Sampai suatu saat, aku bertemu dengan seorang wanita yang kebetulan anaknya satu sekolah dengan Deta. "Deta, kamu sekolah yang baik ya Nak? Jangan nakal," titahku pada Deta, sambil mengusap kepala anakku. "Iya Ayah, Ayah juga hati-hati di jalan ya Yah?" sahut Deta, sambil tersenyum dengan memelukku. "Iya Nak, kalau gitu Ayah pergi kerja dulu. Nanti Ayah gak bisa jemput pulang, kamu jalan aja ya?" ucapku, sambil melambaikan tangan. Kemudian aku menghidupkan motorku, dan segera berangkat kerja. Dua hari selanjutnya, Deta sudah selesai mandi dan mempersiapkan perlengkapan sekolah. Aku pun tak menyangka, anakku bisa se mandiri ini. "Ayah, aku gak usah Ayah antar sekolah. Nanti ada Bunda Ririn yang mau jemput Deta ke sini," ungkapnya, sambil menyuap sarapan pagi yang sudah ibu buatkan. "Loh, anak Ayah udah siap-siap rupanya. Bener nih, gak Ayah antarin?" tanyaku, sambil ikut duduk di sampingnya. Aku pun sarapan bersama ibu dan Deta. "Iya Riyadi, Deta sudah dua hari ini di antarin s
Ibu mertuaku langsung beranjak ke kamarnya, dengan wajah murung. Aku tak menyangka ibu seserius ini padaku. Ibu seolah ingin memberikan pilihan yang terbaik, pengganti putrinya. Aku jadi merasa bersalah pada ibu, karena setelah Julia pergi beban ibu bertambah. Aku berusaha menemui ibu ke kamarnya, akan tetapi pintu kamar ibu terkunci. "Bu, ayo keluar. Aku akan pergi ke luar bersama Ririn," rayuku, agar ibu tak larut dalam kesedihannya. Ibu pun membukakan pintu kamar, kemudian menyusulku ke luar. Ada raut kebahagiaan terpancar di matanya, kemudian menyunggingkan senyum yang renyah. "Gitu dong Nak, Ibu kan senang. Coba kalau kamu gak mau, Ibu pasti pergi ke rumah Neti besok.""Bu, aku bukan gak mau. Tapi bagaimana dengan Deta anakku? Pasti hatinya hancur Bu?" tuturku pada beliau, sambil beriringan berjalan ke depan. "Itu tak usah jadi beban, serahkan sama Ibu. Penting, kamu nikah sama Ririn," titahnya lagi, tegas. "Baik Bu, aku bisa apa jika Ibu memaksakan. Ibu sama besarnya dengan
Apakah Ririn ingin menikah denganku karena dia sedang hamil?"Ririn, kamu kenapa? Kok tiba-tiba kamu mual-mual?" ucapku panik, sambil meraba keningnya yang mulai keringat dingin. "Gak kenapa-kenapa kok Mas, ini udah biasa. Ayo kita pulang," sanggahnya, sambil membersihkan mulutnya pakai tisu. "Tapi Rin, kok aneh. Apa kamu sakit?" tanyaku, penuh selidik. Membuang sangkaan buruk dari pikiranku. "Uek ,,, uek ,,," kembali Ririn mual lagi, setelah beberapa menit melajukan mobil. Tanpa ragu, aku memberanikan diri membawa Ririn ke klinik terdekat. Aku harus tau jelas, Ririn mual karena apa. Apakah karena hamil atau suatu penyakit. Pikiranku jadi kalut, apalagi aku tak pernah melihat Ririn berhijab. Seandainya Ririn hamil? Aku tak tau harus apa. Ya Allah, aku sangat bingung. Setelah sampai di depan sebuah klinik, Ririn tampak bingung. "Mas, kenapa bawa aku ke klinik? Ririn gak papa kok Mas," lirihnya. "Gak apa-apa Rin, yok Mas papah kalau kamu gak kuat?" sahutku, sambil keluar dari kemu
"Mas," ucap Ririn, yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu dapur. "Ririn, kamu udah di situ sejak tadi?" tanyaku, sambil mengajak Ririn duduk di kursi meja makan. "Ririn, apa kamu udah kuat berdiri?" tanya ibu, pura-pura tidak menyadari sesuatu. "Udah Bu, Alhamdulillah sudah agak baikan. Makasih ya Bu, Mas. Sudah merawat aku sejak tadi malam," ungkap Ririn, dengan raut wajah yang sedikit lebih baik. "Ah, gak papa Nak. Udah tanggungjawab Ibu, karena Ibu yang meminta Nak Ririn untuk pergi dengan Riyadi. Ibu yang minta maaf Nak," tutur ibu, sambil memindai wajahku. "Gak papa kok Bu, Ririn senang bisa pergi dengan Mas Riyadi. Insya Allah, Ririn bisa menerima lamaran Mas Riyadi," ungkap Ririn, sambil menunduk malu. "Maaf Rin, dengan perkataan Deta tadi. Mungkin dia rindu Ibunya," ungkapan itu keluar begitu saja dari mulutku, entah itu karena aku mulai mencintainya atau karena menjaga perasaan Ririn saja. Aku tak mengerti. "Gak papa Mas, Ririn ngerti kok. Ririn bisa bantu nyariin Mbak
Aku sangat terkejut melihat penampilan ibu yang sangat berbeda. Kenapa sekarang ibu berubah? "Ibu, kok jadi cantik gini? Uang Ibu dari mana?" ucapku, heran. "Mas, jangan gituin Ibu. Ririn yang bawa Ibu ke salon. Kasihan Ibu udah capek ngurusin Ririn selama sakit. Jangan di protes dong Mas?" bujuk Ririn, dengan wajah manyun. "Yah, Nenek jadi kikuk tuh Yah. Ayah gak seneng lihat Nenek cantik?" goda Deta, sambil melirik neneknya. "Ya Allah, banyak perubahan yang terjadi dengan keluargaku. Ibu terlihat lebih gemuk dan sedikit modis. Deta, udah semakin dewasa. Tak ku pungkiri, Ririn membawa perubahan besar dalam hidupku," batinku, sambil memandang jauh ke depan. Ibu tampak diam, mungkin masih malu menunjukkan penampilan barunya. Aku tersenyum sendiri, melihat tingkah ibu. Ibu terlihat canggung sekali, ini pasti ulah Ririn yang memaksa ibu ke salon. "Mas, apa udah ada kabar dari Mbak Julia?" tanya Ririn, sambil duduk di samping ibu yang baru selesai berganti pakaian. "Belum Rin, biar
Bagaimana biaya operasi ibu nanti? Aku pusing memikirkan biaya dari mana? Bukannya aku keberatan dengan apapun yang akan aku berikan untuk ibu. Tapi, untuk saat ini aku tak mempunyai tabungan yang banyak. Mau meminjam dari Ririn, ada rasa malu yang luar biasa. Seolah aku ingin memanfaatkan kesempatan bersamanya. Tapi, mau bagaimana lagi. Ku beranikan diri untuk menghubungi Ririn di Surabaya. Tapi, ku urungkan niatku. Kemudian aku minta izin untuk pergi sebentar ke rumah atasanku. Karena aku tau beliau sedang libur, beristirahat di rumah. Segera ku lajukan mobil Ririn ke rumah beliau. "Assalamualaikum, Pak?" ucapku dari luar, dengan sedikit berteriak agar yang punya rumah mendengar. Lama tak ada yang menyahut, barulah aku sadar bahwa di sisi pintu ada bel yang khusus di buat untuk memanggil Tuan rumah. Aku jadi malu sendiri, tapi tak apalah. Orang kecil tak perlu malu dengan kekurangannya, iya kan?Yang penting aku harus berusaha untuk kesehatan ibu, tanpa memikirkan egoku. Setelah
Kemudian ibu menangis, dan berkata. "Ibu, pengen ketemu Julia Di?"Bagai di sambar petir di siang bolong, permintaan ibu sangat menyayat hatiku. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu setahun lebih, ibu menunjukkan sikap yang baik. Tidak manja atau menuntut ini dan itu, dan memberikan semangat untukku. Aku merasa bersalah pada ibu, aku tau batin ibu terenyuh. Ibu sangat menyayangi kami anak-anaknya, terutama Julia. Tapi, beliau tidak membenarkan perbuatan Julia yang menyimpang. "Bu, bukannya aku melarang Ibu buat ketemu Julia. Tapi, untuk sementara, Ibu harus sembuh dulu. Riyadi pasti usahain biar bisa dapat kabar tentang Julia ya Bu?" usulku, sambil merangkul pundak ibu yang masih lemah. "Iya Bu, kalau Ibu masih begini aja, gimana Riyadi bisa fokus nyariin Julia?" sambung Mbak Neti, membujuk ibu. "Nak Riyadi, kamu gak usah menyalahkan diri sendiri. Ibu tau kalau Julia itu fatal kelakuannya. Tapi, di dalam hati Ibu kasihan ingat pikiran Julia yang mengambang. Ibu mau membimbingnya lagi
Di dalam perjalanan pulang, ponselku kembali berdering. Aku lihat Mbak Neti yang menghubungiku, ada apa di rumah? Jantungku semakin tidak karuan. "Assalamu'alaikum Mbak, ada apa?" tanyaku, tanpa basa basi. "Waalaikumsalam Di, kamu udah selesai jemput Ririn nya?" tanyanya balik, dengan nada cemas. "Sudah Mbak, ini lagi di jalan mau pulang. Ada apa Mbak?" tanyaku lagi, dengan penuh rasa penasaran dengan keadaan di rumah. "Ibu sakit lagi Di, sekarang Ibu pingsan. Kalau bisa cepat ya Di?" ungkapnya, sambil terisak. "Ya Allah, kenapa lagi Ibu? Sabar ya Mbak, aku pasti secepatnya sampai," sahutku, menenangkan Mbak Neti. Ada apa lagi Bu? Baru juga keluar dari rumah sakit, sudah drop lagi. Di saat aku sudah menemukan jejak Julia, ibu menjadi lemah lagi. "Ada apa dengan Ibu Mas?" tanya Ririn, panik. "Ibu drop lagi Rin, Mas gak tau harus apa lagi. Mas cemas," jawabku, sambil menambah kecepatan laju mobil. "Ya udah, kita juga harus hati-hati Mas. Kita langsung tangani Ibu dulu ke rumah
Sebuah pesan whatsapp pun masuk ke ponselku, sore ini. Aku segera membuka, dan membaca pesan yang ternyata dari Julia. ["Assalamu'alaikum Mas Riyadi, ada di mana sekarang? Kebetulan aku mau ke rumah ..."]Segera aku berlari menjumpai Ririn, untuk memberitahukan kabar ini. Karena aku yakin, inilah kabar yang kami tunggu-tunggu. "Ririn sayang, coba lihat nih. Ada chat whatsapp dari Julia, katanya mau ke rumah sekarang. Gimana ya?" tanyaku, sambil menunjukkan ponselku padanya. "Balas aja Mas, suruh ke sini. Kita ngumpul di sini aja deh," jawab Ririn, dengan ceria. "Iya deh, tapi gak papa kan Rin?" tanyaku balik. "Loh Mas kok nanya gitu sih, bentar lagi kalau kita nikah ,,, rumah Ririn juga jadi rumahnya Mas juga. Kok jadi gitu sih nanyanya?" jawabnya, simpel dan bermakna. "Ya udah Mas balas ya?" saranku, sambil menuliskan sesuatu di sana. ["Waalaikumsalam Julia, Mas sama Ibu dan Deta sekarang di rumah Ririn. Ririn sedang sakit, kamu bisa ke sini ya? Entar kita shareloc aja," pesan
Setelah tiga hari di rawat, Ririn sudah bisa pulang ke rumah dengan sehat. Dan harus jaga pola makan yang teratur, dan jangan melanggar pantangan makanan. Dari dulu, aku sangat tidak suka dengan penyakit yang berkaitan dengan lambung. Karena sangat menyiksa, dan sering terjadi komplikasi. Tapi, syukurlah aku tidak mempunyai riwayat penyakit lambung. Hanya yang ringan-ringan saja. "Ibu mau masak dulu untuk siang ya? Kamu istirahat aja dulu. Ibu nanti nyusul istirahat kalau udah selesai masak," ucap ibu, setelah sampai di rumah. "Iya Bu, aku kangen masakan buatan Ibu. Tapi jangan yang di pantang kan untuk Ririn ya Bu?" seru Ririn sambil tersenyum riang. "Aman tuh Rin, nanti Ibu yang atur. Biar kamu bisa juga makan tanpa masalah," goda ibu, sambil menggoyangkan kuali di tangannya. "Makasih loh Bu, udah mau repot ngerawat Ririn. Ririn janji pasti akan menyayangi Ibu sampai kapan pun," ucap Ririn sambil berjalan kearah ibu, kemudian memeluk tubuh ibu yang sudah tua. "Ya udah, kamu isti
Bab 30Pov RiyadiRirin mual, dan tambah lemas. Aku tak mau terjadi apa-apa dengannya. Ya Allah, sembuhkanlah Ririn. Kuatkan dia, kembalikan kesehatannya. Aku berkali-kali membatin memohon kesembuhan untuk Ririn, calon istriku. "Rin, pokoknya sekarang juga kita ke rumah sakit ya? Aku gak mau terjadi apa-apa dengan kamu. Badan kamu lemah," saranku, sambil merangkul tubuh Ririn ke posisi duduk. "Gak usah pake tanya-tanya Riyadi, pokoknya kita bawa sekarang Nak. Takutnya nanti, Ririn kenapa-kenapa, gimana?" desak ibu, sambil memijit punggung Ririn. "Terserah kamu Mas, aku merasa tambah lemah sekarang. Tolong Mas ke kamar, ambilin dompet Ririn sama perlengkapan Ririn ya Mas?" pinta Ririn, dengan nada lemah. Ya, Ririn memang memiliki riwayat asam lambung. Sedikit saja salah makan, akan berdampak buruk bagi lambungnya. Tapi, aku yakin kok Ririn pasti sembuh. Aku segera menuju kamar atas persetujuan Ririn. Dan segera menyiapkan segala perlengkapan untuk di rumah sakit. Jujur saja, aku ta
Dua hari tak bertemu mas Fajar, batinku seolah hampa. Ada rasa yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Hari ini, adalah hari yang telah aku janjikan untuk bertemu mbak Ratna. Entah mengapa, aku mulai menyayangi mbak Ratna seperti mbak sendiri. Aku pun bersiap, dan kemudian memberikan arahan seperti biasa kepada karyawan restoranku. Aku juga tidak mau ada pikiran yang negatif dari mereka, karna aku sering bepergian. Setelah kurasa sudah klop, aku pun segera pergi. Grabcar pesananku pun tiba di depan halaman restoran sekaligus rumahku. Iya, aku bukan tak punya uang buat beli mobil pribadi untukku. Tapi, aku hanya ingin menyisihkan sejumlah uang untuk kuberikan pada Deta kelak. Dan aku sudah mengalihkan sejumlah uang ke deposito, atas nama Deta. Bagaimanapun, Deta telah lama tak pernah ku rawat. Tak pernah lagi memasak untuknya, tak pernah membelainya sebagai anak semata wayangku. Ini wajar aku lakukan untuk menebus rasa bersalah ku padanya. Tak lama perjalanan yang ku tempuh,
"Baik Julia, aku akan bersikap baik sama Azizah. Aku akan anggap dia sebagai anakku sendiri. Kamu jangan khawatir ya? Apapun pasti aku lakuin untuk kamu," ungkapnya, dengan bibir tersenyum manis. "Oh ya Mas, setelah perlengkapan Nabilla siap, kita harus cepat ke rumah sakit. Takutnya perawatnya udah jenuh, yok?" usulku, kemudian di anggukkan sama mas Fajar. Segera kubantu Azizah membereskan perlengkapan Nabilla, begitu juga dengan pakaian dan susu formula untuk Nabilla. Tampak Azizah begitu bersemangat melakukan tugasnya. Dengan telaten dan penuh kesabaran ia menimang bayi kecilnya mas Fajar. Ia perlahan mengusap kepala Nabilla. Aku jadi bangga punya keponakan yang sangat bijak. Insya Allah, Azizah betah dan baik ke depannya. Amin. "Julia, ayo kita berangkat ke rumah sakit. Nabilla sudah sangat anteng dengan Azizah. Aku ingin bilang sama Ratna kalau Nabilla sudah berada di tangan yang pas," ajak mas Fajar dengan bersemangat. "Oke, sekarang kita berangkat. Aku juga gak bisa lama-la
Akankah aku yang akan mengurus bayinya mas Fajar? Aku belum sanggup untuk mengurus seorang bayi, apalagi sekarang aku sedang merintis usaha baruku. Mana mungkin aku bisa mengambil alih tugas mbak Ratna sebagai ibunya. Bukan maksudku untuk mengelak, tapi aku masih ingin fokus dengan usahaku. Terlihat mas Fajar suntuk dengan pikirannya, dan tentunya berkaitan dengan kondisi anaknya. Ia enggan memintaku untuk mengurus bayinya, sungguh! Aku belum sanggup. "Julia, bisakah kamu mencarikan untuk bayiku pengasuh?" tanya mas Fajar, sambil duduk terpaku. "Nanti aku carikan Mas, insya Allah. Aku akan usahakan yang terbaik untuk anakmu Mas," ucapku memberikan semangat. "Makasih Julia, Mas sudah gak bisa berfikir normal. Mana Mas harus memperhatikan dan mengurus Ratna, nyusul lagi keadaan anakku yang memang harusnya sudah di rumah, Mas stress banget sayang. Mas gak tau harus apa," keluhnya, sambil tertunduk layu. "Udah Mas gak usah terlalu stress, ingat kerjaan Mas. Kalau Mas sakit, siapa ya
Kasihan benar mbak Ratna, Ya Allah berikan kekuatan untuk mbak Ratna. "Dokter! Dokter! Tolong, cepat tangani istri saya Dok. Saya gak mau istri saya kenapa-kenapa," teriak mas Fajar, panik. Tanpa sadar, aku pun tiba-tiba saja iba melihat reaksi mas Fajar. Secara spontan aku merangkulnya, sambil menatap mbak Ratna yang sudah tak sadarkan diri. "Ratna ... Kamu harus kuat sayang. Kamu gak boleh pergi sayang, kamu harus sembuh biar kita kumpul lagi Ratna. Mas mohon," pekik mas Fajar, histeris banget. "Mas, yang sabar dong. Kok kamu jadi lemah gini, apa kamu lupa kalau kita punya Allah. Mas gak pergi sholat?" tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari bibir ini. Mas Fajar mematung, ia baru sadar akan kata-kata yang baru saja aku ucapkan. Kemudian ia, berdiri dan meraih jemari mbak Ratna. Ia menangis, dan memeluk tubuh lemah istrinya yang masih cantik itu. Entah apa yang ia bisikkan di telinga mbak Ratna. Dasar laki-laki, setelah diambang kematian di situlah mereka sadar akan kebejatann
Aku diam seribu bahasa, bingung akan bagaimana. Antara penasaran dan ingin cuek. Tapi Mas Fajar masih saja dengan sikap yang dingin, tanpa ekspresi hangat seperti dulu. Dia berdiri mematung di hadapanku, sambil menatap kosong padaku. Ingin rasanya menanyakan lebih dulu, gerangan mas Fajar begitu. Tapi, aku tahan agar tak terlalu menunjukkan kekhawatiranku padanya. "Julia ... Mas gak tau mau mulai pembicaraan denganmu dari mana. Tapi bisa kamu lihat, Mas sekarang sedang dalam problem." tutur mas Fajar, dengan wajah layu. "Terus ... Hubungannya dengan Julia apa?" tanyaku, pura-pura tidak mengerti. "Julia, tolong mengertilah sama Mas. Mas sekarang mengkhawatirkan Ratna, dia terkena kanker stadium tiga. Dan sedang menjalani kemoterapi, Mas mohon temani Mas. Kasih semangat buat Mas dong sayang ..." mas Fajar mulai menjelaskan sambil meraih tanganku. "Kok kamu aneh ya Mas? Istri sakit keras, bisa-bisanya Mas minta semangat dari aku. Apa Mas gak kasihan sama Mbak Ratna? Jangan egois don
Mas Fajar memang keterlaluan, bisa-bisanya dia menggantung harapanku tanpa memikirkan perasaanku. Ia sengaja menjanjikan hal yang membuatku terangkat ke awan, dan akhirnya ingin menghempaskan jika tidak mau menuruti keinginannya. Sebenarnya bukan aku tak mau menikah dan menjadi istri keduanya. Tapi aku masih ingin mempunyai rumah dan harta yang lain tanpa sepengetahuannya. Aku mau menyisihkannya untuk Deta, suatu saat nanti. Kemudian aku membalas pesan whatsapp dari mas Fajar, yang aku perkirakan hanya menggertak saja. ["Kalau itu yang Mas mau, aku bisa apa. Mungkin Mas tak sepenuhnya mencintai aku, untuk saat ini kita gak usah ketemu dulu Mas. Aku bingung, karena ada juga lelaki yang menginginkan aku,"] send. Kalimat yang kubuat asal-asalan, untuk serangan balik. Setelahnya, aku pulang dari kafe karena muak dengan sikap mas Fajar yang sengaja mempermainkan perasaanku. Setelah aku menaiki grabcar pesananku, kembali aku memeriksa pesan yang aku kirim tadi. Akhirnya udah centang dua