"A-Alman?" Ibu tergagap, kulirik juga Faiz, ekspresi wajahnya berubah seketika."Aku nggak salah dengar, 'kan?" ucapku sambil menatap mereka bersamaan. Ibu dan Faiz malah saling pandang."D-dengar apa, Man? Kami lagi bicarain hutang, kemarin Ibu minjam uang sama Faiz buat bayar tagihan listrik.""Tagihan listrik? Tagihan listrik kemarin Alman yang bayar, Bu. Lagi pula, telinga Alman masih sehat." Ibu tak menjawab, beliau malah melirik Faiz lagi."Bu, jangan bilang Ibu sengaja menahan Alman pulang waktu itu, agar Aidah bertemu dan pulang diantar Faiz, agar aku salah paham. Begitu?""K-kamu ngomong apa sih, Man?""Bu, Alman tidak tuli," kataku sembari menahan kesal."Enggak, Man. Bukan seperti itu--""Sudah lah, Bu Nani. Jangan banyak alasan, toh sudah ketangkap basah sama Alman. Jujur saja apa susahnya?" ucap Faiz membuatku menoleh, sementara Ibu terlihat memelototi lelaki yang kubenci itu."Faiz!" Ibu membentaknya."Benar, Alman. Ibumu sengaja menahan kamu, biar Aidah bisa bertemu dan
Author PoV(Maaf kalau ganti-ganti PoV. Sengaja pakai sudut pandang ketiga biar bisa ceritain dari setiap posisi)"Kenapa tadi kamu harus bicara begitu di depan kawan-kawanmu, Indri?" tanya Alman sesampai mereka pulang reuni."Bicara gimana?" Indri menyahut dengan wajah tanpa dosa. Dilemparnya tas slempang yang digunakan saat reuni tadi ke atas ranjang begitu saja. Melihat tingkah sang istri, Alman hanya bisa menggeleng."Kamu kenapa harus bilang ke orang-orang kalau Aidah lulusan SMP? Kamu mau malu-maluin dia?" tanya Alman lagi sambil mendudukkan tubuh di atas ranjang."Lho, kenyataannya 'kan memang begitu, Mas," sahut Indri sambil menghapus riasan di wajahnya. Wanita berambut sepunggung itu tengah duduk di depan meja rias pembelian Alman beberapa minggu lalu karena dia merengek meminta benda tersebut."Iya, tapi apa perlu bicara seperti itu di depan banyak orang? Akhirnya kamu sendiri yang malu, karena Pak Guru Arkan membela dan memuji Aidah habis-habisan," kata Alman lagi. Dia mema
“Bagaimana? Lancar pembukaan kedai ayam goreng kalian?” tanya Bu Nani pada kedua anaknya yang baru saja pulang bakda Isya.“Biasa saja sih, Bu. Padahal tadi Ida sama Laksmi sudah pakai TOA buat ngumumin pembukaan kedai kita, ditambah pakai naik meja segala biar dapat perhatian orang. Eh, malah kita disemprot beberapa pengguna jalan, katanya cara kita ini norak.” Ida menyahut dengan sebal, sedangkan Laksmi memilih mengemasi beberapa barang miliknya yang tadi dibawa ke kedai.“Terus, terus, si Aidah bagaimana? Dia tahu kalian buka kedai di sana apa enggak?” tanya Bu Nani lagi.“Tahu, Bu. Tahu.” Sekarang giliran Laksmi yang menyahut.“Dia tadi malah lihatin kita ya sama suaminya. Pasti dia kaget lihat kita juga buka kedai makanan. Dia pikir, cuma dia saja yang bisa punya restoran. Kita juga, kok! Untung Bang Lukman pinter cari tempat, jadi kita bisa jualan dekat si Aidah, biar saja dia bangkrut karena kalah saing sama kita,” ucap Ida percaya diri.Bu Nani hanya mengangguk-angguk. Wanita
Acara ulang tahun Uci berlangsung dengan meriah dan lancar. Walau Bu Nani masih merasa dongkol pada Alman karena hanya memberi uang seratus ribu. Padahal, tanpa sepengetahuannya semua itu adalah rencana Indri, sang menantu kesayangan."Laksmi, Alman atau Indri ngasih kado nggak sama Uci?" tanya Bu Nani saat mereka sibuk membersihkan dapur yang berserakan bekas mengolah makanan."Kayaknya enggak, Bu." Laksmi menyahut."Alman pelit ya sekarang. Kemarin aku pinjam uang buat bayar SPP Radit nggak ngasih dia. Padahal cuma tujuh puluh ribu." Nuri ikut bersuara."Iya, nggak kayak dulu. Kalau diminta bantuan selalu siap siaga. Sekarang kayak kebanyakan mikir." Ida menambahi."Kemarin aja dia cuma ngasih seratus ribu," kata Bu Nani membuat ketiga anak perempuannya menoleh."Seratus ribu? Maksudnya ngasih buat hajatan ulang tahun Uci, Bu?" tanya Laksmi dengan wajah keheranan."Iya, Mi. Padahal paling sedikit Alman ngasih lima ratus ribu. Eh, kemarin cuma segitu, dititipin sama Indri lagi." Keti
"Hah? Alman?" ucap Bu Heni kaget mendengar Aidah memberitahu tentang kepindahan tetangga baru."Nggak salah lihat kamu, Nak?" tanya Bu Heni lagi masih tak yakin."Iya, Bu. Arkan juga lihat." Arkan ikut bersuara sambil memindahkan sup ayam buatan istri yang belum dia sentuh selama ini."Kenapa bisa? Mereka sengaja?" tanya Bu Heni lagi, Aidah hanya menggeleng. Wanita itu sendiri tak tahu kenapa Alman sampai bisa pindah ke dekat tempat tinggalnya sekarang."Padahal rumahnya, maaf-maaf, sudah tua. Masih ada yang lebih bagus dan mahal, mereka 'kan kaya. Kenapa beli rumah begitu. Aneh." Sambil menyuapi Rizki Bu Heni berceloteh. Wanita paruh baya itu memang sangat mencintai cucu sambungnya."Mungkin mau mastiin, mantan istrinya bahagia atau tidak." Ucapan Arkan membuat kedua wanita di hadapannya menatap.Sadar akan tatapan aneh Ibunda dan sang istri, Arkan langsung membenarkan posisi duduknya."Ehm, nuggetnya enak kayaknya, Bu." Arkan mengalihkan topik pembicaraan dengan cara mencomot nugget
Bangun tidur, Aidah memegangi bibirnya. Ditatapnya Arkan yang masih tertidur di sofa. Tak biasanya lelaki itu masih memejamkan mata, padahal azan Subuh sudah berkumandang sejak sepuluh menit lalu.Mengingat hal yang terjadi semalam, Aidah tersenyum sendirian. Arkan berhasil membuatnya jatuh lebih dalam pada cinta, Arkan berhasil membuatnya bahagia. Walau sikapnya masih ambigu dan membuat ragu.“Mas, sudah Subuh.” Dua kali Aidah membangunkannya, Arkan mulai mengerjapkan mata. Kemudian bangkit dan duduk sebentar.“Kamu sudah salat?” tanyanya. Aidah menggeleng.“Mas nggak ke Masjid?” tanya Aidah sekarang.“Sudah terlambat,” sahutnya sambil melirik jam.“Kita salat berjamaah saja.” Aidah terdiam sejenak, namun dengan cepat menyadarkan diri sendiri karena teringat waktu salat yang sebentar lagi akan berakhir.“Iya, Mas. Kalau begitu, saya ke kamar mandi duluan, ya?” ucap Aidah, Arkan mengangguk singkat.Aidah pun balik badan, melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang berada di ruangan ters
Alman berjalan tergopoh-gopoh setelah menuruni motornya, bahkan sang istri, Indri, tak dia pedulikan saat memanggilnya untuk menunggu.“Alman ....” Ida menangis histeris saat adik bungsunya itu datang. Rasa kesal Alman selama ini berubah menjadi iba tatkala melihat keadaan kakak sulungnya itu.“Yang sabar, Mbak.” Alman mengelus punggung Ida yang lebar saat wanita itu memeluknya.“Mbak sudah nggak punya apa-apa lagi, Man. Semua habis. Rumah, warung, kendaraan, nggak ada yang tersisa, Man ....” jelasnya sambil sesegukan.“Nggak apa-apa, Mbak. Yang penting Mbak dan Bang Lukman masih selamat,” kata Alman mencoba menenangi sang kakak.“Iya, Ida. Sudah. Yang penting kita masih diselamatkan oleh-Nya.” Lukman menambahi.Semua orang di sana nampak bersedih dengan musibah yang terjadi pada Ida. Apa lagi Bu Nani, dia juga tak berhenti menangis saat tahu si jago merah membakar habis seluruh harta benda si sulung.“Tetap saja, musibah ini benar-benar membuat Mbak bingung, Man. Bingung harus tingga
"Mbak Ida? Ada apa?" tanya Aidah heran setelah keluar dari kedai. Dari belakanv Arkan nampak mengekor, lelaki itu juga sama herannya kenapa si empunya kedai di seberang berteriak memanggil nama sang istri."Nggak usah sok polos! Ngaku kamu, Aidah! Kamu 'kan yang bikin customerku keracunan?" Aidah semakin tak mengerti dengan perkataan mantan kakak iparnya itu. Dia sampai mengerutkan kening saking bingungnya."Tunggu, Mbak. Keracunan? Di outlet Mbak ada yang keracunan?" tanya Aidah."Halah ... nggak usak sok lugu kamu, Aidah! Aku tahu, kamu nyuruh penjual ayam buat ngeracunin dagingnya, atau kamu suruh si penjualnya buat ngasih ayam tiren ke aku. Ngaku, Aidah!" desak Ida terus menerus."Astaghfirullah, Mbak Ida ini ngomong apa, toh? Jangan fitnah orang sembarangan, Mbak! Lagian saya nggak tahu, di mana Mbak pesan ayam buat menu jualan Mbak.""Nggak tahu atau pura-pura nggak tahu? Jelas aku pesan ayam ke tempat yang sama dengan tempat pesananmu!" kata Ida sewot. Semua orang bahkan kini s
"Alman?" Mata Bu Nani nampak berbinar kedatangan anak bungsunya itu.Alman tak menjawab, dengan kuyu dia langsung terduduk di sofa ruang televisi. Diambilnya botol besar air mineral yang berembun, menandakan jika minuman itu sangat dingin."Alman, untung kamu ke sini. Kebetulan Ibu lagi ada perlu sama kamu," ucap Bu Nani. Kedatangan Alman membuatnya lupa pada acara infotainment di televisi yang tengah dia tonton."Ibu lagi butuh uang, Man. Sekitar satu juta, buat bayar hutang Mbakmu ke tetangga, sama buat kebutuhan Ibu juga," lanjutnya tanpa bertanya keadaan si bungsu. Padahal, terlihat jelas sekali jika Alman sedang tidak baik-baik saja."Laksmi, Mbakmu nggak bisa bantu Ibu, Man. Dua hari lalu dia baru dicerai si Sopyan.""Hah? Cerai?" Ini pertama kalinya Alman bersuara karena benar-benar terkejut."Iya, Man. Si Sopyan ternyata selingkuh, punya istri lagi dia, bahkan udah punya anak seumuran Rizki sama selingkuhannya. Tanpa sepengetahuan Laksmi, rumahnya dijual dan uangnya dibawa per
"Memangnya harus, ya?" tanya Arkan, ragu hendak memberikan roti buatan Aidah yang akan dijadikan menu baru di outlet mereka."Kalau Mas nggak ngizinin, nggak apa-apa." Aidah menjawab lembut."Ya sudah lah, dari pada mubazir. Mereka 'kan tetangga kita juga." Arkan mengunggingkan senyum.Kedua makhluk itu lantas kembali berjalan setelah membagikan roti buatan Aidah, mereka hendak menuju ke rumah Alman juga Indri. Gara-gara kejadian semalam, Arkan jadi izin tak masuk sekolah. Lelaki itu ingin menghabiskan waktu bersama sang pujaan, walau lisannya tak mengutarakan demikian."Assalamu'alaikum." Arkan mengetuk pintu, sementara Aidah terdiam di sampingnya sembari membawa bingkisan roti.Tak menunggu lama, si empunya rumah terdengar menjawab salam kemudian membuka pintu bercat putih itu dengan segera."P-Pak Arkan? Aidah?" Indri nampak terkesima."Ganggu ya, In?" tanya Arkan terdengar bersahabat. Karena memang mereka pernah satu sekolah dulu, jadi Arkan merasa tak sungkan pada wanita itu."O
"Aidah, aku mohon. Aku ingin kembali denganmu." Dengan wajah memelas Alman meminta, Aidah terdiam sejenak. Hatinya begitu iba melihat Alman hidup dengan derita.Sejatinya Alman tak bersalah, karena memang semua kehancuran itu berawal dari hasutan keluarganya."Kalau boleh jujur, aku juga masih cinta sama kamu, Mas." Aidah berkata lirih, kini giliran Alman yang terpaku."Aku tak pernah mau menikah dua kali dalam seumur hidup. Aku juga kasihan pada Rizki, kalau kita bercerai berai seperti ini.""Jadi, kamu mau rujuk denganku, Aidah?" tanya Alman cepat seraya meraih kedua tangan Aidah, dan wanita itu tak menolak."Iya, Mas. Asal kamu janji, takkan menyakitiku lagi.""Janji, Aidah. Janji! Tapi, bagaimana dengan suamimu, Arkan?""Aku tak mencintainya, Mas. Dia tak memperlakukanku dengan laik selama ini. Dia tak pernah memberikanku nafkah batin, aku lebih tersiksa karena harus berpura-pura bahagia padahal sebenarnya tidak.""Ya Tuhan, Aidahku. Tapi tidak apa, yang penting, sekarang semuanya
“Indri, kamu lihat jam tangan Mas yang satu lagi, nggak?” tanya Alman saat hendak memakai benda tersebut. Lelaki itu memang memiliki dua buah jam tangan, yang satu biasa dipakai sehari-hari karena tergolong murah, dan satunya lagi jarang dia pakai karena harganya memang mahal.“Jam tangan yang di laci?” Indri balik bertanya seraya memainkan ponsel.“Iya.”“Lho, ‘kan aku jual, Mas.” Alman langsung menoleh dengan mata membulat mendengar jawaban Indri.“Kamu jual?” ulangnya sambil mendekat. Indri mengangguk dengan ringan.“Kenapa kamu jual, Indri? Ya ampun ....”“Lho, lho. Kemarin ‘kan aku sudah izin, mau jual jam tanganmu itu buat belanja baju sama Ibu. Biar Ibu seneng dan nggak terlalu sedih mikirin kakak sulungmu itu.”“Kapan, Indri? Kapan kamu meminta izin? Kapan juga aku mengizinkannya?” “Ya sebelum aku belanja sama Ibu, lah. Makanya, Mas. Jangan banyak ngelamun, jadi orang ngomong itu kamu nggak dengerin, otak kamu nggak fokus.”Alman tak menjawab, dia hanya bisa menghela napas ya
Perkataan Bu Nani dan Indri terus menghantui pikiran Aidah. Bagaimana kalau Arkan terus tak menyentuhnya? Bagaimana kalau dia tak memiliki keturunan lagi karena Arkan belum bisa menerimanya sebagai istri? Aidah merasa depresi sendiri, hingga menjadikannya selalu murung akhir-akhir ini.“Aidah, aku mau mandi,” kata Arkan setelah bakda Isya. Berkutat dengan pekerjaan seharian membuat tubuhnya terasa lengket dan tak nyaman.“Ya.” Aidah menyahut singkat, dia sibuk bersama ponselnya sambil duduk di atas ranjang. Sendirian. Karena Rizki tengah bersama Bu Heni di kamar sebelah.“Handuknya?” tanya Arkan merasa heran. Biasanya, Aidah selalu menyiapkan keperluan suaminya itu sebelum sang lelaki mandi. Dari mulai handuk sampai baju. Tapi sekarang, Aidah diam saja dan bertingkah sedingin batu.Aidah tak menyahut, dia meninggalkan ponsel sementara untuk mengambil handuk baru di lemari. Kemudian tanpa kata dia menyodorkan begitu saja pada Arkan.Bukannya langsung masuk kamar mandi, Arkan malah tert
Tak hanya Aidah, Arkan juga mendengarnya dan langsung bangkit dari pembaringan."Kamu tunggu di sini, ya?" titah Arkan lembut, lalu menyelimuti Rizki yang tidur di tengah mereka.Lelaki jangkung itu langsung mengambil kacamata di atas nakas, kemudian menghidupkan lampu. Ida yang merasa sial hanya bisa memejamkan mata sambil berharap agar si empunya rumah tak memergokinya.Sedangkan Aidah, di atas ranjang dia terduduk sambil membelai rambut Rizki, anak itu masih terlelap, tapi Aidah tak lagi biss memejamkan mata.Sebelum keluar kamar, Arkan memicingkan mata, sadar ada yang janggal dengan kolong ranjangnya.Rupanya, kaki Ida yang tak beralas itu sedikit terlihat hingga membuat Arkan mendekat. Sedangkan Ida tak sadar si pemilik kamar berjalan ke arah persembunyiannya karena dia sibuk memejamkan mata dan berdoa."Kamu?" Darah Ida terasa membeku saat mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Dengan perlahan dan penuh rasa takut dia membuka mata."Ke luar sekarang!" perintahnya."Kenapa,
"Mbak Ida? Ada apa?" tanya Aidah heran setelah keluar dari kedai. Dari belakanv Arkan nampak mengekor, lelaki itu juga sama herannya kenapa si empunya kedai di seberang berteriak memanggil nama sang istri."Nggak usah sok polos! Ngaku kamu, Aidah! Kamu 'kan yang bikin customerku keracunan?" Aidah semakin tak mengerti dengan perkataan mantan kakak iparnya itu. Dia sampai mengerutkan kening saking bingungnya."Tunggu, Mbak. Keracunan? Di outlet Mbak ada yang keracunan?" tanya Aidah."Halah ... nggak usak sok lugu kamu, Aidah! Aku tahu, kamu nyuruh penjual ayam buat ngeracunin dagingnya, atau kamu suruh si penjualnya buat ngasih ayam tiren ke aku. Ngaku, Aidah!" desak Ida terus menerus."Astaghfirullah, Mbak Ida ini ngomong apa, toh? Jangan fitnah orang sembarangan, Mbak! Lagian saya nggak tahu, di mana Mbak pesan ayam buat menu jualan Mbak.""Nggak tahu atau pura-pura nggak tahu? Jelas aku pesan ayam ke tempat yang sama dengan tempat pesananmu!" kata Ida sewot. Semua orang bahkan kini s
Alman berjalan tergopoh-gopoh setelah menuruni motornya, bahkan sang istri, Indri, tak dia pedulikan saat memanggilnya untuk menunggu.“Alman ....” Ida menangis histeris saat adik bungsunya itu datang. Rasa kesal Alman selama ini berubah menjadi iba tatkala melihat keadaan kakak sulungnya itu.“Yang sabar, Mbak.” Alman mengelus punggung Ida yang lebar saat wanita itu memeluknya.“Mbak sudah nggak punya apa-apa lagi, Man. Semua habis. Rumah, warung, kendaraan, nggak ada yang tersisa, Man ....” jelasnya sambil sesegukan.“Nggak apa-apa, Mbak. Yang penting Mbak dan Bang Lukman masih selamat,” kata Alman mencoba menenangi sang kakak.“Iya, Ida. Sudah. Yang penting kita masih diselamatkan oleh-Nya.” Lukman menambahi.Semua orang di sana nampak bersedih dengan musibah yang terjadi pada Ida. Apa lagi Bu Nani, dia juga tak berhenti menangis saat tahu si jago merah membakar habis seluruh harta benda si sulung.“Tetap saja, musibah ini benar-benar membuat Mbak bingung, Man. Bingung harus tingga
Bangun tidur, Aidah memegangi bibirnya. Ditatapnya Arkan yang masih tertidur di sofa. Tak biasanya lelaki itu masih memejamkan mata, padahal azan Subuh sudah berkumandang sejak sepuluh menit lalu.Mengingat hal yang terjadi semalam, Aidah tersenyum sendirian. Arkan berhasil membuatnya jatuh lebih dalam pada cinta, Arkan berhasil membuatnya bahagia. Walau sikapnya masih ambigu dan membuat ragu.“Mas, sudah Subuh.” Dua kali Aidah membangunkannya, Arkan mulai mengerjapkan mata. Kemudian bangkit dan duduk sebentar.“Kamu sudah salat?” tanyanya. Aidah menggeleng.“Mas nggak ke Masjid?” tanya Aidah sekarang.“Sudah terlambat,” sahutnya sambil melirik jam.“Kita salat berjamaah saja.” Aidah terdiam sejenak, namun dengan cepat menyadarkan diri sendiri karena teringat waktu salat yang sebentar lagi akan berakhir.“Iya, Mas. Kalau begitu, saya ke kamar mandi duluan, ya?” ucap Aidah, Arkan mengangguk singkat.Aidah pun balik badan, melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang berada di ruangan ters