Tommy menatap bahu Gibran, dia menganggukan kepala, lega bahu itu sudah di rawat dengan baik. Walaupun sempat kaget bukan kepalang, anak kesayangannya di tembak OTK.“Jadi kejadiannnya minggu yang lalu dan kamu merasa tak punya musuh?” Tommy menatap wajah anak lelakinya ini, Gibran mengangguk.“Hmm..di kampus mungkin, siapa tahu ada yang iri denganmu?” pancing Tommy, dia tak heran tongkrongan anaknya ini bikin semua orang iri, Gibran ini pemuda paket komplet.“Ahh iya pah!” Gibran lalu menceritakan soal perkelahiannya dengan Ketua BEM di kampus itu yang dikatakannya naksir seorang gadis cantik, tapi si gadis itu lebih suka dengannya. Tommy tersenyum, dia pun ingat masa mudanya, tak beda jauh dengan Gibran. Tapi bedanya dulu berkelahi jantan, tak pengecut, apalagi main belakang.Tak lama terdengar ketukan d pintu ruang kerja mewah ini. Masuklah Sonu, bodyguard Tommy yang ditugaskan Gibran cari tahu jadi diri penembak dirinya.“Gimana informasinya Om Sonu?” Gibran langsung bertanya, T
“Bonita…!” batin Gibran terdiam sesaat, kaget juga dia, ingat dengan janjinya dulu.“Kamu tunggu saja di sini, biar aku temui dia!” Gibran pun berjalan santai menuju di mana wanita yang Hilman sebutkan tadi menunggunya.Penampilan Gibran 3 bulan dulu dan sekarang beda jauh, semenjak berlatih ala militer di bawah bimbingan Letkol Suryo, tubuh Gibran makin berisi dan makin kokoh, ditunjang tubuhnya yang tinggi jangkung.Kali ini Gibran membiarkan rambut panjangnya tergerai dibahunya. Penampilannya makin macho saja, di tambah brewoknya yang tak di pangkas.Begitu tiba di kantin yang disebutkan Hilman, Gibran kaget, karena di lihat dari punggung wanita ini, bukan Bonita. Tapi wanita lain.Begitu berbalik, wanita ini sampai kaget menatap Gibran, Gibran apalagi, dia sampai pangling melihat wanita yang ternyata masih sangat muda ini.“Kamu..apakah Dewi…?” hampir 5 tahunan tak bertemu Gibran masih ingat gadis muda ini, anaknya Tante Renita dan dulu sempat marah dengannya, gara-gara pernah per
Dewi mengangguk dan bilang baru saja lulus SMP, Gibran dan Dewi selisih 5 tahunan usianya. Dewi kaget juga, mobil yang dia naiki sebuah mobil jenis sport mewah.Walaupun tinggal di Medan dan agak masuk ke kampung, namun Dewi tahulah yang mana mobil mewah dan yang mana mobil biasa.Saat duduk di jok mobil ini pun, Dewi sudah merasa serba salah. Gibran sampai menenangkan Dewi, agar bersikap santai saja.Iba hatinya melihat Dewi yang sebenarnya cantik, tapi pakaiannya sederhana sekali. Hingga kecantikannya tak begitu menonjol. “Kamu telpon kakek dan nenekmu, agar mereka tak khawatir, bilang sudah bertemu Abang di Jakarta!” Gibran sambil pegang setiran minta remaja belia ini kontak orang terdekatnya.Dewi terdiam dan bilang…tak punya pulsa. Gibran tersenyum getir, kasian sekali dengan Dewi ini. Selain kehabisan ongkos, ponselnya juga ponsel jadul.Untung saja Dewi langsung ke kampusnya, andai Dewi tak punya alamat ini, Gibran tak bisa membayangkan, apa yang akan menimpa gadis manis ini d
Dua Hari kemudian...!Kembali Dewi terbelalak, saat naik private jet mewah milik Gibran, kali ini mereka terbang langsung ke Palembang, untuk cari di mana keberadaan Aldy Harnady, adiknya.Tak henti-hentinya Dewi berselfong ria dengan gembira, Gibran dan Hilman membiarkan gadis abege ini. Hilman pun turut bersimpati dengan gadis yatim piatu ini. Hilman yang menemani ke Palembang sampai bercanda ke Gibran, agar jangan sampai tergoda dengan si anak angkat, yang memang manis dan bak Renita saat muda.Apalagi setelah Dewi kenakan pakaian yang dia beli di sebuah mal mewah di Jakarta. Aura kecantikannya mulai terlihat."Semprol kamu, masa anak bekas kekasih sendiri aku embat juga. Aku sudah berniat akan jadikan dia anak angkat," sungut Gibran, hingga Hilman terbahak.Hilman sudah melihat wajah Renita di ponsel Dewi dan dia mengakui Dewi memang sangat mirip ibunya.Dengan mobil yang dipinjami dari kantor cabang milik papanya di Palembang, Gibran dan Hilman serta Dewi tak mau buang waktu.M
Namun bukan itu yang jadi perhatian Gibran, tapi dia melihat ada lelaki lain yang ikut bergabung. Ketiganya terlihat berbicara serius sambil menuju ke lobby apartemen itu.“Rasa-rasanya aku kenal dengan pria yang baru datang itu…!”Gibran duduk termenung di dalam mobilnya yang sengaja dia parkir di depan apartemen ini sambil mengingat-ingat.“Ahhh…iya, astagaa…inilah bangsat yang menembak aku dulu di mobil,” hampir terlonjak Gibran dari mobilnya.Pemuda ini tentu saja tak pernah melupakan sampai kapanpun penembak dirinya. Sehingga dalam waktu singkat, dia kini sudah ingat wajah orang yang menemui Bonita dan teman prianya tersebut.Seorang pria dengan wajah dingin dan sepertinya sudah sangat profesional dengan kerjaannya sebagai penembak jitu atau pembunuh bayaran.Kini kecurigaannya menampakan hasil, penembak dirinya ada hubungannya dengan Bonita. Gibran pun mulai berpikir keras untuk bisa menangkap basah penembak itu.Terutama untuk bikin perhitungan, andai saat itu dia tak refleks m
Namun Gibran akhirnya kehilangan jejak, buruannya manfaatkan malam hari dan juga banyaknya gang yang berbelok-belok untuk kabur. Sehingga Gibran kehilangan jejak dan tak bisa mengejarnya lagi.Namun wajah orang itu tak bakal Gibran lupakan, karena orang itu adalah pria yang dekat dengan Bonita.Gibran pun terdiam sambil redakan nafasnya yang ngos-ngosan. Saat melihat ada bapak-bapak yang jualan rokok dan air mineral, Gibran pun ambil sebuah dan meminumnya, lalu menghela nafas panjang.Gibran menelpon Sonu, pengawal ayahnya yang juga mantan anggota kepolisian, lalu ceritakan apa yang terjadi, mulai di apartemen hingga aksi kejar-kejaran.“Baik tuan muda, tenang saja, aku akan bereskan soal ini secepatnya!” sahut Sonu, yang langsung berkoordinasi dengan kepolisian, untuk bereskan korban di apartemen tersebut.Setelah membayar minumannya dan tak mengambil kembaliannya, Gibran pun beranjak dari sana.“Om…mau cari orang yang lari tadi yaa..?”Mendengar suara ini, Gibran otomatis berbalik.
“Namaku Feni dan ini Vina, kami awalnya di janjikan akan diberi pekerjaan sebagai waitress di sebuah pub kelas atas. Tak tahunya malah di suruh melayani tamu hidung belang. Kami menolak lalu di sekap di sana, sudah 3 hari kami di kamar itu!” Feni mengenalkan diri dan temannya ini, sekaligus sebutkan alasan kenapa mereka sampai di sekap dua orang itu.“Kalian masih muda-muda, apakah kalian ini masih pelajar..?” Gibran kaget juga, mereka ini korban perdagangan orang.“Nggak, aku sudah 24 tahun, kalau Feni 18 tahun!” kali ini Vina yang menyahut. Kembali Gibran terkaget-kaget, Vina yang di pikirnya masih muda, justru sudah 24 tahunan.“Wajah kalian kayak masih pelajar saja,” puji Gibran, keduanya langsung tersenyum malu-malu.“Om…eh mas, kalau ada kenalan keluarga Harnady, tolong sampaikan hati-hati!” sela Feni spontan, hingga Gibran terperanjat.“Maksudnya hati-hati…bagaimana Feni?” Gibran langsung bertanya penasaran, hatinya mulai tak enak. “Jadi gini mas, saat di sekap, aku dan Vin
“Tak aneh Om, mereka juga pengedar obat-obatan terlarang,” kini Vina ikutan bicara sambil membongkar belanjaannya. Lalu dengan entengnya mulai mencoba pakaian yang dia beli.Uangnya..? Pastinya dari Gibran, yang kasian melihat keduanya tak memiliki pakaian, kecuali yang di badan saat dia bawa ke sini tadi malam.“Vina, ke toilet lah, masa kamu mau ganti pakaian di sini,” tegur Feni, saat melihat Vina mau melepas seluruh pakaiannya di depan dia dan Gibran. Vina tertawa dan bilang maaf, lalu dia masuk ke toilet.Setelah berganti pakaian, Vina secara mengejutkan bilang mau pulang, karena khawatir ortunya mencari dia, setelah 4 hari ini tak ada kabar berita darinya.Gibran buru-buru cabut dompetnya dan menyerahkan uang hingga 3 juta buat gadis ini.“Ini uang buat ongkos pulang, hati-hati yaa, yang akan datang jangan sembarangan terima tawaran orang tak di kenal untuk kerja!” Gibran menasehati Vina, bak ayah nasehati anaknya.Banyaknya persoalan yang ia hadapi saat ini membuat Gibran seola