Dua mangkuk indomie rebus dengan toping telur dan sawi sudah tersaji dihadapanku. Kepulan asapnya menguar, menusuk indra penciumanku.
Wanginya begitu menggoda, tadi setelah mengganti pakaian dengan pakaian milik adiknya aku bergegas menyajikan makan malam sederhana yang ada di dapur kecil ini sembari menunggu Jingga selesai mandi."Makan malam sudah siap, ayo makan" seruku mengintrupsi Jingga yang baru saja keluar dari kamar dengan pakaian bersihnya.Jingga mengangguk antusias, mendekat ke arahku. Tapi tunggu ... Ini aroma bumbu mie yang menggoda kenapa bisa hilang di gantikan dengan bau yang lain. Ah, selera makanku kayaknya bakalan hilang setelah ini."Wah, dari tampilan dan aromanya menggoda sekali kang. Jingga cobain ya," ujarnya meraih satu mangkuk indomie rebus dihadapanku ini."Tunggu," cegahku segera menariknya pergi memasuki kamar."Loh, akang ngapain malah bawa jingga ke kamar? Gak tahan ya lihat Jingga dengan pak"Mak! Jingga kemana?" tanyaku setengah berteriak, kedua bola mata ini memutar kesana kemari mencari keberadaannya. Hari sudah hampir gelap, setelah setengah jam lalu aku baru pulang dari sekolah dan tak ku dapati perempuan itu entah kemana. Padahal, selama ini dia selalu menunggu di depan pintu, menyambut kepulanganku. Emak yang tengah sibuk memasak kini menoleh sebal ke arahku. "Istrimu belum pulang, sibuk" ketusnya. Keningku berkerut, jawaban emak sungguh di luar ekspektasi ku. Apa iya sedari pagi buta sampai hari mulai gelap perempuan itu masih betah di peternakannya? "Ck. yang benar aja mak," decakku tak percaya. Mata emak membola, tangannya kini bersiap melemparkan satu buah tomat kearahku. "Sejak kapan emak bohong sama kamu, Mad? Sudah sana jemput istrimu, emak khawatir" Aku menggeleng, "males ah mak, biarin aja pulang sendirian. Ahmad capek," tolakku yang segera dihadiahi emak lemparan tomat yang sudah sangat matang. Pluk! "Mak!" teriakku tak terima saat tomat
Jingga tertawa, "Berarti akang mau makan masakan jingga?" Eh. Alamaaaak salah ngomong aku! Eh, maksudku... itu bukan berarti aku suka," ucapku terbata-bata, berusaha memperbaiki kesalahan. Jingga menatapku dengan senyum menggoda. "Halah, bilang aja mau dimasakin sama istri. Iya kan? Asal akang tau, Jingga jago masak loh" beritahunya bangga. "Dih geer plus sombong, saya gak percaya ya sebelum mencicipi masakannya enak apa enggak" jawabku sambil mengalihkan pandangan. Ia tertawa, matanya berbinar. "Deal! Besok-besok Jingga akan buktikan ya kalau perempuan tangguh ini selain kaya, dia juga jago masak seperti chef Renata!" Tiba-tiba perasaan aneh hinggap, hatiku terasa berdesir mendengar dan melihat ia tertawa begitu lepas tak seperti biasanya. "Level sombongnya bisa diturunin dikit gak? Malu aja nanti kalau omongan sama kenyataan beda jauh" Jingga terkekeh, pura-pura m
"Jing, kamu ngapain sih pake beliin saya motor segala?" aku bertanya mencoba mengalihkan pembicaraan saat Jingga terus menerus mengorek prihal urusan pribadiku. Enak saja, emang siapa dia. Berani-beraninya menanyakan hal sensitif tentangku, merayuku agar menceritakan segala hal padanya. Tidak, ini tidak benar! Jingga mengerjap, mata bulatnya begitu menggemaskan saat tau aku memulai pembicaraan ketika kami sudah memutuskan untuk tidak pulang malam ini dan segera menaiki ranjang untuk merebahkan tubuh yang lelah ini. "Eh iya, gimana kang motornya nyaman kan?" Aku mencibir ucapan yang keluar dari mulut Jingga dengan kesal, apa-apaan Jingga ini bukannya menjawab malah berbalik menanyakan sesuatu hal yang tidak penting. "jangan mengalihkan pembicaraan Jingga, saya tidak suka!" "Mhehehe, maaf kang" ucapnya dengan cengiran. "Jadi?" tanyaku menuntut. Jingga mulai memperbaiki posisiny
Udara sepertiga malam semakin terasa begitu dingin, menusuk ke tulang belulang ketika aku baru saja membuka mata, dan sudah tak ku dapati Jingga di sampingku. Setengah menguap, aku berusaha untuk beranjak dari pembaringan. Duduk terlebih dulu di sisi ranjang sekitar lima menit, sebelum akhirnya aku mencari keberadaan istriku itu. Mataku tertuju pada sajadah yang tergelar dan mukena yang sudah terlipat rapih seperti habis di gunakannya. Bibirku mengulum senyum, gadis itu seperti emak yang tak pernah melewatkan shalat tahajud bahkan sehari saja. MasyaAllah, istiqomah sekali tidak sepertiku yang bahkan untuk menjalankan shalat wajib saja aku tak pernah. "Jingga!" Setengah berteriak aku memanggilnya, mencari ke setiap sudut ruangan. Namun nihil, tidak ku temukan sosoknya."Kemana dia?" gumamku dengan berjalan keluar rumah, menuruni tangga untuk mencarinya di bawah. Siapa tau dia sedang berada di kamar mandi. Nihil, masih tidak ku temukan
Tepat jam lima pagi, saat Jingga sudah menyelesaikan shalat subuhnya. Aku bergegas membawanya pulang, bodo amat mau dia kelelahan dan kedinginan juga, yang penting kami cepat sampai di rumah. Pekerjaanku sudah melambai-lambai disana. "Kang, bawa motornya jangan ngebut-ngebut atuh. Jingga kedinginan ini, mana gak pake jaket lagi" keluhnya yang ku dengar samar-samar. Grep. Sontak aku memelankan laju motor, saat kedua tangan Jingga tiba-tiba melingkar di perutku. Tubuhnya bahkan kini sudah menempel di punggungku, seakan mencari kehangatan disana. Berat? Tentu saja, tapi ku hiraukan. Toh, kita sudah suami istri. Hal sepele kaya gitu, gak papakan. Sudah halal. Setengah jam perjalanan, akhirnya kita sampai. Aku buru-buru turun dari motor, segera membuka pintu rumah yang sudah tak terkunci lalu berjalan cepat menuju kamar, menghiraukan Jingga yang berjalan lambat mengikuti ku di belakang. "Buru-buru amat kang, ini masih pagi. Lagian sekolah juga belum buka atuh," peringat Jingg
Suasana dapur pagi ini tidak seperti biasanya, ku dengar canda tawa menghiasi disana. Suara anak kecil saling bersahutan bahkan terdengar menghibur di telinga saat aku hendak keluar kamar menghampiri. "Om, amaddd!" Seketika senyumku mengembang saat kedua keponakanku berteriak memanggil nama paman kesayangannya ini dengan sangat antusias saat aku menghampiri meja makan. "Hallo ponakan om yang gendut ini," sapaku memeluk keduanya erat, menyalurkan rasa rindu yang sudah membuncah ingin dikeluarkan. "Ih kami gak gendut ya, kami gemoy" protes kakang sebal. Aku mengangguk, mencubit gemas pipinya. "Ini ya kang, yang gemoy ini kaya gini" seruku puas. Kakang menatapku sebal, matanya sudah berkaca-kaca hendak mengeluarkan tangisnya namun disebelahnya niko, bocah yang berusia tujuh tahun itu segera mengangkat tangan. "No, jangan nangis. Aa gak suka, nanti bunda marahnya sama aa" tegurnya dengan buru-buru memeluk sang adik yang berusia lima tahun itu. Aku tersenyum puas, menggendong ke
"Mad, kamu yakin dengan pilihanmu?"Aku merengut kesal mendengar pertanyaan tiba-tiba dari mulut Mas Abimanyu, yang biasanya sopan.“Cantik sih, tapi kok ada yang aneh ya? Aromanya…”"STOP!" teriakku, menarik pancingan ikan yang kini sudah menyaut.Ya, sore ini kami memutuskan untuk menghabiskan waktu memancing ikan di kolam milik bapak yang ada di perkebunan buah anggur. Suasana tenang, dengan suara air yang beriak dan dedaunan yang bergetar tertiup angin. Namun, komentar Mas Abimanyu seperti bayangan yang sulit kuhilangkan."Serius deh Mad, emang kamu nyaman gitu dekat-dekat sama istrimu yang bau itu?" tanyanya lagi, menatapku dengan cemas.Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Mas, kita lagi memancing, bukan menganalisis hubungan. Sekarang fokus saja pada ikan ini," jawabku sambil berusaha tersenyum.Dia menggelengkan kepala, "ndak Mad, mas sengaja bawa kamu kesini biar kita berdiskusi tentang hub
Hiks ... Hiks ... Hoek ... Hoek ... Senja sudah memudar digantikan gelap dengan berhiaskan semerbak bintang, malam ini aku, bapak dan mas Abimanyu yang baru saja pulang dari mesjid dikejutkan dengan keadaan teh Ayu yang tengah menangis sesenggukan di luar dengan sesekali diselingi suara muntahan, di temani emak di sampingnya. Hoek ... Hoek ... "Astagfirullah sayang, kenapa?" Begitu sigapnya mas abi bertanya dengan berjalan cepat menghampiri, di susul bapak dan aku yang panik melihat keadaannya. "Mak, teh Ayu kenapa?" tanyaku bingung. Emak bukannya menjawab malah mendengus, mengusap tengkuk teh Ayu. "Sayang, hiks ..." Ini juga teh Ayu bukannya mereda tangisnya malah semakin terisak di pelukan suaminya yang membuat aku dan bapak saling bertatap bingung. "Kamu kenapa sayang? Kok diluar, gak baik loh udara malam, kita masuk ya biar mas pijitin supaya enakan badannya" bujuk mas Abi begitu lembut, pantas saja teh Ayu begitu bucin padanya. Orang mas Abi memperlakukannya dengan b
"akhir-akhir ini, emak perhatikan istrimu mandinya sering banget. Pernah emak hitung sampai lima kali coba," tiba-tiba saja emak membuka suara saat aku dan emak kini tengah asik berkebun di samping rumah. Aku mengernyit heran, tangan yang tadinya sibuk mencampurkan tanah dan pupuk, kini ku hentikan beberapa saat. Ah, sepertinya kasih sayang emak sama Jingga udah sedalam itu, rupanya emak memperhatikan dia sedetail itu. Beda dengan aku yang kadang emak lupakan. "Kamu jangan sering-seringlah ngegempurnya, kasihan dia. Capek pasti," tegurnya menepuk pundakku pake tangan kotornya. Aku tersentak, menatapnya dengan terkejut. "Ngegempur apaan mak?" tanyaku heran, emang aku ini apaan? Bom? Yang bisa merusak Jingga selamanya?Emak mendelik, tangannya ia turunkan dan kembali keaktivitasnya menanam kangkung. "Itu loh, ah masa kamu gak tau sih. Kalian sudah baikan kan, masalah yang kamu di cium sama si sinta seminggu lalu udah baikan kan?"Aku mengangguk sebagai jawaban. Ya, memang setelah pe
"semua akan baik-baik saja, tak ada yang menyakiti dan tersakiti!"Itulah kalimat afirmasi positif yang ku gaungkan dalam hati akhir-akhir ini setelah pernyataan Jingga yang begitu dalam itu. Entahlah, sudah ku katakan, aku bingung! Tak tau harus bahagia atau sedih. Semua terasa rumit setelah pernyataan itu. Semesta rasanya seolah bercanda, aku menikahinya karena keterpaksaan dari sebuah nadzar yang tak seharusnya kuucapkan dulu dan aku tak pernah sedikit pun memiliki rasa cinta untuknya. Ku harap ia pun begitu padaku, agar aku tidak merasakan rasa bersalah padanya. Tapi nyatanya? Oh my god, aku salah prihal ini. Rupanya pesonaku telah menyihir hatinya, menggerakan energi cintanya padaku. Kalau sudah begini, aku harus apa? Bukan aku yang salah prihal ini, tapi salahkan ketampananku, karismaku hingga terpesona sebegitu dalamnya. Dan aku tidak menyukai pernyataannya. Tidak salah prihal mencintai, yang salah Jingga! Mengapa ia harus mencintaiku? Bukan aku tak mau dicintai, bukan aku
"apa yang kamu lakukan, Sin?"Aku nyaris saja menjatuhkan kotak makan yang diberikan Sinta, saat suara Jingga mengintrupsi dengan setengah berteriak. Sontak saja aku memutarkan tubuh menghadapnya.Dengan wajah yang memerah, Jingga berjalan mendekati kami. "Kang?" Jingga bertanya, matanya menuntut sebuah penjelasan.Emak mendekat, dengan satu rantang di tangannya. "Emak tidak mau ikut campur, kalian selesaikanlah dulu maksudnya apa. Sin, tolong jaga sikap sekarang kalian sudah dewasa. Sudah memiliki pasangan masing-masing, kalian bukan anak kecil lagi" seru Emak.Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri meskipun perasaan kesal mulai meruak. Jingga terus menatapku, seolah menunggu jawaban."Kang, kalian sebenarnya ada hubungan apa?" tanyanya Jingga.Aku menggeleng, sebagai jawaban atas pertanyaan Jingga."Sin, kamu udah punya suami loh. Kenapa cium kang ahmad?" tanyanya Jingga semakin mendekat.Uhuk ...uhuk ...Teh Ayu yang sedari tadi memperhatikan kini terbatuk-batuk, aku menoleh
"apa?" Kedua perempuan beda usia yang tengah beradu argumen itu menatap Sinta tajam, saat gerakan tangannya menunjuk kebelakangku yang kini tengah menghela nafas panjang, begitu lelah mendengarkan keduan perempuan di hadapanku itu. "Teh, mak debatnya ditunda dulu atuh. Itu orangnya datang, sama anak-anak lagi" tegur Sinta dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. "Eh?" Emak menoleh ke arah Sinta, rasa kesalnya begitu kentara di wajahnya namun namun matanya sudah mulai melunak, mengikuti arah tangan Sinta yang menunjuk ke belakangku. Sementara itu teh Ayu segera bungkam, tangannya dengan cepat menutup hidung mancungnya. Ah, aku paham sekarang. "Selamat pagi ..." teriakan kedua keponakanku membuat atensiku beralih, segera tubuh ini berbalik ke arah suara. Nampak, Jingga tersenyum manis menyapa kami dibelakanngnya. "Mad, jangan biarkan teteh masuk UGD lagi. Sudah sana, ajak istrimu menjauh" suara teh Ayu terdengar tegas, meski senyum manisnya masih mengembang di bibir. Matanya yan
Saat aku baru saja menginjakan kaki di ruang makan, nampak Sinta dan teh Ayu tengah asik membantu emak memasak di dapur, sementara Jingga aku tinggalkan tadi di kamar dengan sengaja. Berharap dia mengerti akan permintaanku, agar ia tak pergi ke pondok peternakannya hari ini. "Selamat pagi," sapaku ramah kepada tiga wanita yang berharga dihidupku. Ketiganya kompak menoleh, menjawab bersamaan sapaanku yang membuat aku merasa geli dan terkekeh. "Masak apa nih, pagi-pagi sekali. Wanginya bikin cacing di perut Ahmad meronta-ronta" kekehku dengan menarik satu kursi di meja pantri menghadap kearah dapur. "Masak rendang kesukaan kamu kang," jawab Sinta, wajah berbinar-binar menatapku. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Sinta memang tahu betul apa yang membuat hatiku senang. Rendang selalu jadi hidangan favoritku, apalagi Sinta yang memasaknya. "Ah, dari dulu kamu memang tau caranya membuatku terharu ya Sin. Bisa aja deh," kataku sambil duduk, menatap piring kosong di meja yang seakan s
Aku terbangun dengan wajah sedikit terkejut saat menoleh ke sisi tempat tidur yang menampakan wajah cemberut Jingga sepagi ini.Tanganku yang entah sejak kapan melingkar diperutnya, kini ku lepaskan dengan terburu-buru. "Kenapa?" tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur saat terdengar suara decakan keluar dari mulut Jingga. Jingga mengedikan bahu, lalu membalikan tubuhnya membelakangiku. Aku merubah posisi tubuh ini menjadi terlentang, menatap langit-langit kamar sembari memikirkan kesalahan apa yang semalam ku perbuat padanya hingga pagi ini sudah disuguhi wajah masam darinya. Biar ku ingat-ingat lagi, perasaan semalam aku tak melakukan kesalahan apa pun padanga. Bahkan aku dengan mati-matian menahan nafsuku saat memberikan pijatan lembut pada tubuh Jingga, tapi hal yang diinginkan olehnya tak terjadi semalam gara-gara Jingga sendiri yang sudah tertidur pulas meski belum sampai lima menit aku memijatnya. Apa karena itu? Ah, padahalkan salahnya sendiri. Mengapa harus menyalahk
Alisku terangkat sebelah, saat ekor mata ini tak sengaja melihat wajah Jingga malam ini yang begitu berseri-seri mendekat kearahku yang tengah menyalakan beberapa lilin aroma terapy. Pikiranku semakin dibuat heran saat Jingga mengikuti kemana pun aku melangkah meletakan beberapa lilin aroma terapy yang baru saja ku nyalakan itu. "Kenapa lu?" tanyaku heran dengan berbalik tubuh menatapnya. Jingga tersenyum cerah menatapku, bau keringat tubuhnya kini agak memudar digantikan dengan aroma parfum milikku yang sengaja aku menyuruhnya untuk ia pakai sehabis mandi di tambah lilin aroma terapi yang lumayan bisa menyamarkan bau badannya. "Katanya tadi mau mijitin Jingga kang," ujarnya cengengesan. Kedua tangan ku lipat di dada. "Terus?""Ish," Jingga merengut kesal, bibir tipisnya mengerucut dengan mata yang mendelik. "Yaudah, ambilkan minyak urutnya di lemari sana" suruhku dengan dagu bergerak kedepan menunjukan dimana letak minyak urut yang selalu ku pakai itu. Jingga mengangguk, denga
Brugh ...Aku menjatuhkan tubuh ini begitu saja pada kasur yang sudah tak ku tempati beberapa minggu ini. Rasanya begitu nyaman bahkan rasa lelah ini ingin segera ku manjakan di ranjang kesayanganku ini. Setibanya di kamar, sungguh tubuhku rasanya begitu pegal sekali, apalagi tangan. Ah, rasanya tak karuan gara-gara sepanjanh perjalanan aku menggendong si gendut Niko, keponakanku yang super aktif dan cerdas itu. Kali ini, untuk meredakan rasa pegal aku memejamkan mata sejenak, berusaha menikmati empuknya kasur yang sudah lama tak ku tempati ini. Grep!Seketika kedua netra ini terbuka saat merasakan sebuah tangan melingkar di tubuhku. Indra penciumanku kembang kempis, merasakan bau tak sedap kembali terisap. Aku menoleh, melihat wajah Jingga yang begitu dekat denganku. "Kamu ngapain peluk-peluk saya?" tanyaku sembari menepis tangannya dari tubuku, lalu bergeser sedikit menjauh darinya. Jingga merenggut kesal, tubuhnya kembali ia dekatkan dengan tubuhku. "Yaelah kang, jingga cuma p
Seusai acara tahlil dan bermain dengan anak panti, kami memutuskan untuk pulang ke rumah emak. Malam ini, emak memaksa aku dan Jingga untuk pulang ke rumahnya, katanya emak kangen sama menantu juragannya ini. Padahal setiap hari juga ketemu, cuma gak di rumahnya. Maklum, menghindari teh Ayu biar gak kena penyakit lagi, soalnya indra penciuman teh Ayu terlalu sensitif. Tapi malam ini, mumpung teh Ayu tengah menginap di rumah Sinta, sahabat kecilku sekaligus sodara jauh kami yang kebetulan pulang ke kampung untuk sekedar mengisi hari libur mungkin. Kami pun berangkat, dengan Jingga yang terlihat sibuk memastikan kedua keponakan ku yang tengah asik tertidur lelap di pangkuanku dan pangkuannya. Sementara emak dan mail begitu asik bercerita di dengan duduk berdampingan di kursi kemudi. "Jang, kamu juga nginep atuh sesekali di rumah emak. Gak papa rumah kecil juga, yang penting bisa tidur" aku mendengar di depan kursi yang aku duduki, emak meminta agar Mail juga ikut bermalam bersama kam