Aditya menjatuhkan tubuhnya ke atas pembaringan dengan kasar. Ia melepas dasi yang sejak pagi mengikat lehernya, dan membuang ke sembarang arah. Alleya, desisnya menahan geram. Ternyata, kamu juga sedang merencanakan sesuatu. Jika itu memang kemauanmu, maka aku tidak akan segan lagi. Mari kita lihat, siapa yang akan menyerah lebih dulu. Aditya mengambil ponselnya lalu mengirim pesan kepada gadis itu. Beberapa menit kemudian, ia menyeringai. Aku sungguh tidak sabar menunggu hari itu tiba, Alleya. Begitu kalimat yang ia kirim kepada Alleya. Aku benar-benar penasaran seperti apa wajah gadis itu sekarang, gumamnya bangkit dari pembaringan.
Alleya yang saat itu sedang asyik membalas pesan Nia, langsung membuka pesan dari Aditya. Apa!!!. Dasar pria narsis! Sok tampan, sok menawan, sok laku. Alleya mendelik kesal, membaca berulang kali pesan yang dikirim Aditya.
Tok.Tok.Tok.
Kepala Abraham suda
Alleya berteriak panik. "Mau apa kau?" Tubuh Alleya gemetar. Tiba-tiba udara di sekitarnya terasa begitu aneh. Ia melihat ke wajah Aditya dengan gusar. Mau apa pria ini? Jarak antara mereka berdua semakin tipis. Perlahan namun pasti, Alleya mulai bisa merasakan hembusan nafas hangat Aditya, yang beraroma peppermint, di ujung hidungnya. "Jang-jangan mencoba berbuat asusila di sini!" Suara Alleya bergetar karena gugup, merasa nafasnya tersengal-sengal. Detak jantung yang berdegup cepat, membuatnya mulai berkeringat dingin. Oh, Tuhan. Tolong selamatkan hamba, rapal Alleya dalam hati. Aditya terkekeh dalam hati, melihat wajah gusar Alleya yang menatapnya dengan pandangan nano-nano. Si Buruk Rupa yang polos. Alleya berulang kali menggigit bibirnya, berharap rasa takutnya teralihkan. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Rasa cemasnya semakin menjadi ketika ia menda
Mobil Abraham perlahan merangkak masuk ke halaman rumah Rudy. Aditya akan datang sedikit terlambat, karena ia harus bertemu klien yang sudah membuat janji dengannya sejak beberapa hari yang lalu. Rudy dan Rita menyambut di teras dan mengajak pasangan calon besannya itu masuk ke dalam rumah. "Aditya nanti menyusul. Masih ada urusan dengan kliennya." Abraham memberi alasan mengapa Aditya tidak tampak bersama mereka malam ini. "Tante..." Alleya yang baru saja selesai menapaki anak tangga terakhir, langsung datang menyongsong calon mertuanya. Senyum Lisa mengembang sempurna, begitu melihat kedatangan Alleya yang saat itu begitu anggun. Dengan wajah seperti ini saja, menantunya sudah terlihat begitu berkelas dan anggun, bagaimana lagi jika wajah Alleya semulus dan seputih artis-artis sinetron, yang sering ia lihat di televisi setiap malam. "Tidak menanyakan Aditya?" tanya Abra
Aditya membawa mobilnya di pagi buta. Seorang klien menyewa jasanya sebagai pengacara untuk pengajuan cerai sang istri, sedangkan kliennya masih bersikukuh untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Otaknya menolak kasus ini, tapi entah mengapa sudut hatinya justru menuntunnya untuk menerima kasus itu. Dia benci jika dalam menangani kasus harus melibatkan perasaan, karena itu bisa membuatnya mengambil keputusan yang cenderung tidak obyektif. Ponsel yang ia letakkan di depannya berdering. Alleya. Aditya menyipitkan matanya. Mengulang membaca nama pemanggil. Benar Alleya. Ada apa gadis itu menelponnya sepagi ini? Ia menepikan mobilnya sebelum menjawab panggilan Alleya. "Halo, Sayang." Aditya mencoba menggoda Alleya. "Isssh, apaan sih?!" Terdengar nada protes di ujung sana, yang justru membuat Aditya tersenyum samar. "Ada apa?" tanyanya kembali ke sua
Aditya mengikuti mobil Alleya yang melaju di depannya, dengan kecepatan sedang. Ia sudah menghubungi sekretarisnya, untuk mengosongkan jadwalnya tiga hari ke depan. Ia harus bisa memastikan keamanan Alleya dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimanapun, Alleya adalah wanita dewasa, yang bisa saja khilaf atau membuat khilaf orang lain. Mobil Alleya perlahan memasuki halaman rumahnya, sedangkan Aditya memilih memarkirkan mobilnya di luar kediaman Rudy dan Rita. Ia melangkah melewati jalan setapak yang di kanannya terdapat kebun bunga kecil lengkap dengan sebuah kolam ikan koi di tengahnya, hingga akhirnya mereka bertemu di teras. "Bersiaplah. Aku akan menjemputmu dua jam dari sekarang. Bawalah barang-barang yang berfungsi dengan baik, jangan yang aneh-aneh. Jika sampai aku menemukan barang yang aneh-aneh, aku akan langsung membuangnya ke kotak sampah." Aditya membalikkan bad
Menjelang maghrib, mobil yang membawa Aditya dan Alleya mulai memasuki kota Bandung. Aditya memacu mesin mobilnya menuju resort yang sudah disewa panitia reuni SMA Alleya. Aditya sengaja mengerem mendadak, agar dirinya tidak perlu repot-repot mengguncang-guncang tubuh gadis di sampingnya, yang tidur seperti kerbau. "Aduh." Alleya terbangun karena merasakan dahinya terantuk dashboard mobil yang ditumpanginya. Sambil meringis, dielusnya dahinya yang sedikit memar dan memerah. Ia langsung melempar pandangan penuh dendam ke arah pria di sampingnya, yang sedang sibuk melepas sabuk pengaman, lalu membuka pintu dan ke luar dari mobil. "Dasar pria kejam!" desis Alleya melepas sabuk pengamannya. Ia segera membuka pintu dan berjalan ke belakang, untuk mengambil kopernya. "Oh iya, aku tadi belum sempat memeriksa kopermu. Nanti, jika kita sudah berada di kamar, aku akan mulai merazia apa saja yang ka
"Kak Adityaaaa!" teriak Alleya kencang, membuat Aditya terlonjak kaget. Dengan wajah linglung, Aditya menatap ke segala arah, dan langsung menghampiri Alleya, memegang kedua pipi gadis itu dan menelisik setiap jengkal bagian wajah Alleya. Wajahnya masih sama, tidak ada yang berubah, pikir Aditya. Sukmanya sebagian masih belum terkumpul sempurna. "Ada apa?" dengan suaranya yang serak, Aditya duduk di dekat Alleya yang masih terkesima karena kedua pipinya baru saja ditangkup oleh Aditya. "Anu, eh, itu... Issh, tadi mau ngomong apa sih?"Alleya gelagapan sendiri. Dia benar-benar terkejut melihat sikap spontan Aditya yang langsung mendekat ke arahnya dan memeriksa setiap jengkal wajahnya. Lama menunggu jawaban dari Alleya, Aditya kembali menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Alleya dan melanjutkan tidurnya. Alleya tercengung. Lah, kenapa justru tidur lagi. "Kak! Ay
"Pengawal?" seru ketiga wanita cantik itu, dengan sedikit tertahan. Alleya mengangguk yakin, membuat ketiga sahabatnya saling melempar pandangan. "Tampaknya, ada cerita yang kami lewatkan. Ayo, ke sana!" Metta langsung menggandeng tangan Alleya. Namun dengan cepat, tangan Metta ditepis Aditya. "Biarkan Alleya berjalan sendiri." Suara penuh kharisma itu membuat Metta, Airin dan Susan sontak merasa gugup. Aura dingin mendadak menyelimuti mereka. Aditya mempersilahkan ketiga wanita itu untuk berjalan lebih dulu, baru kemudian dirinya dan Alleya mengikuti dari belakang. Alleya menghela nafasnya. Ia hanya bisa pasrah. Karena ia sudah menyetujui persyaratan yang di ajukan Aditya sebelumnya, maka mau tidak mau dirinya harus menepati janji. "Kau harus tetap bersamaku. Jangan menjauh sejengkal pun dari diriku!" Peringatan Aditya terdengar
Aditya masih menjabat erat tangan pria perlente di depannya. Tampan, tapi masih lebih tampan aku ketimbang dia, Aditya memuji dirinya sendiri. Ia meletakkan piring makannya di meja, lalu dengan cepat membawa pinggang ramping Alleya menempel tubuhnya. Alleya yang menyadari aura yang tidak bersahabat dari Aditya, terpaksa mengangkat wajahnya. "Halo, Joe." Sapa Alleya sambil tersenyum tipis. Pria perlente yang bernama Joe itu, terkesiap melihat wajah Alleya. Dengan cepat ia melepas jabat tangannya dengan Aditya, lalu sibuk mengamati wajah Alleya. "Ada apa dengan wajahmu? Apa yang terjadi dengan wajah cantikmu?" seru Joe pelan. Ia tidak menyangka gadis cantik yang sudah menawan hatinya sejak ospek hari pertama dulu, berubah menjadi rusak seperti sekarang ini. Joe dan Bobby, adalah duo tampan di sekolah Alleya dulu. Mereka memperebutkan Alleya, tapi tidak perna