Share

Buka Mata Buka Hati

Penulis: Lily Arriva
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Sang Ibu bukannya sedang melampiaskan amarah. Hanya saja anaknya ini terus menentang. Dia jadi kehilangan kesabaran kalau begini.



"Enggak, Mama. Cuma, please, deh, Mama juga harus ngerti aku. Aku banyak kerjaan, Mama. Kalau sampai terbengkalai, bagaimana para klienku?"



"Ya, ampun, Juwita. Apa susahnya, sih, nurut sama Mama dan temui calon kamu?" Nyonya Anggari sungguh tak habis pikir dengan anak perempuannya itu.



"Mama juga udah tahu segalanya tentang dia? Ma, yang terakhir kali itu kelihatan banget kalau posesif. Aku gak mau. Masa mau ke kamar mandi aja dikintili."



Tuan Anggari menahan tawanya. Pundaknya dipukul dengan tidak suka oleh sang istri.



"Kok kamu ketawa, sih, Mas?"



"Itu bukan posesif lagi, Juwita. Mungkin dia dulunya stalker."



Juwita tertawa dan mengacungkan telunjuk dan ibu jarinya yang dibentuk seperti orang menembak kepada sang papa. Papanya memang tidak mengecewakan. "Ya, kan, Pa? Gak suka aku, tuh, sama pilihan Mama. Mama lihatnya cuma dari luar doang. Enggak tahu mereka gimana. Aku yang hadepin mereka cuma makan malam aja udah ogah ketemu lagi."



Nyonya Anggari menatap tajam Juwita. Masih untung hanya lewat layar. "Makanya kamu temui pilihan Mama yang satu ini biar tahu orangnya gimana."



"Ya ampun, Ma. Aku capek harus kencan buta terus sama orang yang bahkan enggak aku kenal."



"Ya, kalau kamu kenal namanya itu bukan kencan buta, sayang." Tuan Anggari memang berkepribadian santai. Ya, seperti yang kalian lihat, bahkan di situasi yang hampir memicu perang seperti ini pun beliau masih bisa berkelakar.



"Aku enggak mau kencan buta lagi, Papa." Juwita merajuk. "Ya ampun, kita ini hidup di jaman modern, loh. Masih aja, ya, keluarga kita butuh yang kayak ginian?"



"Papa kamu juga enggak selamanya bisa menanggung pekerjaan berat di kantor, Juwita. Kamu gak kasihan sama Papa?" Nyonya Anggari masih memperjuangkan pendiriannya.



"Ya udah lepas aja. Ada bawahan Papa yang bisa mengatasi semuanya. Selesai, 'kan?" Wanita dua puluh tujuh tahun itu menyandarkan punggung di kursinya. Kedua tangannya bersendekap.



"Aduh, Pa. Pusing aku sama anak kamu ini." Kini, giliran wanita paruh baya itu yang memilin kening. Dia terlihat lelah berbicara dengan anak semata wayangnya itu.



"Biarin aja, kali, Ma. Lagi pula itu yang dimau Juwita." Tuan Anggari mengedipkan satu matanya ke arah sang anak dan langsung dibalas dengan love sign ibu jari dan telunjuk.



"Ini lagi. Oke, deh. Kalau kamu enggak mau Mama suruh kencan buta, kamu bawa cowok ke hadapan Mama Papa. Kenalin cowok pilihan kamu kepada kami."



Juwita menghela napas lemas dan putus asa. Capek sekali dia. Dia kira percakapan mereka akan berakhir. Dia diam sejenak. "Mama, aku harus bilang berapa kali, sih? Aku enggak mau nikah. Aku bahkan gak tertarik sama sekali, Ma, buat nikah. Aku enggak ada waktu, Ma."



"Astaga, Ya Tuhan. Bukannya enggak ada waktu. Kamu enggak meluangkan waktu aja." Nyonya Anggari sudah tidak sabar. Anaknya ini sangat keras kepala sekali. "Ingat umur, Juwita. Papa juga harus punya penerus bukan hanya seorang pengganti. Perusahaan ini dipercayakan ke keluarga kita. Kamu enggak ingat gimana Papa kamu berusaha mempertahankan perusahaan rintisan mendiang Kakek kamu agar gak jatuh di tangan yang salah? Ini bukan sekedar karena harta tapi juga amanah."



Juwita diam. Memori di kepalanya berputar sangat cepat. Dia sangat ingat bagaimana papanya terluka karena serangan para saingan bisnis yang bahkan beberapanya adalah kerabat sendiri. Ya, dengan cara yang kotor tentu saja. Jangan ingatkan dirinya lagi tentang masalah itu. Itu membuatnya tidak bisa menahan air mata untuk tidak menggenang saat ini.



"Sudah. Sudah. Kita bicarakan tentang ini lain kali." Tuan Anggari menengahi. "Papa juga seneng, Sayang, kalau kamu segera menikah. Papa sama Mama juga pengin punya cucu dari kamu. Umur Papa sama Mama juga enggak ada yang tahu ujungnya sampai mana. Kalau kamu enggak mau sama pilihan Mama, ya, berusahalah untuk melihat sekeliling kamu. Coba buka hati kamu dikit aja. Jangan menutup diri. Pasti ada seseorang yang bisa buat kamu berpikir ulang tentang pernikahan."



Mata Juwita sudah mengeluarkan airnya sekarang. Kalau papanya sudah mengeluarkan suara, dia tidak bisa menentang. Dia tidak bisa beradu argumen dengan pria yang selalu membelanya itu. Pria yang memperjuangkan semua untuk dirinya.



"Oke. Malam ini kita sudahi sampai sini dulu. Kamu masih ada kesibukan, 'kan?"



Juwita mengangguk kecil.



"Ya, udah. Papa Mama pamit terlebih dahulu. Ada urusan yang harus kami selesaikan juga. Ini tadi Mama kamu beneran nyempetin waktu buat bicara sama kamu. Dadah, sayangnya Papa." Pria itu melambaikan tangannya ke layar.



Sambungan itu terputus, meninggalkan dirinya sendirian diruang istirahatnya. Pikirannya jadi buntu sekarang karena perkataan papanya barusan. Lalu sekarang dia harus bagaimana?


Juwita mendesah kasar. Kakinya menendang kaki meja terdekat. Kesal sekali rasanya. Kenapa harus membahas kejadian menyakitkan seperti itu untuk membuatnya menyerah? "Akh, kenapa harus nikah, sih?!" gerutunya dalam sepi. Dia pun meninggalkan sofa dan meja pelengkap itu untuk menuju tempat ternyaman di ruangan istirahat khususnya. Tubuhnya merebah di atas kasur yang empuk. Matanya menatap langit-langit lama. Pikirannya bercabang.

Tring!

Suara dering ponsel membuatnya terbangun. Dia meraih benda pipih tersebut. Nama yang tertera di layar membuatnya mendengkus. "Kenapa telepon?" tanyanya agak judes karena masih kesal.

"Coba gue tebak. Kalau Kakak kayak gini, tuh, biasanya habis dapet pertanyaan 'kapan nikah' atau 'kamu mau sama dia enggak'. Correct me if I'm wrong." Suara itu membuat Juwita mendecak dan memutar bola mata. "Kan, gue bener. Hahaha. Mekanya, Kak. Cepetan cari gandengan sana." Tak ada jawaban dengan cepat berarti seniornya itu sedang menahan diri. Dia jadi girang kalau begini.

"Lo diem aja, ya, Hellen. Gue enggak selera debat."

"Gak ada yang ngajak debat astaga. Frustasian amat jadi orang." Nada riang gadis itu memenuhi telinga Juwita. Dia jadi tidak tega sudah menjawab dengan sewot tadi.

"Sorry. Gue beneran lagi kepikiran ini. Mana Mama bawa-bawa umur Papa lagi." Dia menghela napas. "Apa gue beneran nikah aja, ya?"

"Woy, Kak! Ya iyalah. Anda ini bagaimana. Ya emang Kakak harus nikah. Emang mau jadi perawan tua?"

"Udah keles."

Hellen terdiam. Sepertinya dia salah bicara. "Ma-maksud gue, emang mau terus-terusan gitu?" Dia menggosok telapak tangannya di atas paha. Khawatir yang diajak bicara masih sensi. Bisa tamat dia kalau mereka bertemu.

"Ya, enggak juga. Gue cuma gak bisa mikirin kalau nikah kayak gimana gitu, loh. Secara, gue enggak punya kenalan dan gue udah umur segini masih perawan," Juwita mencurahkan isi hatinya.

"Bagus, dong, Kak, masih perawan. Artinya Kakak masih terjaga." Hellen ingin melonggarkan hati sahabatnya.

"Lo pasti ngerti apa yang sebenernya gue maksud. Apalagi yang diinginkan Mama itu bukan sekedar pernikahan gue." Juwita menghela napas masygul. "Gue harus gimana."

"Buka hati, Kak. Buka hati. Siapa tahu sebenernya banyak yang udah kepingin deketi Kakak tapi Kakak malah menghindar dan gak buka pintu sama sekali."

Apa yang dikatakan Hellen sama dengan papanya tadi. Sudah lama dia tidak merasakan yang namanya jatuh cinta. Mungkin sekitar sepuluh tahun? Ah, dia hanya teringat dengan seniornya di bangku SMA yang sangat keren itu. Lalu, dia juga harus merasakan patah hati karena seniornya sudah memiliki kekasih. Itu cinta dan patah hati pertama yang harus dia rasakan secara bersamaan. Setelahnya, dia hanya mengagumi orang-orang di sekitarnya dan menolak para lelaki yang ingin menjalin hubungan kasih dengannya.

"Harus banget, ya, gue nerima Pak Karsa?" Itu adalah nama pria yang pernah menyatakan cinta kepada Juwita. Salah seorang pebisnis yang cukup disegani. Tentu saja dia juga mengajak Juwita membangun rumah tangga.

"Jangan, anjir. Ya, enggak Pak Karsa juga kali, Kak. Lo mau jadi istri pak tua kayak gitu? Ih, jangan, Kak. Dari lagatnya aja udah kelihatan kalau mata keranjang. Skandalnya banyak. Jangan, Kak. Jangan."

Juwita tertawa. "Gue juga enggak seputus asa itu juga kali." Dia merebahkan dirinya di kasur lagi. "Lo tahu, Len? Gue bahkan jadi mikir mau kawin kontrak aja."

"Lo gila, sih, Kak. Jatuh cinta beneran baru tahu rasa lo."

"Iya, gue mikir gitu juga. Terus gue enggak bisa mikir jalan keluar apa pun."

"Udah dibilang buka hati, Kak. Kakak juga cantik, kaya, rajin. Pasti banyak yang mau."

Juwita memandangi langit-langit dengan tatapan kosong. "Iya, Len. Semoga."

Semoga ada yang mau dan semoga orang itu tidak membuat hatinya sakit. Sebab, hal utama yang membuatnya menutup hati selama ini adalah dia takut patah hati lagi.

"Btw, Kak. Aku sebenarnya mau ngabari kalau Pak Jamal udah siuman. Anaknya juga langsung ke sini habis sekolah. Kakak enggak ada niatan buat ke sini apa?"

Bab terkait

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Membalas Kebaikan sang Penyelamat

    "Astaga, Hellen. Gue lupa. Oke, gue ke sana. Lo udah makan malam apa belum? Gue bawain makan malam sekalian gitu, ya, buat lo sama anaknya Pak Jamal. Pasti dia juga belum makan." Juwita menepuk pipinya sendiri. Telepon dari mamanya tadi membuat pikirannya semakin penuh. Dia sampai lupa kalau akan menjenguk pria tersebut.Juwita segera bangkit dan merapikan penampilannya. Ingat, diahabis kayal-kayal tadi. Dia pun segera mengambil kunci mobil dan segera menujuke rumah sakit, tempat pria itu dirawat.***Juwita membawa tas kertas berisikan makan malam yang dia beli saat hendak menuju ke rumah sakit. Dia sekarang sedang berdiri di lift dan menunggu gilirannya untuk keluar. Rasa capek yang ada di pikiran dan badan yang dia rasakan seharian seperti langsung hilang ketika Hellen mengabarinya tentang keadaan pria yang menolongnya itu. Berkali-kali dia merutuki dirinya sendiri karena kecerobohannya. Astaga, dia ini niat mau balas budi atau tidak, sih. Dia bahkan meragukan dirinya."Gimana keada

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Cara Terhalus

    Hari ini Juwita kedatangan klien dari luar Jawa yang minta dibuatkan gaun untuk acara lomba fashion show yang akan diikuti oleh klien itu. Dia melayani bersama beberapa pekerjanya dengan cekatan dari memilih bahan di gudang kain yang dia miliki hingga memberikan beberapa saran model baju sesuai keinginan. Dia juga sudah terbiasa untuk memadukan warna bahan agar pas di kulit klien.Hampir setengah hari dia berkutat dengan kliennya itu dan baru beristirahat setelah jam tiga sore. Begitu pula dengan beberapa pekerjanya yang membantu dirinya untuk melayani klien tadi. Belum lagi dia juga harus memantau perkembangan produksi kolaborasi yang akan dirilis satu minggu lagi. Dia benar-benar hampir kewalahan dengan pekerjaannya sendiri."Kalian makan siang dulu, deh. Makasih banyak udah bantu seharian." Juwita menyodorkan beberapa lembar uang merah kepada asistennya, Erika. Tentu saja untuk mengapresiasi kerja sama yang baik antar pekerjanya tadi. Itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan Juwita

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Menikahlah dengan Saya

    Jamal termenung sambil menatap pemandangan malam kota Sidoarjo dari dinding kaca lebar ruang rawatnya. Kondisinya sudah membaik dan luka operasinya sudah pulih. Pun dia juga sudah merasakan badannya telah kembali sehat seperti semula. Bahkan lebih sehat dari pada yang sebelumnya. Helaan napasnya berembus dengan sangat berat. Seberat beban segan dan terima kasih yang harus dia tanggung sekarang.Pikiran Jamal melayang, menelusuri awal kejadian pada sekitar tiga minggu yang lalu. Awal mula dia pertemuannya dengan Juwita. Sejenak, dia merutuki dirinya. Kenapa juga waktu itu dia sok menjadi pahlawan dan membantu wanita tersebut dari para lelaki jalanan. Padahal dia sendiri juga tahu kondisinya saat itu sedang tidak terlalu sehat dan dalam keadaan kecapekan habis pulang kerja. Dia malah tanpa berpikir panjang melawan tiga orang tersebut dan berakhir seperti ini di rumah sakit. Ah, yang memalukan sekali adalah dia sempat ditemukan pingsan terlebih dahulu sebelum dibawa ke sini.Lalu, dia ha

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Yakin?

    Masih pagi dan Juwita sudah menelepon Hellen untuk mengajaknya keluar. Hellen yang sedang mengambil libur pun mengiyakan dengan cepat. Tanpa banyak bicara, Juwita langsung berdandan dan pergi dari rumah. Dia menjemput Hellen. "Lo kayak orang kabur, Kak." Hellen masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah bangku kemudi. "Emang gue lagi kabur." Hellen memasang sabuk pengaman. Kepalanya miring, menoleh ke sahabatnya. "Enggak usah lihat gue kayak gitu. Lo mau gue kasih tahu sesuatu apa enggak?" Juwita berusaha menghindari tatapan mata Hellen. Jantungnya berdebar meskipun tidak minum kopi. "Kita ke kafe atau ke apartemen gue aja. Ah, enggak. Mendingan kita ke butik gue." "Tenang, woi. Lo lagi nyetir ini." Juwita menghela napas panjang. Ternyata susah juga untuk menyembunyikan pikiran yang menumpuk dari sahabatnya ini. Dia ingin los tanpa hambatan, bercerita tentang kemarin. Percakapan antara dirinya dan Jamal di rumah sakit itu terus saja membayang-bayangi dirinya semalaman. Dia jadi tida

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Mencari Persetujuan Dan Restu

    Satu lagi yang sampai sekarang membuat Juwita masih gelisah selain restu dari kedua orang tuanya. Bagaimana dia mendapatkan hati dari anak Pak Jamal?"Jevano belum tahu kalau gue sama Pak Jamal membuat keputusan ini. Gue juga takut kalau Jevano enggak bisa terima gue."Perkataan Juwita barusan membuat Hellen lemas sekaligus. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa. Dia tak habis pikir dengan sahabatnya ini. Kenapa malah mempersulit kehidupan, coba? Akan tetapi, dia tidak akan sefrontal itu untuk berbicara masalah sensitif ini kepada Juwita. Dia juga tidak mau temannya ini malah terbebani dengan omongannya. Dia harus menemukan cara agar bisa membuat hati Juwita lebih tenang."Kak, masalah Jevano bisa lo rundingin sama Pak Jamal, gimana bujuk dia. Yang terpenting sekarang adalah restu orang tua lo dulu. Lo enggak mau kebaikan mereka lo abaikan gitu aja, kan, demi lo bebas dari kencan buta?" Hellen memeluk sahabatnya dari samping. "Apa yang dimau sama Tante juga buat kebaikan lo, Kak. Lo em

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Kesenjangan Di Mata Jevano

    Gemerlap lampu yang dihias sedemikian rupa menerangi aula salah satu hotel bintang lima milik keluarga Anggari. Dekorasinya sangat mewah. Meja-meja panjang penuh dengan hidangan dengan tatanan boga yang menyegarkan mata. Makanan dan minumannya pun tidak bisa dibilang sederhana namun dihidangkan secara cuma-cuma. Semuanya telah dipersiapkan dengan sempurna meskipun hanya dalam waktu satu minggu."Jevano, sini. Ayo kita foto bareng." Juwita melambaikan tangannya kepada pemuda lima belas tahun yang sedang berdiri menyendiri di tengah keramaian para tamu undangan.Jevano mendekat, menuruti pinta Juwita. Dengan canggung dia berdiri di sebelah wanita yang sekarang sudah menyandang status sebagai ibu sambungnya, sambil menampakkan senyum tipis. Sungguh dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam acara besar dan formal seperti ini. Lebih lagi dia adalah tipe orang yang cukup tertutup. Seketika dia merasakan masuk ke dunia baru yang sangat asing."Ini yang namanya Jevano?" tanya seorang tamu

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Menikah Dengan Duda Anak Satu

    Setiap ibu pasti khawatir dengan masa depan anaknya. Lebih lagi jika mereka hanya memiliki satu anak. Hal itu pula yang membuat Nyonya Anggari terus menatap putri semata wayangnya dengan tatapan iba, bukan bahagia seperti semestinya. Berkali-kali dia harus menghela napas, mendesah, meringankan dadanya yang terasa sesak setiap melihat anaknya yang berfoto dengan para tamu. Juwita memang terlihat sangat bahagia dengan senyuman yang terus mengembang indah di wajah ayunya. Tangannya juga terus menggandeng duda yang baru dia kenal seminggu yang lalu. Entah kenapa hatinya resah. Padahal dia juga yang sangat menginginkan putrinya segera menikah."Aku gak tahu anak kita bakalan bahagia sama dia apa enggak," celetuk Nyonya Anggari yang duduk di samping suaminya.Tuan Anggari tersenyum menanggapi curahan hati Nyonya Anggari. Dia mengulurkan tangan untuk memijit pundak istrinya. "Yang penting dia udah mau nikah, Sayang. Itu yang kamu mau, kan?""Ya, tapi enggak sama duda juga, Pa. Anak satu, udah

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Kesungguhan

    "Kak Ju, ampun cantik banget sumpah." Siapa lagi tukang heboh yang berani mendekat ke keluarga Anggari kalau bukan junior sekaligus sahabat Juwita, Hellen. Dia memeluk Juwita dari belakang dan menempelkan pipi mereka.Juwita menoleh. Dia terkejut tapi wajahnya tambah bersinar. "Astaga, gue kira lo enggak dateng." Dia langsung bangkit dan memeluk gadis yang lebih muda darinya dua tahun itu. Senyumannya berkembang ayu di wajah cantiknya. "Enggak mungkin. Gue udah sempet-sempetin nyampe tepat waktu khusus buat lo." Hellen menguyel-uyel seniornya tersebut. "Kak. Selamat, Kak. Sumpah gue ikut seneng lo akhirnya mau nikah." Tanpa semua yang ada di meja tahu, Hellen sedang setengah basa-basi sekarang. Dia sedikit khawatir dengan sahabatnya ini. Keputusan yang diambil Juwita ini berat. Tapi, dia bisa melihat kesungguhan dari sahabatnya selama seminggu ini.Juwita tertawa. Dia melepaskan pelukannya pada Hellen. "Kamu juga cepetan nyusul, ya.""Dih, mentang-mentang udah nikah. Sekarang nodong

Bab terbaru

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Expart 1

    "Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Keluarga Jamal 2

    Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Keluarga Jamal

    "Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Panggilan Ke Sekolah

    Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Permintaan Bunga

    Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Berbicara Dengan Bunga

    "Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Menemui Ibu

    Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Bunda Tahu Ibu

    Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Aku Berjanji, Juwita

    Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.

DMCA.com Protection Status