Jevano melihat-lihat beberapa gawai yang dipajang. Dia membaca satu-satu keterangan yang ada di sampingnya. Sang bunda mengikutinya dan memperhatikan cara anaknya memahami gawai-gawai tersebut."Ini yang keluaran baru, Kak. RAM dan juga penyimpanannya besar. Cocok buat anak muda yang suka main game. Kapasitas baterainya juga enggak main-main, bisa tahan lama." Salah satu sales yang berjaga di toko itu menghampiri mereka dan menunjuk ke salah satu produk di depan Jevano.Jevano mengangguk. Dia juga tertarik dengan yang ditawarkan oleh sales wanita itu. Tadi dia juga mencoba untuk melihat-lihat isi dan kinerjanya. Itu memang gawai yang sangat berkualitas. Namun, saat membalik kertas keterangan gawai tersebut, Jevano menahan napas. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Harganya tidak main-main."Kamu suka apa enggak, Jev, sama yang ini? Kalau iya, biar sekalian dibantu Mbak-nya." Juwita bisa melihat ketertarikan di mata anaknya.SEBELAS JUTA. Itu saja total jika diskon yang ada ditera
Mobil putih itu berhenti di garasi rumah. Mesinnya sudah mati total dan dengan otomatis kunci pintu terbuka. Hawa dingin dari air conditoner sudah tidak berhembus lagi. Menambah gerah lelaki yang masih terduduk di bangku penumpang depan itu."Enggak turun, Jev?" tanya Juwita, merasa ada yang aneh dengan anaknya.Jevano hanya melihat sejenak ke bundanya dan mengangguk. Tidak ada lagi wajah terkekeh ataupun senyuman yang bersahabat seperti tadi. Pemuda itu kembali dengan wajah lempengnya yang lebih mirip triplek ganteng. Harap jangan lupakan fakta bahwa dia adalah anak dari Jamal yang tampan.Ibu dan anak sambung itu turun dari kendaraan dan menuju ke bagasi. Sudah ada dua pelayan mereka yang menunggu. Awalnya Jevano heran, kenapa ada dua orang yang mendatangi mereka dan berdiri di belakang mobil. Pertanyaannya pun terjawab saat Juwita membuka pintu bagasi. Dua pelayan itu dengan segera mengambil barang-barang belanjaan mereka, akan membawakannya masuk ke rumah."Tolong taruh di ruang t
Jevano menggigit bibir dalamnya. Dia tidak berani angkat bicara."Iya, Mas. Jevano pasti perlu semua itu." Juwita menjawab, masih dengan nada yang sangat antusias. Dia tidak tahu saja sedari tadi anaknya sudah ketar-ketir tak karuan. Terlihat dari mata anaknya yang bergetar.Sedangkan Jevano, dia hanya bisa mengangguk kaku lalu menunduk. Dia melihat wajah ayahnya sedang menahan sesuatu. Dia tidak jadi bernapas dengan lega meskipun dibantu oleh sang bunda."Perlu semuanya, Jev?" tanya Jamal dengan datar.Seketika tubuh Jevano membeku. Kepalanya mendongak dan menatap ayahnya penuh. "Sepertinya begitu, Yah. Tan-Tante yang anjurin buat beli laptop dan tablet." Padahal dia juga tidak terlalu tahu tentang kebutuhannya di sekolah nanti apa. Yang penting sekarang dia harus menyelamatkan sebagian nyawanya yang mulai menguap."Oh, Bunda, ya, yang anjurin?" Nada Jamal memang sangat slow tap
Gemericik air di kamar mandi masih terdengar jelas. Belum ada tanda-tanda dari orang yang sedang membersihkan tubuhnya itu untuk segera keluar dari sana. Sekitar lima belas menit berlalu dan pemuda yang sudah puas menyegarkan badannya itu keluar dengan celana tiga perempat tanpa baju atasan. Rambutnya basah dan dia tutupi dengan handuk yang tersampir di kepalanya."Astaga, Ayah!" Jevano hampir terpeleset ke belakang saat melihat ada sosok pria yang duduk di kasur, menghadap langsung ke pintu kamar mandi. Lampu kamarnya juga belum dinyalakan, membuat penerangan di kamarnya menjadi sangat temaram, hanya ada cahaya bulan. Sudah seperti adegan film horor thriller saja.Pemuda itu menyentuh dadanya, merasakan detak jantung yang semakin cepat memacu karena kejadian barusan. Pacuan itu semakin kuat saat otaknya yang sangat pintar itu dengan setia menyegarkan memori tentang ayahnya. Huft, mungkin ini saatnya dia mendapatkan pelajaran kedislipinan dari ayahnya."Ada apa, Ayah?" tanya Jevano me
Mata Juwita berbinar ketika sampai meja makan. Dia melihat jajaran beberapa menu yang ada di atas meja. Hiasan dan suasana yang disiapkan oleh suaminya sungguh sangat menyentuh. Ada lilin-lilin yang dinyalakan untuk menemani makan malam mereka bertiga. Dia sampai tidak bisa berkata-kata."Mas? Ini semua?" tanya Juwita tidak tahu mau bilang apa.Jamal menoleh lalu mengangguk ringan. Dia tersenyum tampan dan mengulurkan tangannya. Dia pun disambut. "Udah turun ternyata. Silakan." Dia memperlakukan Juwita seperti seorang putri bangsawan. Dia mempersilakan istrinya untuk duduk.Jevano yang sudah duduk rapi sedari tadi di depan orang tuanya itu hanya bisa melongo. Apa yang baru saja dia lihat? Baru kali ini dia melihat ayahnya romantis dengan wanita seperti itu. Ya, memang selama ini dia tidak pernah melihat ayahnya mempunyai hubungan dengan wanita mana pun. Agak syok juga mengetahui kenyataan bahwa ayahnya yang tegas bisa jadi orang yang sangat romantis dan ... bucin? Astaga."Selamat mak
Tuan dan Nyonya Anggari pulang ke rumah. Saat itu, Jevano sedang membaca di perpustakaan kakeknya dengan sangat serius. Dia sampai tidak tahu bahwa kakek dan neneknya sudah kembali."Jevano!" Sapaan riang Tuan Anggari itu membuat Jevano kaget dan langsung berdiri dari duduknya. Tubuhnya serasa kaku, seperti maling terpergok warga. Dia pun lega saat melihat wajah senyum kakeknya di ambang pintu. Pria paruh baya itu membentangkan kedua tangannya.Jevano ikut tersenyum. "Kakek." Dia melangkah mendekat ke kakeknya dan mengijabahi ajakan pelukan pria tersebut."Astaga, Kakek tinggal berapa lama di sini dan kamu sudah berisi." Tuan Anggari menepuk pundak dan punggung cucunya, merasakan otot pemuda itu yang semakin kencang dan bervolume.Jevano hanya bisa terkekeh malu. Di balik pelukan kakeknya, dia bisa melihat sang nenek yang baru saja datang. "Nenek," sapanya sopan.Tuan Anggari melepaskan pelukannya dan menoleh ke belakang. Ternyata sang istrinya sudah ada di sana. "Gimana? Juwita di ma
Setelah beberapa saat Jevano dikacangin oleh kakek dan neneknya, akhirnya sang kakek menotis dirinya yang hanya diam merana sendirian."Oh, iya. Katanya kamu udah punya hp baru, Jev. Bagi nomer dong. Nanti kalau Kakek gabut, Kakek telepon kamu aja." Tuan Anggari telah melepas pelukannya dari sang istri. Mereka juga sudah duduk normal kembali. Ah, memang pasangan yang sudah berumur ini tetap awet mesraannya. Pria itu merogoh kantongnya dan mengeluarkan benda pipih tersebut kepada cucunya.Jevano maju dan menerima gawai kakeknya. Dia menelan ludah sejenak, Samsung fold. Astaga, berapa uang yang harus dikeluarkan untuk benda ini. Untung saja dia juga tidak katrok. Dengan santai, dia membuka lipatan gawai itu. Layarnya menyala, menampilkan gambar dirinya yang sedang serius membaca di meja baca kakeknya. Kalau tidak salah, baju yang ada di foto itu adalah baju yang dia pakai lima hari yang lalu. Dia mendongak, melihat kakeknya."Ada apa, Jev? Ada yang salah sama hp Kakek? Apa nge-lag lagi,
Malamnya, Jamal sekeluarga benar-benar pindah rumah setelah selesai berkemas. Tuan dan Nyonya Anggari melepaskan kepergian mereka di depan rumah. Sebenarnya mereka sangat berat sekali untuk melepaskan keluarga kecil anak semata wayangnya ini. Mereka baru saja merasakan suasana keluarga yang utuh. Sudah lama mereka ingin mempunyai anggota keluarga tambahan yang bisa meramaikan rumah mereka. Akan tetapi, mereka juga tidak bisa apa-apa karena kemauan anak mereka yang ingin hidup lebih mandiri dengan keluarganya."Sering-sering main ke sini, Jevano," pinta Nyonya Anggari sambil memeluk cucunya. Sempat ada rasa menyesal karena dulu dia terlalu meremehkan pilihan Juwita. Dia pikir, status sosial yang tidak sama akan membuat dirinya keki dengan cara bersosialisasi Jamal dan Jevano. Ternyata dia salah. Bahkan Jevano tidak terlihat keki meskipun cenderung pendiam. Bahkan entah mengapa, dia selalu ingin menghabiskan waktu untuk berbicara dengan cucunya ini. Seperti ada daya tarik tersendiri dar