Hari ini Juwita kedatangan klien dari luar Jawa yang minta dibuatkan gaun untuk acara lomba fashion show yang akan diikuti oleh klien itu. Dia melayani bersama beberapa pekerjanya dengan cekatan dari memilih bahan di gudang kain yang dia miliki hingga memberikan beberapa saran model baju sesuai keinginan. Dia juga sudah terbiasa untuk memadukan warna bahan agar pas di kulit klien.
Hampir setengah hari dia berkutat dengan kliennya itu dan baru beristirahat setelah jam tiga sore. Begitu pula dengan beberapa pekerjanya yang membantu dirinya untuk melayani klien tadi. Belum lagi dia juga harus memantau perkembangan produksi kolaborasi yang akan dirilis satu minggu lagi. Dia benar-benar hampir kewalahan dengan pekerjaannya sendiri.
"Kalian makan siang dulu, deh. Makasih banyak udah bantu seharian." Juwita menyodorkan beberapa lembar uang merah kepada asistennya, Erika. Tentu saja untuk mengapresiasi kerja sama yang baik antar pekerjanya tadi. Itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan Juwita saat puas dengan kinerja mereka. Para pekerjanya juga sudah hafal dan malah berusaha memberikan yang terbaik sebagai balas budi lebih.
"Tapi, Ibu juga belum makan dari tadi," ucap Erika, sungkan.
"Enggak papa. Habis ini saya harus pergi ke rumah sakit. Kamu jaga di sini, ya. Nanti jam lima ada klien yang bakalan ambil bajunya. Tanya aja ke Tia. Dia yang nyimpen baju klien yang biru payet itu, loh. Terus nanti jam tujuh malam kayaknya bakalan ada yang fitting baju kondangan warna maroon yang kemarin Sabtu. So, minta yang lain buat memberikan pelayanan yang terbaik, ya. Kalau ada yang datang selain itu, mending kasih waktu janjian aja. Saya percaya dengan kinerja kalian."
"Baik, Bu." Erika mengangguk paham. Dia adalah salah satu pekerja yang paling lama dan paling tahu dengan selera Juwita.
Juwita meneguk air putih yang telah disiapkan di mejanya sampai habis. "Ah, tapi kalian jangan sampai kemalemam juga. Maksimal jam sepuluh malam udah tutup. Kalau ada rombakan atau permintaan perubahan dikit dari klien, nanti kamu yang tangani, ya, Er. Kamu tahu, 'kan, bagaimana biasanya? Jangan lupa minta Bu Hartini untuk memantau gaun yang belum jadi, yang buat pameran kolaborasi itu."
Erika mengangguk. "Iya, Bu. Siap. Btw, terima kasih banyak, ya." Dia melambaikan beberapa lembaran merah yang tadi diberikan Juwita kepadanya.
Juwita mengibaskan tangannya sambil tersenyum sambil menyeringai, menggoda. "Hmmm, tadi bilang apa, cayang?" Dia malah mengeluarkan suara untuk mencandai Erika.
"Makacih, Ibu."
Mereka berdua tertawa. Terlalu lama bekerja bersama membuat selera humor mereka hampir sama. Juwita pun beranjak dari duduknya dan membawa tasnya. Senyumannya masih terpatri di wajahnya.
"Makasih banyak juga, ya." Dia menepuk pundak Erika dan berpamit pergi.
Tujuannya sekarang adalah ke rumah sakit. Meskipun sangat disibukkan dengan pekerjaannya, dia tidak lupa untuk pergi menjenguk Jamal untuk mengetahui keadaan pria itu.
Di perjalanan menuju rumah sakit, Juwita mampir ke restoran untuk membawakan beberapa makanan. Dia yakin pasti Jevano juga ada di sana untuk menjaga sang ayah. Melihat pemuda itu sangat sayang dan mau menghabiskan waktu untuk merawat orang tuanya, membuat dirinya tersentuh. Dia ingin berbagi kebahagian dengan Jevano, berharap juga bahwa pemuda tersebut tidak akan menolak pemberiannya.
Omong-omong tentang Jamal, keadaan pria itu sudah membaik. Apa yang diprekdisikan dan didiagnosis oleh dokter Ari juga benar. Jamal terkena radang usus buntu. Dengan persetujuan yang telah disepakati oleh mereka tempo lalu, Jamal pun mendapatkan perawatan intensif. Dia dioperasi dua hari yang lalu dan sekarang kondisinya mulai pulih kembali.
Juwita jadi teringat dengan perkataan Ari saat dia bertanya tentang keadaan Jamal. "Pak Jamal ini juga gizinya buruk, Kak. Aku mau tangani dia juga harus memedulikan kondisi tubuhnya."
Dengan antusias, Juwita langsung meminta Ari untuk melakukan yang terbaik. "Apa aja, pokoknya. Yang penting Pak Jamal kembali sehat wal afiyat. Utang budiku besar, Ri. Bayangin aja Mama Papaku kayak gimana kalau aku enggak ditolong sama Pak Jamal ini. Jadi, kalau emang butuh perawatan lebih lanjut lagi, berikan yang terbaik. Aku enggak main-main ini."
Kala itu Juwita ditemani oleh Hellen untuk berbicara dengan Ari.
Pria itu melirik ke Hellen, memberikan isyarat akan sesuatu. Hellen melotot dengan tatapan ancamannya. Ari tertawa, teringat dia berdebat dengan Hellen tentang menguras isi dompet Juwita. Dia tidak setega itu juga kali. Apalagi saat melihat betapa baiknya Juwita memberikan hartanya untuk membalas budi. Dia juga masih punya hati. Bahkan dia ikut memberikan kemurahan hatinya dan mengatakan kepada Juwita untuk membayar biaya operasi setengah saja.
Kembali ke Juwita yang memesan makanan di restoran. Setelah pesanannya selesai, dia segera menuju rumah sakit. Tidak lupa dia selalu menelepon Hellen terlebih dahulu dan mengabarkan kedatangannya.
Ketika sudah sampai lobi, Juwita segera menuju ruang istirahat yang disediakan untuk para dokter yang sedang bertugas. Dia sudah hafal kamar yang biasa digunakan oleh sahabatnya itu. Pun para dokter yang lain juga kenal baik dengan Juwita. Bagaimana tidak, sahabat wanita itu adalah anak pemilik rumah sakit tersebut. Ya, siapa lagi kalau bukan Hellen.
"Nanti kalau Hellen udah ke sini, tolong bilang, ya, saya ada di kamar VIP biasanya." Juwita memberikan bungkusan makanan yang dia beli kepada orang yang ada di ruangan itu.
Segera, Juwita menuju tempat yang menjadi tujuan utamanya berkunjung di rumah sakit itu. Dia menaiki lift untuk mencapai lantai empat. Langkahnya mantap di atas sepatu hak tingginya. Senyumannya juga terpatri di wajahnya. Dia sudah membayangkan bagaimana melihat wajah semringah yang datar ala Jevano. Begitu pula eye smile pemuda itu.
Keluar dari lift, Juwita mengeratkan genggaman tangannya di tas kertas yang dia bawa. Dia telah menyiapkan banyak kata untuk mengajak bicara Jevano si pendiam itu. Pun dia juga sudah merangkai kalimat untuk membujuk Jamal agar dia masih diperbolehkan untuk membawakan makanan ke esokan harinya untuk Jevano. Kalau untuk Jamal, tentu saja sudah ditangani oleh pihak rumah sakit.
Juwita berdiri sejenak sambil menghadap pintu coklat ruang rawat Jamal. Dia menghela napas pelan dan mengulurkan tangannya. Baru saja pintu geser itu sedikit terbuka, dia bisa mendengarkan percakapan antara dua orang yang ada di sana. Dia yakin itu adalah suara Jamal dan anaknya. Dia pun memberanikan diri untuk mengintip kaca yang ada di pintu. Benar dugaannya.
Di dalam ruangan, Jamal terbaring di kasurnya dan masih tidak boleh banyak bergerak pasca operasi. Lukanya perlu waktu untuk kering juga meskipun tidak lebar.
"Jadi, sudah waktunya pendaftaran, ya? Sudah daftar di sekolah yang Ayah kasih tahu waktu itu?" tanya sang ayah, Jamal.
Jevano menggeleng. "Maaf, Ayah."
"Kenapa, Jevano? Ayah, 'kan, sudah bilang untuk masuk ke sekolah favorit itu. Banyak yang bisa kamu raih di sana, nak. Fasilitas untuk mengembangkan bakat kamu juga akan terpenuhi." Suara Jamal terdengar berat.
"Aku enggak setega itu juga buat masuk ke sana. Aku juga mikir Ayah. Ayah aja sekarang masih di sini, dirawat. Ayah udah enggak kerja berapa hari? Kalau aku masuk ke sana, Yah, bisa-bisa kita enggak punya apa-apa lagi buat hidup." Jevano mengatakannya dengan menunduk dalam. Sebenarnya dia takut untuk melihat wajah ayahnya. Pria itu pasti marah.
"Kamu juga tahu kalau Ayah masih mampu menyekolahkan kamu di sekolah favorit itu. Dulu, waktu kamu SMP, kamu udah enggak bisa masuk ke sekolah yang kamu inginkan. Sekarang, Ayah sudah menyiapkan uang dan tabungan untuk sekolah kamu, Jevano. Daftar ke sekolah favorit itu, ya. Ayah harus menebus kekecewaan kamu yang dulu." Tangan Jamal mengelus kepala anaknya.
Jevano menggeleng lagi. "Enggak, Yah. Sekarang pun aku sekolah di mana aja, oke, kok. Dulu aku enggak mikir keadaan Ayah, keadaan kita. Sekarang aku bisa, kok, ngembangin bakat musik dan dance aku di sekolah mana pun. Enggak perlu masuk ke sana, Ayah."
Jamal menghela napasnya, merilekskan ototnya yang menegang karena menahan amarah. "Kalau begitu, kamu bakalan butuh biaya tambahan, Jevano. Dan Ayah enggak akan memberikan apa pun kecuali biaya sekolah."
Jevano terdiam. Kalau pun dia mengajukan diri dan membahas bahwa dia bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri pun pasti percuma. Ayahnya tidak akan mengijinkan hal yang seperti itu.
"Ayah merasa bersalah, Jevano. Ayah merasa belum bisa jadi ayah yang baik, yang bisa berikan kamu fasilitas layak, yang kamu butuhkan. Biarkan Ayah menebus yang dulu itu. Ayah juga ingin melihat kamu lebih berkembang lagi." Jamal memegang dagu Jevano dan mengangkat wajah anaknya agar melihat ke arahnya. Wajah Jevano sangat sendu. Itu menbuat hatinya teriris.
"Kamu juga tahu kalau kamu pintar. Ranking satu paralel di sekolah. Kamu butuh fasilitas yang lebih tinggi, Nak. Ayah yakin kamu juga mau membanggakan diri di depan Ayah. Tapi, kamu juga enggak tega sama keadaan Ayah sekarang. Ayah paham. Cuma, tolong bantu Ayah biar enggak terus-terusan merasa bersalah ke kamu. Kamu anak Ayah satu-satunya. Ayah bakalan beri kamu yang terbaik. Kamu harapan Ayah, Nak."
Tak terasa, air mata Jevano menetes. "Maafin Jevano, Ayah."
"Sini peluk Ayah." Jamal merentangkan tangannya. Dia menyambut pelukan anaknya dan memberikan kehangatan bagi pemuda itu. "Lihat kamu sekarang jaga Ayah di sini juga bikin Ayah sedih. Seharusnya kamu liburan sama temen-temen kamu yang lain. Tapi, kamu malah milih di sini sama Ayah."
Mereka melepaskan pelukan. Jevano kembali duduk di tempatnya. Kepalanya kembali dibelai oleh sang ayah. "Jevano anak baik. Nurut sama Ayah, ya."
Kalau begini Jamal seperti sedang menenangkan Jevano kecilnya dulu. Tidak terasa anaknya itu sudah besar. Hampir enam belas tahun. Dan selama lima belas tahun hidupnya bersama Jevano, dia merasa belum bisa memberikan yang terbaik bagi anaknya. Maka dari itu, ini saat yang tepat untuk menebusnya.
Jevano baru saja lulus SMP dan pendaftaran untuk masuk SMA sudah dibuka. Hal itu membuat Jamal semakin bertekad untuk cepat sembuh dan berusaha dengan keras demi mencukupi kebutuhan Jevano ke depannya.
"Jangan khawatir. Kamu enggak lupa, 'kan, kalau Ayah juga dapat promosi dari kantor. Setelah Ayah sembuh, Ayah akan bekerja keras untuk mendapatkan uang lebih biar kita bisa liburan." Jamal menyuguhkan senyuman yang sangat teduh untuk anaknya.
Jevano mengangguk. Hal itu lebih dari cukup untuk membuat Jamal bahagia meskipun dia juga sedang merasakan sakit di dadanya. Tidak, dia tidak mempunyai masalah di jantung ataupun paru-paru. Rasa sakitnya lebih dalam dari pada itu.
"Maafkan Ayah, ya, Nak. Ayah harus berbohong." Suara hati Jamal berbicara.
Di balik pintu masuk itu, Juwita masih berdiri di sana sambil menyeka air matanya yang jatuh berkali-kali. Dia tidak jadi masuk dan malah mendengarkan percakapan antara ayah dan anaknya itu. Hatinya ikutan terenyuh. Dia bahkan mulai membayangkan bagaimana kehidupan mereka selama ini.
Wanita itu menutup kembali pintu dengan perlahan agar tidak mengeluarkan suara yang mengganggu. Dia masih mempunyai adab untuk tidak merusak suasana di dalam ruangan itu. Dia memilih untuk menunggu dan mendudukkan dirinya di kursi ruang tunggu depan ruangan tersebut.
Air matanya kembali jatuh. Ternyata orang yang menolongnya itu benar-benar baik. Namun, setelah mendengarkan percakapan tadi, Juwita malah semakin kepikiran tentang kehidupan keluarga kecil itu. Malang sekali nasib mereka. Satu hal yang membuatnya terbebani; karenanya, Jamal masih terbaring di rumah sakit ini dan meninggalkan pekerjaannya. Dia tidak bodoh untuk tidak memahami kondisi mereka dari pembicaraan tadi.
Juwita pun bertekad untuk membalas budi kepada Jamal dengan nilai yang lebih. Bagaimanapun secara tidak langsung, dia juga menjadi alasan atas nasib keluarga yang malang itu. Juga bagi Jevano untuk tidak ikut liburan bersama teman-temannya.
Dia harus memikirkan cara terbaik untuk membantu dengan halus.
"Tapi, bagaimana caranya?"
Jamal termenung sambil menatap pemandangan malam kota Sidoarjo dari dinding kaca lebar ruang rawatnya. Kondisinya sudah membaik dan luka operasinya sudah pulih. Pun dia juga sudah merasakan badannya telah kembali sehat seperti semula. Bahkan lebih sehat dari pada yang sebelumnya. Helaan napasnya berembus dengan sangat berat. Seberat beban segan dan terima kasih yang harus dia tanggung sekarang.Pikiran Jamal melayang, menelusuri awal kejadian pada sekitar tiga minggu yang lalu. Awal mula dia pertemuannya dengan Juwita. Sejenak, dia merutuki dirinya. Kenapa juga waktu itu dia sok menjadi pahlawan dan membantu wanita tersebut dari para lelaki jalanan. Padahal dia sendiri juga tahu kondisinya saat itu sedang tidak terlalu sehat dan dalam keadaan kecapekan habis pulang kerja. Dia malah tanpa berpikir panjang melawan tiga orang tersebut dan berakhir seperti ini di rumah sakit. Ah, yang memalukan sekali adalah dia sempat ditemukan pingsan terlebih dahulu sebelum dibawa ke sini.Lalu, dia ha
Masih pagi dan Juwita sudah menelepon Hellen untuk mengajaknya keluar. Hellen yang sedang mengambil libur pun mengiyakan dengan cepat. Tanpa banyak bicara, Juwita langsung berdandan dan pergi dari rumah. Dia menjemput Hellen. "Lo kayak orang kabur, Kak." Hellen masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah bangku kemudi. "Emang gue lagi kabur." Hellen memasang sabuk pengaman. Kepalanya miring, menoleh ke sahabatnya. "Enggak usah lihat gue kayak gitu. Lo mau gue kasih tahu sesuatu apa enggak?" Juwita berusaha menghindari tatapan mata Hellen. Jantungnya berdebar meskipun tidak minum kopi. "Kita ke kafe atau ke apartemen gue aja. Ah, enggak. Mendingan kita ke butik gue." "Tenang, woi. Lo lagi nyetir ini." Juwita menghela napas panjang. Ternyata susah juga untuk menyembunyikan pikiran yang menumpuk dari sahabatnya ini. Dia ingin los tanpa hambatan, bercerita tentang kemarin. Percakapan antara dirinya dan Jamal di rumah sakit itu terus saja membayang-bayangi dirinya semalaman. Dia jadi tida
Satu lagi yang sampai sekarang membuat Juwita masih gelisah selain restu dari kedua orang tuanya. Bagaimana dia mendapatkan hati dari anak Pak Jamal?"Jevano belum tahu kalau gue sama Pak Jamal membuat keputusan ini. Gue juga takut kalau Jevano enggak bisa terima gue."Perkataan Juwita barusan membuat Hellen lemas sekaligus. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa. Dia tak habis pikir dengan sahabatnya ini. Kenapa malah mempersulit kehidupan, coba? Akan tetapi, dia tidak akan sefrontal itu untuk berbicara masalah sensitif ini kepada Juwita. Dia juga tidak mau temannya ini malah terbebani dengan omongannya. Dia harus menemukan cara agar bisa membuat hati Juwita lebih tenang."Kak, masalah Jevano bisa lo rundingin sama Pak Jamal, gimana bujuk dia. Yang terpenting sekarang adalah restu orang tua lo dulu. Lo enggak mau kebaikan mereka lo abaikan gitu aja, kan, demi lo bebas dari kencan buta?" Hellen memeluk sahabatnya dari samping. "Apa yang dimau sama Tante juga buat kebaikan lo, Kak. Lo em
Gemerlap lampu yang dihias sedemikian rupa menerangi aula salah satu hotel bintang lima milik keluarga Anggari. Dekorasinya sangat mewah. Meja-meja panjang penuh dengan hidangan dengan tatanan boga yang menyegarkan mata. Makanan dan minumannya pun tidak bisa dibilang sederhana namun dihidangkan secara cuma-cuma. Semuanya telah dipersiapkan dengan sempurna meskipun hanya dalam waktu satu minggu."Jevano, sini. Ayo kita foto bareng." Juwita melambaikan tangannya kepada pemuda lima belas tahun yang sedang berdiri menyendiri di tengah keramaian para tamu undangan.Jevano mendekat, menuruti pinta Juwita. Dengan canggung dia berdiri di sebelah wanita yang sekarang sudah menyandang status sebagai ibu sambungnya, sambil menampakkan senyum tipis. Sungguh dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam acara besar dan formal seperti ini. Lebih lagi dia adalah tipe orang yang cukup tertutup. Seketika dia merasakan masuk ke dunia baru yang sangat asing."Ini yang namanya Jevano?" tanya seorang tamu
Setiap ibu pasti khawatir dengan masa depan anaknya. Lebih lagi jika mereka hanya memiliki satu anak. Hal itu pula yang membuat Nyonya Anggari terus menatap putri semata wayangnya dengan tatapan iba, bukan bahagia seperti semestinya. Berkali-kali dia harus menghela napas, mendesah, meringankan dadanya yang terasa sesak setiap melihat anaknya yang berfoto dengan para tamu. Juwita memang terlihat sangat bahagia dengan senyuman yang terus mengembang indah di wajah ayunya. Tangannya juga terus menggandeng duda yang baru dia kenal seminggu yang lalu. Entah kenapa hatinya resah. Padahal dia juga yang sangat menginginkan putrinya segera menikah."Aku gak tahu anak kita bakalan bahagia sama dia apa enggak," celetuk Nyonya Anggari yang duduk di samping suaminya.Tuan Anggari tersenyum menanggapi curahan hati Nyonya Anggari. Dia mengulurkan tangan untuk memijit pundak istrinya. "Yang penting dia udah mau nikah, Sayang. Itu yang kamu mau, kan?""Ya, tapi enggak sama duda juga, Pa. Anak satu, udah
"Kak Ju, ampun cantik banget sumpah." Siapa lagi tukang heboh yang berani mendekat ke keluarga Anggari kalau bukan junior sekaligus sahabat Juwita, Hellen. Dia memeluk Juwita dari belakang dan menempelkan pipi mereka.Juwita menoleh. Dia terkejut tapi wajahnya tambah bersinar. "Astaga, gue kira lo enggak dateng." Dia langsung bangkit dan memeluk gadis yang lebih muda darinya dua tahun itu. Senyumannya berkembang ayu di wajah cantiknya. "Enggak mungkin. Gue udah sempet-sempetin nyampe tepat waktu khusus buat lo." Hellen menguyel-uyel seniornya tersebut. "Kak. Selamat, Kak. Sumpah gue ikut seneng lo akhirnya mau nikah." Tanpa semua yang ada di meja tahu, Hellen sedang setengah basa-basi sekarang. Dia sedikit khawatir dengan sahabatnya ini. Keputusan yang diambil Juwita ini berat. Tapi, dia bisa melihat kesungguhan dari sahabatnya selama seminggu ini.Juwita tertawa. Dia melepaskan pelukannya pada Hellen. "Kamu juga cepetan nyusul, ya.""Dih, mentang-mentang udah nikah. Sekarang nodong
Mentari dan langit sedang akur untuk membuat bumi terlihat lebih indah dan cerah. Entah karena alasan apa, mereka seperti mendukung sekali kebahagiaan pasangan pengantin baru kita. Warna biru dan sinar cerah adalah kombinasi yang pas untuk menikmati hari. Jevano baru saja selesai mandi setelah membereskan semua barangnya yang ada di kontrakan. Dia berniat untuk menjemur handuknya. Matanya tidak sengaja melihat sang ayah sedang memasukkan beberapa barang yang tadi belum sempat dia kemas di ruang tengah. Dia mendesah. Hari ini adalah sehari setelah pernikahan ayahnya. Dia kira, dia dan ayahnya akan tidur di kamar hotel bintang lima, mengingat acara pernikahan kemarin digelar di sana. Pun, dari yang dia dengar, hotel itu milik keluarga ibu tirinya. Bukan, bukan maksud Jevano mau memanfaatkan fasilitas bagus yang tak pernah dia rasakan selama hidupnya. Namun, kenapa tidak sekalian saja istirahat di sana, sih, padahal badannya sudah capek sekali tadi malam. Rasanya nanggung aja. Pun ay
Juwita berusaha untuk mengabaikan perasaannya. Dia menjabat dan mencium tangan suaminya saat pria itu sudah ada di depannya. Bergantian Jevano yang menjabat tangannya. "Kalian tidur nyenyak?"Jamal mengangguk."Syukurlah." Perkataan Juwita sangat manis. "Jevano?" Dia mencoba mengambil atensi anak tirinya yang hanya diam dan membuang pandang ke arah lain."Hmm?" Pemuda itu hanya melirik sebentar, masih dengan wajah datarnya."Kamu tidur nyenyak?" tanya Juwita sabar."Hmm." Hanya gumaman dan anggukan kecil dari Jevano sebagai jawaban.Mimik wajah Juwita sedikit berubah memandang Jevano. Dia merasa tidak dianggap. Dia pun menoleh dan langsung mengubah air mukanya saat sang suami mengelus lengan atasnya."Papa sama Mama?" tanya Jamal."Di dalam. Ayo masuk. Aku udah siapin makanan buat kita semua." Juwita kembali riang.Mereka memasuki rumah."Kamu yang masak?" Jamal berjalan di sebelah Juwita. Jevano membuntut di belakang."Hehehe. Enggak. Cuma bantu dikit-dikit doang, sih. Bibi yang masa
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.