"Untuk apa kamu datang kemari?" Suara ketus Alleya menyapa Aditya.
Rudy perlahan bangkit. "Yang dicari sudah datang. Om tinggal dulu." Aditya bediri dan mengangguk lalu kembali duduk di kursinya.
"Al?" Aditya merasa salah tingkah. Ia idak mengira jika Alleya masih enggan untuk menemui dirinya. Ia pikir Alleya sudah mulai kembali menerima keberadaannya. Peringatan dari kakak Alleya kemarin ternyata terbukti. Gadis yang ia anggap lemah dan mudah diajak kompromi, ternyata begitu sulit untuk dijinakkan.
Aditya melihat wajah Alleya yang tampak aneh menurutnya. Bukan wajah, lebih tepatnya, mata gadis itu tidak seperti biasanya. "Bisa tidak kita jalan-jalan sebentar. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu?"
Alleya mendengus. Entah mengapa dirinya merasa sangat kesal. Ingin rasanya mengusir pria di depannya, tapi di sudut hatinya ada sedikit rasa
Pramusaji mengetuk pintu ruang sebelum masuk dan mulai meletakkan semua pesanan Alleya. Aditya dan Alleya terdiam membisu, menunggu pramusaji menyelesaikan tugasnya. Setelah pramusaji ke luar dari ruangan itu, Aditya memulai penjelasannya. "Pertama, Alleya. Aku minta maaf. Kakak minta maaf. Hari itu, Kakak membiarkanmu pulang sendiri. Kakak sangat menyesal. Kakak baru sadar jika Kakak sudah melakukan hal yang sangat tidak terpuji, membiarkanmu pulang sendiri. Maaf karena hari itu juga Kakak mengabaikanmu. Percayalah, begitu mengetahui dirimu sudah tidak ada lagi di gedung itu, Kakak langsung bergegas mencarimu dan menyusulmu ke ruko, tapi kamu tidak ada." Alleya menggerutu dalam hati. Menyesal? Tapi mengapa malah keterusan sama cewek itu? "Hari-hari selanjutnya Kakak terus berusaha menunggumu di depan ruko, tapi kamu tidak pernah ada. Menurut asistenmu itu, kamu sedang ada uru
"Beri aku kesempatan untuk belajar mencintaimu." Tatapan Aditya begitu memohon, membuat Alleya berdecih kesal. "Kesempatan seperti apa yang kakak inginkan?" "Biarkan aku mendekatimu, mak-maksudku aku akan melakukan pendekatan padamu seperti awal-awal perkenalan kita dulu." Alleya terdiam. Memang bisa hal seperti itu dipaksakan? Bodo, ah! Terserah dia aja mau ngapain. Orang nggak rugai apa-apa, untung malah, ditraktir teruus. Alleya tersenyum simpul, penuh akal bulus. "Terserah, Kakak aja. Tapi, aku hanya memberi satu kesempatan, tidak ada kesempatan yang kedua, dan yang penting dari semua itu, jangan pernah minta ditraktir balik!" Alleya beranjak dari duduknya, hendak pulang. "Iya, iya. Kamu tenang aja. Tapi ini .. Ini kamu mau ke mana?" Aditya buru-buru menyelesaikan makannya. "
Abraham bergegas mendatangi Lisa, istrinya yang tengah menyiapkan kemeja yang hendak dikenakan Abraham untuk meeting satu jam lagi. Untungnya, pertemuan bisnis hari ini diadakan di hotel yang sama dengan tempat mereka menginap, jadi Lisa tidak perlu terburu-buru menyiapkan semua kebutuhan Abraham. "Ma! Mama!" Suara Abraham terdengar sedikit panik, mencari-cari Lisa. "Ada apa, Pa! Tenang. Kemeja dan jas sudah siap. Sudah licin. Habis dianterin petugas laundry hotel barusan." Lisa melangkah ke meja di depan tempat tidur, mengambil tas kerja Abraham lalu melangkah ke arah Abraham yang terlihat tergesa menghampirinya. "Bukan. Bukan itu! Mama nanti, setelah Papa ke luar buat ngikutin meeting, harus sesegera mungkin beberes!" "Loh loh loh?? ... Memang kenapa, Pa? Mama kan belum sempet beli oleh-oleh untuk Rita sama Alleya?" "Sudah, ngikutin
Aditya terpaku di tempatnya berdiri. Ucapan Abraham menciutkan nyalinya saat itu juga. Amarah sang papa dapat dengan jelas ia lihat dan rasakan. Terdengar langkah kaki dari dalam yang terdengar terburu-buru. "Ada apa, Pa? Kenapa Papa berteriak-teriak marah seperti itu? Apa ada orang yang tidak dikenal datang kemari?" Lisa menghampiri Abraham dan segera mengelus punggung suaminya, menenangkan amarah Abraham yang sangat kentara dari nada suaranya. "Mama lihat sendiri. Ada tamu tak diundang yang datang malam-malam begini." Abraham melangkah mendekati kursi yang ada di sebelah kanannya, lalu mendudukkan dirinya di sana. Lisa mengikuti arah telunjuk Abraham. Bibirnya seketika ternganga, kedua tangannya langsung menutup mulutnya. Ekspresinya berubah drastis. Wajah sendu kini yang terlihat. Gumpalan air mata mulai terbentuk di kedua sudut matanya. "A-Adit... Adit-tya...
Aditya tercekat. Ia merasa tidak percaya dengan yang baru saja didengarnya. Abraham, papanya, sama sekali tidak percaya jika dirinya sudah meminta maaf pada kedua orang tua Alleya dan juga dengan Alleya sendiri. Apa yang harus aku lakukan? Sebegitu bencikah papa padaku sekarang? Aditya tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Menguatkan hatinya untuk terus menyimak perbincangan orang tuanya. Ia penasaran sekaligus ingin mengetahui apa maksud kedatangan orang tua Alleya. "Benar kamu tidak mau mempercayai omonganku, Bram?" Rudy kembali menyentak kalbu Abraham, yang benaknya terisi bayangan Aditya yang masih bersikukuh untuk ke luar dari rumahnya demi bersama dengan Nara, wanita yang berhasil menguasai pikiran Aditya. Abraham hanya duduk diam. Pandangannya menerawang ke langit malam. Ponsel Rudy tiba-tiba berdering. Alleya menelpon dirinya s
Aditya terbelalak, begitu juga dengan Lisa, Rita dan Rudy. Mereka tidak mengira jika Abraham akan mengajukan persyaratan seperti itu. Terlebih lagi Aditya. Dirinya baru saja meminta maaf kepada Alleya dan memohon pada gadis itu, agar bersedia memberinya satu kesempatan untuk mengulang semuanya dari awal lagi. Apa yang akan Alleya katakan jika ia mengajak Alleya menikah bulan depan? Aditya menelan air liurnya sendiri. Apa-apaan sih, Papa ini? Sebenarnya apa yang sedang ada di kepala papanya? "Kenapa diam? Kamu tidak berani menerima persyaratan Papa?" Abraham menatap dalam Aditya. "Papa sudah bisa menebaknya. Kamu tidak serius saat meminta kesempatan pada Alleya." "Bukan begitu, Pa. Hanya saja..." "Hanya saja kamu nggak berani, kan?" Abraham mengejek Aditya. "Papa!" seru Lisa. Ia bergegas menghampiri suaminya
Sendok yang berada di tangan Alleya terjatuh. Ia tidak pernah membayangkan jika Aditya akan memiliki pemikiran seperti itu, pemikiran yang sempat terlintas di benaknya namun tidak pernah ia bayangkan jika Aditya pun memiliki pemikiran yang sama. Alleya membungkukkan tubuhnya untuk mengambil sendok yang terjatuh tadi. Kegugupan menyelimuti dirinya, dan sikapnya yang gugup ini tidak lepas dari pengamatan Aditya. "Ayo, kita makan! Keburu dingin nanti nasinya," ujar Alleya berusaha kembali bersikap biasa. Tanpa menunggu persetujuan dari Aditya, ia melahap makanan yang ada di hadapannya, mengabaikan Aditya yang bergeming dan masih terus menatapnya. "Apa kau takut?" tanya Aditya tiba-tiba setelah sekian menit mengawasi sikap gugup Alleya. Alleya menatap Aditya lalu mengangkat kedua bahunya, kembali menyantap makan siangnya. "Aku akan melakukan itu hanya jika kau tidak membe
"Apa kau tahu bagaimana rasanya ditolak?" Pertanyaan Bobby semakin menyudutkan Joe. Pria itu diam, tidak lagi menjawab pertanyaan Bobby. Sejujurnya, yang sebenarnya kalah sebelum bertarung adalah dirinya. Selama ini, Joe belum pernah sekali pun mengungkapkan perasaannya pada Alleya. Ia hanya menunjukkan lewat perhatiannya yang terkadang berlebihan terhadap Alleya, termasuk menjadi pelindung Alleya selama mereka duduk di bangku SMA. Ketakutannya adalah ketika Alleya justru akan menjauhi dirinya alih-alih tersanjung atas perhatiannya. Ia lebih memilih untuk mencari posisi aman. Asal Alleya selalu berada di dekatnya atau bersedia berteman dengannya. Bobby menghela nafas. "Aku sudah berkali-kali ditolak Alleya, dan yang terakhir kali dia mengancamku, tidak akan pernah sudi bertemu lagi denganku dan tidak akan pernah mengingatku sebagai temannya. Ia mencintaiku tapi bukan sebagai seorang pria dewasa namu