Pov Julia
"Ah, Mas Riyadi pake acara ngusir segala lagi. Dasar suami gak becus, gak bisa nyenengin istri. Barang mahal di bakar!" batinku.Aku pun beranjak dari teras rumahku. Aku bingung, belum tau akan kemana. Setelah mas Riyadi mengusirku tadi, aku sedikit lunglai. Ku akui, aku memang sengaja menjalin hubungan dengan seorang pria beristri. Namanya mas Fajar. Karena, aku butuh seseorang untuk memanjakanku. Aku butuh seseorang yang mau memberikan aku barang-barang mewah."Aku harus menghubungi Mas Fajar. Aku harus minta rumah kontrakan," batinku, sambil merogoh ponselku dari tas.Aku pun segera mencari nomor mas Fajar di layar ponselku. Tak lama, aku menemukannya. Kemudian menghubungi nomornya, tak menunggu lama panggilan ku mendapat respon.["Halo sayang, ada apa malam gini hubungin Mas,"] sapa laki-laki itu.["Mas, bantuin aku dong. Aku di usir suamiku, sekarang aku gak tau mau kemana lagi Mas,"] ucapku, dengan nada mengiba.["Kok bisa gitu sayang? Pasti gak hati-hati lagi kan,"] sahutnya.["Iya, gitu deh. Mana barang-barang yang Mas beliin di bakar lagi,"] rengekku.["Ya udah, kamu ke sini aja. Mas sekarang lagi ada di luar cari angin,"] titahnya, terdengar lembut.["Dimana Mas? Oh, apa rencananya tadi mau cari cewek lain ya?"] rajukku, dengan sedikit manja.["Ya nggak lah sayang. Mas cuma sedikit jenuh sama kerjaan, istri di rumah juga membosankan,"] tuturnya, entah benar atau bohong.["Share lock dong Mas, biar aku nya bisa otw,"] pintaku.["Oke sayang, Mas tunggu. Malam ini kita di hotel dulu. Besok Mas cariin kontrakan buat kamu,"] sambutnya.["Oke Mas, aku pesan grabcar dulu ya,"] sahutku riang.Setelah mas Fajar mengaktifkan share lokasinya, aku pun menaiki grabcar yang telah tiba sesuai pesanan.Beberapa saat setelah tiba di tujuan, aku melihat mas Fajar menungguku di lobi hotel. Hotel ini adalah langganan mas Fajar, jadi semua orang yang bekerja di sana sudah mengenal betul mas Fajar. Dengan segala rahasia wanita-wanita nya."Mas, udah lama nunggu ya?" sapaku, sambil berjalan menyusulnya."Gak kok sayang, cuma sebentar kok. Yok kita ngobrol di dalam," sambut mas Fajar, sambil menenteng koperku.Setelah cek in di lobby hotel, kami berdua pun beranjak menuju kamar hotel untuk tidur dan segala macamnya.Untuk sementara, aku bisa melupakan kegundahan di dada. Melupakan masalah rumah tangga yang sedang terjadi. Walau sebenarnya, hati ini masih mencintai mas Riyadi. Tapi, dengan kehadiran mas Fajar yang tanpa sengaja, aku perlahan-lahan bisa menghilangkan rasa yang pernah ada pada mas Riyadi."Mas, aku mandi dulu. Nanti aku kembali," pintaku, karena mas Fajar mulai meminta yang ia suka dariku."Oke, tapi jangan lama-lama ya sayang. Mas kangen," rayunya, sambil melepaskan pelukan hangatnya.Tak lama, aku pun menyelesaikan ritual mandi ku. Setelah keluar dari kamar mandi, aku melihat Mas Fajar telah bersiap-siap untuk menghabiskan malamnya denganku.***Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Dari luar hotel aku mendengar alunan suara azan subuh berkumandang. Walau jasmani telah bertabur dosa, entah mengapa rohaniku meronta kala mendengarnya.Sejenak aku menatap wajah mas Fajar, kekasihku. Aku merasa nyaman, sementara ini. Kemudian aku memperhatikan dompetnya di atas nakas dekat tempat tidur. Ada banyak rupiah dan ATM di sana. Sepintas aku mulai memikirkan arahku ke depannya."Aku harus bisa membuat Mas Fajar selalu penasaran denganku. Tak ada salahnya, aku meminta sejumlah uang agar aku carikan sendiri rumah kontrakan," batinku.Beberapa menit kemudian, mas Fajar pun bangun dari tidurnya. Aku sengaja mendiamkan diri, agar ia menanyaiku. Ia pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Tak lama, mas Fajar selesai mandi. Kemudian memakai baju dan perlengkapan lainnya."Sayang, kamu kok diam aja? Sana mandi dulu biar kita turun untuk sarapan," ucapnya lembut."Mas, bisa gak Mas berikan uang untukku. Aku punya teman yang bisa cariin kontrakan," pintaku sebelum pergi mandi."Loh, Mas kan bisa carikan sayang?" ungkapnya, sambil memindai wajahku penuh selidik."Tapi Mas, aku gak mau nanti kenalan Mas tau kalau Mas punya simpanan lain. Otomatis istri Mas akan tau, kemudian labrak aku gimana?" kilahku, sambil merengek manja."Saran kamu betul juga, nanti Mas tarik tunai di atm. Kamu mandi dulu, Mas lapar," ucapnya, sambil membelai rambutku yang acak-acakan."Oke Mas, tunggu bentar ya?" sambutku, sambil diam-diam mengulum senyum.Aku memang harus mengatur siasat agar mas Fajar tak jenuh denganku. Demi kelangsungan hidupku, aku harus bisa membuat mas Fajar semakin perhatian padaku.***"Mas, istrinya gak nanyain apa kalau Mas gak pulang?" tanyaku, karena penasaran."Gak kok, karena Mas udah bilang ada urusan penting. Jadi, gak masalah," jawabnya santai, sambil mengunyah sarapan."Oh, kok bisa ya istri Mas gak punya firasat aneh gitu," ungkapku."Kalau istri Mas punya firasat aneh. Gak ada dong yang nemenin kamu," gombalnya.Beberapa menit kemudian, teman istrinya mas Fajar yang kebetulan sedang cek in di lobby hotel, melihat mas Fajar dari kejauhan.Mas Fajar pun terperanjatMas Fajar pun terperanjat. Kemudian terlihat gelisah, aku jadi heran. "Sayang, kamu pindah ke meja belakang dulu. Nanti, setelah temennya istri Mas pergi. Baru kamu ke sini lagi," saran mas Fajar. "Oh, oke Mas. Tunggu, aku pindahin sarapan ku dulu ya?" sahutku, sambil pindah duduk kemudian memindahkan piring dan gelasku. Akhirnya, aku pun duduk di meja belakang mas Fajar. "Assalamu'alaikum, Mas Fajar. Cek in di hotel ini juga ya?" sapa wanita sebaya istri mas Fajar. Namanya mbak Linda. "Waalaikumsalam Linda, kamu mau nginap di sini juga ya?" jawab mas Fajar, sambil menjabat tangan mbak Linda. "Iya Mas, kebetulan anak-anak pengen refresing. Ayahnya baru pulang dari dinas," ucapnya, sambil menenteng perlengkapan mereka."Bagus dong Lin, anak-anak memang butuh liburan," saran mas Fajar, asal. "Iya, betul Mas. Aku sengaja pilihin tempat ini,karena udah bosan ke pantai terus. Oh iya, kapan Mas Fajar liburan sa
Aku pun mengatur nafas dalam-dalam. Aku belum bisa menunjukkan keberadaanku saat ini. Intinya, aku masih punya rencana yang lain. Aku ingin mas Fajar tidak mengetahui tentang rumah baruku. "Gini Mas, gimana kalau nanti malam Julia aja yang nemui Mas ke hotel?" usulku. "Kenapa sayang?" tanyanya, dengan rasa penasaran. "Gini Mas, rumah ini masih berantakan banget. Kamar juga belum rapi, kan aku sendirian yang bersih-bersih," kataku berkilah. "Ya udah deh, nanti malam Mas tunggu di hotel biasa ya," ucapnya, menyerah. "Oke Mas, aku lanjut bersih-bersih dulu ya?" ucapku, dengan suara lembut. "Oke sayang, nanti malam yang wangi ya?" gombalnya lagi. "Gombal," seruku, sambil mematikan ponselku. Setelah pertemuan malam itu, aku berusaha membuat mas Fajar percaya bahwa aku masih sibuk membereskan rumah yang berantakan. Keesokan harinya, aku bergegas mencarikan kontrakan. Tujuanku, agar mas Fajar selalu
Aku tak mengenal siapa wanita cantik yang menemani ibuku, apa mungkin itu calon istri mas Riyadi? "Tunggu Mira, aku gak mau Ibuku melihatku sekarang. Yuk, kita tunggu di cafe sebelah," ajakku, sambil berjalan ke luar. Di ikuti Mira di belakangku.Dengan rasa penasaran, aku duduk sambil memperhatikan dari dalam cafe. Siapa yang menemani ibuku saat ini? Kemudian kami pun memesan minuman yang cocok untuk kami nikmati. Setelah menunggu selama satu jam lebih, mereka berdua pun keluar dari tempat salon. Ibuku terlihat sangat terawat penampilannya. Tanpa terasa air mataku berurai, ternyata sudah hampir setahun sudah aku berpisah dari mereka bertiga. Ibu terlihat berbeda sekali, dan saat ini aku sangat merindukan ibu dan anakku, Deta. "Mir, kira-kira perempuan itu siapa ya? Aku jadi penasaran," tanyaku, sembari memperhatikan ibuku dan wanita yang bersamanya. "Jangan bilang, kamu curiga suami kamu nikah lagi ya?" curiganya benar, tetapi aku bukannya cemburu. Hanya saja, merasa heran. Anda
Aku pun membuka pesan balasan, yang isinya sangat membuatku terkejut. Jantungku berdegup dengan kencang, seolah aku tak mampu untuk bernafas. Sebuah video perselingkuhanku dengan mas Fajar,berhasil masuk ke galeri ponselku melalui whatsapp. Aku tak tau dari mana mas Riyadi mendapatkan video panasku dengan mas Fajar. Di susul dengan pesan yang berisi, talak untukku. ["Aku Riyadi, hari ini juga aku talak kau Julia binti Mustofa. Mulai hari ini, kau bukanlah istriku lagi!"] isi pesan mas Riyadi, melalui ponsel ibuku. Kemudian aku pun membalas pesannya, dengan sedikit sindiran. Walau perasaanku seperti hancur berantakan, mengingat anak semata wayangku. ["Aku terima talakmu Mas, lebay amat sih. Paling juga, perempuan yang mau sama kamu orang kampungan. Yang mau hidup pas-pasan. Iya kan?"] balasku. ["Hubunganmu dengan Deta tidak akan putus, kau bisa menjenguknya bila mau. Masalah wanitaku siapa, bukan urusanmu!"] geramnya.Tak begitu lama, mas Fajar menghubungiku. Seperti biasanya, mas
"Kalau kamu mau, aku bisa comblangin kamu ke cowok tajir Jul. Rahasia aman seratus persen. Gimana?" tawarnya lagi, sambil sedikit berbisik. Ku akui, aku ingin sekali materi yang banyak. Tapi, di lain sisi aku takut untuk berpaling. Karena jika sampai ketahuan, aku bisa saja di campakkan begitu saja. Iya, kalau cowok barunya baik seperti mas Fajar. Gimana jika tidak? "Gak deh Mir, karena aku masih di tahap nyaman. Aku gak mau terulang kedua kalinya," elakku, dengan terus berfikir positif. "Ih, naif banget sih. Fajar itu suami orang Jul, gak mungkin istrinya mau di madu kalau kamu nikah," tuturnya. "Tapi, saat ini aku off dulu deh buat selingkuh. Apalagi aku baru aja dapat talak dari Mas Riyadi," ungkapku, sembari memberi kejelasan. "Apa! Kamu udah di talak?" tanyanya, dengan penuh selidik. "Iya Mir, jadi aku break dulu deh. Seandainya nikah juga, aku tunggu rumahku lunas," ujarku, seraya meneguk minuman bersoda. "Iya deh Jul, maaf jika aku tadi lancang. Aku gak tau kalau kamu di
Setelah aku mengusir Julia malam itu, ada rasa bersalah yang mengganjal. Pikiranku terus berkecamuk, dan timbul rasa sesal yang tiba-tiba menghantui pikiranku. "Gimana kalau Julia hanya sebatas shoping, dan tidak melakukan hal yang yang gak pantas?" batinku, mencoba menimbang-nimbang keputusan untuk Julia. Kemudian, aku pun meminta dengan sangat sopan, ponsel ibu mertuaku. Aku lihat ibu mertuaku tampak sedih, matanya sembab. Begitu juga dengan Deta, anakku. "Bu, Ibu jangan sedih. Ini Riyadi lakukan agar Julia sadar," terangku, meyakinkan ibu. "Iya Riyadi, gak papa. Ibu tau, anak Ibu salah. Ibu gak bela Julia kok," ucapnya sedih, sambil menghapus air matanya yang kembali luruh. "Kita do'akan aja, biar Allah menyadarkan Julia Bu. Coba sini ponsel Ibu," pintaku dengan penuh harapan, bahwa di ponsel ibu ada bukti yang akan meringankan keputusanku. "Ini Nak," ucapnya, sambil memberikan ponsel miliknya. Setelahnya, aku pun beranjak ke kamar. Di dalam kamar, aku mengutak-atik ponsel i
Sampai suatu saat, aku bertemu dengan seorang wanita yang kebetulan anaknya satu sekolah dengan Deta. "Deta, kamu sekolah yang baik ya Nak? Jangan nakal," titahku pada Deta, sambil mengusap kepala anakku. "Iya Ayah, Ayah juga hati-hati di jalan ya Yah?" sahut Deta, sambil tersenyum dengan memelukku. "Iya Nak, kalau gitu Ayah pergi kerja dulu. Nanti Ayah gak bisa jemput pulang, kamu jalan aja ya?" ucapku, sambil melambaikan tangan. Kemudian aku menghidupkan motorku, dan segera berangkat kerja. Dua hari selanjutnya, Deta sudah selesai mandi dan mempersiapkan perlengkapan sekolah. Aku pun tak menyangka, anakku bisa se mandiri ini. "Ayah, aku gak usah Ayah antar sekolah. Nanti ada Bunda Ririn yang mau jemput Deta ke sini," ungkapnya, sambil menyuap sarapan pagi yang sudah ibu buatkan. "Loh, anak Ayah udah siap-siap rupanya. Bener nih, gak Ayah antarin?" tanyaku, sambil ikut duduk di sampingnya. Aku pun sarapan bersama ibu dan Deta. "Iya Riyadi, Deta sudah dua hari ini di antarin s
Ibu mertuaku langsung beranjak ke kamarnya, dengan wajah murung. Aku tak menyangka ibu seserius ini padaku. Ibu seolah ingin memberikan pilihan yang terbaik, pengganti putrinya. Aku jadi merasa bersalah pada ibu, karena setelah Julia pergi beban ibu bertambah. Aku berusaha menemui ibu ke kamarnya, akan tetapi pintu kamar ibu terkunci. "Bu, ayo keluar. Aku akan pergi ke luar bersama Ririn," rayuku, agar ibu tak larut dalam kesedihannya. Ibu pun membukakan pintu kamar, kemudian menyusulku ke luar. Ada raut kebahagiaan terpancar di matanya, kemudian menyunggingkan senyum yang renyah. "Gitu dong Nak, Ibu kan senang. Coba kalau kamu gak mau, Ibu pasti pergi ke rumah Neti besok.""Bu, aku bukan gak mau. Tapi bagaimana dengan Deta anakku? Pasti hatinya hancur Bu?" tuturku pada beliau, sambil beriringan berjalan ke depan. "Itu tak usah jadi beban, serahkan sama Ibu. Penting, kamu nikah sama Ririn," titahnya lagi, tegas. "Baik Bu, aku bisa apa jika Ibu memaksakan. Ibu sama besarnya dengan
Sebuah pesan whatsapp pun masuk ke ponselku, sore ini. Aku segera membuka, dan membaca pesan yang ternyata dari Julia. ["Assalamu'alaikum Mas Riyadi, ada di mana sekarang? Kebetulan aku mau ke rumah ..."]Segera aku berlari menjumpai Ririn, untuk memberitahukan kabar ini. Karena aku yakin, inilah kabar yang kami tunggu-tunggu. "Ririn sayang, coba lihat nih. Ada chat whatsapp dari Julia, katanya mau ke rumah sekarang. Gimana ya?" tanyaku, sambil menunjukkan ponselku padanya. "Balas aja Mas, suruh ke sini. Kita ngumpul di sini aja deh," jawab Ririn, dengan ceria. "Iya deh, tapi gak papa kan Rin?" tanyaku balik. "Loh Mas kok nanya gitu sih, bentar lagi kalau kita nikah ,,, rumah Ririn juga jadi rumahnya Mas juga. Kok jadi gitu sih nanyanya?" jawabnya, simpel dan bermakna. "Ya udah Mas balas ya?" saranku, sambil menuliskan sesuatu di sana. ["Waalaikumsalam Julia, Mas sama Ibu dan Deta sekarang di rumah Ririn. Ririn sedang sakit, kamu bisa ke sini ya? Entar kita shareloc aja," pesan
Setelah tiga hari di rawat, Ririn sudah bisa pulang ke rumah dengan sehat. Dan harus jaga pola makan yang teratur, dan jangan melanggar pantangan makanan. Dari dulu, aku sangat tidak suka dengan penyakit yang berkaitan dengan lambung. Karena sangat menyiksa, dan sering terjadi komplikasi. Tapi, syukurlah aku tidak mempunyai riwayat penyakit lambung. Hanya yang ringan-ringan saja. "Ibu mau masak dulu untuk siang ya? Kamu istirahat aja dulu. Ibu nanti nyusul istirahat kalau udah selesai masak," ucap ibu, setelah sampai di rumah. "Iya Bu, aku kangen masakan buatan Ibu. Tapi jangan yang di pantang kan untuk Ririn ya Bu?" seru Ririn sambil tersenyum riang. "Aman tuh Rin, nanti Ibu yang atur. Biar kamu bisa juga makan tanpa masalah," goda ibu, sambil menggoyangkan kuali di tangannya. "Makasih loh Bu, udah mau repot ngerawat Ririn. Ririn janji pasti akan menyayangi Ibu sampai kapan pun," ucap Ririn sambil berjalan kearah ibu, kemudian memeluk tubuh ibu yang sudah tua. "Ya udah, kamu isti
Bab 30Pov RiyadiRirin mual, dan tambah lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengannya. Ya Allah, sembuhkanlah Ririn. Kuatkan dia, kembalikan kesehatannya. Aku berkali-kali membatin memohon kesembuhan untuk Ririn, calon istriku. "Rin, pokoknya sekarang juga kita ke rumah sakit ya? Aku gak mau terjadi apa-apa dengan kamu. Badan kamu lemah," saranku, sambil merangkul tubuh Ririn ke posisi duduk. "Gak usah pake tanya-tanya Riyadi, pokoknya kita bawa sekarang Nak. Takutnya nanti, Ririn kenapa-kenapa, gimana?" desak ibu, sambil memijit punggung Ririn. "Terserah kamu Mas, aku merasa tambah lemah sekarang. Tolong Mas ke kamar, ambilin dompet Ririn sama perlengkapan Ririn ya Mas?" pinta Ririn, dengan nada lemah. Ya, Ririn memang memiliki riwayat asam lambung. Sedikit saja salah makan, akan berdampak buruk bagi lambungnya. Tapi, aku yakin kok Ririn pasti sembuh. Aku segera menuju kamar atas persetujuan Ririn. Dan segera menyiapkan segala perlengkapan untuk di rumah sakit. Jujur saja, aku ta
Dua hari tak bertemu mas Fajar, batinku seolah hampa. Ada rasa yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Hari ini, adalah hari yang telah aku janjikan untuk bertemu mbak Ratna. Entah mengapa, aku mulai menyayangi mbak Ratna seperti mbak sendiri. Aku pun bersiap, dan kemudian memberikan arahan seperti biasa kepada karyawan restoranku. Aku juga tidak mau ada pikiran yang negatif dari mereka, karna aku sering bepergian. Setelah kurasa sudah klop, aku pun segera pergi. Grabcar pesananku pun tiba di depan halaman restoran sekaligus rumahku. Iya, aku bukan tak punya uang buat beli mobil pribadi untukku. Tapi, aku hanya ingin menyisihkan sejumlah uang untuk kuberikan pada Deta kelak. Dan aku sudah mengalihkan sejumlah uang ke deposito, atas nama Deta. Bagaimanapun, Deta telah lama tak pernah ku rawat. Tak pernah lagi memasak untuknya, tak pernah membelainya sebagai anak semata wayangku. Ini wajar aku lakukan untuk menebus rasa bersalah ku padanya. Tak lama perjalanan yang ku tempuh,
"Baik Julia, aku akan bersikap baik sama Azizah. Aku akan anggap dia sebagai anakku sendiri. Kamu jangan khawatir ya? Apapun pasti aku lakuin untuk kamu," ungkapnya, dengan bibir tersenyum manis. "Oh ya Mas, setelah perlengkapan Nabilla siap, kita harus cepat ke rumah sakit. Takutnya perawatnya udah jenuh, yok?" usulku, kemudian di anggukkan sama mas Fajar. Segera kubantu Azizah membereskan perlengkapan Nabilla, begitu juga dengan pakaian dan susu formula untuk Nabilla. Tampak Azizah begitu bersemangat melakukan tugasnya. Dengan telaten dan penuh kesabaran ia menimang bayi kecilnya mas Fajar. Ia perlahan mengusap kepala Nabilla. Aku jadi bangga punya keponakan yang sangat bijak. Insya Allah, Azizah betah dan baik ke depannya. Amin. "Julia, ayo kita berangkat ke rumah sakit. Nabilla sudah sangat anteng dengan Azizah. Aku ingin bilang sama Ratna kalau Nabilla sudah berada di tangan yang pas," ajak mas Fajar dengan bersemangat. "Oke, sekarang kita berangkat. Aku juga gak bisa lama-la
Akankah aku yang akan mengurus bayinya mas Fajar? Aku belum sanggup untuk mengurus seorang bayi, apalagi sekarang aku sedang merintis usaha baruku. Mana mungkin aku bisa mengambil alih tugas mbak Ratna sebagai ibunya. Bukan maksudku untuk mengelak, tapi aku masih ingin fokus dengan usahaku. Terlihat mas Fajar suntuk dengan pikirannya, dan tentunya berkaitan dengan kondisi anaknya. Ia enggan memintaku untuk mengurus bayinya, sungguh! Aku belum sanggup. "Julia, bisakah kamu mencarikan untuk bayiku pengasuh?" tanya mas Fajar, sambil duduk terpaku. "Nanti aku carikan Mas, insya Allah. Aku akan usahakan yang terbaik untuk anakmu Mas," ucapku memberikan semangat. "Makasih Julia, Mas sudah gak bisa berfikir normal. Mana Mas harus memperhatikan dan mengurus Ratna, nyusul lagi keadaan anakku yang memang harusnya sudah di rumah, Mas stress banget sayang. Mas gak tau harus apa," keluhnya, sambil tertunduk layu. "Udah Mas gak usah terlalu stress, ingat kerjaan Mas. Kalau Mas sakit, siapa ya
Kasihan benar mbak Ratna, Ya Allah berikan kekuatan untuk mbak Ratna. "Dokter! Dokter! Tolong, cepat tangani istri saya Dok. Saya gak mau istri saya kenapa-kenapa," teriak mas Fajar, panik. Tanpa sadar, aku pun tiba-tiba saja iba melihat reaksi mas Fajar. Secara spontan aku merangkulnya, sambil menatap mbak Ratna yang sudah tak sadarkan diri. "Ratna ... Kamu harus kuat sayang. Kamu gak boleh pergi sayang, kamu harus sembuh biar kita kumpul lagi Ratna. Mas mohon," pekik mas Fajar, histeris banget. "Mas, yang sabar dong. Kok kamu jadi lemah gini, apa kamu lupa kalau kita punya Allah. Mas gak pergi sholat?" tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari bibir ini. Mas Fajar mematung, ia baru sadar akan kata-kata yang baru saja aku ucapkan. Kemudian ia, berdiri dan meraih jemari mbak Ratna. Ia menangis, dan memeluk tubuh lemah istrinya yang masih cantik itu. Entah apa yang ia bisikkan di telinga mbak Ratna. Dasar laki-laki, setelah diambang kematian di situlah mereka sadar akan kebejatann
Aku diam seribu bahasa, bingung akan bagaimana. Antara penasaran dan ingin cuek. Tapi Mas Fajar masih saja dengan sikap yang dingin, tanpa ekspresi hangat seperti dulu. Dia berdiri mematung di hadapanku, sambil menatap kosong padaku. Ingin rasanya menanyakan lebih dulu, gerangan mas Fajar begitu. Tapi, aku tahan agar tak terlalu menunjukkan kekhawatiranku padanya. "Julia ... Mas gak tau mau mulai pembicaraan denganmu dari mana. Tapi bisa kamu lihat, Mas sekarang sedang dalam problem." tutur mas Fajar, dengan wajah layu. "Terus ... Hubungannya dengan Julia apa?" tanyaku, pura-pura tidak mengerti. "Julia, tolong mengertilah sama Mas. Mas sekarang mengkhawatirkan Ratna, dia terkena kanker stadium tiga. Dan sedang menjalani kemoterapi, Mas mohon temani Mas. Kasih semangat buat Mas dong sayang ..." mas Fajar mulai menjelaskan sambil meraih tanganku. "Kok kamu aneh ya Mas? Istri sakit keras, bisa-bisanya Mas minta semangat dari aku. Apa Mas gak kasihan sama Mbak Ratna? Jangan egois don
Mas Fajar memang keterlaluan, bisa-bisanya dia menggantung harapanku tanpa memikirkan perasaanku. Ia sengaja menjanjikan hal yang membuatku terangkat ke awan, dan akhirnya ingin menghempaskan jika tidak mau menuruti keinginannya. Sebenarnya bukan aku tak mau menikah dan menjadi istri keduanya. Tapi aku masih ingin mempunyai rumah dan harta yang lain tanpa sepengetahuannya. Aku mau menyisihkannya untuk Deta, suatu saat nanti. Kemudian aku membalas pesan whatsapp dari mas Fajar, yang aku perkirakan hanya menggertak saja. ["Kalau itu yang Mas mau, aku bisa apa. Mungkin Mas tak sepenuhnya mencintai aku, untuk saat ini kita gak usah ketemu dulu Mas. Aku bingung, karena ada juga lelaki yang menginginkan aku,"] send. Kalimat yang kubuat asal-asalan, untuk serangan balik. Setelahnya, aku pulang dari kafe karena muak dengan sikap mas Fajar yang sengaja mempermainkan perasaanku. Setelah aku menaiki grabcar pesananku, kembali aku memeriksa pesan yang aku kirim tadi. Akhirnya udah centang dua