Suapan nasi terhenti. Nayra urung melahap makanan yang tersaji. Penjelasan sang ibu telah memenuhi pikiran dan hati. Bintang, begitu nama itu disebut, pikiran Nayra seketika semrawut. Banyak pertanyaan yang tiba-tiba tercipta lantaran sikap Bintang yang tidak biasa. Ada apa? Mengapa? Untuk apa? Ya, semua tanya itu tertuju pada Bintang yang saat ini sosoknya tengah dalam topik pembahasan.
Perlahan Nayra mengalihkan pandangan. Lantai ruang makan menjadi perhatian. Akan tetapi, petak-petak putih lantai ruang makan tidak benar-benar menjadi perhatian. Pikiran Nayra berkeliaran. Ditambah lagi, sikap antusias yang tadi ditunjukkan, kini memudar. Dan, perubahan sikap itu langsung ditangkap oleh sang ibu.
“Kenapa nggak jadi makan, Nay?”
“Tidak apa-apa.” Begitu lirih Nayra mengatakannya.
Detak jantung yang terasa begitu merdu, dengan senyum manis yang mengukir wajah ayu. Nayra, dia terpesona dengan sosok Dhanu yang gagah dengan kumis tipisnya. Tampak mata, Nayra bisa melihat Dhanu melambaikan tangannya. Spontan saja Nayra membalas lambaian tangan Dhanu dengan tanpa memudarkan senyumnya. “Mas Dhanu terlihat lebih berisi, tapi aku justru semakin jatuh hati.” Nayra bergumam sendiri. Pandangan Nayra mengekori langkah Dhanu yang semakin lama semakin dekat ke arah meja café yang dipilihnya. Seiring dengan itu, tentu saja rasa gugup pada diri semakin bertambah. Hingga saat Dhanu benar-benar sudah berhadap-hadapan dengannya, Nayra justru salah tingkah. Refleks saja Nayra menyenggol vas bunga hiasan di meja. “Au!”
Aura dua meja di Pesona Cafe pagi itu tidak ceria seperti meja pengunjung lainnya. Di meja tempat Bintang berada, aura kekesalan begitu kentara. Wajah Bintang sama sekali tidak berhias senyuman. Dahinya mengkerut, tangannya mengepal, dan itu semua Bintang lakukan sambil menajamkan pendengaran ke arah meja tempat Nayra dan Dhanu berada.Sementara itu di meja yang berbeda, Dhanu masih harap-harap cemas menanti tanggapan Nayra. Sedangkan Nayra, dia masih kehilangan senyumnya. Masih terkejut dan sulit mempercayai fakta yang baru saja dia terima. Fakta masa lalu di kehidupan Dhanu, sukses membuat hati dan pikiran Nayra tak karuan rasanya."Apa Mas Dhanu sedang bercanda?" tanya Nayra demi untuk meyakinkan dirinya.Dhanu menggeleng pelan. Tanda bahwa pernyataannya barusan bukanl
Cermin besar nan lebar menjadi perhatian. Nayra melihat pantulan dirinya sebentar, kemudian menuju wastafel untuk mencuci muka. Jejak air mata yang membasahi pipinya, kini sudah terbasuh semua. Tak ada lagi air mata, tapi yang tersisa justru kebingungan yang nyata. Untungnya toilet Pesona Café sedang sepi. Hanya Nayra yang ada di sana, dan itu dimanfaatkan sebagai tempat berdiam untuk sementara. Di dalam sana, Nayra memang tampak terdiam. Akan tetapi, hati dan pikirannya tengah menimbang sebuah keputusan. “Aku memang mengkhawatirkan masa lalu. Tapi, hatiku tidak bisa berdusta. Mas Dhanu adalah lelaki yang kucinta.” Nayra bermonolog. Saat ini Nayra tengah meyakinkan hatinya. Melihat jauh ke dalam, tentang seberapa besar perasaan untuk Dhanu dibandingkan masa lalu yang sesekali membayang.
'Nayra, berbahagialah. Jika tidak, aku akan kembali datang untuk menyapa.'Pesan dari Bintang itu benar-benar mengalihkan fokus Nayra. Dengan perasaan kesal, Nayra menggenggam erat smartphone-nya sambil memikirkan kalimat balasan. Sikap Nayra yang demikian begitu jelas diperlihatkan. Padahal, di sana ada Dhanu dan kedua orangtuanya."Nayra, ada apa?" tanya Dhanu.Pertanyaan Dhanu berhasil membuat Nayra tersadar dari sikap kesalnya. Smartphone yang semula digenggam erat dengan kesal, kini diletakkan. Nayra berusaha mengesampingkan pesan dari Bintang, kemudian kembali fokus ke niatan awal."Apa terjadi sesuatu?" tanya Dhanu dengan nada yang terdengar ramah hingga menyentuh hati Nayra."Tidak ada, Mas."Nayra tidak ingin merusak acara di ruang tamu. Untuk sementara waktu, Nayra tidak akan bercerita panjang lebar tentang Bintang pada Dhanu. Nayra akan menyimpan itu. Lagipula, saat ini ada hal yang jauh lebih p
Layar smartphone Nayra masih menampilkan nama Erika. Dengan tetap duduk di tepi ranjang, Nayra mengedarkan pandang ke sekitar. Bukan untuk mencari sesuatu, melainkan hanya sebuah sikap bimbang lantaran bingung apa yang sebaiknya harus dilakukan.Getar berakhir. Telepon Erika pada akhirnya tidak diterima oleh Nayra. Jujur, saat ini Nayra begitu bingung. Sebelum Dhanu menceritakan fakta tentang Erika, Nayra masih bisa bersikap biasa saja. Akan tetapi, semua jadi tidak sama saat Nayra tahu siapa Erika sebenarnya.Terdiam. Nayra pun memutuskan untuk kembali merebahkan badan. Langit-langit kamar menjadi satu-satunya pemandangan yang mendukung sebuah lamunan. Ya, Nayra sedang melamun. Pikirannya penuh dengan beragam tanya, tapi Nayra belum bisa menemukan jawabannya.Aku sudah memutuskan. Tapi, apakah keputusan
Sekian detik lamanya, Nayra masih setia menunggu jawaban Erika. Nayra tidak mendesak, karena Nayra tulus meminta. Sungguh, Nayra tidak ingin bermusuhan. Nayra lebih memilih untuk berteman.“Nayra. Apa kamu sangat ingin berteman denganku setelah kamu tahu fakta masa laluku dengan Dhanu?” Erika kembali bersuara setelah sekian detik bungkam.“Tentu saja. Mari kita hidup di masa sekarang dan fokus menatap masa depan. Aku ingin kita berteman, dan aku sudah memutuskan.”Nada bicara Nayra terdengar mantap. Itulah yang kemudian membuat Erika mengambil sebuah keputusan.“Baiklah, Nay. Jika itu maumu, mari kita berteman.” Jeda sebentar. ‘Tapi, suatu hari nanti jangan sampai cemburu saat melihatku dekat dengan Dhanu,’ imbuh Erik
"Copeeeet!"Teriakan Nayra didengar orang-orang di sekitarnya. Sopir bus, kernet, bahkan penumpang lain yang tadi satu bus dengan Nayra pun ikut panik. Perhatian mereka bergantian tertuju pada Nayra yang kebingungan dan pada si pencopet yang tampak berlarian."Tolong! Ada copet!" teriak Nayra lagi sambil berlarian mengejar si pencopet.Ada perasaan kesal, karena sebagian orang yang mendengar justru ketakutan. Nayra belum melihat satu pun orang yang berusaha menghadang langkah si pencopet. Hanya dirinya saja yang mengejar. Memang, penampilan si pencopet tampak mengerikan. Dengan body yang kekar, siapa pun yang melihat pasti ketakutan."Berhenti kau copet!" teriak Nayra.Percuma Nayra berteriak. Si pencopet jelas-jelas tidak akan menghentikan langkahnya. Hingga kemudian, dari arah belakang melayang ransel berukuran besar yang langsung mendarat tepat di punggung si pencopet."Aduh!" Si pencopet jatuh tersungkur.Nayra begitu tidak percay
Sore itu Dhanu sedang menghadiri pertemuan dengan salah satu calon relasi, sebelum akhirnya ditelepon oleh Bintang. Kali ini Dhanu mengesampingkan sikap profesional, kurang bersikap tenang, dan kebingungan. Semua itu gara-gara kabar yang disampaikan oleh Bintang.“Gimana, sih? Terus calon relasi kita gimana, tuh?” Ron melayangkan protesnya pada Dhanu.“Ada yang lebih penting, Ron. Kau urus saja mereka, dan jangan lupa laporkan hasilnya ke Pak Bos Besar,” ujar Dhanu sambil tergesa-gesa menuju motornya.“Apa sih yang lebih penting dari calon relasi?” Ron kembali mencegah langkah Dhanu sebelum lebih jauh.“Pokoknya penting. Gawat. Darurat.”“Iya apa?” Ron gemas.
Tidak butuh waktu lama hingga kabar itu sampai di telinga Nayra. Rasa tidak percaya sempat melanda. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri menjadi satu-satunya tanda yang meyakinkan Nayra bahwa sosok dalam peti adalah suaminya. “Jam tangan ini adalah hadiah yang kuberikan pada Mas Dhanu di hari bahagia kami. Mas … Dhanu ….” Air mata Nayra tumpah beriringan dengan sesak yang melanda dada. Semua kerabat sudah mengikhlaskan. Termasuk Nayra, dia pun mencoba ikhlash dengan takdir yang digariskan padanya. Meski sudah berminggu-minggu berlalu usai kejadian itu, kesedihan masih saja melanda dada. “Nayra, makanlah ini!” Itu suara lembut Soraya. Sejak menjadi istri Ron, Soraya sudah banyak berubah. Menjadi sosok yang lebih baik dan begitu ramah pada Nayra. Apalagi sejak Nayra kehilangan Dhanu, Soraya lebih sering mengunjungi Nayra. “Terima kasih, Sora. Apa Ron juga datang?” “Tuh! Baru aja selesai ngajak ngobrol si Bagas.”
Pulang kerja lebih awal membuat Nayra girang. Waktu bersama sang suami tentu saja lebih banyak dimanfaatkan. Hanya saja, Nayra terganggu dengan sikap Dhanu yang terkadang berubah sebal saat Nayra membahas tentang pekerjaan.“Kata orang, berbagi beban itu menguntungkan. Meski orang yang kita bagi itu tidak sepenuhnya paham, tapi cukup didengarkan saja membuat beban itu berkurang. Maukah Mas Dhanu berbagi cerita denganku?” tanya Nayra usai beberapa saat menimbang.Penuturan sang istri membuat Dhanu mengubah ego diri. Dhanu memutuskan untuk berterus terang. Tentang pekerjaan, Erika, dan rasa sebal yang masih saja tertanam meski Dhanu sudah memutuskan untuk mengabaikan Erika.“Seperti yang sudah pernah kubilang, Mas. Aku percaya pada Mas Dhanu. Aku tidak masalah jika Mas Dhanu harus berelasi dengan mantan kekasih Mas Dhanu di masa lalu itu. Jadi, Mas Dhanu yang tenang ya saat bekerja. Buang saja rasa sebalnya.”“Aku rasa, tidak a
Klontang! Beberapa peralatan dapur terjatuh. Lengan Nayra tak sengaja menyenggolnya. Dengan tergopoh Nayra mengambilnya, sambil melihat ke arah Dhanu yang tampak tenang-tenang saja. Ada perasaan tak biasa yang mulai dirasakan Nayra. Sikap Dhanulah penyebabnya. Biasanya Dhanu akan bersikap begitu peduli padanya. Akan tetapi, kali ini justru berbeda. Meskipun Dhanu ada di dekat Nayra, tapi Dhanu sama sekali tidak membantu Nayra. Sedari duduk di kursi meja makan, fokus Dhanu tertuju pada layar ponsel. Raut wajahnya tidak berhias senyuman. Sempat Nayra bertanya, tapi Dhanu menjawab seadanya. Lantaran tidak nyaman, Nayra mendekati Dhanu dan mempertanyakan. “Mas, apa aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Nayra dengan hati-hati. Dhanu yang semula fokus ke layar ponsel, langsung mendongak usai mendengar pertanyaan itu. Dengan cepat Dhanu menggelengkan kepala, kemudian memberikan senyuman termanisnya untuk sang istri tercinta. “Maafkan aku,
Tamu kecil yang berdiri di depan pintu sama sekali tidak Nayra kenal. Nayra sempat tengok kiri kanan, siapa tahu ada orang lain yang mengantar. Namun, tidak ada tanda orang lain di sekitaran. Si tamu yang tak lain adalah bocah laki-laki itu datang sendirian.“Tadi … kamu memanggilku apa?” tanya Nayra sambil memposisikan tubuhnya hingga sejajar dengan tinggi si bocah.“Hehe. Iya, maaf. Kak Nayra.”Dengan lugunya bocah laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan wadah makanan berwarna biru dominan. Sambil tersenyum, Nayra menerima wadah makanan tersebut, dan tak lupa mengusap kepala si bocah dengan ramah.“Anak ganteng, siapa namamu?”“Bagas.”“Hai, Bagas. Berapa usiamu?”Si bocah lekaki bernama Bagas itu tidak menjawab, melainkan berhitung dari satu sampai tujuh sambil membuka satu per satu jemari tangannya. Selesai berhitung di angka tujuh, Bagas menyebutkan usianya den
Jalan tak melulu lurus. Ada kalanya belokan dan jalan bercabang tersuguh mengiringi perjalanan. Sesekali kerikil memberi kesan kasar. Bahkan, bebatuan besar nan tajam juga turut membayang di tepian.Ini bukan tentang kiasan hidup, melainkan perjalanan nyata yang ditempuh oleh Dhanu dan sahabat baiknya, Ron. Mereka berdua baru saja melewati jalan yang kurang nyaman untuk dilewati. Banyak belokan, jalan bercabang, kerikil, bahkan bebatuan besar di tepian cukup sering mereka jumpai.Ada perasaan gusar bercampur protes yang mengiringi perjalanan. Dhanu dan Ron bergantian saling menyalahkan atas kondisi yang saat ini harus bisa segera diselesaikan.“Belok kanan, Dhan! Aku yakin itu jalan yang benar!” seru Ron dari boncengan motor.“Kau yakin kali ini, Ron? Jika tidak, kita akan tersesat semakin jauh!”“Yakin sekali. Pasti ada warga di ujung jalan sana. Satu petunjuk saja, kita bisa pulang dengan segera.” Ron menggebu-
Rumah minimalis dua lantai, dengan garasi mobil dan teras depan yang tidak terlalu lebar. Di sinilah Nayra dan Dhanu tinggal. Kado pernikahan dari orangtua Dhanu memang menakjubkan. Sebuah rumah yang menjadi awal kehidupan baru setelah pernikahan.Hanya saja, rumah Nayra dan Dhanu terletak cukup jauh dari rumah orantua Dhanu. Letak rumah baru itu dipilih karena orangtua Dhanu juga memikirkan pekerjaan putranya. Sehingga, Dhanu tidak perlu lagi mengontrak rumah di dekat perusahaan tempatnya bekerja.Nayra, setelah menikah dengan Dhanu dia masih belum memikirkan untuk kembali bekerja. Lagipula, Dhanu meminta Nayra untuk terus menemaninya. Paham posisi dan status sebagai istri, membuat Nayra dengan ringan hati menuruti keinginan sang suami.“Mas, ayah ibu Mas Dhanu barusan telepon.”“Ada apa katanya?”“Ada yang kirim kado pernikahan buat kita di rumah sana, Mas.”“Akan kutelpon adik-adikku dulu. Biar ka
Cafe yang terletak di depan pusat perbelanjaan besar menjadi tempat pertemuan Erika dan Soraya. Baru saja keduanya tiba dan belum memesan makanan ataupun minuman. Baru duduk, mereka berdua sudah menjadi pusat perhatian. Seperti biasa, dua wanita modis ini tampak segar dengan style berpakaian mereka. Tidak heran jika beberapa pengunjung curi-curi pandang.Tidak hanya penampilan modis Erika dan Soraya yang menjadi perhatian. Kotak kado berukuran sedang beserta buket bunga mawar segar tak luput dari perhatian. Erika yang membawanya. Sebelum memberikan pada si penerima, Erika berniat meminta pendapat Soraya.“Yakin mau ketemu Mas Dhanu sama Nayra?” tanya Soraya dengan ekspresi tegasnya.“Iya, yakin. Lagipula, kesalahpahaman waktu itu harus diluruskan. Aku tidak ingin dicap buruk oleh Dhanu gara-g
Pernikahan Nayra dan Dhanu berlangsung hari ini. Tamu undangan berdatangan menyaksikan momen istimewa yang begitu sakral. Janji suci Nayra-Dhanu telah dilaksanakan. Kini, Nayra dan Dhanu resmi menjadi pasangan halal.Dua keluarga besar turut menyaksikan. Ada pula Ron yang ikut serta hadir menyaksikan momen bahagia sahabatnya. Pak Bos Besar juga sempat hadir menyaksikan, tapi langsung bergegas pulang karena ada kepentingan. Soraya, jangan tanyakan dia. Tentu saja Soraya tidak hadir dalam momen sah Dhanu dan Nayra. Apalagi Erika, dia pun tidak hadir di sana.Ada lagi yang tidak hadir dalam momen bahagia itu, yakni Bintang. Ya, Bintang benar-benar menepati ucapannya. Dia tidak hadir di acara pernikahan Nayra. Akan tetapi, ada yang aneh. Usai momen sah Dhanu dan Nayra, sang ibu justru berulang kali menengok ke depan rumah. Katanya ada yang sedang ditunggunya.
Tawa renyah memenuhi ruang keluarga. Dua adik perempuan Dhanulah yang tertawa renyah. Mereka berdua asyik menyantap nasi goreng buatan Nayra, sambil mengusap-usap lembaran mata uang berwarna merah. Baru saja Dhanu berhasil menyogok dua adik perempuannya agar tidak mengadu pada ayah dan ibunya. Dan, usaha itu berhasil. Dhanu dapat bernafas lega tanpa ancaman aduan perihal tindakan spontan yang gagal dilakukan saat di dapur barusan. Meski aduan itu berhasil digagalkan, tapi Dhanu tidak lepas dari nasihat yang Nayra lontarkan. “Lain kali jangan gitu lagi, Mas. Nyogok itu nggak baik,” nasihat Nayra dengan suara lirih yang tentunya bisa didengar oleh Dhanu seorang. “Iya-iya. Siap. Cuma sekali ini saja kok, Nay. Hehe.” Nayra geleng-geleng kepala. Namun, Nayra berusah