisa singkat menjadi SPP adalah nama pemberian mendiang kakek gue. Banyak panggilan dari nama tersebut yang sering dijadikan bahan becandaan teman dari SMP, SMA bahkan pas gue kuliah, sampai dosen gue juga sering banget ngejek nama itu. Salah satu yang sering dia cetuskan tuh, “Ngerti ora, Son?!” Maksudnya, “ngerti nggak, Son?” Son disitu bukan sambungan dari bahasa jawa apalagi inggris, tapi maksudnya ya nama gue -Sonia- disingkat sama dia cuma Son. Dari situ hampir tiap hari ketemu teman, panggilnya ngikutin si dosen gelo itu. Mentang-mentang masih muda, pinter dan … ganteng sih emang, tapi ngeselin banget. Dia selalu aja seenaknya merintah gue untuk buat ini dan itu ditiap tugas yang dia kasih kalau nggak mau nilai gue dikasih F. Gue rasa kalau ada nilai Z mungkin dikasih sam

DMCA.com Protection Status