Aditya segera turun dari dari mobilnya, dan melangkah cepat begitu melihat gerbang tinggi kediaman orang tua Alleya terbuka dan sebuah motor matic berjalan ke luar. Aditya langsung menghadang motor itu. Ia menduga pengendara motor itu pasti Alleya, dan tebakannya tidak meleset.
"Untuk apa kau kemari?" suara Alleya terdengar begitu sinis di telinganya.
"Ikut aku sebentar. Aku ingin berbicara padamu. Sebentar saja." Aditya memaksa Alleya turun dari motornya dan meminggirkan motornya.
"Tidak mau. Aku sudah tidak punya urusan lagi denganmu. Aku sudah mengabulkan permintaanmu, jadi tolong jangan lagi menggangguku." Alleya mengatakan penolakannya tanpa sedikiti pun melihat ke arah Aditya.
"Al... Kakak mohon, bantu Kakak kali ini saja. Bantu Kakak menjelaskan keputusan Kakak ini kepada orang tua Kakak." Aditya terus memohon pada Alleya. Aditya meminta agar Alleya mem
Rudy hanya menggelengkan kepalanya. "Papa juga tidak tahu. Maksud Papa, Aditya itu tipikal orang yang tidak gampang mempercayai suatu kejadian atau perkataan orang kecuali dia melihat sendiri kejadian itu atau menemukan bukti valid, yang mendukung cerita atau kabar yang dia dengar." "Maklumlah, Ma. Pengacara. Selain insting, mereka juga sangat mendasarkan segala sesuatu pada bukti yang valid." "Mama jadi penasaran, seperti apa wanita yang sudah membangunkan macan tidur Abraham?" "Ya, yang jelas dia pasti cantiklah, Ma. Papa juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Aditya. Anakmu itu saja yang terlalu nyeleneh. Yang wajahnya jelek dan pas-pas an saja rela mengeluarkan uang sekian puluh juta biar bisa keliatan cantik, atau paling tidak lebih putih dari aslinya. Nah, anakmu itu..malah pilih jadi gadis buruk rupa. Ya jelas kalahlah sama yang begitu itu."
Surat pengunduran diri? Aditya tercenung mendengar kabar dari sekretarisnya. *Pak, segera datang ke kantor. Banyak klien yang menanyakan kapan mereka dapat memulai konsultasi mereka. "Aku ke kantor sekarang." Aditya menutup telpon dan beranjak berdiri. "Kau pulang sendiri. Aku harus segera kembali ke kantor sekarang." Aditya melangkah cepat meninggalkan Nara sendiri, yang masih belum sadar apa yang baru saja dikatakan oleh Aditya. Mesin mobil Aditya menderu, dan melaju meninggalkan parkiran mall yang hampir setengah hari dijelajahi Aditya dan Nara. William. Senior musuh bebuyutan Aditya. Pria berkepala hampir plontos itu sudah begitu menaruh rasa dengki sejak kedatangan Aditya di kantor advokasi itu. Akhirnya, pria berbadan besar itu, menemukan celah yang bisa digunakan untuk menjegal dan mengusir Aditya dari kantor advok
Sudah hampir satu minggu Aditya dan Erlin lembur menyelesaikan satu per satu pekerjaan yang menumpuk di meja kerjanya. Kasus demi kasus ia selesaikan secara bertahap. Apabila dimungkinkan penyelesaian secara kekeluargaan lebih Aditya utamakan daripada jalur hukum, karena jika sudah masuk ranah hukum maka proses yang harus di lalui akan sangat panjang dan cukup melelahkan. Tentunya, biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Kebetulan hari ini, hari sabtu. Aditya datang ke kantornya hanya untuk mengambil beberapa berkas, yang akan ia perlukan untuk berdiskusi dengan kliennya. Jam menunjukkan pukul delapan pagi, sedangkan meeting dengan sang klien baru akan dilakukan dua jam lagi. Sisa waktu yang masih dua jam, digunakan Aditya untuk berjalan-jalan sebentar mengitari toko buku yang tidak jauh dari tempat meetingnya nanti. Aditya sedang membolak-balik sebuah buku yang menarik minatnya. Tiba-tiba, pund
Nara terus berusaha mengejar Aditya. Akhirnya ia berhasil meraih tangan Aditya. Ia berusaha agar hari ini, Aditya bisa menghabiskan waktu bersamanya. Aditya terpaksa menghentikan langkahnya. "Nara! Aku ada urusan bisnis sekarang. Pekerjaanku masih banyak yang belum aku selesaikan. Jangan menambah runyam pikiranku." Aditya akhirnya meluapkan kekesalannya selama ini. Kekesalan yang sudah lama menumpuk dan berusaha ia pendam. "Aku tidak sedang bersenang-senang. Aku sedang meeting bersama klienku." Aditya menatap tajam Nara yang belum juga melepaskan cekalan tangannya pada telapak tangan Aditya. Ia benar-benar tidak habis pikir, mengapa Nara selalu saja mengganggu waktu kerjanya. Bukannya tambah pengertian tetapi gadis itu semakin menjadi-jadi, menghabiskan waktu produktif Aditya, hanya untuk sekedar jalan-jalan. "Ma-aaf, tapi aku kangen." Nara akhirnya melepaskan c
Bima mengalihkan pandangannya, mengikuti kedua orang yang baru saja selesai memesan martabak. Pasangan itu duduk tidak jauh dari tempat Bima dan Alleya duduk menikmati martabak mereka, tepat dua deret sebelah kanan di depan mereka. Bima diam, memilih untuk tidak memberi tahu adiknya tentang kehadiran pria yang sedang mereka bicarakan. Lewat sudut matanya, Bima terus saja mengikuti gerak-gerik kedua orang itu. Bima memusatkan perhatiannya pada si gaids. Rambut yang diikat ala ekor kuda, mengekspos leher putih yang jenjang, dihiasi seuntai kalung emas yang berselang seling dengan mutiara berwarna putih. Rok sepanjang mata kaki dengan atasan sebuah hoodie berwarna kuning kunyit, membungkus tubuh tinggi semampai khas seorang foto model. Bima terus saja mengamati pasangan itu. Kini perhatiannya beralih ke sosok pria yang duduk tepat di samping gadis itu. Sebagai sesama pria, Bima juga mengagumi sosok Aditya ya
Ryan menarik sebuah kursi di samping Bima. " Pria brengsek? Apa aku sudah melewatkan sesuatu?" Pria berpotongan seperti Tom Cruise itu, menyeruput teh hangat yang baru saja diminum Bima. "Bang, Teh panas satu lagi ya?!" Ryan memesan lagi satu teh panas kepada pelayan yang baru saja mengantarkan pesanan ke meja di samping kanan mereka. Setelah pelayan itu mengangguk menerima pesanan Ryan dan meninggalkan mereka, Ryan menatap kakak dan adiknya secara bergantian. "Apa dia bikin ulah lagi?" Ryan menatap lekat Alleya. Yang ditanya malah mendesah panjang. "Ulah? Ulah yang mana? Kak Bima aja yang nggak bisa menahan emosi." Alleya menyeruput teh panasnya yang kini sudah berangsur hangat. "Sudahlah, Al. Laki-laki seperti tidak usah kamu lindungi. Percuma, nggak ada untungnya sama sekali." Bima tidak percaya jika adiknya justru memihak pria brengsek itu.
"Sayaaanggg?!!! Seru Rita kembali karena tidak ada satu pun yang bersuara, menjawab pertanyaannya. Netranya menatap satu per satu putranya, sedangkan Alleya memilih menundukkan matanya. Dengan berat hati sembari menghela nafas kasar, Bima akhirnya mengatakan yang sebenarnya jika ia telah memberi Aditya sedikit shock therapy.Rita ternganga demi mendengar pengakuan jujur putra sulungnya. "Bima... Apa yang membuatmu melakukan itu? Kamu sudah dewasa, harusnya bisa lebih bijaksana. Bukan malah membiarkan setan menguasai dirimu lalu melampiaskan emosi sesaatmu." Rita menatap Bima dengan tatapan gemas. Mengapa anaknya bisa bersikap kekanak-kanakan seperti itu? "Ma! Jangan Mama menyalahkan Kak Bima. Wajar kakak membela adiknya. Kalau saja Ryan juga ada di sana, mungkin saja si brengsek itu sudah tidak bisa berjalan lagi." Ryan tidak terima jika kakaknya d
Abraham dan Rudy terlibat pembicaraan serius di ruang tengah kediaman Abraham, sedangkan Rita dan Lisa hanya menyimak. Kenyataan bahwa Aditya tidak lagi tinggal bersama kedua orang tuanya, membuat Rudy dan Rita terkejut. "Apa maksudmu?" tanya Rudy, menatap dalam Abraham. Pria berwajah kalem itu tidak menyangka, jika sahabatnya benar-benar membuktikan kata-katanya bukan hanya sekedar ancaman. "Maksudku, bahwa anak itu tidak boleh lagi menginjakkan kaki di rumah ini dan tidak aku akui lagi sebagai ahli warisku sebelum ia meminta maaf pada Alleya." "Aku tidak menyangka jika kau benar-benar membuktikan ancamanmu,dan aku rasa kau terlalu berlebihan," ujar Rudy, memberi penilaian terhadap apa yang sudah dilakukan sahabatnya Lisa menghela napas panjang. "Karena dia sudah melakukan kesalahan yang sudah tidak bisa kami tolerir.
"Apan sih? Pagi-pagi gini sudah membicarakan hal yang sangat membosankan! Cari topik lain kenapa?" Aditya menggerutu. Dirinya malas sekali jika sang istri mulai membicarakan hal yang sama setiap pagi. Sebenarnya Aditya sendiri sudah mulai memikirkan permintaan papanya itu. Melihat Abraham yang kian hari kian terlihat lelah, membuat Aditya mulai memikirkan permintaan sang papa. Akan tetapi, dirinya masih tetap diam, tidak mengatakan apa pun kepada Alleya maupun Abraham."Ya sudah, kalau tidak bersedia. Jika suatu hari papa marah besar padamu karena aku jatuh sakit akibat kelelahan, aku tidak akan lagi membantumu. Dan jika sampai mama juga ikut mengutukmu karena sudah membahayakan calon pewaris perusahaannya, aku juga tidak akan mencegahnya," ujar Alleya bangkit dari duduknya lalu meletakkan sesuatu di atas meja riasnya.Apa maksudnya? Aditya menatap kepergian Alleya. Ia mengikuti gerak-gerik Alleya, dan gerakan All
Pintu kamar VIP itu terbuka secara perlahan. Alleya menatap ke arah pintu kamar yang sudah terbuka setengah, menanti penampakan sosok yang masih berdiri di luar. Alleya menatap Aditya yang melangkah pelan memasuki kamar rawat inap Abraham. Kedua netra pria itu, menatap Alleya yang kala itu tampak begitu bingung."Ada apa?" Bisik Aditya begitu pria itu berdiri tepat di samping Alleya. Saat Alleya hendak menceritakan hal yang tengah terjadi, tiba-tiba suara sinis Abraham menyentil telinga Aditya."Hmm, kemana saja kamu? Sudah selesai mengurusi pacar modelmu itu? Rubah betina tak tahu diri!"Aditya memandang Alleya dengan ekspresi bingung. Alleya mengedikkan kedua bahunya, sama-sama tidak mengerti dengan semua yang sedang terjadi di ruangan itu."Selamat Pagi, Pa! Sudah lebih baik dari kemarin kan?" Aditya mengabaikan pertanyaan Abraham, berjalan ke sisi kanan pembaring
Aditya memutar badannya, menghadap ke arah asal suara yang menyerukan namanya barusan. Sosok cantik Alleya memaku tatapan Aditya. Gelayar aneh merambat halus namun pasti, memenuhi relung hatinya. Seulas senyum terbit di kedua ujung bibir Aditya. Sekali lagi, ia mengucap syukur dalam hati, karena memiliki istri yang begitu cantik seperti Alleya. Suara pantofel setinggi lima sentimeter yang membungkus apik kedua kaki Alleya, menggema di ruangan itu. "Bagaimana, Papa?" tanya Alleya sesaat setelah dirinya tiba di depan Aditya dan keningnya dikecup Aditya dengan penuh perasaan. Alleya berusaha menekan dan mengendalikan dirinya yang rasa-rasanya ingin melompat dan melayang saat itu juga, mendapatkan perlakuan manis dan romantis dari Aditya. Senyum manis mengembang sedikit kaku, menutupi kegugupannya. Aditya bergeming tanpa mengalihkan pandangannya dari Alleya. "Sudah berhasil melewati masa kritis
"Berapa peluang pasien hidup, Dok?" Aditya berusaha meredam emosinya. Pria muda itu belum siap jika saat ini ia harus kehilangan salah satu dari orang tuanya. Masih banyak yang perlu ia lakukan untuk memperbaiki hubungannya dengan sang papa. Dokter Irfan tidak langsung menjawab. Pria tinggi berkulit putih dengan kacamata tanpa frame yang bertengger sempurna di hidung mancungnya, menatap Abraham yang sedang tertidur begitu pulas. Aditya sungguh tidak sabar menunggu jawaban meluncur mulus dari bibir tipis sang dokter. Jantungnya tidak bisa diam, berdegup tak beraturan, membuat dirinya berada jauh dari kata nyaman. Dalam sekali tarikan nafas, dokter muda itu, yang usianya terpaut tidak begitu jauh dengan Aditya, menjawab singkat pertanyaan Aditya. "Sembilan puluh persen." Mata Aditya terbelalak. Tidak percaya dengan indera pendengarannya, Aditya kembali memastikan jawaban sang dokter. Ia
Aditya terbangun dari tidur lelapnya ketika suara teriakan Lisa yang memanggil namanya menggema dari lantai bawah. Ia segera bergegas turun dari pembaringannya, mengambil mantel tidur, mengenakannya sambil berjalan tergesa ke luar dari kamar. Berbagai bayangan buruk melintas dibenaknya, membuat langkahnya semakin ia percepat. Setengah berlari Aditya menuruni anak tangga, menuju ke kamar kedua orang tuanya. Diketuknya pintu kamar orang tuanya. "Ma! Mama! Ini Aditya, Ma! Buka pintunya, Ma!" Aditya setengah berteriak sambil terus mengetuk pintu kamar di depannya. "Masuk, Nak! Papa...." Suara Lisa terdengar masih terisak. Tanpa menunggu lama, Aditya langsung masuk ke dalam kamar itu, menatap sekeliling, mencari sosok yang baru saja disebut oleh mamanya. Tidak ada. Ke mana papa? "Papa di mana, Ma? Ada apa dengan Papa, Ma?"suara Aditya sed
Aditya terus menatap Alleya yang masih berusaha melepas pernak-pernik yang menempel pada kepalanya. Dirinya masih tidak percaya dengan yang kenyataan yang ia terima hari ini. Selama ini, Alleya telah membohonginya. Gadis itu telah menyembunyikan wajah cantiknya di balik sebuah topeng buruk rupa, dan hal itu, telah berhasil mengecohnya. Aditya melangkah mendekat ke tempat Alleya yang hendak membersihkan wajahnya dari make up yang masih menempel di wajahnya. Ia menghentikan langkah kakinya, ketika Alleya bangkit dari duduknya, berjalan menuju toiletries lalu mulai membasuh wajahnya dengan sabun muka. Lima menit kemudian, Alleya kembali duduk di depan meja rias dan mulai membersihkan sisa make up yang masih tertinggal di wajahnya. Tatapan Aditya terus saja mengikuti kemana saja gadis itu bergerak. Ia mulai kembali melangkah mendekat ke arah Alleya. Kini, ia telah berdiri tepat di belakang gadi
"Khilaf?" Sekali lagi Lisa mengulangi pertanyaannya. "Apa maksudnya itu, Dit?" Lisa berjalan mendekat Aditya dengan langkah yang sedikit sempoyongan. Dirinya masih terkejut dengan pernyataan putra semata wayangnya itu. "Ah, Mama! Maksud Aditya bukan begitu. Aditya ingin memajukan tanggal pernikahannya. Tidak usah menunggu tanggal 9, tapi langsung dimajukan minggu depan saja, tanggal 2." Alleya semakin terkejut. "Ngomong apa sih?? Mana boleh seperti itu? Butuh persiapan dan rencana matang. Ini bukan hanya ngucap ijab aja terus selesai. Nggak seperti itu." Alleya mati-matian menolak ide Aditya yang menurutnya sangat gila itu. "Boleh!" Ucapan Rudy membuat Alleya tambah merana. Ia tidak mengira jika sang papa justru menyutujui ide Aditya, si Balok Es. "Papa! Kok Papa setuju sih? Kan nggak mungkin bisa..." sanggahan Alleya terputus dengan kalimat Rudy berikutnya
Nafas Alleya memburu. "Pengacara nggak ada akhlak! Main nyosor aja... Nggak punya sopan santun!" Teriakan Alleya terdengar Nara hingga wanita itu ke luar dari ruang keluarga, mendekat ke arah Aditya dan Alleya yang berdiri saling berhadapan, dengan jarak yang begitu dekat. Nara yang sejak tadi sudah sangat penasaran dengan penampilan Alleya yang namanya sempat disebut Aditya, terkejut ketika pandangannya jatuh di wajah Alleya. Apa?!! Gadis seperti ini yang akan menikah dengan Aditya? Wajah begitu buruk, sangat jauh dari wajahnya, mengapa bisa memenangkan hati Aditya dan kedua orang tuanya? Nara semakin terkejut, ketika ingatannya membawa dirinya ke pertemuan dengan Alleya beberapa waktu lalu di warung soto, ketika ia dan Aditya sedang sarapan pagi bersama. Saat itu Alleya juga tidak sendiri. Gadis itu datang bersama seorang pria yang tidak kalah tampan dengan Aditya. "Ka-Kauu, All-leya?" Nara benar-benar tid
Rudy memacu mobilnya dengan kecepatan yang lumayan. Semula hanya Rita yang merasa khawatir berlebih. Namun, ketika dirinya sendiri mencoba menghubungi sahabat masa kecilnya itu, dan tidak juga mendapat tanggapan, membuat dirinya mulai merasa cemas. Ryan memilih untuk pulang terlebih dulu, dan akan datang lagi setelah ada kepastian tanggal pernikahan adiknya. Sepanjang perjalanan, Rita terus mecoba menghubungi Lisa, meski respon yang ia terima tidak berubah. Berulang kali dirinya melirik Alleya, berharap putrinya itu berhasil menghubungi Aditya, tapi kenyataannya tetap sama. "Tenang, Ma. Sebentar lagi kita akan sampai di rumah Abraham. Sebentar lagi, Papa akan menghujani pria itu dengan beratus pukulan, karena sudah berani membuat kita semua khawatir." Mobil Rudy akhirnya, berhenti tepat di depan gerbang bercat putih yang tinggi menjulang. Pintu gerbang itu terbuka, me