Share

Part 02 - Check in

Author: Lady_EL
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Part 02 - Check in

“Iya, dukun, tapi jangan ngomong gitu di depan orangnya. Disantet tahu rasa kamu!”

“Ih, Bapak nyeremin amat mainannya dukun!” Aku bergidik ngeri mendengar pengakuannya yang pergi ke dukun.

Pak Jun melirikku kesal. “Kamu kira saya mau. Ini karena nenek saya khawatir sama jodoh saya, makanya beliau ngajak ke orang pinter dan katanya saya ini disumpahin sama orang.”

“Terus Bapak percaya?” tanyaku menyela.

“Awalnya enggak, tapi barusan saya denger omongan kamu sama Sela. Saya jadi sedikit percaya, makanya mau bawa kamu ke orang pinter itu.”

Aku berpikir sejenak mencerna ucapan Pak Jun yang sedikit sulit untuk dicerna kayak sayur kangkung.

Masa iya sumpah gue beneran manjur? Kalau beneran, bisa kali gue nyumpahin diri sendiri dapat jodoh perjaka tajir, kekehku dengan pemikiran absurd yang kali aja beneran manjur.

Secara julukan jamu madu yang artinya janda muda mata duitan udah tersemat di diri gue. Ya nggak apa-apa kali gue minta yang perjaka tajir. Otakku mulai lagi berandai-andai tinggi.

“Ngelamunin apa kamu?” Pertanyaan Pak Jun membuatku sontak tersadar dari lamunan.

“Nggak, Pak. Lagi mikir aja.”

“Jangan panggil saya pak, kamu kan udah bukan mahasiswi saya,” protesnya. “Lagian kenapa baru mikir sekarang, harusnya mikir sebelum nyumpahin saya!” cetusnya masih percaya kalau aku yang buat dia masih jomlo dan dideketin janda-janda.

“Pak—”

“Panggil pak lagi, saya turunin kamu di jalan tol,” ancamnya horor.

“Iya latihan dulu Pa— eh Jun maksudnya.”

“Arjun!” koreksinya.

“Iya, Arjun.” Air terjun maksudnya, lanjutku dalam hati terkekeh.

Lalu keadaan menjadi hening karena aku lupa mau ngomong apa akibat disela mulu dari tadi. Sepintas aku lihat plang arah tujuan kita menuju Cileungsi, Bogor.

“Pak, kita ke Bogor?” tanyaku dibalas tatapan tajam. “Maksud saya, kita ke Bogor nih, Jun?” koreksiku.

“Iya, tempat orang pinternya di sana. Saya cuma diajak sekali, semoga aja masih ingat jalannya.”

Loh, loh jadi gimana ini kalau nyasar? Jadi maksud dia tadi takut keburu malam karena perjalanannya jauh?

Seketika aku memerhatikan pak Jun dari atas sampai bawah, beneran nggak sih ini pak Jun yang aku kenal dari jaman kuliah?

Penampilan sih sedikit berubah, gayanya makin ketjeh. Coba aku absen dulu dari wajahnya yang masih rupawan, alis tegas, hidung tinggi, bibir nggak gitu tipis tapi nggak tebal juga. Rambutnya ditata rapi pakai pomade. Masa iya yang mau cuma para janda? Nggak ada gadis yang naksir gitu?

“Ngapain sih kamu merhatiin saya kayak gitu?” tanyanya membuyarkan semua penilaianku.

“Nggak apa-apa.”

“Pegang handphone saya sama dompet.” Arjun memerintah seenaknya.

“Buat apaan, Pak eh Jun?”

Tatapan sinisnya kembali tersorot tajam sambil mengeluarkan dompet dari sakunya, ia menyodorkan dua benda penting itu kepadaku.

“Buat pegangan kamu, kalau saya bukan mau nyulik atau buat hal macem-macem sama kamu. Karena saya cuma mau satu macem yaitu sumpah kamu hilang!” tegasnya tanpa sempat aku sela.

Aku menerima dua benda berharga miliknya dan hanya kuletakan di atas pangkuanku. Karena sejauh ini aku tak merasa terancam, ditambah auranya Arjun nggak ada yang aneh sih, cuma emang rasanya agak nggak percaya aja kalau sumpah ngasal aku itu mujarab alias berhasil.

Selang beberapa jam setelah sempat bermacet-macetan ditambah mampir di rest area karena aku dan cacing-cacing di perut tadi sudah pada demo, akhirnya kita menepi untuk makan sebentar di restoran siap saji. Kata Arjun biar cepet makan dan jalan lagi, hingga beneran akhirnya kita sampai di Bogor.

“Pak udah mulai gelap nih. Apa nggak bisa tanya orang aja gitu? Mana kelihatannya mau hujan,” gerutuku untuk kesekian kalinya yang akhirnya kali ini mendapat tanggapan.

“Iya, kamu benar. Kita cari penginapan aja deh.” Arjun memerhatikan langit.

“Eh? Nggak pulang aja, Pak?” tanyaku kembali memanggilnya pak, karena sudah terbiasa dan karena itu juga dia sudah capek protes.

“Tanggung udah di sini, kalau kita bermalam dekat sini gimana? Nanti pagi-pagi biar jalan dan lanjut cari.”

“Tapi—”

“Tapi apa? Kan dompet dan hp saya di kamu. Ada juga saya yang takut kamu tinggal tanpa dua benda berharga itu!” tudingnya tahu kekhawatiranku.

“Ya udah deh, cari penginapan dulu, Pak. Untungnya besok saya jadwal WFH.”

“Bagus deh kalau gitu,” jawab Jun sekenanya.

Lalu keadaan sempat kembali hening beberapa menit, hingga saat aku baru saja hendak berselancar mencari penginapan terdekat tiba-tiba Pak Arjun kembali membuka suara.

“Nah itu di depan ada penginapan. Mau coba liat?” tunjuknya pada sebuah papan reklame berlampu neon warna merah.

“Ya udah terserah Bapak aja saya mah. Yang penting saya bisa rebahan. Eh iya sebelumnya mampir dulu pak ke indoapril,” celetukku melesetin nama mini market, takut aja kena undang-undang hak cipta.

Tanpa menjawab lagi, si Jun langsung menepikan kendaraannya masuk ke parkiran minimarket. Aku memintanya mampir karena ingin mencari pakaian dalam yang sekali pakai buang. Ya kali besok masih mau keliling, terus nggak ganti daleman.

“Pakai uang saya aja, tapi jangan lama-lama!” titahnya setelah memarkirkan mobilnya.

“Iya, Bapak mau nitip sesuatu nggak?”

“Nggak, udah sana buruan!” pintanya galak kayak lagi kebelet aja nih si bapak nyuruh orang buruan mulu.

Tanpa membuatnya semakin murka. Aku bergegas turun membeli keperluanku dan berpikir untuk membelikannya juga. Walau dia nggak nitip, tapi aku nggak tega juga deh. Apalagi kalau memang dia masih belum nikah gara-gara sumpah ngasal waktu jaman kuliahku.

Lima menit aku menghabiskan uang satu lembar merah muda dari dompet Pak Arjun. Lumayanlah sekalian aku beliin dia CD sekali pakai, nggak mungkin dia nggak butuh. Urusan dia nggak mau pakai ya belakangan, kan pakai uang dia ini belanjanya.

“Udah?” tanyanya saat aku baru saja mendaratkan bokong di kursi sampingnya.

“Udah, Pak. Nih saya beliin bapak celana dalam sekali pakai. Nggak tahu deh bapak mau apa nggak.” Aku menyodorkan sekotak benda yang kusebutkan tanpa malu padanya.

Jelas, aku udah terbiasa beliin mantan suami ginian pas kita lagi mendadak keluar kota kayak gini, tapi kayaknya nggak berlaku bagi si Arjun. Keliatan mukanya langsung merah ngeliat kotak CD yang aku sodorkan ini.

“Udah jangan malu-malu, Pak. Saya paham karena sering beliin ayah saya.”

“Terserah kamu deh, taro aja di belakang,” jawab Jun akhirnya menerima walau malu.

Aku hanya menurutinya dan membiarkan dia membawa mobilnya keluar dari parkiran lalu langsung menuju penginapan secepat kilat. Hingga nggak sampai lima menit kita sudah sampai di hotel bintang tiga dan si Jun langsung turun buru-buru.

Beneran kebelet apa gimana sih nih laki?

“Kamu pesan langsung dua kamar, saya mau permisi ke toilet,” katanya bergegas lebih dulu.

Kayaknya beneran deh dia kebelet.

Aku terkekeh geli saat memasuki lobi hotel dan disambut security serta resepsionis. Tanpa berbasa basi, aku langsung saja hendak memesan dua kamar untuk kami langsung istirahat.

“Mohon maaf, Bu. Karena ada acara gathering dari salah satu perusahaan. Kamar kami penuh dan tersisa satu saja.”

Begitu kata resepsionis. Hah, ya ampun kenapa jadi kayak cerita-cerita novel yang kamarnya tinggal satu sih? keluhku sambil duduk menunggu pak Arjun selesai.

Tak lama lelaki itu muncul dari balik dinding yang berbelok ke toilet. Melihatku yang duduk manis di lobi tunggu, dia langsung menghampiri dengan kening berkerut.

“Sudah pesan?”

“Belum, kamarnya sisa satu.” Aku menjawab pasrah.

“Ya udah, kamu aja sana yang check in. Saya bisa tidur di mobil.”

“Lah, ya jangan, Pak. Ya kali Bapak yang bayar saya yang tidur nyaman.” Sial kenapa bahasaku jadi bikin ambigu sih. Untungnya sudah malam jadi sepi dan kemungkinan yang denger ya cuma si resepsionis.

“Terus emangnya kamu mau berbagi kamar sama saya?” tanyanya menantang.

“Ya, nggak juga sih, Pak,” cicitku.

“Ya udah kita cari tempat lain aja gimana?”

“Ini lagi nyari, tapi jauh dan sisa kamarnya satu juga,” sahutku sudah sempat berselancar di aplikasi pesan hotel.

“Emangnya ada libur apaan sih? Kok hotel pada penuh?” tanya Jun lagi penasaran dan mengambil duduk di sampingku.

Perasaan dia kan dosen ya, tapi seharian ini kerjaannya nanya mulu kayak mahasiswa abadi.

“Ya elah, Bapak. Inikan emang lagi liburan sekolah, masa nggak tahu,” jawabku.

“Oh.” Dia hanya ber o ria menanggapi jawabanku. “Ya, jadi kamu maunya gimana? Kamu yang mutusin deh.”

“Bapak yakin nggak apa-apa tidur di mobil?”

“Ya, kalau kamu tega, ya yakin aja saya mah,” jawabnya membuatku merasa kejam.

“Ye, Bapak jangan kayak gitu dong. Kan saya kesannya saya jahat banget.”

“Ya nggak beneran. Udah sana check in sebelum diisi orang.”

“Lah emangnya saya bukan orang, Pak?” tanyaku mulai cengengesan.

“Ish kamu nih ngejawab mulu sama yang tuaan!” erangnya geram.

Aku hanya cekikikan sambil bangkit menuju resepsionis. Pada akhirnya aku pun menuruti perintahnya dan dengan berat hati membiarkannya memilih tidur di mobil. Cukup gentle juga nih si bapak Jun. Aku doain deh dapat jodoh yang sayang, apa pun statusnya nggak penting. Semoga doaku kali ini manjur juga. Amin.

-

Keesokan paginya aku terbangun karena kebelet mau buang air kecil. Kebiasaanku yang tidur kayak kebo, bahkan aku tak tahu sambungan telepon dengan Sela masih terhubung atau nggak, palingan dia ngedumel karena udah cerita panjang lebar, malah aku tinggal tidur.

Menahan pipis semalaman membuatku bergegas bangun walau dengan mata masih setengah terbuka berjalan ke kamar mandi. Sesekali menguap sambil meregangkan otot-otot badanku  dan masuk ke kamar mandi.

Masih dengan mata terpejam aku menuju kubikel shower hendak menyalakan air dingin dan panas untuk mengatur suhu supaya sedikit hangat saat aku siap mandi.

“Argh!” Suara pekikan membuatku sontak terbelalak.

“Pak Arjun!” pekikku tanpa dosa melihat tubuh sixpaxnya yang lagi pakai sabun dan pandanganku turun menatap tangan yang lagi megang juniornya.

“Ngapain kamu pegang-pegang punya saya!” hardiknya.

Sontak aku berteriak sambil melepaskan miliknya dan sempat mengambil salah satu handuk hotel untuk mengelap tanganku dari busa.

“Dasar perempuan edan, nggak lihat orang lagi mandi apa?!” erangnya belum selesai membilas kepalanya yang terpejam akibat busa dari shampo mengalir ke matanya.

Aku tak lagi pedulikan kondisinya dan segera bergegas keluar kamar mandi dengan membanting pintunya.

**

Related chapters

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 03 - “Orang Pinter”

    Part 03 - “Orang Pinter”Aku berjalan mondar mandir sambil menggigitin kuku sebagai bentuk kebiasaanku kalau sedang panik.Oh ya ampun, gimana bisa baru seharian sm si Jun, gue udah megang …. Ah jangan dilanjutkan.Sekarang mending mikirin kenapa itu orang bisa masuk dan mandi? Apa nggak ada permisinya gitu. Dikira semalam beneran udah gentle, taunya?“Sonia! Bisa jelasin apa maksudnya tadi?!” tuntutnya membuatku terperanjat saat mendengar suara baritonnya.Aku berbalik dan melirik sedikit dirinya. Terlihat ia kini sudah berpakaian dengan rambut yang dibiarkan sedikit acak-acakan dan beberapa tetesan air masih berjatuhan ke bajunya.“Loh, saya yang harusnya ta

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 04 - Mas Adi

    Part 04 - Mas AdiAku tak bisa berhenti tertawa tatkala melihat wajah pak Arjun yang tampak kesal karena hasil penculikannya terhadapku berakhir sia-sia.Bagaimana tidak? Setelah aku berbisik begitu, orang pinter tadi mengiyakan. Alhasil pak Arjun hanya tersenyum kikuk lalu pamit pulang setelah memberikan uang pada si bapak pinter itu.“Kalau kamu nggak mau berhenti ketawa, beneran saya turunin kamu!” ancamnya sudah kedua kalinya.Namun, aku tetaplah tertawa karena sungguh tak tahan untuk menghentikan tawa ini. Alhasil secara tiba-tiba pak Arjun menepikan mobilnya ke bahu jalan.“Eh, Pak, iya saya minta maaf. Abis bu—”“Turun!” perintahnya.

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 01 - Sumpah Sonia

    Part 01 - Sumpah Sonia Sonia Putri Panjaitan atau kalian bisa singkat menjadi SPP adalah nama pemberian mendiang kakek gue. Banyak panggilan dari nama tersebut yang sering dijadikan bahan becandaan teman dari SMP, SMA bahkan pas gue kuliah, sampai dosen gue juga sering banget ngejek nama itu. Salah satu yang sering dia cetuskan tuh, “Ngerti ora, Son?!” Maksudnya, “ngerti nggak, Son?” Son disitu bukan sambungan dari bahasa jawa apalagi inggris, tapi maksudnya ya nama gue -Sonia- disingkat sama dia cuma Son. Dari situ hampir tiap hari ketemu teman, panggilnya ngikutin si dosen gelo itu. Mentang-mentang masih muda, pinter dan … ganteng sih emang, tapi ngeselin banget. Dia selalu aja seenaknya merintah gue untuk buat ini dan itu ditiap tugas yang dia kasih kalau nggak mau nilai gue dikasih F. Gue rasa kalau ada nilai Z mungkin dikasih sam

Latest chapter

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 04 - Mas Adi

    Part 04 - Mas AdiAku tak bisa berhenti tertawa tatkala melihat wajah pak Arjun yang tampak kesal karena hasil penculikannya terhadapku berakhir sia-sia.Bagaimana tidak? Setelah aku berbisik begitu, orang pinter tadi mengiyakan. Alhasil pak Arjun hanya tersenyum kikuk lalu pamit pulang setelah memberikan uang pada si bapak pinter itu.“Kalau kamu nggak mau berhenti ketawa, beneran saya turunin kamu!” ancamnya sudah kedua kalinya.Namun, aku tetaplah tertawa karena sungguh tak tahan untuk menghentikan tawa ini. Alhasil secara tiba-tiba pak Arjun menepikan mobilnya ke bahu jalan.“Eh, Pak, iya saya minta maaf. Abis bu—”“Turun!” perintahnya.

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 03 - “Orang Pinter”

    Part 03 - “Orang Pinter”Aku berjalan mondar mandir sambil menggigitin kuku sebagai bentuk kebiasaanku kalau sedang panik.Oh ya ampun, gimana bisa baru seharian sm si Jun, gue udah megang …. Ah jangan dilanjutkan.Sekarang mending mikirin kenapa itu orang bisa masuk dan mandi? Apa nggak ada permisinya gitu. Dikira semalam beneran udah gentle, taunya?“Sonia! Bisa jelasin apa maksudnya tadi?!” tuntutnya membuatku terperanjat saat mendengar suara baritonnya.Aku berbalik dan melirik sedikit dirinya. Terlihat ia kini sudah berpakaian dengan rambut yang dibiarkan sedikit acak-acakan dan beberapa tetesan air masih berjatuhan ke bajunya.“Loh, saya yang harusnya ta

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 02 - Check in

    Part 02 - Check in “Iya, dukun, tapi jangan ngomong gitu di depan orangnya. Disantet tahu rasa kamu!” “Ih, Bapak nyeremin amat mainannya dukun!” Aku bergidik ngeri mendengar pengakuannya yang pergi ke dukun. Pak Jun melirikku kesal. “Kamu kira saya mau. Ini karena nenek saya khawatir sama jodoh saya, makanya beliau ngajak ke orang pinter dan katanya saya ini disumpahin sama orang.” “Terus Bapak percaya?” tanyaku menyela. “Awalnya enggak, tapi barusan saya denger omongan kamu sama Sela. Saya jadi sedikit percaya, makanya mau bawa kamu ke orang pinter itu.” Aku berpikir sejenak mencerna ucapan Pak Jun yang sedikit sulit untuk dicerna kayak sayur kangkung.

  • JAMU MADU (Janda Muda Mata Duitan)   Part 01 - Sumpah Sonia

    Part 01 - Sumpah Sonia Sonia Putri Panjaitan atau kalian bisa singkat menjadi SPP adalah nama pemberian mendiang kakek gue. Banyak panggilan dari nama tersebut yang sering dijadikan bahan becandaan teman dari SMP, SMA bahkan pas gue kuliah, sampai dosen gue juga sering banget ngejek nama itu. Salah satu yang sering dia cetuskan tuh, “Ngerti ora, Son?!” Maksudnya, “ngerti nggak, Son?” Son disitu bukan sambungan dari bahasa jawa apalagi inggris, tapi maksudnya ya nama gue -Sonia- disingkat sama dia cuma Son. Dari situ hampir tiap hari ketemu teman, panggilnya ngikutin si dosen gelo itu. Mentang-mentang masih muda, pinter dan … ganteng sih emang, tapi ngeselin banget. Dia selalu aja seenaknya merintah gue untuk buat ini dan itu ditiap tugas yang dia kasih kalau nggak mau nilai gue dikasih F. Gue rasa kalau ada nilai Z mungkin dikasih sam

DMCA.com Protection Status