Sungguh tidak mudah bertahan dalam keadaan yang banyak menyuguhkan rasa tidak nyaman. Nayra seperti sendirian, tetap bertahan dalam penolakan perjodohan. Keluarga yang diharapkan Nayra akan bisa mengerti kondisi hati, nyatanya tidak ada yang mau mencoba memahami.
Lelah hati, itulah yang dirasakan Nayra saat ini. Berulang kali Nayra menyuarakan isi hati, tapi yang didapat justru perintah untuk berpikir lagi. Semakin Nayra bersuara, semakin gencar sang ibu memaksanya untuk menikah dengan si Dika. Tiap kali emosi itu membuncah, Nayra memilih pergi meninggalkan perdebatan kata. Meski pilihan Nayra dan sang ibu tidak sejalan, sebisa mungkin Nayra tetap menjaga diri agar tidak melontarkan kata kasar. Menjaga lisan, itulah yang Nayra usahakan agar pedang lidahnya tidak menyakiti perasaan.
Seperti pagi ini, usai Nayra mandi tadi, pertanyaan yang sama kembali dilontarkan padanya. Tentang kesediaan Nayra untuk mau dijodohkan dengan si Dika, jawaban yang disuguhkan tetap sa
-- "Hai, Nayra. Aku Dhanu. Apa kamu mengingatku?" ---- "Iya. Aku ingat, Mas. (emoticon senyum)" --Sapaan dan pertanyaan Dhanu dijawab oleh Nayra seketika itu. Tidak hanya sekedar membalas pesan. Nayra pun mengimbuhi emoticon senyum di belakang kalimat balasan, sebagai tanda bahwa Nayra begitu senang saat Dhanu menghubunginya lewat media sosial.-- "Kamu apa kabar?" ---- "Kabar baik. Mas Dhanu sendiri apa kabar?" ---- "Sama baiknya denganmu, Nay. (emoticon senyum)" --Giliran Dhanu yang menggunakan emoticon senyum di akhir kalimat balasannya. Hal itu sungguh membuat senang hati Nayra. Debaran jantung tak dapat dihindarkan. Senyum pun terus mengembang mengiringi ketikan pesan balasan.Nayra dan Dhanu terus berbalas pesan. Awalnya hanya saling bertanya kabar. Setelahnya, obrolan mereka jauh lebih mengembang. Tentang kesibukan, kegiatan kegemaran, hal-hal yang disukai, hingga kalimat basa-basi pun turut menyertai.
Melenggang anggun sembari menebar senyum, itulah yang dilakukan Soraya ketika keluar dari ruang kerja Dhanu guna menemui Ron di ruang kerjanya. Soraya terlihat ramah di mata karyawan Pak Bos Besar. Sikap Soraya yang demikian hanya tampak mata, padahal sebenarnya Soraya begitu keras kepala. Langkah kaki Soraya tinggal beberapa meter lagi menuju ruang kerja Ron, tapi tetiba saja dia berhenti. Soraya tampak berpikir lagi. Mendadak saja rasa gengsi itu kembali menjulang tinggi. Ron yang telah menjadi status mantan kekasih, bagi Soraya terlalu menguras harga diri untuk kembali didekati. Mimik wajah Soraya seketika berubah. Yang tadinya penuh semangat berapi-api, kini justru terlalu gengsi. Pandangan mata Soraya setelahnya diedarkan ke sekitar. Tampak sepi. Sama sekali tidak ada karyawan yang berlalu lalang seperti tadi. Usai memastikan tidak ada siapa pun di
Debaran merdu jantung Nayra hanya sementara kala teringat bahwa si pengirim pesan singkat bukanlah orang dekat. Si pengirim ucapan selamat malam tak lain adalah teman seangkatan yang dulunya banyak diidolakan. Dialah Bintang, teman kuliah Nayra yang sudah sekian tahun lamanya tak pernah dijumpa.Dulunya Bintang adalah idola kampus yang banyak diidolakan teman-teman Nayra, adik angkatan, bahkan mahasiswi-mahasiswi di lain jurusan. Paras tampan dan pesona yang memikat pandangan menjadi alasan utama si Bintang mendapat banyak penggemar.Dulunya pun Nayra sempat mengidolakan, tapi hanya sebatas karena kepintaran si Bintang. Itulah yang menjadi alasan kenapa Nayra sempat berdebar saat membalas pesan singkat ucapan selamat malam dari Bintang.“Tumben banget si Bintang kirim pesan?” Nayra bertanya-tanya usai membalas ucapan selamat malam yang sama.Pesan singkat berlanjut. Nayra dan Bintang pada akhirnya saling berbalas pesan. Mulai dari bertanya kab
Betapa hati Nayra begitu bahagia kala tahu bahwa Dhanulah yang menghubunginya. Jemari Nayra sudah bersiap mengetik pesan balasan. Akan tetapi, Dhanu mencoba menelepon ulang. Tentu saja kali ini Nayra menerima panggilan itu tanpa pikir panjang. “Halo,” sapa Nayra begitu telepon diterima. “Hai, Nayra. Maaf menghubungimu malam-malam,” ucap Dhanu di seberang. Nayra senyum-senyum sembari memainkan jemari tangan kanan pada vas bunga di atas meja dekat ranjang. “Tidak apa-apa, Mas. Em … ngomong-ngomong … ada apa Mas Dhanu menghubungiku malam-malam?” Nayra bertanya dengan debaran jantung yang sulit dikendalikan. “Aku … ingin mendengar suaramu.” Gombalan ala Dhanu mulai digencarkan. “Cie,” sahut Nayra, spontan. Untuk sejenak, Nayra dan Dhanu sama-sama terdiam dengan masih terhubung sambungan telepon. Baik Nayra ataupun Dhanu sama-sama merasakan debaran merdu. Benih cinta dalam hati Nayra dan Dhanu, semakin tumbuh. Seiring dengan itu, me
Rasa tidak nyaman jelas mengusik hati dan pikiran Nayra. Apalagi pernyataan Bintang telah membuat tanda tanya besar yang segera ingin Nayra luruskan. Apa maksud Bintang? Untuk apa Bintang berkata demikian? Dua pertanyaan itulah yang kini berputar-putar di kepala Nayra. Sorot mata Nayra tertuju pada Bintang. Nayra ingin segera mendapat penjelasan. Baru saja Nayra hendak melontarkan tanya pada Bintang, Gerry mendahului aksi dengan bertanya profesi. “Nay, kamu seorang guru?” tanya Gerry. Nayra mengalihkan pandangan matanya ke arah Gerry usai Bintang memberinya kode mata. “Iya, kak.” Tidak ada senyum ramah yang Nayra suguhkan atas pertanyaan Gerry barusan. Nayra hanya sekedar menjawab, sambil sesekali menyiratkan kekesalan pada Bintang. “Nayra seorang guru, sedangkan Bintang seorang dosen. Dunia kalian sama. Pasti cocok jika hidup bersama-sama,” ujar Gerry sembari menepuk-nepuk bahu Bintang. Ekspresi Nayra semakin membendung rasa tidak suk
Motor matic yang dikendarai Dhanu melaju dengan kecepatan sedang. Dhanu menuju sebuah pertokoan guna menemui sang mantan. Sebuah toko busana kekinian seketika menjadi tujuan. Dulu, Erika, mantan kekasih Dhanu itu bekerja di sana. Bukan hanya bekerja, Erika adalah pemilik tokonya. Sayangnya, Dhanu harus menelan rasa kecewa saat melihat toko busana yang dua tahun lalu berdiri megah di sana, kini sudah rata dengan tanah. Menegaskan pula bahwa Dhanu tidak akan menemui Erika di sana. Pencarian menjadi terkendala lantaran Dhanu tidak menyimpan nomor ponsel Erika. Sempat terbersit pula sebuah ide untuk menemui Erika di rumah orangtuanya. Namun, butuh waktu berjam-jam lamanya hingga Dhanu sampai di sana, karena rumah orangtua Erika ada di luar kota. Lagipula, Dhanu yakin sekali bahwa Erika ada di kota yang sama dengannya, karena Erika sudah berani menitipkan salam rindu pada Ron dan Soraya. “Ke mana lagi aku harus mencarinya?” Dhanu mengingat-ingat tempat yan
Bintang terdiam mematung di belakang tempat duduk Nayra. Sengaja Bintang berdiri di sana agar bisa mendengarkan Nayra mengobrol via telepon. Ada getir yang sempat dirasa. Begitu pula rasa cemburu yang hadirnya tidak dapat dicegah. Dengan jelas Bintang bisa mendengar kata-kata manis yang keluar dari mulut Nayra. Sayangnya, kata-kata itu bukan untuknya. “Sudah selesai teleponnya?” tanya Bintang sembari berusaha tegar. “Hai, Bin. Kukira kamu masih di kasir. Iya. Sudah selesai.” Mimik wajah Nayra tampak bahagia. “Apakah dia lelaki yang akan melamarmu minggu depan?” Bintang tidak bisa menutupi rasa penasaran. Nayra mengangguk sambil tersenyum. “Iya.” Bintang melebarkan senyuman, meski sedikit dipaksakan. Bintang bahkan terus-terusan menatap Nayra. Sebenarnya Bintang tidak rela. Namun, apalah daya. Bintang tidak bisa memaksakan segala yang diinginkan agar bisa menjadi miliknya, termasuk Nayra. “Bin, jangan seperti itu, dong!” tegur Nayra.
Tubuh Dhanu dipeluk erat. Semakin erat lagi saat Dhanu berusaha merenggangkan pelukan itu. Sungguh, kehangatan yang seharusnya dirasakan dari sebuah pelukan, saat itu sama sekali tidak Dhanu rasakan. Yang dirasakan justru rasa kaget dan malu. Ya, tentu saja malu, karena banyak pasang mata yang saat ini melihat ke arah Dhanu. Terutama Ron, sahabat Dhanu itu sudah siap menyerbu Dhanu karena terhantui rasa ingin tahu. “Wow!” Spontan saja Ron berkata demikian. Dhanu tidak memedulikan Ron untuk sementara waktu. Fokus Dhanu masih tertuju pada Erika. Dhanu terus berusaha melepas pelukan Erika tanpa bertindak keras padanya. “Erika, jangan bertingkah bodoh seperti ini!” ujar Dhanu. “Aku memang bodoh karena dua tahun lalu merelakanmu pergi. Sekarang, aku tidak akan melepaskanmu lagi, Dhanu-ku.” Bukan hanya Dhanu yang mendengar penuturan Erika. Ron juga dengan jelas dapat mendengarnya. Spontan saja Ron kembali melontarkan kata ‘wow’ tanpa bisa dicegah.
Tidak butuh waktu lama hingga kabar itu sampai di telinga Nayra. Rasa tidak percaya sempat melanda. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri menjadi satu-satunya tanda yang meyakinkan Nayra bahwa sosok dalam peti adalah suaminya. “Jam tangan ini adalah hadiah yang kuberikan pada Mas Dhanu di hari bahagia kami. Mas … Dhanu ….” Air mata Nayra tumpah beriringan dengan sesak yang melanda dada. Semua kerabat sudah mengikhlaskan. Termasuk Nayra, dia pun mencoba ikhlash dengan takdir yang digariskan padanya. Meski sudah berminggu-minggu berlalu usai kejadian itu, kesedihan masih saja melanda dada. “Nayra, makanlah ini!” Itu suara lembut Soraya. Sejak menjadi istri Ron, Soraya sudah banyak berubah. Menjadi sosok yang lebih baik dan begitu ramah pada Nayra. Apalagi sejak Nayra kehilangan Dhanu, Soraya lebih sering mengunjungi Nayra. “Terima kasih, Sora. Apa Ron juga datang?” “Tuh! Baru aja selesai ngajak ngobrol si Bagas.”
Pulang kerja lebih awal membuat Nayra girang. Waktu bersama sang suami tentu saja lebih banyak dimanfaatkan. Hanya saja, Nayra terganggu dengan sikap Dhanu yang terkadang berubah sebal saat Nayra membahas tentang pekerjaan.“Kata orang, berbagi beban itu menguntungkan. Meski orang yang kita bagi itu tidak sepenuhnya paham, tapi cukup didengarkan saja membuat beban itu berkurang. Maukah Mas Dhanu berbagi cerita denganku?” tanya Nayra usai beberapa saat menimbang.Penuturan sang istri membuat Dhanu mengubah ego diri. Dhanu memutuskan untuk berterus terang. Tentang pekerjaan, Erika, dan rasa sebal yang masih saja tertanam meski Dhanu sudah memutuskan untuk mengabaikan Erika.“Seperti yang sudah pernah kubilang, Mas. Aku percaya pada Mas Dhanu. Aku tidak masalah jika Mas Dhanu harus berelasi dengan mantan kekasih Mas Dhanu di masa lalu itu. Jadi, Mas Dhanu yang tenang ya saat bekerja. Buang saja rasa sebalnya.”“Aku rasa, tidak a
Klontang! Beberapa peralatan dapur terjatuh. Lengan Nayra tak sengaja menyenggolnya. Dengan tergopoh Nayra mengambilnya, sambil melihat ke arah Dhanu yang tampak tenang-tenang saja. Ada perasaan tak biasa yang mulai dirasakan Nayra. Sikap Dhanulah penyebabnya. Biasanya Dhanu akan bersikap begitu peduli padanya. Akan tetapi, kali ini justru berbeda. Meskipun Dhanu ada di dekat Nayra, tapi Dhanu sama sekali tidak membantu Nayra. Sedari duduk di kursi meja makan, fokus Dhanu tertuju pada layar ponsel. Raut wajahnya tidak berhias senyuman. Sempat Nayra bertanya, tapi Dhanu menjawab seadanya. Lantaran tidak nyaman, Nayra mendekati Dhanu dan mempertanyakan. “Mas, apa aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Nayra dengan hati-hati. Dhanu yang semula fokus ke layar ponsel, langsung mendongak usai mendengar pertanyaan itu. Dengan cepat Dhanu menggelengkan kepala, kemudian memberikan senyuman termanisnya untuk sang istri tercinta. “Maafkan aku,
Tamu kecil yang berdiri di depan pintu sama sekali tidak Nayra kenal. Nayra sempat tengok kiri kanan, siapa tahu ada orang lain yang mengantar. Namun, tidak ada tanda orang lain di sekitaran. Si tamu yang tak lain adalah bocah laki-laki itu datang sendirian.“Tadi … kamu memanggilku apa?” tanya Nayra sambil memposisikan tubuhnya hingga sejajar dengan tinggi si bocah.“Hehe. Iya, maaf. Kak Nayra.”Dengan lugunya bocah laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan wadah makanan berwarna biru dominan. Sambil tersenyum, Nayra menerima wadah makanan tersebut, dan tak lupa mengusap kepala si bocah dengan ramah.“Anak ganteng, siapa namamu?”“Bagas.”“Hai, Bagas. Berapa usiamu?”Si bocah lekaki bernama Bagas itu tidak menjawab, melainkan berhitung dari satu sampai tujuh sambil membuka satu per satu jemari tangannya. Selesai berhitung di angka tujuh, Bagas menyebutkan usianya den
Jalan tak melulu lurus. Ada kalanya belokan dan jalan bercabang tersuguh mengiringi perjalanan. Sesekali kerikil memberi kesan kasar. Bahkan, bebatuan besar nan tajam juga turut membayang di tepian.Ini bukan tentang kiasan hidup, melainkan perjalanan nyata yang ditempuh oleh Dhanu dan sahabat baiknya, Ron. Mereka berdua baru saja melewati jalan yang kurang nyaman untuk dilewati. Banyak belokan, jalan bercabang, kerikil, bahkan bebatuan besar di tepian cukup sering mereka jumpai.Ada perasaan gusar bercampur protes yang mengiringi perjalanan. Dhanu dan Ron bergantian saling menyalahkan atas kondisi yang saat ini harus bisa segera diselesaikan.“Belok kanan, Dhan! Aku yakin itu jalan yang benar!” seru Ron dari boncengan motor.“Kau yakin kali ini, Ron? Jika tidak, kita akan tersesat semakin jauh!”“Yakin sekali. Pasti ada warga di ujung jalan sana. Satu petunjuk saja, kita bisa pulang dengan segera.” Ron menggebu-
Rumah minimalis dua lantai, dengan garasi mobil dan teras depan yang tidak terlalu lebar. Di sinilah Nayra dan Dhanu tinggal. Kado pernikahan dari orangtua Dhanu memang menakjubkan. Sebuah rumah yang menjadi awal kehidupan baru setelah pernikahan.Hanya saja, rumah Nayra dan Dhanu terletak cukup jauh dari rumah orantua Dhanu. Letak rumah baru itu dipilih karena orangtua Dhanu juga memikirkan pekerjaan putranya. Sehingga, Dhanu tidak perlu lagi mengontrak rumah di dekat perusahaan tempatnya bekerja.Nayra, setelah menikah dengan Dhanu dia masih belum memikirkan untuk kembali bekerja. Lagipula, Dhanu meminta Nayra untuk terus menemaninya. Paham posisi dan status sebagai istri, membuat Nayra dengan ringan hati menuruti keinginan sang suami.“Mas, ayah ibu Mas Dhanu barusan telepon.”“Ada apa katanya?”“Ada yang kirim kado pernikahan buat kita di rumah sana, Mas.”“Akan kutelpon adik-adikku dulu. Biar ka
Cafe yang terletak di depan pusat perbelanjaan besar menjadi tempat pertemuan Erika dan Soraya. Baru saja keduanya tiba dan belum memesan makanan ataupun minuman. Baru duduk, mereka berdua sudah menjadi pusat perhatian. Seperti biasa, dua wanita modis ini tampak segar dengan style berpakaian mereka. Tidak heran jika beberapa pengunjung curi-curi pandang.Tidak hanya penampilan modis Erika dan Soraya yang menjadi perhatian. Kotak kado berukuran sedang beserta buket bunga mawar segar tak luput dari perhatian. Erika yang membawanya. Sebelum memberikan pada si penerima, Erika berniat meminta pendapat Soraya.“Yakin mau ketemu Mas Dhanu sama Nayra?” tanya Soraya dengan ekspresi tegasnya.“Iya, yakin. Lagipula, kesalahpahaman waktu itu harus diluruskan. Aku tidak ingin dicap buruk oleh Dhanu gara-g
Pernikahan Nayra dan Dhanu berlangsung hari ini. Tamu undangan berdatangan menyaksikan momen istimewa yang begitu sakral. Janji suci Nayra-Dhanu telah dilaksanakan. Kini, Nayra dan Dhanu resmi menjadi pasangan halal.Dua keluarga besar turut menyaksikan. Ada pula Ron yang ikut serta hadir menyaksikan momen bahagia sahabatnya. Pak Bos Besar juga sempat hadir menyaksikan, tapi langsung bergegas pulang karena ada kepentingan. Soraya, jangan tanyakan dia. Tentu saja Soraya tidak hadir dalam momen sah Dhanu dan Nayra. Apalagi Erika, dia pun tidak hadir di sana.Ada lagi yang tidak hadir dalam momen bahagia itu, yakni Bintang. Ya, Bintang benar-benar menepati ucapannya. Dia tidak hadir di acara pernikahan Nayra. Akan tetapi, ada yang aneh. Usai momen sah Dhanu dan Nayra, sang ibu justru berulang kali menengok ke depan rumah. Katanya ada yang sedang ditunggunya.
Tawa renyah memenuhi ruang keluarga. Dua adik perempuan Dhanulah yang tertawa renyah. Mereka berdua asyik menyantap nasi goreng buatan Nayra, sambil mengusap-usap lembaran mata uang berwarna merah. Baru saja Dhanu berhasil menyogok dua adik perempuannya agar tidak mengadu pada ayah dan ibunya. Dan, usaha itu berhasil. Dhanu dapat bernafas lega tanpa ancaman aduan perihal tindakan spontan yang gagal dilakukan saat di dapur barusan. Meski aduan itu berhasil digagalkan, tapi Dhanu tidak lepas dari nasihat yang Nayra lontarkan. “Lain kali jangan gitu lagi, Mas. Nyogok itu nggak baik,” nasihat Nayra dengan suara lirih yang tentunya bisa didengar oleh Dhanu seorang. “Iya-iya. Siap. Cuma sekali ini saja kok, Nay. Hehe.” Nayra geleng-geleng kepala. Namun, Nayra berusah