Tubuh Dhanu dipeluk erat. Semakin erat lagi saat Dhanu berusaha merenggangkan pelukan itu. Sungguh, kehangatan yang seharusnya dirasakan dari sebuah pelukan, saat itu sama sekali tidak Dhanu rasakan. Yang dirasakan justru rasa kaget dan malu. Ya, tentu saja malu, karena banyak pasang mata yang saat ini melihat ke arah Dhanu. Terutama Ron, sahabat Dhanu itu sudah siap menyerbu Dhanu karena terhantui rasa ingin tahu.
“Wow!” Spontan saja Ron berkata demikian.
Dhanu tidak memedulikan Ron untuk sementara waktu. Fokus Dhanu masih tertuju pada Erika. Dhanu terus berusaha melepas pelukan Erika tanpa bertindak keras padanya.
“Erika, jangan bertingkah bodoh seperti ini!” ujar Dhanu.
“Aku memang bodoh karena dua tahun lalu merelakanmu pergi. Sekarang, aku tidak akan melepaskanmu lagi, Dhanu-ku.”
Bukan hanya Dhanu yang mendengar penuturan Erika. Ron juga dengan jelas dapat mendengarnya. Spontan saja Ron kembali melontarkan kata ‘wow’ tanpa bisa dicegah.
Sekian detik meja tempat Dhanu dan Erika seolah membeku. Begitu dingin, dengan suasana tegang yang saat ini tersuguh. Erika terus menatap Dhanu. Dengan sedikit tidak sabar, Erika menunggu tanggapan atas pertanyaan yang baru saja dia lontarkan. Sementara Dhanu, dia masih saja terdiam.“Dhanu, jawab aku, dong! Apa Nayra tahu kalau statusmu adalah seorang duda?” Erika terus mendesak dengan tanya.Mendengar pengulangan tanya, pandangan Dhanu pun teralih seketika. Kali ini Dhanu membalas tatapan Erika. Begitu serius, hingga tidak ada sedikit canda pun yang tergambar di sana.“Itu bukan urusanmu,” ujar Dhanu.“Tentu saja itu urusanku. Kamu adalah mantan suamiku. Setelah kita berpisah, statusku adalah janda dan kamu adalah duda.” Erika mempertegas status mereka.Nada bicara Erika meninggi. Spontan saja Dhanu mengedarkan pandangan mata, khawatir ada orang lain yang mendengar penuturan Erika.“Erika, pelankan
Urusan smartphone tertukar sungguh membuat pikiran tidak nyaman. Banyak yang dikhawatirkan, khususnya tentang ancaman terungkapnya fakta yang sebelum ini dirahasiakan. Dhanu, sampai saat ini dia kepikiran. “Ron, tahu tempat Erika tinggal nggak?” “Gimana, sih? Katanya kau ini mantan suaminya Erika. Harusnya kau yang lebih tahu daripada aku, Dhanu.” “Itu sudah dua tahun lalu, Ron. Setelah itu aku benar-benar tidak tahu apa-apa lagi.” Terdiam sejenak. Dhanu memfokuskan pandangan ke arah Ron yang tengah mencomot kudapan ringan. Meski demikian, pikiran Dhanu saat ini sungguh tidak tenang. Ron yang dilihat, sementara pikirannya semburat. “Nih, minum jus alpukat milikmu!” Ron menyodorkan jus alpukat ke depan wajah D
Kening Nayra berkerut. Nama Erika terus diingat-ingat, barangkali dikenal oleh Nayra. Namun, sejauh apa pun Nayra mengingat, tetap saja tidak ada rupa bernama Erika yang berhasil diingatnya. Saat ini, pikiran Nayra bahkan telah bercabang kemana-mana. Tidak lagi hanya tentang Erika yang asing baginya, tapi juga tentang kenapa Erika bisa menelpon menggunakan nomor ponsel Dhanu.“Em … maaf. Apa kamu temannya Mas Dhanu?” tanya Nayra setengah ragu.“Ya … bisa dikatakan seperti itu. Tapi, bisa dikatakan juga hubungan kami lebih jauh dari sekedar sebutan itu,” sahut Erika, masih via telepon.Deg!Jantung Nayra sempat berdebar-debar usai mendengar penuturan Erika. Untuk sesaat, Nayra menafsirkannya sebagai penegasan sebuah hubungan spe
“Nayra, kukira kamu masih menutup hatimu. Ternyata, kamu akan segera dilamar oleh seorang lelaki bernama Dhanu. Lalu … bagaimana denganku?” Bintang terlihat sendu.Getar smartphone membuyarkan pikiran Bintang tentang Nayra. Sang kakak yang mengirimi Bintang pesan. Rupanya Gerry bersedia bicara empat mata dengan Bintang nanti malam. Selain ada keperluan, Gerry harus berkunjung ke rumah tunangannya untuk membahas resepsi pernikahan yang akan diselenggarakan bulan depan.Ya, itulah salah satu alasan kenapa Bintang terus ditanya tentang pasangan. Sang kakak akan segera menikah, membuat Bintang selalu ditanya kapan dia akan menikah juga. Di sela pertanyaan yang digencarkan dengan kondisi kesehatan sang ibu yang mengkhawatirkan, membuat Bintang membawa nama Nayra masuk dalam sebuah perencanaan. Sebuah rencana bahagia, dengan Nayra yang diyaki
Candaan sang ibu rupanya tidak Nayra dengar. Fokus Nayra kini justru tertuju pada Bintang. Setengah terusik dengan tatapan Bintang yang tidak seharusnya demikian.“Ngapain kamu ke sini, Bin?” Nayra langsung bertanya tanpa lebih dulu mempersilakan Bintang untuk masuk ke dalam rumahnya.“Hust! Nayra, yang sopan dong sama tamu. Ayo, Nak Bintang, silakan masuk dulu.”“Terima kasih, Bu. Permisi.”Nayra memperhatikan sikap sang ibu pada Bintang. Sungguh berbeda dibandingkan saat teman-teman Nayra yang lainnya datang ke sana. Biasanya sang ibu memang ramah, tapi kali ini lebih ramah. Nayra bahkan tak henti-hentinya melihat senyum sang ibu mengembang saat di depan Bintang.“Ibu tinggal
Bersikap santai seperti tidak berbuat salah, saat ini Dhanu duduk di meja yang sama dengan Ron. Dhanu berekspresi biasa saja, sangat jauh berbeda dengan ekspresi wajah Ron yang tampak kesal karena kehadiran Dhanu yang tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan. “Perbaiki wajahmu, Ron!” “Nanti saja kalau Sora datang,” sahut Ron dengan masih menampilkan mimik wajah kesal. “Ya sudah. Terserah kau saja. Aku pesankan makanan dulu, ya.” Baru saja Dhanu mau beranjak, Ron memanggil. “Sekalian bayarin, ya?” pinta Ron dengan wajah yang lebih baik dari sebelumnya. “Oke. Tapi, kau harus mendapatkan informasi tentang Erika.” Dhanu serius sembari menyedekapkan tangan di depan
Lima menit sudah berlalu. Erika belum juga melepas pelukan itu. Masih memeluk dengan erat, sementara Dhanu tetap tidak memberontak. Hingga tak lama kemudian terdengar suara tetangga sebelah yang baru saja pulang. Dhanu, dia mulai khawatir jika ada yang memergoki dirinya dan Erika. Belum lagi prasangka yang nantinya akan berbuntut panjang, membuat Dhanu segera melakukan tindakan.“Erika, tidakkah kamu ingin menyudahinya?” tanya Dhanu.“Kenapa harus terburu-buru? Apa kamu takut Nayra tahu, hm?”Begitu nama Nayra disebut, tanpa pikir panjang lagi Dhanu melepas pelukan itu. Tidak dengan kasar. Hanya dengan sedikit dorongan.“Erika, pasti kamu tahu maksud kedatanganku ke sini.”
Suapan nasi terhenti. Nayra urung melahap makanan yang tersaji. Penjelasan sang ibu telah memenuhi pikiran dan hati. Bintang, begitu nama itu disebut, pikiran Nayra seketika semrawut. Banyak pertanyaan yang tiba-tiba tercipta lantaran sikap Bintang yang tidak biasa. Ada apa? Mengapa? Untuk apa? Ya, semua tanya itu tertuju pada Bintang yang saat ini sosoknya tengah dalam topik pembahasan.Perlahan Nayra mengalihkan pandangan. Lantai ruang makan menjadi perhatian. Akan tetapi, petak-petak putih lantai ruang makan tidak benar-benar menjadi perhatian. Pikiran Nayra berkeliaran. Ditambah lagi, sikap antusias yang tadi ditunjukkan, kini memudar. Dan, perubahan sikap itu langsung ditangkap oleh sang ibu.“Kenapa nggak jadi makan, Nay?”“Tidak apa-apa.” Begitu lirih Nayra mengatakannya.
Tidak butuh waktu lama hingga kabar itu sampai di telinga Nayra. Rasa tidak percaya sempat melanda. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri menjadi satu-satunya tanda yang meyakinkan Nayra bahwa sosok dalam peti adalah suaminya. “Jam tangan ini adalah hadiah yang kuberikan pada Mas Dhanu di hari bahagia kami. Mas … Dhanu ….” Air mata Nayra tumpah beriringan dengan sesak yang melanda dada. Semua kerabat sudah mengikhlaskan. Termasuk Nayra, dia pun mencoba ikhlash dengan takdir yang digariskan padanya. Meski sudah berminggu-minggu berlalu usai kejadian itu, kesedihan masih saja melanda dada. “Nayra, makanlah ini!” Itu suara lembut Soraya. Sejak menjadi istri Ron, Soraya sudah banyak berubah. Menjadi sosok yang lebih baik dan begitu ramah pada Nayra. Apalagi sejak Nayra kehilangan Dhanu, Soraya lebih sering mengunjungi Nayra. “Terima kasih, Sora. Apa Ron juga datang?” “Tuh! Baru aja selesai ngajak ngobrol si Bagas.”
Pulang kerja lebih awal membuat Nayra girang. Waktu bersama sang suami tentu saja lebih banyak dimanfaatkan. Hanya saja, Nayra terganggu dengan sikap Dhanu yang terkadang berubah sebal saat Nayra membahas tentang pekerjaan.“Kata orang, berbagi beban itu menguntungkan. Meski orang yang kita bagi itu tidak sepenuhnya paham, tapi cukup didengarkan saja membuat beban itu berkurang. Maukah Mas Dhanu berbagi cerita denganku?” tanya Nayra usai beberapa saat menimbang.Penuturan sang istri membuat Dhanu mengubah ego diri. Dhanu memutuskan untuk berterus terang. Tentang pekerjaan, Erika, dan rasa sebal yang masih saja tertanam meski Dhanu sudah memutuskan untuk mengabaikan Erika.“Seperti yang sudah pernah kubilang, Mas. Aku percaya pada Mas Dhanu. Aku tidak masalah jika Mas Dhanu harus berelasi dengan mantan kekasih Mas Dhanu di masa lalu itu. Jadi, Mas Dhanu yang tenang ya saat bekerja. Buang saja rasa sebalnya.”“Aku rasa, tidak a
Klontang! Beberapa peralatan dapur terjatuh. Lengan Nayra tak sengaja menyenggolnya. Dengan tergopoh Nayra mengambilnya, sambil melihat ke arah Dhanu yang tampak tenang-tenang saja. Ada perasaan tak biasa yang mulai dirasakan Nayra. Sikap Dhanulah penyebabnya. Biasanya Dhanu akan bersikap begitu peduli padanya. Akan tetapi, kali ini justru berbeda. Meskipun Dhanu ada di dekat Nayra, tapi Dhanu sama sekali tidak membantu Nayra. Sedari duduk di kursi meja makan, fokus Dhanu tertuju pada layar ponsel. Raut wajahnya tidak berhias senyuman. Sempat Nayra bertanya, tapi Dhanu menjawab seadanya. Lantaran tidak nyaman, Nayra mendekati Dhanu dan mempertanyakan. “Mas, apa aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Nayra dengan hati-hati. Dhanu yang semula fokus ke layar ponsel, langsung mendongak usai mendengar pertanyaan itu. Dengan cepat Dhanu menggelengkan kepala, kemudian memberikan senyuman termanisnya untuk sang istri tercinta. “Maafkan aku,
Tamu kecil yang berdiri di depan pintu sama sekali tidak Nayra kenal. Nayra sempat tengok kiri kanan, siapa tahu ada orang lain yang mengantar. Namun, tidak ada tanda orang lain di sekitaran. Si tamu yang tak lain adalah bocah laki-laki itu datang sendirian.“Tadi … kamu memanggilku apa?” tanya Nayra sambil memposisikan tubuhnya hingga sejajar dengan tinggi si bocah.“Hehe. Iya, maaf. Kak Nayra.”Dengan lugunya bocah laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan wadah makanan berwarna biru dominan. Sambil tersenyum, Nayra menerima wadah makanan tersebut, dan tak lupa mengusap kepala si bocah dengan ramah.“Anak ganteng, siapa namamu?”“Bagas.”“Hai, Bagas. Berapa usiamu?”Si bocah lekaki bernama Bagas itu tidak menjawab, melainkan berhitung dari satu sampai tujuh sambil membuka satu per satu jemari tangannya. Selesai berhitung di angka tujuh, Bagas menyebutkan usianya den
Jalan tak melulu lurus. Ada kalanya belokan dan jalan bercabang tersuguh mengiringi perjalanan. Sesekali kerikil memberi kesan kasar. Bahkan, bebatuan besar nan tajam juga turut membayang di tepian.Ini bukan tentang kiasan hidup, melainkan perjalanan nyata yang ditempuh oleh Dhanu dan sahabat baiknya, Ron. Mereka berdua baru saja melewati jalan yang kurang nyaman untuk dilewati. Banyak belokan, jalan bercabang, kerikil, bahkan bebatuan besar di tepian cukup sering mereka jumpai.Ada perasaan gusar bercampur protes yang mengiringi perjalanan. Dhanu dan Ron bergantian saling menyalahkan atas kondisi yang saat ini harus bisa segera diselesaikan.“Belok kanan, Dhan! Aku yakin itu jalan yang benar!” seru Ron dari boncengan motor.“Kau yakin kali ini, Ron? Jika tidak, kita akan tersesat semakin jauh!”“Yakin sekali. Pasti ada warga di ujung jalan sana. Satu petunjuk saja, kita bisa pulang dengan segera.” Ron menggebu-
Rumah minimalis dua lantai, dengan garasi mobil dan teras depan yang tidak terlalu lebar. Di sinilah Nayra dan Dhanu tinggal. Kado pernikahan dari orangtua Dhanu memang menakjubkan. Sebuah rumah yang menjadi awal kehidupan baru setelah pernikahan.Hanya saja, rumah Nayra dan Dhanu terletak cukup jauh dari rumah orantua Dhanu. Letak rumah baru itu dipilih karena orangtua Dhanu juga memikirkan pekerjaan putranya. Sehingga, Dhanu tidak perlu lagi mengontrak rumah di dekat perusahaan tempatnya bekerja.Nayra, setelah menikah dengan Dhanu dia masih belum memikirkan untuk kembali bekerja. Lagipula, Dhanu meminta Nayra untuk terus menemaninya. Paham posisi dan status sebagai istri, membuat Nayra dengan ringan hati menuruti keinginan sang suami.“Mas, ayah ibu Mas Dhanu barusan telepon.”“Ada apa katanya?”“Ada yang kirim kado pernikahan buat kita di rumah sana, Mas.”“Akan kutelpon adik-adikku dulu. Biar ka
Cafe yang terletak di depan pusat perbelanjaan besar menjadi tempat pertemuan Erika dan Soraya. Baru saja keduanya tiba dan belum memesan makanan ataupun minuman. Baru duduk, mereka berdua sudah menjadi pusat perhatian. Seperti biasa, dua wanita modis ini tampak segar dengan style berpakaian mereka. Tidak heran jika beberapa pengunjung curi-curi pandang.Tidak hanya penampilan modis Erika dan Soraya yang menjadi perhatian. Kotak kado berukuran sedang beserta buket bunga mawar segar tak luput dari perhatian. Erika yang membawanya. Sebelum memberikan pada si penerima, Erika berniat meminta pendapat Soraya.“Yakin mau ketemu Mas Dhanu sama Nayra?” tanya Soraya dengan ekspresi tegasnya.“Iya, yakin. Lagipula, kesalahpahaman waktu itu harus diluruskan. Aku tidak ingin dicap buruk oleh Dhanu gara-g
Pernikahan Nayra dan Dhanu berlangsung hari ini. Tamu undangan berdatangan menyaksikan momen istimewa yang begitu sakral. Janji suci Nayra-Dhanu telah dilaksanakan. Kini, Nayra dan Dhanu resmi menjadi pasangan halal.Dua keluarga besar turut menyaksikan. Ada pula Ron yang ikut serta hadir menyaksikan momen bahagia sahabatnya. Pak Bos Besar juga sempat hadir menyaksikan, tapi langsung bergegas pulang karena ada kepentingan. Soraya, jangan tanyakan dia. Tentu saja Soraya tidak hadir dalam momen sah Dhanu dan Nayra. Apalagi Erika, dia pun tidak hadir di sana.Ada lagi yang tidak hadir dalam momen bahagia itu, yakni Bintang. Ya, Bintang benar-benar menepati ucapannya. Dia tidak hadir di acara pernikahan Nayra. Akan tetapi, ada yang aneh. Usai momen sah Dhanu dan Nayra, sang ibu justru berulang kali menengok ke depan rumah. Katanya ada yang sedang ditunggunya.
Tawa renyah memenuhi ruang keluarga. Dua adik perempuan Dhanulah yang tertawa renyah. Mereka berdua asyik menyantap nasi goreng buatan Nayra, sambil mengusap-usap lembaran mata uang berwarna merah. Baru saja Dhanu berhasil menyogok dua adik perempuannya agar tidak mengadu pada ayah dan ibunya. Dan, usaha itu berhasil. Dhanu dapat bernafas lega tanpa ancaman aduan perihal tindakan spontan yang gagal dilakukan saat di dapur barusan. Meski aduan itu berhasil digagalkan, tapi Dhanu tidak lepas dari nasihat yang Nayra lontarkan. “Lain kali jangan gitu lagi, Mas. Nyogok itu nggak baik,” nasihat Nayra dengan suara lirih yang tentunya bisa didengar oleh Dhanu seorang. “Iya-iya. Siap. Cuma sekali ini saja kok, Nay. Hehe.” Nayra geleng-geleng kepala. Namun, Nayra berusah