Abi berusaha keras mengendalikan mobil SUV miliknya agar tidak oleng karena jalanan yang dilaluinya sangat berlumpur dan licin. Dia harus berhati-hati dan fokus mengemudikan mobilnya agar tidak terperosok ke dalam jurang yang berada tepat di sampingnya.
"Bukankah ini sangat menyenangkan, Bi?"Abi menggeram kesal. Rasanya dia ingin sekali mengumpat mendengar pertanyaan sang ayah barusan.Bagaimana mungkin ayahnya menganggap kegiatan yang mempertaruhkan nyawa seperti ini menyenangkan? Apa ayahnya sudah kehilangan akal?"Jangan terlalu tegang, Bi." Dewangga mengusap lengan Abi yang sedang fokus mengemudi sambil tersenyum kecil."Ayah lebih baik diam," desis Abi tanpa mengalihkan pandang dari jalanan yang ada di hadapannya. Dia harus fokus jika tidak ingin mati konyol karena mobilnya jatuh ke dalam jurang.Sepanjang jalan yang Abi dan Dewangga lalui penuh dengan lumpur karena hujan turun deras tadi malam. Abi harus ekstra hati-hati mengemudikan mobilnya agar tidak terselip dan terjebak di dalam lumpur.Embusan napas lega sontak lolos dari bibir Abi ketika berhasil melewati jalanan berlumpur tadi. Jika tahu jalanan yang akan dilaluinya berlumpur dan licin, Abi pasti akan memilih diantar sopir dari pada membawa mobil sendiri."Apa rumahnya masih jauh, Yah?""Kalau tidak salah, anak buah ayah kemarin bilang rumah Bik Ijah tidak jauh dari jembatan, seharusnya sebentar lagi kita sampai, Bi."Abi pun mengurangi laju kecepatan mobilnya karena sudah melewati jembatan sambil melihat ke kanan kiri mencari rumah perempuan yang bernama Bik Ijah itu."Bi, stop, Bi!"Abi refleks menginjak rem mobilnya karena ayahnya tiba-tiba menyuruh untuk berhenti."Sepertinya ini rumah Bik Ijah." Dewangga mencocokkan sebuah foto rumah yang ada di tangannya dengan rumah yang berada tepat di samping kirinya.Abi pun ikut melihat foto berukuran 4R yang ada di tangan ayahnya. Ada sebuah pohon rambutan dan jambu air yang tumbuh di halaman rumah yang dindingnya terbuat dari kayu tersebut. Selain itu, di samping kanan rumah tersebut ada kandang ayam. Sama persis dengan yang ada di foto."Rumahnya benar yang ini, Bi. Ayo, turun." Dewangga melepas sabuk pengaman yang sejak tadi melingkari tubuhnya lantas turun dari mobil SUV milik Abi.Seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan terlihat sedang memberi makan ayam-ayam peliharaannya sambil menyenandungkan tembang Jawa lawas. Suaranya terdengar begitu merdu dan lembut di telinga."Dhek jaman berjuang. Njur kelingan anak lanang. Mbiyen tak openi. Ning saiki ono ngendi. Jarene—""Permisi ...."Wanita yang akrab dipanggil Bik Ijah itu sontak berhenti bersenandung karena mendengar suara yang berasal dari belakang tubuhnya. Perempuan yang rambutnya selalu disanggul itu pun sontak berbalik, menatap dua orang lelaki berpakaian rapi yang berdiri tepat di hadapannya."Maaf, apa benar ini rumah Bik Ijah?""Iya, benar," jawab Bik Ijah sambil menatap Abi dan Dewangga bergantian karena wajah ayah dan anak itu terlihat asing di matanya.Dewangga tersenyum lega karena datang ke rumah yang tepat. Akhirnya dia bisa bertemu dengan orang yang sudah merawat putri kandung mendiang sahabat baiknya setelah mencari selama puluhan tahun lamanya."Apa Bibik masih ingat saya?" Bik Ijah menggeleng pelan."Saya Dewangga, sahabat baik Fabian," ucapnya memperkenalkan diri."Dan ini putra saya, Abi," imbuhnya.Abi pun memperkenalkan diri yang disambut ramah oleh Bik Ijah. Wanita itu tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan sahabat baik mantan majikannya ketika bekerja di kota lima belas tahun yang lalu."Kenapa Bapak datang ke rumah saya? Apa Bapak ada urusan dengan saya?" tanya Bik Ijah terdengar was-was.Dewangga menarik napas panjang sebelum bicara. "Saya datang karena ingin menjodohkan anak saya dengan Jena.""Apa?" Tubuh Bik Ijah menegang mendengar ucapan Dewangga barusan. Dia benar-benar terkejut hingga tanpa sadar menjatuhkan tempat makan ayam-ayam peliharaannya yang sejak tadi berada di dalam genggaman hingga membuat isinya berhamburan keluar."Maaf kalau ucapan saya mengejutkan, Bibik. Apa kita bisa bicara di dalam, Bik?"Bik Ijah tergagap mendengar pertanyaan Dewangga lantas meminta mereka untuk masuk ke dalam rumahnya.Abi dan Dewangga duduk di kursi kayu yang cat-nya sudah terkelupas. Rumah Bik Ijah berukuran kecil seperti rumah di desa pada umumnya. Lantainya pun masih terbuat dari tanah liat. Meski begitu, Bik Ijah dan Jena tidak pernah mengeluh tinggal di sana."Maaf kalau rumah saya jelek.""Jangan bilang seperti itu, Bik. Rumah Bibik cukup bersih dan nyaman. Iya kan, Bi?" tanya Dewangga seolah-olah meminta persetujuan putra sulungnya.Abi mengangguk meskipun dia ingin sekali pulang sekarang. Bagaimana mungkin ada orang yang betah tinggal di rumah yang kecil seperti ini?Abi pikir tidak ada. Keterbatasan ekonomi yang memaksa Bik Ijah dan Jena untuk mensyukuri apa yang mereka punya."Jena di mana, Bik?" tanya Dewangga karena ingin melihat calon menantunya. Jena pasti tumbuh menjadi gadis yang cantik, pikirnya."Non Jena sedang mencari ikan di sungai, Pak. Maaf, saya tinggal ke belakang sebentar." Bik Ijah beranjak ke dapur karena ingin membuat minum untuk Abi dan Dewangga, tapi Dewangga malah melarang."Tidak perlu repot-repot, Bik.""Saya tidak merasa direpotkan sama sekali, Pak. Mohon tunggu sebentar." Bik Ijah melangkah kembali menuju dapur untuk membuat teh panas. Setelah selesai, dia menyuguhkan minuman tersebut untuk Abi dan Dewangga."Silakan diminum, Pak."Abi dan Dewangga pun menyesap sedikit teh mereka untuk menghargai Bik Ijah. Ayah dan anak itu sama-sama tertegun karena aroma teh tersebut sangat wangi."Teh buatan Bibik enak sekali," komentar Dewangga mewakili Abi. "Kalau boleh saya tahu. Anda membeli teh ini di mana? Saya ingin membeli beberapa untuk dibawa pulang."Bik Ijah tersenyum senang mendengar pujian Dewangga. "Teh itu Non Jena yang membuatnya."Dewangga terenyak mendengar ucapan Bik Ijah barusan, begitu pula dengan Abi. Mereka tidak pernah menyangka gadis yang tinggal di kampung seperti Jena bisa membuat teh seenak ini."Calon istrimu ternyata berbakat, Bi. Ayah jamin kamu pasti tidak akan kecewa dengan pilihan ayah." Dewangga menepuk punggung Abi sambil tersenyum kecil. Sepertinya keputusannya untuk menikahkan Abi dan Jena sudah tepat.Dewangga yakin sekali Abi pasti akan hidup bahagia bersama Jena."Ayah, please. Kita saja belum tahu calon istri Abi seperti apa," ucap Abi jengah karena Dewangga selalu mengelu-elukan Jena.Jika bukan karena perjodohan sialan yang diatur oleh kedua orang tuanya dan orang tua Jena, Abi pasti akan memilih melajang seumur hidup karena dia belum bisa melupakan mantan kekasihnya.Dewangga berdeham pelan. "Maaf kalau saya banyak bicara." "Tidak apa-apa, Pak. Apa Anda serius ingin menjodohkan Non Jena dengan putra, Bapak?"Dewangga mengangguk. Tidak ada keraguan yang terpancar dari kedua sorot mata lelaki berusia lima puluh enam tahun itu. Dewangga memang serius ingin menjodohkan Abi dan Jena karena putranya yang lain tidak mau dijodohkan dengan gadis itu."Iya, Bik. Saya dan almarhum Fabian sudah berjanji akan menikahkan anak kami jika mereka sudah dewasa. Karena itu saya datang jauh-jauh dari kota untuk meminta Jena sebagai istri Abi. Sebagai wali Jena, apa Bik Ijah menyetujuinya?"Bik Ijah meremas kesepuluh jemari tangannya yang terasa dingin. Dia tidak bisa memutuskan karena semua keputusan ada di tangan Jena."Maaf, Pak. Saya tidak mempunyai hak untuk memutuskan karena semua keputusan ada di tangan Non Jena."Dewangga menghela napas panjang. Padahal dia ingin mendengar jawaban 'Iya' dari Bik Ijah. Namun, wanita yang sudah merawat Jena sejak sahabatnya meninggal itu malah menyerahkan semua keputusan pada Jena. Semoga saja Jena mau menerima perjodohan ini."Baiklah, saya akan menunggu jawaban Jena. Kapan dia kembali?”"Mungkin sebentar lagi, Pak."Abi dan Dewangga pun menunggu Jena datang sambil menikmati teh hangat dan sepiring singkong rebus yang Bik Ijah suguhkan. Makanan itu sangat sederhana, tapi entah kenapa terasa sangat lezat di lidah mereka. Abi bahkan meminta dibuatkan teh lagi ketika teh-nya sudah habis."Bibik lihat! Jena dapat ikan banyak sekali! Hari ini kita makan enak!" Abi sontak menoleh, menatap gadis berambut cokelat yang berdiri di depan pintu sambil membawa seember penuh ikan. Pakaian gadis bermata hezel itu penuh dengan lumpur dan bau amis di mana-mana.Apakah benar gadis yang mirip orang-orangan sawah itu adalah calon istrinya?[Bersambung]
Sepasang mata bulat milik Jena mengerjab beberapa kali melihat dua orang lelaki yang sedang duduk di ruang tamu bersama Bik Ijah. Wajah kedua lelaki itu terlihat asing di matanya. Bik Ijah pun beranjak dari tempat duduknya lantas menghampir Jena yang masih berdiri di depan pintu. "Kenapa baju Non Jena bisa kotor kayak gini?" "Jena tadi nggak sengaja jatuh ke sawah waktu nyari cacing buat umpan mancing, Bik," jawab Jena sambil melirik Abi dan Dewangga yang sedang menatapnya. "Mereka siapa, Bik?" tanyanya ingin tahu. "Mereka tamu dari kota. Non Jena buruan mandi, gih. Jangan lupa pakai baju yang agak bagusan dikit." Kening Jena berkerut dalam. Dalam hati dia bertanya-tanya kenapa Bik Ijah memintanya untuk memakai pakaian yang bagus di depan tamu mereka. "Memangnya kena—" "Sudah, jangan banyak tanya. Cepat mandi sana." Bik Ijah mendorong Jena masuk ke dalam setelah itu kembali menemui Abi dan Dewangga. "Maaf, kalau penampilan non Jena membua
"Bibik bercanda, kan?" Reaksi Jena sama persis dengan Bik Ijah ketika mendengar Dewangga yang ingin menjodohkan Jena dengan Abi sesuai janji yang sudah dia buat bersama Fabian. Jena terkejut bukan main karena dia baru pertama kali ini bertemu dengan Abi."Non Jena, dengerin Bik Ijah dulu. Pak Dewangga ingin menjodohkan Non Jena dengan Mas Abi demi memenuhi amanah terakhir ayah Non Jena.""Benarkah?" Jena menatap wanita yang sudah merawatnya sejak kedua orang tuanya meninggal itu dengan pandangan tidak percaya.Bik Ijah mengangguk."Maaf kalau ucapan om membuatmu terkejut, Jena."Jena sontak menoleh, menatap lelaki paruh baya yang duduk di hadapannya. Dewangga terlihat sangat tegas dan berwibawa. Pembawaannya yang tenang membuat Jena seolah-olah melihat sosok ayahnya yang sudah meninggal dalam diri Dewangga.Dewangga menarik napas panjang sebelum bicara. "Lima belas tahun yang lalu, om dan almarhum ayahmu berjanji akan menjodohkan anak kami j
"Non Jena ayo, masuk. Jangan melamun di depan pintu terus."Jena tergagap mendengar ucapan Bik Ijah barusan lantas cepat-cepat kembali masuk ke dalan rumah. Tanpa disuruh, gadis itu membawa cangkir kotor bekas Abi dan Dewangga ke belakang untuk dicuci.Aroma musk yang menguar dari tubuh Abi masih belum hilang, padahal lelaki itu sudah pergi meninggalkan rumahnya. Dan entah kenapa, jantungnya kembali berdebar-debar ketika mengingat lelaki berkaca mata itu."Aduh, Non Jena. Kenapa repot-repot mencuci piring segala, sih? Sini, biar Bik Ijah saja yang nyuci.""Nggak papa kok, Bik. Lagian Jena sudah biasa." Jena tetap meneruskan pekerjaannya padahal Bik Ijah sudah berulang kali melarang. Wanita paruh baya itu bahkan masih memanggil 'Nona' dan memperlakukaannya seperti seorang majikan padahal beliau sudah tidak menjadi pembantunya lagi."Soal lamaran pak Dewangga tadi gimana, Non?"Tangan Jena sontak berhenti membilas piring ketika mendengar perta
"Jena, Jena, bangun!" Jena mengerjapkan kedua matanya perlahan karena merasa tubuhnya diguncang oleh seseorang lumayan kencang. Kening gadis itu berkerut dalam menatap seorang gadis berkepang dua yang berada di hadapannya. "Ambar?" gumamnya terdengar serak khas orang bangun tidur. "Kenapa kamu ke rumahku pagi-pagi sekali?" "Pagi-pagi sekali katamu?" ucap gadis bernama Ambar itu penuh dengan tekanan. Jena mengangguk polos. Gadis itu belum menyadari kalau matahari sudah bersinar terang dibalik jendela kamarnya yang masih tertutup gorden. "Coba kamu lihat sekarang jam berapa?" Jena pun menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Kedua mata gadis itu sontak membulat karena jarum pendek menunjuk angka sembilan, sementara jarum panjang menunjuk angka dua belas. Pukul 09.00 pagi. "Astaga! Kenapa aku baru bangun?" Jena cepat-cepat menyibak selimut yang menutupi tubuhnya lantas merapikan tempat tidurnya yang berantakan. "Mana aku tahu," uc
Tidak ada satu orang pun yang tidak sibuk di kediaman Dewangga saat pagi hari. Semua orang yang tinggal di rumah mewah bak istana tersebut sudah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Terutama pelayan. Mereka bolak-balik dari dapur ke ruang makan untuk mengambil makanan yang sudah selesai dimasak oleh koki lalu meletakkannya di atas meja makan. "Apa semuanya sudah siap?" tanya nyonya besar pada salah satu pelayan. Dia Anita—istri Dewangga. "Sudah, Nyonya," jawab pelayan tersebut. Anita pun melihat meja makan untuk memastikan apakah makanan yang dia rekomendasikan untuk menu sarapan pagi ini sudah siap dihidangkan. Ternyata koki di rumahnya bekerja dengan sangat baik karena menu yang dia rekomendasikan semalam sudah tersaji di atas meja makan. Setelah memastikan tidak ada yang kurang, Anita kembali ke kamar untuk membantu Dewangga memakai dasi. Rutinitas itu seolah-olah menjadi pekerjaan wajib bagi Anita setelah menikah dengan Dewangga karena
"Kamu serius mau pergi, Jen?" Ambar kembali menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan sahabat baiknya."Padahal kamu kemarin ngotot banget nyuruh aku menerima pinangan mas Abi. Tapi kenapa kamu sekarang malah menangis?""Kamu tuh, nggak akan ngerti, Jen." Ambar berdecak kesal karena Jena tidak memahami kesedihannya."Nggak ngerti gimana?""Sudahlah lupakan," sahut gadis yang rambutnya selalu dikepang dua itu malas.Jena tersenyum tipis sambil mengusap bahu Ambar agar perasaan sahabatnya itu mrnjadi lebih tenang. Jena sebenarnya sangat memahami apa yang saat ini sedang Ambar rasakan. Akan tetapi dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya di depan Bik Ijah karena wanit itu pasti akan ikut bersedih.Mengingat Bik Ijah membuat Jena ingin sekali meneteskan air mata karena dia sebentar lagi akan berpisah dengan wanita yang sudah merawat dan menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Berat rasa
"Om cuma bercanda." Dewangga tidak bisa menahan tawa ketika melihat Jena yang begitu terkejut setelah mendengar ucapannya. Dewangga memang sudah tidak sabar ingin memiliki cucu dari Abi dan Jena hingga tidak sadar menyuruh pelayan membawa koper Jena ke kamar Abi. Lagi pula dia tidak ingin membuat Eyang Putri terkena serangan jantung jika tahu Abi dan Jena sudah tidur dalam satu kamar sebelum menikah. "Mari, ikut om, Jena." Jena mengangguk lantas mengikuti Dewangga masuk ke dalam rumah. Beberapa pelayan sontak berbaris rapi sambil menundukkan kepala menyambut kedatangan mereka. Anita yang mendengar mobil Dewangga memasuki halaman bergegas turun untuk menyambut kedatangan suaminya. Selain itu, dia juga ingin tahu seperti apa wajah calon menantunya. Apakah benar kalau Jena memiliki wajah yang sangat cantik seperti yang selalu Dewangga katakan pada dirinya? "Selamat datang di rumah om, Jena." Mulut Jena menganga lebar mengagumi betapa megahnya kediaman Dewangga. Dindingnya didomin
Jena terus berbalik mencari posisi tidur yang nyaman. Entah kenapa kedua matanya sulit sekali untuk dipejamkan padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Masih tergambar jelas di ingatan Jena bagaimana ekspresi Abi, Dewangga, dan Anita ketika mengetahui kalau dirinya tidak bisa membaca. Terkejut bukan main.Saat berumur 10 tahun, Jena pernah diculik oleh orang suruhan pamannya yang ingin menguasai harta kedua orang tuanya. Dia disekap di dalam sebuah rumah kosong yang berada di tengah hutan dan dipaksa membaca cerita tentang penculikan dan pembunuhan anak perempuan yang tubuhnya dimutilasi kemudian dijadikan santapan lezat oleh si pembunuh.Perut Jena terasa sangat mual ketika membaca cerita tersebut, tubuhnya pun berkeringat dingin. Dia tidak sanggup lagi untuk meneruskan, tapi mereka malah memaksanya agar membaca cerita tersebut dengan suara lantang.Jena masih ingat dengan jelas orang-orang yang menculiknya tertawa senang melihatnya yang menangis ketakutan. Dia pun memohon-mohon p
Jena mencicipi nasi goreng buatannya yang sebentar lagi matang. Dia segera mematikan kompor setelah memastikan kalau rasa nasi goreng tersebut sudah pas dan siap untuk dihidangkan. Jena biasanya hanya membuat roti bakar atau pancake untuk sarapan. Namun, suami tercinta ingin sarapan nasi goreng Demi menuruti permintaan Elrangga, Jena pun membuat nasi goreng pagi ini. Tidak lupa dia membuat telur dadar untuk pelengkap. Setelah semua siap, Jena bergegas pergi ke lantai atas untuk membangunkan Elrangga. Setelah menikah, Jena dan Elrangga memutuskan untuk tinggal di rumah mereka sendiri. Anita dan Dewangga sebenarnya tidak ingin mereka pindah. Namun, Jena dan Elrangga sudah sepakat kalau mereka akan tinggal di rumah mereka sendiri setelah menikah. Dengan berat hati, Anita dan Dewangga pun menuruti permintaan Jena dan Elrangga dengan syarat mereka harus sering-sering berkunjung ke rumah. Jena menyibak tirai yang menutupi jendela kamarnya. Kamarnya yang semula gelap pun seketika beruba
Dengan tangan gemetar dan napas yang masih tersengal, Jena bergegas menuju ruangan VIP yang ada di rumah sakit Citra Medika. Semua orang yang berada di lorong rumah sakit menatap Jena aneh karena penampilannya mirip sekali dengan orang gila.Rambutnya acak-acakan, bahkan saking paniknya dia sampai lupa memakai sandal.Beberapa jam yang lalu Jena mendapat telepon dari Ardilla. Mantan adik iparnya itu memberi tahu kalau Elrangga mengalami kecelakaan dan kondisinya sekarang sedang kritis.Jantung Jena mencelus melihat Elrangga yang terbaring tidak sadarkan diri dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Dia langsung memeluk Elrangga dengan erat, sementara air mata jatuh semakin deras membasahi pipinya. Jena benar-benar takut Elrangga pergi meninggalkannya untuk selamanya."Mas El, sadarlah. Jangan tinggalin Jena dan Arjuna sendirian ...," gumam Jena dengan suara gemetar karena menahan sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Dia benar-benar takut kehilangan Elrangga."Jena men
"Arjuna kangen sekali sama ayah. Kenapa ayah tidak pernah datang, Ibu?"Jena yang sedang menjahit baju milik Arjuna sontak berhenti ketika mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut putra sulungnya itu. Akhir-akhir ini Arjuna memang sering menanyakan Elrangga karena sudah dua bulan lebih lelaki itu tidak datang menemui mereka. Memberi kabar pun tidak.Bukan tanpa alasan kenapa Elrangga tidak pernah datang karena Jena sendiri yang meminta. Jena ingin menjauh dari kehidupan Elrangga agar lelaki itu bisa membuka hatinya untuk Allecia."Ayahmu sedang sibuk bekerja, Arjuna. Makanya ayah tidak sempat mengunjungimu." Jena terpaksa berbohong untuk yang kesekian kalinya. Dia tidak mungkin memberi tahu Arjuna alasan sebenarnya yang membuat Elrangga tidak pernah datang mengunjungi mereka.Wajah Arjuna seketika berubah sendu. Padahal Elrangga selalu menyempatkan diri untuk datang mengunjunginya di sela-sela kesibukannya yang padat. Namun, Elrangga sekarang tidak pernah datang menemuinya. Arjuna
"Di kampung sekarang sedang musim buah apa, Jena?"Jena tidak mendengar pertanyaan Anita dengan jelas karena dia sibuk memperhatikan Elrangga dan Allecia yang sedang berbincang di ruang tamu sejak tiga puluh menit yang lalu. Entah hal apa yang sedang mereka bicarakan karena ekspresi Elrangga terlihat sangat serius.Rasanya Jena ingin sekali pergi ke ruang tamu agar bisa mengetahui apa yang sedang Elrangga dan Allecia bicarakan. Namun, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya."Kamu lihat apa, Jena?" Jena tergagap karena Anita menyentuh punggung tangannya pelan. "Bukan apa-apa, Bu," jawabnya terdengar gugup.Anita pun mengikuti arah pandang Jena. "Kamu sedang melihat Rangga dan Allecia?"Jena menelan ludah susah payah. Dia tidak pernah menyangka Anita tahu kalau dia sedang memperhatikan Elrangga dan Allecia sejak tadi. "Ti-tidak, Bu. Jena tadi sedang melihat jam di ruang tamu," dusta Jena. Semoga saja Anita percaya dengan ucapannya.Anita sebenarnya tidak percaya dengan apa
"Nenek!" Arjuna berlari kecil sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar menghampiri Anita.Anita tampak begitu senang karena Arjuna akhirnya datang ke rumahnya. Dia pun meraih tubuh mungil Arjuna ke dalam gendongan lalu menghujani wajah cucu kesayangannya itu dengan ciuman."Aduh, Nenek! Geli!" Arjuna terkikik geli karena Anita terus menciumi wajahnya."Nenek kangen sekali sama Arjuna. Apa Arjuna tidak kangen sama nenek?""Arjuna juga kangen sekali sama Nenek." Arjuna menenggelamkan wajahnya di leher Anita dengan manja. Anak itu pintar sekali mengambil hati neneknya."Apa Arjuna tidak kangen sama kakek?"Arjuna sontak mengangkat wajahnya dari leher Anita, melihat seorang lelaki paruh baya yang berdiri tepat di belakang neneknya."Kakek!" pekiknya sambil mengulurkan kedua tangan ke arah Dewangga, minta digendong.Dewangga pun mengambil alih Arjuna dari gendongan Anita lantas mencium pipi cucu pertama sekaligus pewaris perusahaan Dewangga itu dengan penuh sayang. Sepasang mata abu
"Ibu, ayo, cepat! Biar ayah nanti tidak menunggu kita terlalu lama.""Iya, Sayang. Awas, jangan lari-lari. Nanti kamu jatuh." "Arjuna udah hati-hati, Ibu. Jangan khawatir."Jena hanya bisa menghela napas melihat tingkah putranya. Siapa yang akan menyangka jika bayi prematur yang dia lahirkan lima tahun lalu itu sekarang tumbuh menjadi anak yang begitu aktif dan cerdas.Padahal kondisi Arjuna sempat menurun karena dia stres memikirkan proses perceraiannya dan Abi. Dia bahkan sudah pasrah jika Tuhan ingin mengambil Arjuna kapan pun darinya karena dia tidak tega melihat putra semata wayangnya itu terus tersiksa.Namun, keajaiban itu tiba-tiba datang. Kondisi Arjuna berangsur-angsur membaik hingga berhasil melewati masa kritis. Tiga bulan kemudian dokter akhirnya mengizinkan Arjuna pulang. Namun, anak laki-lakinya itu harus tetap diperhatikan secara ekstra karena daya tahan tubuhnya lemah.Jena merasa sangat bersyukur Arjuna akhirnya sembuh. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan ter
"Mas minta maaf, Jena. Mas sungguh-sungguh minta maaf ...." Abi menangis tersedu-sedu sambil besimpuh di kaki Jena. Penyesalan dan rasa bersalah tergambar jelas di wajahnya. Abi merasa sangat menyesal sudah menyakiti Jena."Percuma saja kau minta maaf. Dasar, Berengsek!" Elrangga ingin melayangkan pukulannya kembali ke wajah Abi. Sepertinya dia belum puas memberi Abi pelajaran padahal kondisi kakak kandungnya itu sudah babak belur."Rangga hentikan! Tahan emosimu!" Dewangga dengan sigap menahan Elrangga agar tidak memukuli Abi lagi meskipun dia sendiri juga merasa sangat kecewa dengan putra pertamanya itu.Wajah Elrangga tampak mengeras, dadanya pun naik turun. Amarah dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya ketika menatap Abi. Elrangga sangat marah sekaligus kecewa karena Abi tega menyakiti Jena berkali-kali."Jena, Mas mohon. Tolong maafin, Mas ...,"Jena hanya diam, tatapan kedua matanya pun terlihat kosong karena kenyataan ini membuatnya sangat terpukul. Padahal dia
Jena keluar dari rumah sakit sejak tiga hari yang lalu. Padahal dia ingin terus berada di dekat buah hatinya, tapi dokter malah menyuruhnya untuk pulang. Untung saja dokter mengizinkannya untuk melihat keadaan sang buah hati yang masih dirawat di NICU setiap hari.Abi sampai sekarang juga belum mengambil keputusan, memilih untuk kembali bersama Jena atau meninggalkan Dea. Lelaki itu sangat plin-plan dan tidak punya pendirian. Jena sendiri pun bingung menjelaskan hubungannya dengan Abi sekarang. Status mereka memang masih suami istri, tapi Abi tidak bisa bersikap selayaknya seorang suami.Jena harap Abi bisa berubah. Dia akan membuka pintu maafnya lebar-lebar dan memberi Abi kesempatan jika mau meninggalkan Dea dan memilih kembali bersama dirinya. Namun, Abi tidak kunjung mengambil keputusan padahal dia hanya memiliki waktu dua hari lagi.Bagaimana kalau Abi lebih memilih Dea dari pada dirinya? Apakah dia sanggup membesarkan buah hatinya seorang diri tanpa Abi?Jena menggigit bibir bag
Ada tujuh buah inkubator di dalam ruangan berukuran lumayan besar tersebut. Semua bayi yang ada di dalam kotak kaca itu sama-sama berjuang keras agar tetap hidup dengan bantuan alat medis yang berukuran lebih besar dari tubuh mereka.Abi menatap nanar seorang bayi laki-laki yang berada di dalam salah satu inkubator tersebut. Tubuh anaknya terlihat sangat kurus. Dia bahkan bisa melihat jantung anaknya yang sedang berdetak. Kondisi buah hatinya sangat memprihatinkan dan semua ini terjadi karena kesalahannya. Abi merasa sangat menyesal sudah berselingkuh dengan Dea hingga membuat Jena harus melahirkan buah hati mereka lebih cepat. Namun, sebesar apa pun penyesalan yang saat ini sedang dia rasakan, dia tidak mungkin bisa kembali ke masa lalu untuk menghapus semua kesalahannya.Padahal dia dan Jena sudah memiliki rencana untuk membesarkan buah hati mereka bersama-sama hingga maut memisahkan. Dia dan Jena bahkan sudah mempersiapkan nama dan pendidikan terbaik untuk buah hati mereka hingga