Beranda / Pernikahan / JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA / Membalas Kebaikan sang Penyelamat

Share

Membalas Kebaikan sang Penyelamat

Penulis: Lily Arriva
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
"Astaga, Hellen. Gue lupa. Oke, gue ke sana. Lo udah makan malam apa belum? Gue bawain makan malam sekalian gitu, ya, buat lo sama anaknya Pak Jamal. Pasti dia juga belum makan." Juwita menepuk pipinya sendiri. Telepon dari mamanya tadi membuat pikirannya semakin penuh. Dia sampai lupa kalau akan menjenguk pria tersebut.



Juwita segera bangkit dan merapikan penampilannya. Ingat, diahabis kayal-kayal tadi. Dia pun segera mengambil kunci mobil dan segera menujuke rumah sakit, tempat pria itu dirawat.



***



Juwita membawa tas kertas berisikan makan malam yang dia beli saat hendak menuju ke rumah sakit. Dia sekarang sedang berdiri di lift dan menunggu gilirannya untuk keluar. Rasa capek yang ada di pikiran dan badan yang dia rasakan seharian seperti langsung hilang ketika Hellen mengabarinya tentang keadaan pria yang menolongnya itu. Berkali-kali dia merutuki dirinya sendiri karena kecerobohannya. Astaga, dia ini niat mau balas budi atau tidak, sih. Dia bahkan meragukan dirinya.



"Gimana keadaan Pak Jamal?" tanya Juwita saat melihat Hellen berdiri di depan ruang rawat pria itu. Dia menyerahkan tas kertas yang dia bawa tadi kepada sahabat yang berumur lebih muda darinya itu.



"Masih diperiksa sama Mas Ari. Tapi, kayaknya beneran butuh tindak lanjut, deh." Lalu, Hellen berisyarat dengan matanya ke kiri.



Juwita mengikuti arah isyarat Hellen. Ternyata di salah satu bangku tunggu ada seorang pemuda yang duduk dengan wajah yang tampak sangat khawatir, anak Pak Jamal. Dia pun mengangguk paham ke Hellen dan mengambil satu box dinner dari tas kertas yang dibawa Hellen. Kakinya mendekat perlahan kepada pemuda tersebut.



"Hai, Jevano?" tanya Juwita lembut. Dia duduk di sebelah pemuda itu. Tidak lupa, dia memasang senyuman terramah yang dia punya.



Pemuda itu menoleh dengan tatapan datar. Kedua alisnya terangkat, mempertanyakan siapa wanita di depannya itu.



Juwita mengembangkan senyumannya dan mengulurkan tangan kepada pemuda itu. "Tante Juwita." Dia mengenalkan diri lagi.



Pemuda itu tidak langsung menyambut tangan Juwita. Dia melihat wanita di hadapannya dengan tatapan penuh selidik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sudah seperti robot yang memindai sesuatu.



"Tante ini yang ditolong sama ayah kamu. Kemarin kamu sempet ketemu sebentar. Tante ini kemarin keburu pulang, ada yang cari soalnya." Hellen yang menyaksikan reaksi anak Jamal itu gemas sendiri. Enggak sabar maksudnya.



"Jevano, Tante." Pemuda tersebut menyambut tangan Juwita. Masih dengan muka datar, tanpa ekspresi kecuali gurat kekhawatiran yang sedari tadi tampak.



Juwita masih dengan senyumnya. Perlahan, dia menarik tangan Jevano dan menyerahkan kotak makan malam di tangan anak itu. "Makan dulu, ya. Tante yakin kamu belum makan malam."



"Kalau Tante? Udah makan malam?"



Pertanyaan itu sangat mendadak. Bahkan Juwita sendiri harus terdiam sesaat untuk berpikir. Di saat seperti ini, pemuda di hadapannya masih bertanya tentang keadaan orang lain. Akhirnya dia mengulaskan sebuah senyuman hangat dan mengangguk. "Belum. Tapi, enggak papa. Nanti Tante bisa makan bareng Tante itu." Dia menunjuk Hellen yang masih setia berdiri di tempatnya tadi.



Jevano mengarahkan pandangannya ke Hellen. Dia mendapatkan senyum ramah dari wanita tersebut. Namun, dia tidak membalas dan tetap bermuka datar. "Ini beneran enggak papa aku makan?"



"Iya, Jevano. Enggak papa. Itu Tante yang traktir. Tenang aja." Juwita sangat ramah.



"Enggak disuruh buat bayar dengan yang lain, 'kan?"



Seketika, kedua wanita yang mendengar pertanyaan itu terdiam. Mereka saling tatap untuk mendapatkan, setidaknya, jawaban atas pertanyaan rancu dari Jevano tersebut. Namun, nihil.



"Maksudnya?" tanya Juwita ingin kejelasan.



"Jasa, misalnya." Jevano sangat tenang saat menjawab.



Hellen, di tempatnya, menahan tawa. Pikiran mereka terlalu dewasa untuk menghadapi pertanyaan dari anak remaja. Dia pun segera menghentikan tawa yang ditahannya dengan tarikan napas dalam. Juwita kalau sedang melotot seram.



"Enggak, Jevano. Ini sebagai rasa tanggung jawab Tante aja ke kamu." Juwita berusaha untuk menjelaskan keadaannya.



"Kenapa harus merasa bertanggung jawab? Karena Ayah?"



Juwita mengangguk. "Iya. Sebagai rasa terima kasih Tante juga ke ayah kamu. Sekarang, kan, ayah kamu sedang dirawat. Jadi, sudah selayaknya kalau Tante, sedikit banyak, mengurus kamu. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang ke Tante, ya."



"Hmm." Jevano mengangguk paham. Masih dengan deheman dan anggukan dingin dan datar. "Terima kasih, Tante."



Juwita tersenyum melihat reaksi pemuda itu. "Dimakan, ya." Dia mendapatkan anggukan dari Jevano. Tanpa sadar, dia mengamati setiap pergerakan pemuda itu. Dia bisa menyimpulkan bahwa Jevano adalah tipe anak yang pendiam dan patuh. Wajahnya juga sangat bisa dikatakan sedap untuk dipandang. Sama rupawannya dengan Jamal.



"Jangan lihatin aku kayak gitu, Tante. Aku jadi enggak bisa makan." Ucapan Jevano menyadarkan Juwita dari 'pengamatan' seksamanya barusan.



"Ah, iya. Maaf, ya." Lalu, dia membuang wajahnya ke mana saja asalkan tidak ke Jevano lagi. Dia segan jika harus mendapatkan teguran lagi dari pemuda itu.



"Kak Ju, jadi enggak?" Hellen mengangkat tas kertas yang ada di tangannya. Senyumannya terlihat sekali sedang mengejek Juwita.



"Iya, sini." Dengan senang hati, Juwita menyambut tawaran Hellen. Ya, dia perlu menyelamatkan dirinya dari mati gaya di hadapan Jevano sekarang.



Hellen menghampiri Juwita dan duduk di samping sahabatnya itu. "Lo utang budi ke gue, Kak," bisiknya yang langsung mendapatkan cubitan dari Juwita. Dia tertawa.



***



Pintu ruang rawat Jamal terbuka setelah beberapa saat. Dari baliknya, Ari keluar bersama dua perawat yang menemaninya.



Juwita langsung berdiri dan menghampiri lelaki itu. Disusul oleh Jevano dan Hellen setelah meletakkan kotak makan malam mereka.



"Keadaan Pak Jamal, bagaimana, Dok?" tanya Juwita penuh dengan nada kekhawatiran. Bahkan Jevano yang notabene anak dari Jamal saja sampai heran.



"Sejauh ini keadaannya semakin baik. Hanya saja, saya tambah yakin akan sesuatu." Ari terlihat berpikir sejenak sebelum mengatakan diagnosisnya. "Sepertinya Pak Jamal harus mendapatkan perawatan lebih. Beliau ada gejela usus buntu. Jadi, kalau keluarga berkenan, kami akan menindak lanjuti semuanya."



Juwita lanngsung menoleh ke Jevano. Anak itu terlihat kaget meskipun wajahnya tetap datar seperti tadi. Dia tidak mengatakan apa-apa. Mungkin sedang kebingungan dan mencoba mencerna apa yang sedang terjadi kepada ayahnya.



"Jevano mau Ayah sembuh total dan enggak sakit, 'kan? Ayah ditindak lebih lanjut, boleh?" Juwita bertanya dengan sangat ramah dan penuh dengan perhatian untuk memberikan pemuda itu pengertian.



Dengan gerakan patah-patah, Jevano mengangguk. "Ta-tapi, nanti biayanya?" Tatapannya terlihat ragu. Binarnya matanya meredup saat melihat balik ke arah Juwita.



"Tante yang tanggung. Kamu tenang aja. Tante udah bilang, 'kan, kalau ini juga untuk rasa terima kasih Tante kepada ayah kamu. Jadi, Tante tanya sekali lagi, boleh, ya, ayah kamu ditindak?" Juwita tersenyum teduh, membuat hati Jevano, tanpa disadari pemuda itu, menghangat.



Jevano mengangguk.



Juwita beralih ke Ari dan menatapnya dengan penuh keyakinan. Dia mengangguk sebagai isyarat untuk memperbolehkan tindakan terhadap Jamal.



"Baiklah kalau begitu. Saya akan jadwalkan pemeriksaan lebih lanjut karena ini sudah larut. Mungkin besok Pak Jamal bisa mulai diperiksa, foto rontgen, dan lain sebagainya." Ari memberikan penjelasan.



"Makasih, Dok." Juwita lega. Untung yang menangani Jamal orang yang dia kenal. Jadi gampang jika harus bertanya apa-apa.



"Terima kasih, Dok." Jevano sedikit menundukkan kepalanya, lalu memandang lurus ke arah Ari.



"Jaga ayah kamu, ya." Dokter muda itu menepuk bahu Jevano. "Wah, kamu suka olah raga, ya. Pundak kamu enggak main-main, loh, ini." Dia memberikan sedikit pijatan untuk merasakan otot tangan pemuda itu.



Jevano hanya bisa tersenyum segan. Dia tidak membalas dengan perkataan apa pun.



Rendah hati sekali, batin Juwita sambil mengamati ekspresiyang diberikan pemuda itu. Ternyata, kalau tersenyum seperti ini Jevano terlihat lebih tampan. Matanya hilang dan membentuk lengkungan, seakan jugaikut tersenyum. Ah, apakah ini yang dinamakan eye smile? Baru kali ini diamelihatnya secara langsung dan sangat menawan. Ya ampun manis sekali anak ini.



Di saat seperti itu, Jevano mendekat ke ayahnya dengan langkah agak ragu. "Ayah enggak papa?"



Jamal tersenyum meskipun wajahnya tampak masih pucat dan badannya masih lemas. Dia mengangguk. "Jagoan Ayah udah makan malam?"



Jevano mengangguk. "Sudah, Ayah. Tante ini yang belikan Jevano makan malam."



Jamal mengarahkan pandangannya ke Juwita. "Terima kasih sudah mau mengurus anak saya. Terima kasih juga karena sudah membawa saya ke rumah sakit. Saya berjanji akan menggantinya kalau sudah bisa keluar dari sini."



Juwita langsung melambaikan tangannya. "Tidak usah. Anggap saja ini adalah ungkapan terima kasih saya. Bahkan, semua ini pun menurut saya belum cukup untuk membalas kebaikan Anda. Jadi, tolong jangan merasa terbebani."



Jamal diam. Wanita di hadapannya ini terlihat bersungguh-sungguh. Dia pun mengangguk. "Sekali lagi terima kasih banyak." Bukan karena dia ingin memanfaatkan fasilitas mewah rumah sakit saat keadaannya seperti ini, namun tidak enak jika harus menolak dan saling membalas sungkan. Setidaknya dia akan memasukkan wanita ini ke daftar orang yang harus dia balas suatu saat nanti.



"Ayah, kata dokter Ari tadi kemungkinan besar Ayah kena usus buntu. Terus aku ditanya boleh ditindak atau enggak. Tante ini nawarin mau bantu, jadi maafin Jevano karena bilang iya." Pemuda itu menunduk lemas, merasa bersalah. "Jevano cuma mau Ayah sehat lagi seluruhnya."



Juwita sedikit was-was mendengarkan percakapan antara anak dan ayahnya itu. Dia berharap Jamal tidak menentang keputusan yang telah mereka buat tanpa persetujuannya tadi. Dia jadi harap-harap cemas.



Jamal melirik ke arah Juwita, mencoba memastikan kebenaran ucapan anaknya. Dia pun mendapat anggukan dari wanita tersebut. Lantas, dia pun tersenyum dan mengangguk. Dia mengelus kepala anaknya dengan lembut. "Iya, enggak papa."



Lega. Sangat lega sekali rasanya.



Hellen yang sedari tadi berdiri di posisi paling belakang pun ikut merasakan lega. Astaga, dia seperti menyaksikan adegan hangat antara anggota keluarga sungguhan. Tatapannya tidak lepas dari Jevano, anak itu ternyata juga memperhatikan detail. Tersimpulkan dari cara dia memberitahukan kepada ayahnya apa yang terjadi dan saat dia menyebut nama Ari.



Seketika Hellen mempunyai satu ide cemerlang. Dia melebar kansenyum dan melangkah maju, mendekati Juwita setelah memberikan isyarat salam kepada Jamal. Dia menyenggol lengan sahabatnya. "Kak Ju, enggak sekalian daftar aja jadi anggota keluarganya?"


Bab terkait

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Cara Terhalus

    Hari ini Juwita kedatangan klien dari luar Jawa yang minta dibuatkan gaun untuk acara lomba fashion show yang akan diikuti oleh klien itu. Dia melayani bersama beberapa pekerjanya dengan cekatan dari memilih bahan di gudang kain yang dia miliki hingga memberikan beberapa saran model baju sesuai keinginan. Dia juga sudah terbiasa untuk memadukan warna bahan agar pas di kulit klien.Hampir setengah hari dia berkutat dengan kliennya itu dan baru beristirahat setelah jam tiga sore. Begitu pula dengan beberapa pekerjanya yang membantu dirinya untuk melayani klien tadi. Belum lagi dia juga harus memantau perkembangan produksi kolaborasi yang akan dirilis satu minggu lagi. Dia benar-benar hampir kewalahan dengan pekerjaannya sendiri."Kalian makan siang dulu, deh. Makasih banyak udah bantu seharian." Juwita menyodorkan beberapa lembar uang merah kepada asistennya, Erika. Tentu saja untuk mengapresiasi kerja sama yang baik antar pekerjanya tadi. Itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan Juwita

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Menikahlah dengan Saya

    Jamal termenung sambil menatap pemandangan malam kota Sidoarjo dari dinding kaca lebar ruang rawatnya. Kondisinya sudah membaik dan luka operasinya sudah pulih. Pun dia juga sudah merasakan badannya telah kembali sehat seperti semula. Bahkan lebih sehat dari pada yang sebelumnya. Helaan napasnya berembus dengan sangat berat. Seberat beban segan dan terima kasih yang harus dia tanggung sekarang.Pikiran Jamal melayang, menelusuri awal kejadian pada sekitar tiga minggu yang lalu. Awal mula dia pertemuannya dengan Juwita. Sejenak, dia merutuki dirinya. Kenapa juga waktu itu dia sok menjadi pahlawan dan membantu wanita tersebut dari para lelaki jalanan. Padahal dia sendiri juga tahu kondisinya saat itu sedang tidak terlalu sehat dan dalam keadaan kecapekan habis pulang kerja. Dia malah tanpa berpikir panjang melawan tiga orang tersebut dan berakhir seperti ini di rumah sakit. Ah, yang memalukan sekali adalah dia sempat ditemukan pingsan terlebih dahulu sebelum dibawa ke sini.Lalu, dia ha

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Yakin?

    Masih pagi dan Juwita sudah menelepon Hellen untuk mengajaknya keluar. Hellen yang sedang mengambil libur pun mengiyakan dengan cepat. Tanpa banyak bicara, Juwita langsung berdandan dan pergi dari rumah. Dia menjemput Hellen. "Lo kayak orang kabur, Kak." Hellen masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah bangku kemudi. "Emang gue lagi kabur." Hellen memasang sabuk pengaman. Kepalanya miring, menoleh ke sahabatnya. "Enggak usah lihat gue kayak gitu. Lo mau gue kasih tahu sesuatu apa enggak?" Juwita berusaha menghindari tatapan mata Hellen. Jantungnya berdebar meskipun tidak minum kopi. "Kita ke kafe atau ke apartemen gue aja. Ah, enggak. Mendingan kita ke butik gue." "Tenang, woi. Lo lagi nyetir ini." Juwita menghela napas panjang. Ternyata susah juga untuk menyembunyikan pikiran yang menumpuk dari sahabatnya ini. Dia ingin los tanpa hambatan, bercerita tentang kemarin. Percakapan antara dirinya dan Jamal di rumah sakit itu terus saja membayang-bayangi dirinya semalaman. Dia jadi tida

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Mencari Persetujuan Dan Restu

    Satu lagi yang sampai sekarang membuat Juwita masih gelisah selain restu dari kedua orang tuanya. Bagaimana dia mendapatkan hati dari anak Pak Jamal?"Jevano belum tahu kalau gue sama Pak Jamal membuat keputusan ini. Gue juga takut kalau Jevano enggak bisa terima gue."Perkataan Juwita barusan membuat Hellen lemas sekaligus. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa. Dia tak habis pikir dengan sahabatnya ini. Kenapa malah mempersulit kehidupan, coba? Akan tetapi, dia tidak akan sefrontal itu untuk berbicara masalah sensitif ini kepada Juwita. Dia juga tidak mau temannya ini malah terbebani dengan omongannya. Dia harus menemukan cara agar bisa membuat hati Juwita lebih tenang."Kak, masalah Jevano bisa lo rundingin sama Pak Jamal, gimana bujuk dia. Yang terpenting sekarang adalah restu orang tua lo dulu. Lo enggak mau kebaikan mereka lo abaikan gitu aja, kan, demi lo bebas dari kencan buta?" Hellen memeluk sahabatnya dari samping. "Apa yang dimau sama Tante juga buat kebaikan lo, Kak. Lo em

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Kesenjangan Di Mata Jevano

    Gemerlap lampu yang dihias sedemikian rupa menerangi aula salah satu hotel bintang lima milik keluarga Anggari. Dekorasinya sangat mewah. Meja-meja panjang penuh dengan hidangan dengan tatanan boga yang menyegarkan mata. Makanan dan minumannya pun tidak bisa dibilang sederhana namun dihidangkan secara cuma-cuma. Semuanya telah dipersiapkan dengan sempurna meskipun hanya dalam waktu satu minggu."Jevano, sini. Ayo kita foto bareng." Juwita melambaikan tangannya kepada pemuda lima belas tahun yang sedang berdiri menyendiri di tengah keramaian para tamu undangan.Jevano mendekat, menuruti pinta Juwita. Dengan canggung dia berdiri di sebelah wanita yang sekarang sudah menyandang status sebagai ibu sambungnya, sambil menampakkan senyum tipis. Sungguh dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam acara besar dan formal seperti ini. Lebih lagi dia adalah tipe orang yang cukup tertutup. Seketika dia merasakan masuk ke dunia baru yang sangat asing."Ini yang namanya Jevano?" tanya seorang tamu

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Menikah Dengan Duda Anak Satu

    Setiap ibu pasti khawatir dengan masa depan anaknya. Lebih lagi jika mereka hanya memiliki satu anak. Hal itu pula yang membuat Nyonya Anggari terus menatap putri semata wayangnya dengan tatapan iba, bukan bahagia seperti semestinya. Berkali-kali dia harus menghela napas, mendesah, meringankan dadanya yang terasa sesak setiap melihat anaknya yang berfoto dengan para tamu. Juwita memang terlihat sangat bahagia dengan senyuman yang terus mengembang indah di wajah ayunya. Tangannya juga terus menggandeng duda yang baru dia kenal seminggu yang lalu. Entah kenapa hatinya resah. Padahal dia juga yang sangat menginginkan putrinya segera menikah."Aku gak tahu anak kita bakalan bahagia sama dia apa enggak," celetuk Nyonya Anggari yang duduk di samping suaminya.Tuan Anggari tersenyum menanggapi curahan hati Nyonya Anggari. Dia mengulurkan tangan untuk memijit pundak istrinya. "Yang penting dia udah mau nikah, Sayang. Itu yang kamu mau, kan?""Ya, tapi enggak sama duda juga, Pa. Anak satu, udah

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Kesungguhan

    "Kak Ju, ampun cantik banget sumpah." Siapa lagi tukang heboh yang berani mendekat ke keluarga Anggari kalau bukan junior sekaligus sahabat Juwita, Hellen. Dia memeluk Juwita dari belakang dan menempelkan pipi mereka.Juwita menoleh. Dia terkejut tapi wajahnya tambah bersinar. "Astaga, gue kira lo enggak dateng." Dia langsung bangkit dan memeluk gadis yang lebih muda darinya dua tahun itu. Senyumannya berkembang ayu di wajah cantiknya. "Enggak mungkin. Gue udah sempet-sempetin nyampe tepat waktu khusus buat lo." Hellen menguyel-uyel seniornya tersebut. "Kak. Selamat, Kak. Sumpah gue ikut seneng lo akhirnya mau nikah." Tanpa semua yang ada di meja tahu, Hellen sedang setengah basa-basi sekarang. Dia sedikit khawatir dengan sahabatnya ini. Keputusan yang diambil Juwita ini berat. Tapi, dia bisa melihat kesungguhan dari sahabatnya selama seminggu ini.Juwita tertawa. Dia melepaskan pelukannya pada Hellen. "Kamu juga cepetan nyusul, ya.""Dih, mentang-mentang udah nikah. Sekarang nodong

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Keluarga Baru

    Mentari dan langit sedang akur untuk membuat bumi terlihat lebih indah dan cerah. Entah karena alasan apa, mereka seperti mendukung sekali kebahagiaan pasangan pengantin baru kita. Warna biru dan sinar cerah adalah kombinasi yang pas untuk menikmati hari. Jevano baru saja selesai mandi setelah membereskan semua barangnya yang ada di kontrakan. Dia berniat untuk menjemur handuknya. Matanya tidak sengaja melihat sang ayah sedang memasukkan beberapa barang yang tadi belum sempat dia kemas di ruang tengah. Dia mendesah. Hari ini adalah sehari setelah pernikahan ayahnya. Dia kira, dia dan ayahnya akan tidur di kamar hotel bintang lima, mengingat acara pernikahan kemarin digelar di sana. Pun, dari yang dia dengar, hotel itu milik keluarga ibu tirinya. Bukan, bukan maksud Jevano mau memanfaatkan fasilitas bagus yang tak pernah dia rasakan selama hidupnya. Namun, kenapa tidak sekalian saja istirahat di sana, sih, padahal badannya sudah capek sekali tadi malam. Rasanya nanggung aja. Pun ay

Bab terbaru

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Expart 1

    "Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Keluarga Jamal 2

    Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Keluarga Jamal

    "Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Panggilan Ke Sekolah

    Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Permintaan Bunga

    Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Berbicara Dengan Bunga

    "Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Menemui Ibu

    Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Bunda Tahu Ibu

    Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Aku Berjanji, Juwita

    Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.

DMCA.com Protection Status