Ups! Keceplosan. Bima mengutuk bibirnya yang berbicara tanpa ijinnya. "Tidak! Tidak ada apa-apa. Sudah-sudah, kita lupakan saja masalah ini." Bima mencari cara menghindari pertanyaan Alleya.
"Jangan mencoba berkelit dari Alleya, Kak! Apa ada orang lain selain Bobby yang tahu tentang semua ini?" Alleya mengepalkan tinjunya. Ingin ia melayangkan pukulan ke pria berjambang di depannya, tapi akal sehat mencegah dirinya melakukan hal gila. Tidak mengapa jika yang duduk di depannya adalah Aditya, tapi sayangnya, yang duduk di depannya saat ini adalah kakak sulungya.
"Tidak ada. Ya, tidak ada. Tidak ada." Jawab Bima sedikit kikuk. Meski Alleya adalah adik bungsunya, tapi, jika Alleya marah, ia tidak bisa berkutik. Karakternya yang tidak mudah marah, membuat dirinya disegani oleh Bima dan Ryan.
Alleya tidak tahu lagi. Mengapa semua orang menjadi seperti ini?
Aditya mengangkat ponselnya tanpa melihat identitas penelpon. Dengan suara serak, ia menjawab telpon itu. "Halo?" *Ada apa mencariku? Merasa mengenali suara di ujung telpon, Aditya langsung menatap layar ponselnya. Hanya nomor. Tidak ada dalam buku telponnya. Nomor baru? Aditya merasa heran, kembali menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya. "Apakah kita bisa bertemu? Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu?" Suara Aditya terdengar memelas. *Hmm. Kalau itu hanya sebuah undangan pernikahan, tidak perlu susah-susah untuk bertemu. Berikan saja ke orang rumah atau titipkan saja ke ruko-ku. Mereka akan memberitahuku. "Bukan. Bukan pernikahan. Tentu saja bukan soal pernikahan. Aku tidak bisa membicarakannya lewat telpon. Aku takut nanti akan timbul salah paham un
Alleya terkejut. Suara yang terdengar dari arah belakang membuatnya gugup. Meski ia tahu yang dimaksud pria di belakangnya adalah dirinya, Alleya bergeming. Ia lebih memilih berdiri mematung daripada membalikkan badannya, menghadap ke arah pria tersebut. "Kau benar Alleya kan?" Pria itu kembali bertanya pada Alleya. Alleya menjadi bingung harus bersikap seperti apa dirinya terhadap pria di belakangnya yang kini mensejajarkan dirinya, dengan berdiri tepat di samping Alleya. Suara penjaga kasir menyelamatkan Alleya, yang bergegas maju, memberikan keranjang belanjaannya kepada penjaga kasir. Pria tadi terus saja mengikuti Alleya. Alleya bergegas meraih belanjaannya dan berjalan keluar dari mini market secepat yang ia bisa. Karena tidak ingin terlibat pembicaraan dengan pria itu, Alleya bergegas menuju mobilnya, membuka pintu dan deng
"Ap-Apa maksud Papa barusan?" Oh, Lord. Jangan lagi. Cukup Kak Bima saja yang punya ide gila menjodohkan dengan salah satu duo error itu. "Ya, Papa kira maksud Papa sudah cukup jelas. Kalau Al mau, Papa akan mencarikan calon suami baru untuk Al. Atau mungkin... Al masih belum move on dari Aditya?" Alleya langsung tersedak air liurnya sendiri. Belum move on dari Si Balok Es? Heeh, yang bener ajah. Alleya memaki-maki dalam hati. Jatuh cinta dengan Aditya? Tentu saja tidak. Suka? Ya jelas saja. Ups. Maksudnya suka liat wajah tampannya. Jika mengingat betapa menyebalkan sikap dan tingkah laku Aditya, Alleya segera menendang rasa sukanya sejauh mungkin dari hatinya. Pria itu belum layak untuk menempati sudut hati terdalamnya. Sikap dingin, menyebalkan serta angkuhnya, membuat penilaian Alleya terhadap Aditya hanya tersisa beberapa persen saja.
"Halo?" Suara Aditya terdengar pelan namun jelas.Hening. Tidak ada jawaban dari ujung sana, meski telpon darinya diangkat. Sabar. Satu kata yang entah dibisikkan oleh siapa saat itu, tiba-tiba terdengar di telinga Aditya dan juga hatinya. Selama satu menit, tidak ada suara yang terdengar. Aditya mulai menjauhkan ponsel dari telinganya saat terdengar suara berat di ujung sana."Masih ingat dengan nomor ini?" Nada suara yang didengarnya begitu dingin dan mengerikan, membuat Aditya sejenak merasa gugup dan takut. Ia baru menyadari jika sifat dingin dan mengintimidasinya, ternyata berasal dari sang papa.Aditya bergeming. Ia tidak berniat untuk menjawab, karena takut misi yang sedang ia jalankan akan gagal sebelum waktunya. "Apakah aku sedang berbicara dengan angin?" Kembali suara dingin Abraham menyentil telinga Aditya."Buang-buang w
Deg. Aditya langsung merasa lemas. Ia menatap Rudy, calon mertuanya dengan tatapan yang lemah. Ia sudah menduga dari awal, sejak ia memikirkan hal ini. Namun, meski dirinya sudah mempersiapkan perasaannya untuk menerima penolakan yang mungkin akan ia terima, rasa sedih masih tetap datang menghampirinya. Ia tahu jika dirinya hanya memiliki peluang satu persen dan dirinya menggantungkan harapannya pada kemungkinan yang hanya satu persen itu. Sekarang, harapan itu sudah meninggalkan dirinya. Sudah tidak ada lagi kesempatan untuknya bertemu Alleya dan memperbaiki kesalahannya. Aditya menguatkan hatinya. Ia berusaha tersenyum, meski hanya seulas senyum tipis yang ia bingkai di kedua sudut bibirnya. Ia sudah bisa menebak jawaban apa yang akan diberikan oleh kedua orang tua Alleya dan ia bisa memakluminya. Orang tua mana yang tidak sakit hati mengetah
Aditya membeku di tempatnya. Kata-kata Bima terdengar begitu menusuk telinganya. Tangannya pun mengepal. Bukan mencari sesuatu yang ingin ia pukul, namun lebih mengalirkan emosi yang perlahan menguasai dirinya. Tidak menolak tuduhan yang diberikan Bima padanya. "Apa lagi yang ingin kau lakukan pada Alleya? Masih belum cukup kamu mempermalukannya?" Langkah Bima semakin mendekat ke arah Aditya. Tangannya terus saja mengepal. "Bimaaa..." Suara Rita melembut berusaha meredakan emosi putra sulungnya. Ia melihat kedua tangan Bima yang sudah mengepal erat. Ia takut akan terjadi perkelahian di rumahnya, apalagi di sini ada Rudy yang jelas akan mengamuk jika melihat anaknya berkelahi, terlebih Aditya sudah meminta maaf sebelumnya kepada mereka. "Ma! Mama tidak tahu seperti apa si brengsek ini. Ia tega berduaan, bermesraan di depan Alleya, dan itu tidak hanya sekali. Ia sudah berkali
Jantung Aditya melompat-lompat hendak lepas dari tempatnya, membuatnya merasa lemas seketika hingga tanpa ia sadari tubuhnya melangkah mundur beberapa langkah ke belakang. "Siapa? Siapa yang akan melamar Alleya?" Kini giliran Rita yang menginterogasi Bima, dengan terbata-bata. Ia sangat terkejut. Siapa yang diam-diam menaruh hati pada putri semata wayangnya? Bima berdecak kesal. Meski dirinya tidak tahu apakah Bobby sudah mengungkapkan perasaannya pada Alleya atau belum, dan apakah lamaran itu di terima atau ditolak. Tapi, karena ia sangat ingin menjatuhkan mental Aditya maka ia mengatakan hal yang belum pasti kebenarannya. "Teman SMA Alleya dulu, Ma. Pegusaha muda yang merintis usahanya sendiri dan kini usahanya berkembang pesat. Anaknya baik dan selalu perhatian pada Alleya. Mungkin kalau Bima mengajaknya bermain kemari, Papa dan Mama akan ingat orangnya seperti apa?"
Aditya menggenggam erat kemudinya. Bayangan seorang pria melintas di benak Aditya, membuatnya menggeram dan semakin mengeratkan genggamannya pada kemudi di depannya. Joey, gumamnya setengah menggeram. Kedua alis hitamnya nyaris menyatu, giginya bergemelatuk, menahan emosinya. Namun, menit berikutnya bayangan pria lain datang mengganggu benaknya. Bobby? Mungkinkah pria berkulit putih dengan lesung pipi di pipi kirinya? Jantung Aditya berdetak semakin kencang dan tidak beraturan. Kedua tangannya kini mencengkeram kemudi yang sejak tadi digenggamnya dengan kuat. Pria-pria itu. Mana diantara keduanya yang sedang berupaya keras mendekati Alleya? Aditya ke luar dari mobilnya, membanting keras pintu dan melangkahkan kakinya ke pinggir. Mengeluarkan sebatang cerutu dari balik kantong jaketnya. Ia tidak pernah menghisap cerutu, kecuali jika sudah tidak bisa lagi mengontrol emosinya. Dihi