Home / Pernikahan / JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA / Menikahlah dengan Saya

Share

Menikahlah dengan Saya

Author: Lily Arriva
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Jamal termenung sambil menatap pemandangan malam kota Sidoarjo dari dinding kaca lebar ruang rawatnya. Kondisinya sudah membaik dan luka operasinya sudah pulih. Pun dia juga sudah merasakan badannya telah kembali sehat seperti semula. Bahkan lebih sehat dari pada yang sebelumnya. Helaan napasnya berembus dengan sangat berat. Seberat beban segan dan terima kasih yang harus dia tanggung sekarang.


Pikiran Jamal melayang, menelusuri awal kejadian pada sekitar tiga minggu yang lalu. Awal mula dia pertemuannya dengan Juwita. Sejenak, dia merutuki dirinya. Kenapa juga waktu itu dia sok menjadi pahlawan dan membantu wanita tersebut dari para lelaki jalanan. Padahal dia sendiri juga tahu kondisinya saat itu sedang tidak terlalu sehat dan dalam keadaan kecapekan habis pulang kerja. Dia malah tanpa berpikir panjang melawan tiga orang tersebut dan berakhir seperti ini di rumah sakit. Ah, yang memalukan sekali adalah dia sempat ditemukan pingsan terlebih dahulu sebelum dibawa ke sini.


Lalu, dia harus menerima semua perawatan mewah selama tiga minggu ini. Tak hanya dirinya, anaknya juga mendapatkan makanan enak setiap kali wanita itu menjenguknya. Dia tahu bahwa itu adalah bentuk balas budi Juwita kepadanya. Akan tetapi, ini semua berlebihan. Bahkan, dia saja hanya melawan para lelaki nakal itu dan menelepon polisi. Kehendak hatinya mengatakan bahwa dia harus membalas atau mengembalikan apa yang telah Juwita berikan kepadanya. Namun, melihat ekonomi dan keadaannya sekarang, dia rasa itu sangat berlebihan. Bahkan untuk membelikan Jevano makanan sehari-hari di rumah sakit saja dia harus berpikir panjang.


"Astaga, rumit sekali hidupku ini."


Kepalanya menunduk. Dia sangat sadar bahwa dia sendiri yang memilih untuk jalan hidupnya dan berakhir sedemikian rumit. Dia jadi teringat bahwa dia masih mempunyai tanggung jawab untuk membiayai Jevano setelah masuk SMA favorit pilihannya. Yang berarti dia sudah pasti harus lebih bekerja keras lagi.


Ya, bekerja keras. Karena dia juga tidak mempunyai pekerjaan tetap sekarang. Masalah dia bilang ke anaknya tentang dirinya yang dipromosikan dan akan pindah di kantor yang lebih besar hanyalah akal-akalanya saja. Dia terpaksa berbohong kepada Jevano agar anaknya tidak memikirkan dirinya dan bisa belajar dengan tenang.


Dia sangat ingat waktu itu. Di mana dia pulang lebih awal sambil membawa barang-barang pribadinya dari kantor ke kontrakan. Dia kaget saat melihat Jevano sudah ada di rumah padahal saat itu baru jam sepuluh pagi.


"Kok, Ayah udah pulang?" tanya Jevano.  "Kenapa bawa barang-barang juga?"


Jamal tersenyum, memperlihatkan kedua lesung pipinya. "Ayah harus beresin barang di kantor. Mau pindah soalnya."


Mata Jevano melebar. "Kenapa?"


Pria itu meletakkan barangnya di sebelah kursi dan duduk di sebelah anaknya yang sedang membaca buku. "Ayah dipromosikan. Jadi mau pindah kantor ke yang lebih besar."


Jevano mengangguk, mengiyakan saja apa yang dikatakan ayahnya.


"Kalau kamu? Kenapa udah pulang?" Dia membelai kepala anaknya.


"Guru-guru rapat, Yah. 'Kan, habis ini aku mau ada ujian akhir. Ayah lupa?"


Astaga, Jamal memang lupa. Pantas saja anaknya ini sudah di rumah.


Jevano tampak memikirkan sesuatu. "Hmm, Yah. Kata Bu Intan kurang aku doang yang belum bayar uang untuk spp bulan depan sekalian ujiannya."


Jamal mengangguk. Dia mengambil amplop yang ada di sakunya dan memberikannya kepada Jevano. "Bayar pakai ini, ya. Ayah juga lupa mau melunasinya kemarin."


Jevano menerima uang itu dengan senang. Meskipun dia tidak tahu menahu bahwasanya itu adalah pesangon terakhir yang didapatkan oleh ayahnya sebelum dipecat karena perusahaannya bangkrut.


Ya, Jamal telah berbohong. Dan seperti adat kebohongan dari jaman dahulu, satu kebohongan akan melahirkan kebohongan yang lain.


Setelah hari itu, Jamal tetap memakai baju kantornya dan menyiapkan koper setiap pagi. Berlagak bahwa dia akan pergi ke kantor untuk menutupi kebohongannya dari Jevano. Lalu, dia akan pergi ke mana pun untuk mendapatkan kerjaan.


Berbagai kantor dan perusahaan telah dia datangi untuk melamar pekerjaan, namun hasilnya selalu nihil. Dia tentu saja kalah saing dengan para pemuda yang mempunyai energi yang segar dan potensi untuk ke depannya. Maslaah umur memang tidak ada yang bisa mencurinya.


Lalu, Jamal akhirnya memutuskan untuk bekerja serabutan demi mencukupi biaya makan sehari-hari. Dia tidak ingin tabungannya yang dia siapkan untuk membiayain Jevano masuk SMA favoritnya berkurang. Dia pun mulai menghemat pengeluarannya secara ketat hingga hanya makan sekali sehari, yaitu ketika sarapan dengan Jevano. Untuk minum pun dia sangat perhitungan.


Tak halang tubuhnya mengurus. Jevano yang sadar akan hal itu pernah bertanya kepadanya. Namun, sepertinya Jamal memang mahir dalam menutupi fakta. Dia hanya menjawab, "Pekerjaan baru Ayah lebih banyak dan berat. Mungkin ini juga efek mikir."


Untuk yang satu ini dia memang tidak benar-benar berbohong. Dia hanya mengucapkan fakta yang dibungkus dengan baik.


Lalu, hari itu tiba. Di mana saat dia memang benar-benar kehabisan tenaga karena bekerja sebagai tukang angkat barang di sebuah pergudangan. Tentu saja dia membawa pakaian ganti untuk kerja serabutannya. Pun saat itu badannya sedang tidak sehat. Dia pun mati-matian mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendapatkan bayaran dua ratus ribu sehari.


Akibatnya, dia yang sudah tidak dalam keadaan baik semakin tidak baik. Dia berjalan sedikit sempoyongan dan tentu saja perutnya terasa sakit karena lapar. Namun, entah dia dapat kekuatan dari mana. Dia langsung saa menolong wanita yang sedang digoda oleh para lelaki nakal saat berjalan di pertokoan sepi itu. Nalurinya sebagai pria yang baik mengatakan bahwa dia harus menolong wanita tersebut.


Lalu ... di sinilah dia berakhir. Helaan napasnya terdengar berat lagi.


Bersamaan dengan itu, suara pintu yang diketuk membuat dirinya menoleh. Terlihat Juwita sedang memasuki ruangan dengan membawa tas kertas yang dia yakini adalah makanan untuk Jevano.


"Maaf. Apakah saya mengganggu?" Juwita bertanya dengan sangat sopan. Dia tidak melangkah lebih masuk sebelum mendapatkan izin dari pria yang ada di depan dinding kaca itu.


"Silakan. Silakan masuk." Jamal menyambut dengan baik. Tangannya terbentang untuk mempersilakan duduk di sofa yang tersedia. Baru saja dia mengingat tentang wanita itu. Malah sekarang dia benar-benar melihatnya. "Anda tidak mengganggu sama sekali."


Juwita tersenyum simpul dan melangkah ke sofa. "Jevano mana? Dari kemarin saya tidak lihat." Dia meletakkan bawaannya di atas meja.


"Dia mengambil les dua hari sebelum ikut ujian masuk SMA. Jadi, dia menyuruhnya untuk di rumah saja." Jamal duduk berseberangan dengan Juwita.


Wanita itu mengangguk.


"Lagi pula, saya juga sudah pulih dan sehat kembali. Tidak perlu banyak dijaga. Pelayanan tim medis di sini juga sangat bagus. Terima kasih untuk Anda yang sudah repot-repot memberikan semua ini dan merawat saya di sini.

Juwita mengangkat telapak tangannya yang ada di lututnya. Lalu dia melambai kecil. "Ah, tidak. Saya harap Anda jangan sungkan. Ini sudah sepantasnya. Saya tidak membayangkan bagaimana keadaan saya dan keluarga kalau Anda tidak membantu saya."


Jamal menghela napas. Wanita di depannya ini terlalu baik. Dia jadi segan untuk mengatakan apa-apa. Bahkan terima kasih saja tidak cukup. "Tidak. Sudah seharusnya saya membantu Anda saat kesulitan."


Jeda di antara mereka. Juwita memainkan jemarinya, ragu akan mengatakan sesuatu.


"Katakan saja. Anda sepertinya ingin mengatakan sesuatu kepada saya. Apakah ada sesuatu yang akan Anda tanyakan?"


Jamal membaca dengan baik gelagat Juwita. Pun dia juga sudah membuat perkiraan pertanyaan-pertanyaan apa saja yang mungkin akan diajukan kepadanya. Tidak mungkin selama tiga minggu dia dirawat di sini Juwita tidak penasaran tentang dirinya. Apalagi mereka jarang sekali bertemu hanya berdua seperti ini. Biasanya, Juwita akan datang sebentar bersama teman dokternya dan mengurus hal-hal ringan yang berkenaan dengan dirinya saat tidak bisa banyak bergerak. Atau yang paling sering adalah wanita ini membawakan makanan dan cemilan untuk anaknya. Jadi, hal seperti ini pasti sudah direncanakan.


"Maaf, jika menyinggung Anda. Apakah benar jika Jevano akan masuk SMA favorit yang ada di kota ini?"


Ini di luar dugaan Jamal. Dari mana Juwita tahu? Perasaan dia tidak mengatakan hal itu tadi.


"Saya mendengarnya saat akan berkunjung beberapa hari yang lalu. Maaf, saya tidak sengaja menguping percakapan Anda dengan Jevano. Apakah ada kesulitan yang bisa saya bantu? Saya bersedia untuk melakukannya."


Jamal mengepalkan tangannya. Egonya terasa sedang disentil. Ini sudah seperti bukan kepedulian. Melainkan ikut campur.


"Saya masih mempunyai harga diri untuk tidak membuat orang lain mencampuri urusan sekolah anak saya. Lagi pula, apakah Anda sekarang sedang meremehkan saya?" Jamal berucap tegas.


Juwita membeku di tempat duduknya. Dia memang tidak dibentak. Tapi, kata-kata Jamal terlalu menusuknya.


"Bukan maksud saya meremehkan Anda. Tapi, saya merasa bersalah atas semua kejadian yang menimpa Anda setelah menolong saya. Saya hanya bermaksud untuk membantu."


"Anda mengasihani saya?" Tatapan Jamal lurus ke arah Juwita. Tatapan seorang pria yang terusik harga dirinya.


Segera Juwita menggeleng. "Bukan seperti itu."


"Lalu seperti apa? Apa yang Anda maksudkan dengan bantuan tersebut?"


Juwita berdiam sebentar lalu menghela napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Dia mencoba menenangkan diri agar suasana di antara mereka tidak lebih tegang lagi.


"Baiklah, saya akan bertanya tentang hal yang lain. Bolehkah?" Juwita memberanikan diri.


Jamal mengangguk. "Silakan."


"Kalau tidak menyinggung, tolong jawab pertanyaan saya. Selama di sini, saya tidak pernah sekali pun melihat istri Anda berkunjung. Apakah Anda ...."


"Ibu Jevano sudah tiada. Maka dari itu setiap hari Jevano yang datang kemari." Jamal menjawabnya dengan sangat lugas. Tidak ada lagi nada intimidasi.


Juwita mengangguk. Ternyata seperti itu. Pria di depannya ini tidak gengsi seperti tadi. "Kalau begitu, bolehkah saya yang meminta bantuan?"


Jamal menaikkan kedua alisnya. "Apa maksud Anda berkata demikian?"


"Saya ingin meminta bantuan Anda. Kalau tadi, Anda menolak untuk saya bantu, jadi bisakah Anda saja yang membantu saya?"


Jamal berpikir sejenak. Memperkirakan apa yang akan ditawarkan wanita di depannya ini sebagai bentuk 'bantuan' darinya. "Bantuan seperti apa?"


Juwita menautkan antara jemarinya. Tatapan pria di depannya tidak main-main membuat jantungnya berdegup kencang, gugup. Mungkin wajah dan tatapan datar yang dimiliki Jevano diturunkan dari ayahnya. Wanita itu menghela napas.


"Menikahlah dengan saya."

Related chapters

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Yakin?

    Masih pagi dan Juwita sudah menelepon Hellen untuk mengajaknya keluar. Hellen yang sedang mengambil libur pun mengiyakan dengan cepat. Tanpa banyak bicara, Juwita langsung berdandan dan pergi dari rumah. Dia menjemput Hellen. "Lo kayak orang kabur, Kak." Hellen masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah bangku kemudi. "Emang gue lagi kabur." Hellen memasang sabuk pengaman. Kepalanya miring, menoleh ke sahabatnya. "Enggak usah lihat gue kayak gitu. Lo mau gue kasih tahu sesuatu apa enggak?" Juwita berusaha menghindari tatapan mata Hellen. Jantungnya berdebar meskipun tidak minum kopi. "Kita ke kafe atau ke apartemen gue aja. Ah, enggak. Mendingan kita ke butik gue." "Tenang, woi. Lo lagi nyetir ini." Juwita menghela napas panjang. Ternyata susah juga untuk menyembunyikan pikiran yang menumpuk dari sahabatnya ini. Dia ingin los tanpa hambatan, bercerita tentang kemarin. Percakapan antara dirinya dan Jamal di rumah sakit itu terus saja membayang-bayangi dirinya semalaman. Dia jadi tida

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Mencari Persetujuan Dan Restu

    Satu lagi yang sampai sekarang membuat Juwita masih gelisah selain restu dari kedua orang tuanya. Bagaimana dia mendapatkan hati dari anak Pak Jamal?"Jevano belum tahu kalau gue sama Pak Jamal membuat keputusan ini. Gue juga takut kalau Jevano enggak bisa terima gue."Perkataan Juwita barusan membuat Hellen lemas sekaligus. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa. Dia tak habis pikir dengan sahabatnya ini. Kenapa malah mempersulit kehidupan, coba? Akan tetapi, dia tidak akan sefrontal itu untuk berbicara masalah sensitif ini kepada Juwita. Dia juga tidak mau temannya ini malah terbebani dengan omongannya. Dia harus menemukan cara agar bisa membuat hati Juwita lebih tenang."Kak, masalah Jevano bisa lo rundingin sama Pak Jamal, gimana bujuk dia. Yang terpenting sekarang adalah restu orang tua lo dulu. Lo enggak mau kebaikan mereka lo abaikan gitu aja, kan, demi lo bebas dari kencan buta?" Hellen memeluk sahabatnya dari samping. "Apa yang dimau sama Tante juga buat kebaikan lo, Kak. Lo em

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Kesenjangan Di Mata Jevano

    Gemerlap lampu yang dihias sedemikian rupa menerangi aula salah satu hotel bintang lima milik keluarga Anggari. Dekorasinya sangat mewah. Meja-meja panjang penuh dengan hidangan dengan tatanan boga yang menyegarkan mata. Makanan dan minumannya pun tidak bisa dibilang sederhana namun dihidangkan secara cuma-cuma. Semuanya telah dipersiapkan dengan sempurna meskipun hanya dalam waktu satu minggu."Jevano, sini. Ayo kita foto bareng." Juwita melambaikan tangannya kepada pemuda lima belas tahun yang sedang berdiri menyendiri di tengah keramaian para tamu undangan.Jevano mendekat, menuruti pinta Juwita. Dengan canggung dia berdiri di sebelah wanita yang sekarang sudah menyandang status sebagai ibu sambungnya, sambil menampakkan senyum tipis. Sungguh dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam acara besar dan formal seperti ini. Lebih lagi dia adalah tipe orang yang cukup tertutup. Seketika dia merasakan masuk ke dunia baru yang sangat asing."Ini yang namanya Jevano?" tanya seorang tamu

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Menikah Dengan Duda Anak Satu

    Setiap ibu pasti khawatir dengan masa depan anaknya. Lebih lagi jika mereka hanya memiliki satu anak. Hal itu pula yang membuat Nyonya Anggari terus menatap putri semata wayangnya dengan tatapan iba, bukan bahagia seperti semestinya. Berkali-kali dia harus menghela napas, mendesah, meringankan dadanya yang terasa sesak setiap melihat anaknya yang berfoto dengan para tamu. Juwita memang terlihat sangat bahagia dengan senyuman yang terus mengembang indah di wajah ayunya. Tangannya juga terus menggandeng duda yang baru dia kenal seminggu yang lalu. Entah kenapa hatinya resah. Padahal dia juga yang sangat menginginkan putrinya segera menikah."Aku gak tahu anak kita bakalan bahagia sama dia apa enggak," celetuk Nyonya Anggari yang duduk di samping suaminya.Tuan Anggari tersenyum menanggapi curahan hati Nyonya Anggari. Dia mengulurkan tangan untuk memijit pundak istrinya. "Yang penting dia udah mau nikah, Sayang. Itu yang kamu mau, kan?""Ya, tapi enggak sama duda juga, Pa. Anak satu, udah

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Kesungguhan

    "Kak Ju, ampun cantik banget sumpah." Siapa lagi tukang heboh yang berani mendekat ke keluarga Anggari kalau bukan junior sekaligus sahabat Juwita, Hellen. Dia memeluk Juwita dari belakang dan menempelkan pipi mereka.Juwita menoleh. Dia terkejut tapi wajahnya tambah bersinar. "Astaga, gue kira lo enggak dateng." Dia langsung bangkit dan memeluk gadis yang lebih muda darinya dua tahun itu. Senyumannya berkembang ayu di wajah cantiknya. "Enggak mungkin. Gue udah sempet-sempetin nyampe tepat waktu khusus buat lo." Hellen menguyel-uyel seniornya tersebut. "Kak. Selamat, Kak. Sumpah gue ikut seneng lo akhirnya mau nikah." Tanpa semua yang ada di meja tahu, Hellen sedang setengah basa-basi sekarang. Dia sedikit khawatir dengan sahabatnya ini. Keputusan yang diambil Juwita ini berat. Tapi, dia bisa melihat kesungguhan dari sahabatnya selama seminggu ini.Juwita tertawa. Dia melepaskan pelukannya pada Hellen. "Kamu juga cepetan nyusul, ya.""Dih, mentang-mentang udah nikah. Sekarang nodong

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Keluarga Baru

    Mentari dan langit sedang akur untuk membuat bumi terlihat lebih indah dan cerah. Entah karena alasan apa, mereka seperti mendukung sekali kebahagiaan pasangan pengantin baru kita. Warna biru dan sinar cerah adalah kombinasi yang pas untuk menikmati hari. Jevano baru saja selesai mandi setelah membereskan semua barangnya yang ada di kontrakan. Dia berniat untuk menjemur handuknya. Matanya tidak sengaja melihat sang ayah sedang memasukkan beberapa barang yang tadi belum sempat dia kemas di ruang tengah. Dia mendesah. Hari ini adalah sehari setelah pernikahan ayahnya. Dia kira, dia dan ayahnya akan tidur di kamar hotel bintang lima, mengingat acara pernikahan kemarin digelar di sana. Pun, dari yang dia dengar, hotel itu milik keluarga ibu tirinya. Bukan, bukan maksud Jevano mau memanfaatkan fasilitas bagus yang tak pernah dia rasakan selama hidupnya. Namun, kenapa tidak sekalian saja istirahat di sana, sih, padahal badannya sudah capek sekali tadi malam. Rasanya nanggung aja. Pun ay

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Tanpa Rasa

    Juwita berusaha untuk mengabaikan perasaannya. Dia menjabat dan mencium tangan suaminya saat pria itu sudah ada di depannya. Bergantian Jevano yang menjabat tangannya. "Kalian tidur nyenyak?"Jamal mengangguk."Syukurlah." Perkataan Juwita sangat manis. "Jevano?" Dia mencoba mengambil atensi anak tirinya yang hanya diam dan membuang pandang ke arah lain."Hmm?" Pemuda itu hanya melirik sebentar, masih dengan wajah datarnya."Kamu tidur nyenyak?" tanya Juwita sabar."Hmm." Hanya gumaman dan anggukan kecil dari Jevano sebagai jawaban.Mimik wajah Juwita sedikit berubah memandang Jevano. Dia merasa tidak dianggap. Dia pun menoleh dan langsung mengubah air mukanya saat sang suami mengelus lengan atasnya."Papa sama Mama?" tanya Jamal."Di dalam. Ayo masuk. Aku udah siapin makanan buat kita semua." Juwita kembali riang.Mereka memasuki rumah."Kamu yang masak?" Jamal berjalan di sebelah Juwita. Jevano membuntut di belakang."Hehehe. Enggak. Cuma bantu dikit-dikit doang, sih. Bibi yang masa

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Kepercayaan Yang Didapat

    Acara sarapan di rumah utama keluarga Anggari selesai. Jamal langsung dilambai oleh mertuanya untuk mengikuti ke lantai dua. Tuan Anggari membawanya ke ruang kerja yang ada di rumah tersebut.Sepanjang langkahnya menuju ruangan itu, Jamal menerka-nerka apa yang akan dibicarakan oleh Tuan Anggari dengan dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak boleh salah atau paling tidak, dia tidak boleh terlihat kikuk di depan papa istrinya. Dia harus terlihat mempunyai wibawa meskipun tidak sempurna dan masih menjaga kerendahan hati.Tuan Anggari mempersilakannya masuk. Lalu, dia yang menutup pintu ruang kerja itu."Santai saja. Saya tidak akan menginterogasi kamu, Jamal." Tuan Anggari menepuk pundak Jamal dan tersenyum. Dia melangkah ke dekat jendela.Jamal mengikuti langkah mertuanya dan tetap menjaga jaraknya, sekitar tiga langkah di belakang. "Ada keperluan apa, sekiranya saya dipanggil ke sini ... Pak?"Tuan Anggari terkekeh sambil berbalik badan ke belakang. "Panggil saya Papa, Jamal.

Latest chapter

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Expart 1

    "Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Keluarga Jamal 2

    Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Keluarga Jamal

    "Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Panggilan Ke Sekolah

    Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Permintaan Bunga

    Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Berbicara Dengan Bunga

    "Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Menemui Ibu

    Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Bunda Tahu Ibu

    Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Aku Berjanji, Juwita

    Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.

DMCA.com Protection Status