"Mbuh, Jev! Jembek, sumpah!" Tangisan Rani semakin keras, membuat Syahid dan Haikal terkesiap. Begitu juga dengan Jevano, sebenarnya. Namun, lelaki itu memilih untuk tetap diam dan menatap gadis itu dengan tajam."Ran," tegur Syahid yang mengambil alih Rani. Dia berisyarat dengan kepala ke Arina untuk mengurus Jevano. Rani biar dia yang mengurus. "Ran, udah." Lelaki jangkung itu melebarkan kakinya dan menundukkan badannya untuk bisa menyetarakan diri dengan gadis itu. "Cup, ya. Jangan nangis lagi." Dia memeluk gadis mungil itu.Rani memukul lengan Syahid kesal. "Diem!""Iya. Iya. Aku diem." Syahid menempelkan kepala Rani ke pundaknya untuk bersandar. Dia mengusap pipi dan kepala gadis itu untuk menenangkan. "Jevano pasti punya alasan tersendiri, ya. Dia enggak akan ninggalin kita, kok."Arina melihat Syahid yang sudah membuat Rani mereda. Lalu, dia menoleh ke Haikal. Lelaki itu malah mengangkat bahunya dan duduk di sofa seberang. Terlihat tidak mau ikut campur. Dia menghela napas. Das
"Hai, Mas. Jevano bagaimana?" tanya Juwita di seberang sana. Suaranya terdengar khawatir."Dia baik-baik aja. Kamu tenang, ya. Fokus sama pekerjaan kamu dahulu. Aku tadi belum sempat untuk bicara lebih dalam sama dia. Mungkin nanti saat pulang. Dia udah kelihatan bete banget. Saat aku tanya yang menjurus ke pembahasan kamu, dia malah diam. Aku enggak meneruskan. Kengitan kamu yang khawatir sama mood-nya di sekolah." Jamal baru saja memasuki pintu utama kantor perusahaan. Sesekali dia membalas sapaan para pekerja yang lain kepadanya. Tidak lupa dengan senyuman yang selalu memamerkan lesung pipinya kepada semesta. Maunya, sih, ramah. Akan tetapi tetap saja ada yang baper.Sama seperti dua karyawan wanita yang baru saja datang untuk menunggu lift di sampingnya. Jamal menyapa mereka dengan senyuman ramah dan kembali menghadap lift yang sedang turun. Kedua wanita itu membalas sapaan tanpa suara itu dengan senyam-senyum kegirangan. Bahkan mereka saling memukul kecil satu sama lain."Oke, ka
Seperti biasa, Jamal menyapa pegawai yang bisa dia sapa di sepanjang jalan menuju ruangannya. Terkadang dia akan berhenti sejenak untuk menanyakan keadaan mereka. Tidak hanya keadaan pekerjaan, keadaan diri atau keluarga juga jika pegawai tersebut sudah memiliki keluarga. Bukan apa-apa, itu adalah salah satu pelajaran yang dia dapatkan sejak dahulu, peduli dengan bawahan. Bahkan sapaan hangat saja akan sangat berharga untuk kelangsungan dan kelancaran pekerjaan.Tak dapat dipungkiri, cerita tim divisi pemasaran yang memiliki atasan tampan dan ramah itu langsung menyebar ke divisi yang lain. Hanya saja mereka melupakan satu kenyataan yang bisa membuat patah hati seperusahaan bahwa Jamal sudah beristri. Maka dari itu, sampai sekarang masih saja ada yang berharap. Kasihan.Rutinitas Jamal saat tiba di ruangannya adalah pertama, meletakkan tas kerjanya di atas meja dan mengeluarkan berkas yang sengaja dia bawa pulang untuk diselsaikan di rumah, lalu dia mengecek ulang berkas tersebut sebe
Seperti yang sudah direncanakan, Jamal memimpin rapat divisi pemasaran sambil menunggu tim pengembangan ide dan riset mempersiapkan bahan yang akan disampaikan tentang usulan produk terbaru. Rapat berlangsung cepat, hanya setengah jam. Jamal tidak ingin membuang waktu dan membatasi pertanyaan yang bisa membuat rapat meluber.Begitu pula saat memimpin rapat dengan tim pengembangan ide dan riset. Dia meminta tim untuk menyiapkan poin-poin yang akan disampaikan menggunakan ppt yang dibuat oleh tim kreatif saat itu juga. Sangat fleksibel untuk persiapan dan pemantapan sebelum mempresentasikannya di hadapan para petinggi perusahaan. Termasuk juga di hadapan sang mertua, pemilik perusahaan ANG Group.Jamal dengan jeli meneliti angka-angka yang tertera di atas kerta, file, dan mencocokkannya dengan laporan dari beberapa pihak. Daya analisisnya cepat dan tepat. Jangan lupakan fakta bahwa Jamal duli juga pekerja kantoran dengan kinerja yang baik. Memang sayang sekali talenta pria ini harus dib
"Boss Jamal!" panggil Arjuna di depan pintu rapat. Mereka menunggu sampai semua anggota rapat yang diundang masuk.Jamal yang sudah merapikan pakaian dan bersiap diri pun menoleh. Sebenarnya agak malas dia meladeni asisten yang memang menurut tapi sering bikin naik darah ini. Apalagi panggilannya malah bertambah. Yang tadinya hanya Pak Jamal menjadi boss dan sekarang Boss Jamal. Aneh-aneh saja. Tapi, bagaimanapun dia masih berlapang dada untuk merespon pria tersebut."Hwaiting, Oppa!"Sejujurnya, Jamal ingin tertawa dengan kelakuan ajaib pria ini yang sangat centil. Apalagi Arjuna juga bertingkah seperti perempuan yang sedang menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Lalu, dia mengedipkan sebelah mata.Jamal membulatkan matanya garang. Sempat-sempatnya si asisten ini.Arjuna pun berdehem dan ikut menegapkan posturnya. "Maksud saya, Anda jangan grogi dan jangan terlalu terbebani banyak pikiran. Anggap saja seperti rapat yang biasanya Anda pimpin," bisiknya kemudian."Ini di depan para
Jamal memasuki ruangannya terlebih dahulu. Di belakangnya, ada Arjuna yang melangkah dengan kesal, mengikuti. Pria itu menutup pintu ruangan atasannya dengan cukup keras."Boss! Anda ini sudah gila, ya?" Arjuna menghentikan langah di depan meja Jamal dengan menghentakkan kakinya cukup kuat.Jamal bersandar ke kursinya sambil menghela napas berkali-kali. Dia sendir saja tidak menyangka kenapa dia bisa memberikan penawaran sebegitu enaknya. Bukan enak, sih, lebih tepatnya. Sebut saja dia tadi ceroboh."Boss. Ini nanti belum riset bahan, kemasan, desain, penentuan target pasar, iklan, model ... masih banyak banget, Boss! Itu baru lokal, loh. Model internasionalnya? Iklan di sana? Boss ini udah gila beneran." Arjuna terus saja mengomel dengan keputusan yang dibuat oleh Jamal
Jevano menyimpan gawainya di saku celana. Dia menyandarkan punggungnya secara keseluruhan. Napasnya berat terdengar."Dari tadi pagi, masih aja wajahnya kayak fermentasi susu," ucap Haikal yang duduk di samping Jevano di kursi bagian belakang. Arina yang duduk di samping sopir hanya menoleh tanpa berkomentar.Ya, Jevano dan Haikal menumpang kendaraan gadis cantik itu. Ajakan Haikal, sebenarnya."Fermentasi susu juga enggak kalah banyak manfaatnya. Bahkan banyak yang lebih mahal."Lengan Jevano langsung dipukul setelah mengatakan hal itu. Dia hanya tersenyum sekalian dengan matanya."Turunin anak ini di sini aja, Pak. Enggak usah dianterin." Haikal mendorong-dor
"Kenapa enggak bilang-bilang, sih, mau ke rumah Nenek?" Nyonya Anggari langsung turun dari mobil dan menghampiri Jevano. Dia memeluk cucunya dan menyambut dengan sukacita.Jevano tersenyum lebar, menghilangkan matanya yang juga ikut tersenyum. "Enggak lama, kok, Nek. Jevano cuma mau pinjem kunci serep rumah karena Ayah yang bawa kunci.""Loh?" Nyonya Anggari hendak bertanya tentang penyebab cucunya yang kesasar kemari, tapi dia melihat mobil yang ada di samping Jevano.Di dalam mobil, Arina dan Haikal menyaksikan pelukan hangat yang sangat manis tersebut. Mereka saling bertukar pandang dan memberikan sinyal. Isi kepala mereka sama. Maka, tanpa aba lagi, saat melihat nenek Jevano sedang meneliti mobil, mereka langsung turun.
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.