Part 01 - Sumpah Sonia
Sonia Putri Panjaitan atau kalian bisa singkat menjadi SPP adalah nama pemberian mendiang kakek gue. Banyak panggilan dari nama tersebut yang sering dijadikan bahan becandaan teman dari SMP, SMA bahkan pas gue kuliah, sampai dosen gue juga sering banget ngejek nama itu.
Salah satu yang sering dia cetuskan tuh, “Ngerti ora, Son?!” Maksudnya, “ngerti nggak, Son?” Son disitu bukan sambungan dari bahasa jawa apalagi inggris, tapi maksudnya ya nama gue -Sonia- disingkat sama dia cuma Son. Dari situ hampir tiap hari ketemu teman, panggilnya ngikutin si dosen gelo itu.
Mentang-mentang masih muda, pinter dan … ganteng sih emang, tapi ngeselin banget. Dia selalu aja seenaknya merintah gue untuk buat ini dan itu ditiap tugas yang dia kasih kalau nggak mau nilai gue dikasih F. Gue rasa kalau ada nilai Z mungkin dikasih sama dia. Ada aja alasan dia yang cukup absurd yang cuma dia kasih ke gue.
Sampai satu hari batas kesabaran gue udah abis, jadi gue sumpahin deh. “Dasar dosen sinting! Gue sumpahin jodohnya janda anak satu!”
-
“Gila lo, Son. Serius elo nyumpahin pak Arjuna kayak gitu?”
Ya, elah si Sela. Nama sama kerjaan sama aja. Suka nyela orang kalau lagi cerita. Omong-omong kita lagi berada di restoran makan yang pelayanannya agak lama, sengaja juga biar bisa rumpi lebih lama sambil nunggu teman lain datang. Di sini tempatnya lumayan bagus dan pengunjungnya nggak gitu ramai, ya karena pesanan lama datang jadi mungkin pada males ke sini deh.
“Iya. Abis gue kepalang kesel kan waktu itu. Lagian nggak mungkin juga sumpah gue manjur. Orang cuma asal nyeletuk pas lagi kesel,” kataku mengambil gelas berisi jus mangga.
“Kata siapa sumpahnya nggak manjur?” tanya sebuah suara berat khas yang selama masa kuliah menghantuiku setiap malam.
“Oh, ya ampun. Bahkan suaranya sampai saat ini masih bisa gue denger, Sel!” Erangku menggerutu kesal lantaran suara itu masih saja terdengar di dalam otakku yang cemerlang.
Mencoba mengabaikan, aku memilih kembali menyedot jus manggaku. Namun, wajah Sela tampak aneh sambil menunjuk sesuatu di belakangku menggunakan bibirnya yang dimajukan.
“Apaan sih lo, Sel?” tanyaku tak mengerti.
“Saya nggak nyangka kamu sampai hafal sama suara saya.”
Tunggu, ini suara si jin dan Jun beneran ada di sini ya? Kok kayak nyata banget kalau cuma ada di pikiran gue. Terus kenapa dia bisa jawab omongan gue yang tadi ya? Aku bertanya dalam hati.
“Sonia Putri Panjaitan kamu harus tanggung jawab karena gara-gara sumpah kamu, saya belum nikah sampai sekarang!”
“Mampus gue!” seruku saat membaca gerakan mulut Sela yang membentuk nama lelaki yang sedang kita bicarain.
Lantas dengan gerakan slow motion aku memutar sedikit kepalaku dan terlihatlah sosok pak Arjuna Putra Sudjiono. Dosen sinting yang selalu menjadi topik utama setiap kali gue ngumpul bareng temen kuliah.
“Masih ingat saya?” tanyanya tersenyum sekilas lalu berubah jadi galak lagi.
Dengan mengeluarkan cengiran andalan, aku menyapanya ramah kalau perlu salim tangan deh kayak anak SD. “Eh, Pak Jun, kebetulan banget ada di sini?” sapaku malah cengengesan.
“Jun, Jun. Arjuna! Lagian kamu nggak tahu apa kalau ini restoran saya yang kelolah.”
“Eh, maksudnya ini restoran punya bapak?” tanyaku berusaha mengalihkan topik.
“Iya saya franchise, Ngerti ora, Son?!” cetusnya melipat kedua tangan di depan dadanya.
Tuh kan, keluar deh kata mujarabnya. “Lah, itu Bapak aja masih manggil nama saya tiga huruf doang. Nanti dikira saya putra bapak lagi,” celetukku makin ngelunjak.
“Kamu itu ya, dari kuliah sampai sekarang, masih aja cengengesan kayak patrick.”
“Patrick siapa, Pak? Sel emang ada anak kampus namanya Patrick?” tanyaku pada Sela berusaha beralih.
“Nggak ada,” jawab Sela sambil menggeleng cepat.
“Ya jelas nggak ada, Sel. Wong Patrick yang saya maksud itu tontonan keponakan saya.”
“Oh ….” Aku menanggapinya enteng. “Lah, emangnya bapak belum nikah, kok mainnya sama keponakan?” tanyaku setelah itu merasa bodoh.
Pak Jun menggeser dudukku seenaknya lalu dia mendaratkan bokongnya di sampingku.
“Semua gara-gara sumpah kamu itu. Semua cewek yang saya deketin itu kebanyakan janda anak satu, makanya saya mau kamu tanggung jawab!” cetusnya kali ini sedikit berbisik.
“Maksudnya tanggung jawab, saya harus nikahin Bapak?” tanyaku bercanda.
Dia malah melotot tak senang. “Tanggung jawab batalkan sumpahmu!” desisnya sedikit geram.
“Emangnya bisa, Pak?” tanyaku jadi ikutan berbisik.
Sementara Sela yang berada di hadapan kami memajukan tubuhnya dengan kening berkerut. Si Jun yang merasa diperhatikan sebegitu dekatnya menoleh pada Sela yang kembali membetulkan posisi duduknya.
“Udah deh, kamu ikut saya dulu,” ujar Jun langsung berdiri. “Sel, saya pinjam ya si Sonia,” sambungnya tanpa persetujuan dariku.
“Eh, Pak. Saya belum bayar ini jusnya. Makanan saya juga belum keluar. Laper nih saya dari Bekasi belum makan.” Aku mencoba menolak.
Pak Jun dengan santainya ngeluarin dompet dari saku celana jeansnya. Aku terbelalak melihat isi dompetnya yang tebal dengan warna merah muda, lalu dia mengeluarkan tiga lembar uang bergambar presiden pertama Indonesia.
“Nih saya bayarin sekalian punya Sela. Cukup kan, Sel?”
Sela dengan gercep mengambil uang yang diletakkan Pak Jun di meja. “Ini cukup kok, Pak. Ya udah bawa aja si Sonia.” Sela tersenyum bahagia.
Dasar temen laknat!
“Pak, tapi perut saya kan belum ke isi,” protesku tak terima. Enak banget si Sela dapat makanan sama duit yang kembaliannya pasti lebih dari setengah.
“Lagian kamu emang sekarang tinggal di Bekasi?”
“Ya kan saya—”
“Sonia abis ngunjungi kakaknya, Pak. Biasa …, main sama keponakan,” sahut Sela mengarang bebas. Pantes pas skripsi langsung lolos.
Aku melirik Sela penuh tanya. Lalu dia mendekatiku. “Pinjam dulu, Pak. Bentaran.” Sela sedikit menarikku menjauh dari Pak Jun.
“Lo jangan ngaku udah janda, dia sensitif,” bisik Sela.
Aku hanya mengerutkan kening tak mengerti.
“Nanti gue ceritain gosipnya. Udah sana lo pergi dulu sama dia. Kita tukeran informasi 'ntar malam.”
Sela mengembalikanku pada Pak Jun seenaknya kayak barang.
“Udah nih, Pak. Saya udah bilangin Sonia untuk nurut aja sama bapak. Asal jangan diapa-apain ya, Pak. Limited edition soalnya,” gurau Sela ngeselin.
Aku hanya bisa mendelik karena penasaran dengan gosip baru si jin dan Jun ini.
“Ya udah ayok buru, Son. Keburu malam nih.” Pak Jun seenaknya menarik tanganku untuk ikut dengannya menuju mobil keluaran terbaru dari mitsubishi yang hurufnya diawali X berwarna putih dan menyuruhku masuk ke kursi samping kemudi.
Gue merasa disewa om-om nggak sih? Terus si Sela mucikarinya? Udah gitu harganya murah banget cuma tiga ratus ribu. Ya ampun, jadi janda kayak gini amat rasanya.
“Jangan mikir yang nggak-nggak, Son. Saya cuma mau ajak kamu ke orang pinter doang untuk tanya gimana caranya ngilangin sumpah kamu itu,” kata Pak Jun setelah duduk di balik kemudi.
“Eh, maksud Bapak, kita mau ke dukun?”
**
Part 02 - Check in “Iya, dukun, tapi jangan ngomong gitu di depan orangnya. Disantet tahu rasa kamu!” “Ih, Bapak nyeremin amat mainannya dukun!” Aku bergidik ngeri mendengar pengakuannya yang pergi ke dukun. Pak Jun melirikku kesal. “Kamu kira saya mau. Ini karena nenek saya khawatir sama jodoh saya, makanya beliau ngajak ke orang pinter dan katanya saya ini disumpahin sama orang.” “Terus Bapak percaya?” tanyaku menyela. “Awalnya enggak, tapi barusan saya denger omongan kamu sama Sela. Saya jadi sedikit percaya, makanya mau bawa kamu ke orang pinter itu.” Aku berpikir sejenak mencerna ucapan Pak Jun yang sedikit sulit untuk dicerna kayak sayur kangkung.
Part 03 - “Orang Pinter”Aku berjalan mondar mandir sambil menggigitin kuku sebagai bentuk kebiasaanku kalau sedang panik.Oh ya ampun, gimana bisa baru seharian sm si Jun, gue udah megang …. Ah jangan dilanjutkan.Sekarang mending mikirin kenapa itu orang bisa masuk dan mandi? Apa nggak ada permisinya gitu. Dikira semalam beneran udah gentle, taunya?“Sonia! Bisa jelasin apa maksudnya tadi?!” tuntutnya membuatku terperanjat saat mendengar suara baritonnya.Aku berbalik dan melirik sedikit dirinya. Terlihat ia kini sudah berpakaian dengan rambut yang dibiarkan sedikit acak-acakan dan beberapa tetesan air masih berjatuhan ke bajunya.“Loh, saya yang harusnya ta
Part 04 - Mas AdiAku tak bisa berhenti tertawa tatkala melihat wajah pak Arjun yang tampak kesal karena hasil penculikannya terhadapku berakhir sia-sia.Bagaimana tidak? Setelah aku berbisik begitu, orang pinter tadi mengiyakan. Alhasil pak Arjun hanya tersenyum kikuk lalu pamit pulang setelah memberikan uang pada si bapak pinter itu.“Kalau kamu nggak mau berhenti ketawa, beneran saya turunin kamu!” ancamnya sudah kedua kalinya.Namun, aku tetaplah tertawa karena sungguh tak tahan untuk menghentikan tawa ini. Alhasil secara tiba-tiba pak Arjun menepikan mobilnya ke bahu jalan.“Eh, Pak, iya saya minta maaf. Abis bu—”“Turun!” perintahnya.
Part 04 - Mas AdiAku tak bisa berhenti tertawa tatkala melihat wajah pak Arjun yang tampak kesal karena hasil penculikannya terhadapku berakhir sia-sia.Bagaimana tidak? Setelah aku berbisik begitu, orang pinter tadi mengiyakan. Alhasil pak Arjun hanya tersenyum kikuk lalu pamit pulang setelah memberikan uang pada si bapak pinter itu.“Kalau kamu nggak mau berhenti ketawa, beneran saya turunin kamu!” ancamnya sudah kedua kalinya.Namun, aku tetaplah tertawa karena sungguh tak tahan untuk menghentikan tawa ini. Alhasil secara tiba-tiba pak Arjun menepikan mobilnya ke bahu jalan.“Eh, Pak, iya saya minta maaf. Abis bu—”“Turun!” perintahnya.
Part 03 - “Orang Pinter”Aku berjalan mondar mandir sambil menggigitin kuku sebagai bentuk kebiasaanku kalau sedang panik.Oh ya ampun, gimana bisa baru seharian sm si Jun, gue udah megang …. Ah jangan dilanjutkan.Sekarang mending mikirin kenapa itu orang bisa masuk dan mandi? Apa nggak ada permisinya gitu. Dikira semalam beneran udah gentle, taunya?“Sonia! Bisa jelasin apa maksudnya tadi?!” tuntutnya membuatku terperanjat saat mendengar suara baritonnya.Aku berbalik dan melirik sedikit dirinya. Terlihat ia kini sudah berpakaian dengan rambut yang dibiarkan sedikit acak-acakan dan beberapa tetesan air masih berjatuhan ke bajunya.“Loh, saya yang harusnya ta
Part 02 - Check in “Iya, dukun, tapi jangan ngomong gitu di depan orangnya. Disantet tahu rasa kamu!” “Ih, Bapak nyeremin amat mainannya dukun!” Aku bergidik ngeri mendengar pengakuannya yang pergi ke dukun. Pak Jun melirikku kesal. “Kamu kira saya mau. Ini karena nenek saya khawatir sama jodoh saya, makanya beliau ngajak ke orang pinter dan katanya saya ini disumpahin sama orang.” “Terus Bapak percaya?” tanyaku menyela. “Awalnya enggak, tapi barusan saya denger omongan kamu sama Sela. Saya jadi sedikit percaya, makanya mau bawa kamu ke orang pinter itu.” Aku berpikir sejenak mencerna ucapan Pak Jun yang sedikit sulit untuk dicerna kayak sayur kangkung.
Part 01 - Sumpah Sonia Sonia Putri Panjaitan atau kalian bisa singkat menjadi SPP adalah nama pemberian mendiang kakek gue. Banyak panggilan dari nama tersebut yang sering dijadikan bahan becandaan teman dari SMP, SMA bahkan pas gue kuliah, sampai dosen gue juga sering banget ngejek nama itu. Salah satu yang sering dia cetuskan tuh, “Ngerti ora, Son?!” Maksudnya, “ngerti nggak, Son?” Son disitu bukan sambungan dari bahasa jawa apalagi inggris, tapi maksudnya ya nama gue -Sonia- disingkat sama dia cuma Son. Dari situ hampir tiap hari ketemu teman, panggilnya ngikutin si dosen gelo itu. Mentang-mentang masih muda, pinter dan … ganteng sih emang, tapi ngeselin banget. Dia selalu aja seenaknya merintah gue untuk buat ini dan itu ditiap tugas yang dia kasih kalau nggak mau nilai gue dikasih F. Gue rasa kalau ada nilai Z mungkin dikasih sam