Jevano masih terdiam saat Syahid selesai menjelaskan tentang keadaan umum yang dihadapi oleh anak-anak yang seperti mereka. Napasnya terdengar berat. Ternyata dunia yang dia masuki tidak sesimpel yang dia pikirkan. Tapi kenapa ayahnya terlihat sangat santai dan seperti tidak ada kesusahan sama sekali, kecuali lebih sibuk kerja. Ah, mungkin ayahnya juga sudah terbiasa dengan dunia bisnis dan kantoran, mengingat sang ayah juga dulu pekerja kantoran.
"Kenapa ayahku enggak pernah cerita ke aku tentang masalah kayak gini, ya? Padahal, Ayah selalu mengingatkan aku kalau ada sesuatu penting dalam kehidupan kita. Maksudku, Ayah selalu mengajariku hal-hal yang perlu diperhatikan lebih. Apa Ayah juga enggak tahu tentang dunia yang kayak gini, ya?"
Syahid memandang Jevano yang terlihat sangat tertekan itu. Dia tersenyum, lucu juga
Para tamu undangan berangsur pulang. Ruangan acara digelar pun mulai lenggang. Hanya tertinggal para panitia penanggung jawab acara dan karyawan perusahaan ANG Group sendiri. Tentu saja keluarga Anggari masih lengkap di sini.Arjuna menepuk pundak Jamal dan memeluk kakaknya itu dari belakang. "Kakak," sapanya masih penuh dengan tenaga meskipun malam sudah mulai larut.Jamal menahan berat badan Arjuna dan menoleh sedikit ke belakang. Dia berdehem."Kakak mau ikutan sama yang lain enggak?" tanya Arjuna. Dia menunjuk ke karyawan yang sudah berjajar di salah satu sudut ruangan. Mereka melambai ke Jamal.Jamal tersenyum simpul. Dia menepuk tangan Arjuna dan menggeleng. "Kalian aja berangkat. Aku harus pulang bersam
Seperti yang telah direncanakan kemarin, Jamal dan keluarganya akan mendatangi rumah utama keluarga Anggari. Maka dari itu, dia sudah berencana mengajak istri dan anaknya untuk berbelanja hari ini untuk membuat oleh-oleh. Masalahnya, tubuh mereka yang kelewat capek kemarin membuat mata mereka tidak bisa terbuka di pagi seperti biasanya. Bahkan Jevano yang biasanya bangun paling rajin pun masih tenang dalam tidurnya. Dia memeluk sang ayah dan mendapatkan posisi nyaman di badan kekar itu. Sang bunda memeluknya dari belakang.Kalau bukan karena mimpi dikejar kucing, mungkin Jevano tidak akan terbangun. Napasnya sedikit memburu. Keringat dingin keluar dari pelipisnya. Dia melihat sang ayah yang masih terlelap. Dia malah mendusel lagi dan ingin meneruskan tidurnya yang terputus karena mimpi aneh dikejar kucing oren itu. Dia memejamkan matanya lagi.
Makan malam telah selesai. Keluarga Anggari juga sudah berbincang banyak hal dan menghabiskan waktu bersama. Jevano banyak bercerita tentang teman-temannya di sekolah. Tuan dan Nyonya Anggari mendengarkannya dengan senang hati. Ternyata seru juga mempunyai cucu. Sudah lama mereka tidak momong anak. Mereka jadi teringat dengan Juwita di masa remaja. Anak mereka itu juga suka bercerita tentang teman-temannya. Bahkan mereka sampai hafal dan mengenal teman-teman Juwita. Keuntungannya, mereka bisa membangun relasi dengan keluarga teman-teman Juwita tersebut."Padahal Jevano bukan anak kamu, Juwita, tapi kenapa dia mirip banget sama kamu waktu masih muda dulu." Nyonya Anggari mengenang. Dia mengelus kepala Jevano dengan rasa sayang yang penuh, seperti cucu sendiri.Juwita hanya menanggapinya dengan senyum simpul. Jamal meliha
Jamal membiarkan Juwita dan keterdiamannya selama perjalanan menuju butik wanita itu. Dia hanya sesekali melirik dan mencuri pandang, memastikan bahwa wanitanya ini tidak menangis."Kamu nanti naik apa pulang?" tanya Jamal yang tidak betah ternyata dengan kesunyian yang tercipta di antara mereka.Juwita masih diam dalam beberapa hitungan waktu. Dia menghela napas dalam. "Entah, mungkin aku nebeng Erika atau siapa gitu.""Kalau misalnya aku jemput? Kita jemput Jevano bareng, gimana?""Enggak usah. Nanti malah mengganggu jadwal kamu. Orang kantor pasti kasih kamu banyak ucapan dan bakalan ada banyak perayaan kecil buat kamu. Kamu nikmatin aja. Biar aku yang urus Jevano."
Jevano hanya diam di tempat duduknya saat makan. Sudah tiga hari ini tidak ada percakapan yang keluar saat dia dan orang tuanya bersama di ruang makan. Biasanya mereka akan membahas banyak hal bahkan sampai sesuatu yang paling konyol sekali pun. Tak jarang pula mereka membahas sesuatu yang tidak penting sama sekali.Akan tetapi, kali ini berbeda rasanya. Ya, tentu saja sangat berbeda. Semenjak pulang dari rumah kakek nenek, Jevano merasa ada sesuatu yang menghalangi antara ayah dan bundanya. Dia tidak tahu apa itu. Dia juga terlalu takut untuk angkat bicara kalau suasananya seperti ini."Jevano, selesaikam makanan kamu dan ayo berangkat. Bunda ada acara dan jadwal meeting pagi ini." Juwita memberikan titah. Dia sendiri sudah selesai makan dan membawa piringnya di dapur. "Bunda mau menyiapkan tas Bunda dulu. Kamu tunggu di mob
Syahid sedang membaca buku pelajaran tambahan yang diberikan oleh orang tuanya saat Jevano masuk ke ruangan mereka. Baru mereka berdua yang datang."Yang lain mana?" tanya Jevano santai dan melepas tasnya. Dia duduk di sofa yang panjang.Syahid mengangkat pandangannya. Dia mengedikkan bahu. "Enggak tahu. Aku juga enggak ditelepon sama Rani kalau mau telat.""Emang ini udah telat?""Biasanya kami yang datang terakhir, Jevano. Inget."Jevano tersenyum. Benae juga kata Syahid. Dia menilik jam tangannya dan masih ada kelebihan jam yang lebih banyak dari pada biasanya. Kalau dipikir-pikir, kali ini dia memang berangkat lebih awal. "Bunda ada janji sama orang, jadi n
Hari ini adalah janji temu Juwita yang telah diatur oleh Hari untuk pergi ke dokter. Tentu saja dia memilih rumah sakit tempat Hellen bekerja. Sekalian dia ingin bertemu dengan sahabatnya yang sudah lama tidak dia kunjungi itu. Dia sengaja pergi pagi agar bisa mercoki Hellen yang pasti masih siap-siap di ruangannya.Juwita mengetuk pintu ruangan Hellen. Dia masuk setelah diberi izin oleh wanita itu."Kak Juwi?" Hellen membolakan matanya dan langsung berdiri. Dia melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat. "Bundanya Jevano, apa kabar?" tanyanya dengan menggoyangkan pelukan mereka ke kanan dan ke kiri."Baik. Lo gimana? Sesibuk itu sampai enggak baca chat dari gue?" Juwita melepaskan pelukan temannya."Loh
Makan malam kali ini terasa sedikit sepi. Sebenarnya, Jevano sangat senang saat mengetahui bahwa Jamal pulang terlebih dahulu dan menyiapkan mereka makan malam. Akan tetapi kejumudan yang masih melanda di ruang makan ini membuat Jevano masih merasa berat. Apalagi saat dia melihat mata bundanya yang sedikit membengkak. Dia juga bisa melihat semburat merah di hidung sang Bunda.Jamal memandang anaknya. Dia tahu bahwasanya Jevano hendak mengatakan sesuatu."Kamu mau ngomong apa, Jev?" tanya Jamal saat melihat Jevano yang menunduk kembali setelah mengangkat pandangannya, melihat Juwita.Jevano menggeleng pelan. Dia melihat ke arah bundanya lagi dengan agak ragu. "Bunda, apa aku boleh bilang ke Ayah?"Juwita mengangkat k
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.