Mimi kira setelah ia bertengkar dan berdebat siang itu, Ardan akan berusaha memperbaiki hidupnya. Namun, yang ada justru Ardan tidak kembali ke rumahnya. Sebagai seorang istri dia seperti dipermainkan oleh suaminya sendiri. Setelah kemarin meminta maaf, sekarang bahkan suaminya tidak pulang dan kembali membuat dia terluka. Mungkin memang benar kata pepatah; jangan memberikan kesempatan bagi seorang yang memang tidak mempunyai itikad baik untuk memperbaiki. Mimi pun memutuskan mendatangi rumah keluarga Adnan. Dia akan meminta doa untuk bisa melepaskan Ardan dengan sebaik-baiknya.“Kita mau ke mana, Bu?” tanya Laila.“Mau ke Banjar,” jawab Mimi sambil membenahi kerudungnya.“Jauh?”“Ke rumahnya Mbah, Sayang. Yang rumahnya ada di bukit itu.”Laila nampak mengingat-ingat, tetapi bocah berumur hampir enam tahun itu tak begitu hafal nama kota yang dia sebutkan karena memang Ardan jarang mengajak keluarganya pulang ke desanya yang beda kabupaten itu.Mereka menaiki angkutan umum menuju ke sa
“Iya. Saya hendak menceraikan Mas Ardan. Saya sudah memikirkan hal ini matang-matang dan saya tidak bisa lagi bersabar untuk menghadapi Mas Ardan. Jika permasalahannya hanya karena ekonomi tentu Mimi akan sabar dan mencoba untuk mendampingi sampai ekonomi kamu benar-benar membaik. Namun, kesalahan masa depan kali ini fatal dan Mimi tidak bisa memaafkannya begitu saja. Mungkin Ibu kecewa dengan keputusan ini, tetapi kedatangan Mimi ke sini memang benar-benar ingin meminta izin dan doa restu untuk kelancaran gugatan perceraian yang akan Mimi layangkan nanti. Mohon maaf, jika selama ini Mimi menjadi menantu yang kurang atau bahkan tidak berkenan di hati ibu. Maaf jika selama ini Mimi sering menyakiti hati ibu yang disengaja ngomong tidak disengaja. Mimi dan Laila mohon maaf," ucap Mimi sambil bersimpuh di hadapan mertuanya.Tentu saja Yati merasa kaget ketika Mimi mengatakan hendak menceraikan Ardan. Selama ini keluarga Ardan memang jarang diterpa gosip dan isu-isu yang aneh sehingga ket
Mimi pulang menaiki bis untuk sampai di Cilacap. Dia tak langsung pulang ke rumah, melainkan menuju rumah sahabatnya–Santi. Dia ingin bertanya pada Santi bagaimana proses mengajukan perceraian karena dia tak ingin salah dan belibet mengurusnya. Setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam, kini mereka sampai di Limbangan. Tempat di mana Santi dan suaminya tinggal kini.“Assalamualaikum,” salam Mimi.Belum ada sambutan si penghuni rumah akan keluar, Mimi memencet bel kembali dan mengucapkan salam. Rumah suami Santi bisa dibilang besar. Dia benar-benar menjadi pebisnis sehingga bisa membangun rumah yang megah bak istana seperti itu.“Waalaikumsalam.” Santi keluar dengan handuk yang melilit di rambutnya.“Mimi? Kok nggak ngabarin aku mau datang?” tanya Santi kaget.“Maaf, ya,” jawab Mimi sendu. Laila bersalaman pada Santi. Melihat Mimi dan Laila yang nampak lesu, keduanya masuk ke dalam.“Aku nggak apa kan berkunjung tanpa mengabari? Ponselku lobet sejak perjalanan.” Mimi pun merasa tak e
"Nggak, San. Aku nggak enak kalau nginep di rumah kamu.""Alah, nggak enak tinggal minum antimo sih. Kayak Sama siapa aja kamu nih. Semalam ini kan sekarang udah sore. Pulang ke rumahmu juga jauh. Angkutan ke sana sudah nggak ada.""Kan ada ojek online. Kalau dari rumah kamu ke rumah aku sih kayaknya nggak mahal.""Serah lu dah! Tapi, kasihan tahu sama anak kamu itu. Udah nginep di sini aja. Biar sekalian Besok pagi kita urus gugatan kamu ke pengadilannya. Bukankah kamu lebih cepat?" tanya Santi. "Ya sih. Tapi yakin nggak papa deh nginep di rumah kamu?""Memangnya kenapa? Rumah ini gede dan banyak kamar kosong. Ruang tamu kami ada dua dan kamu tinggal milih mau ruang tamu yang gede atau yang kecil," kekeh Santi."Ya, Sultan dilawan mah, susah. Pokoknya aku terima kasih banget sama kamu kan udah mau bantuin aku sampai seperti ini. Aku merasa insecure pada diriku sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa dengan keterbatasan pendidikan yang punya. Bahkan pakai skill ku hanya berjualan
Laila sangat senang merasakan kucuran air shower yang tidak ada di rumahnya. Tentu saja rumah mewah Santi berbeda jauh dengan rumah sederhana miliknya yang hanya bisa menggunakan air sumur sebagai sumber mata air satu-satunya. Silakan Laila betah berlama-lama di dalam kamar mandi hingga Mimi harus membujuknya untuk menyudahi mandinya."Kapan ya kita punya kamar mandi yang kayak gini?"Laila saat Mimi membawanya keluar dari kamar mandi."Kalau mama punya uang banyak, Nayla bakalan mama bikinin kolam renang juga di dalam rumah.""Emang bisa kolam renang di taruh di dalam rumah?""Bisa dong. Kalau uang banyak mah bikin apa aja bisa.""Perosotan bisa mah?""Bisa. Makanya Laila doain semoga urusan kamu cepat selesai dan mama punya Jalan rezeki yang mudah biar bisa bikinin kamu kamar yang nyaman dengan kolam renang yang ada di rumah juga perosotan dan area bermain.”“Serius, Ma?” tanya Laila dengan wajah yang bahagia mendengar ucapan sang ibu yang menjanjikan hal bahagia.“Iya. Doakan saja
"A-pa maksudnya?" tanya Mimi tegang.“Kita diminta makan makanan ini, bukan malah memandanginya saja,” ucap Arfi.Mimi hanya mengangguk, setelah itu membuang muka. Dia ketahuan menatap Arfi dan itu sungguh memalukan. “Biar aku yang cuci saja.” Mimi memunguti semua piring yang kotor sebelum tuan rumah yang melakukannya.“Nggak usah, Mi. Masa tamu pegang pekerjaan rumah. Nggak sopan dong,” ucap Santi.“Nggak apa, San. Aku aja ya? Please …”Mimi memohon pada Santi untuk mengizinkan dia membantu. Santi pun setuju karena kini Laila diajak suaminya main di zona santai bersama teman-temannya.Malam pun berlalu. Mimi yang sudah menidurkan Laila, merasa penasaran dengan suara bising di halaman depan. Teman-teman Santi sedang bakaran dan Mimi pun penasaran ingin melihatnya.“Eh, belum tidur ternyata.” Santi yang sedang bergelayut pada suaminya itu tersenyum melihat Mimi yang ikut bergabung.“Berisik ya?” tanya Seno.“Nggak sih, cuma kedengeran aja suaranya sampai dalam.” Mimi menjawabnya denga
Mimi bangun lebih awal pagi ini dan masih melihat teman-teman Santi belum bangun kecuali Arfi. Lelaki itu sudah bangun Namun sepertinya belum mencuci muka karena masih duduk sambil membenarkan kepalanya. "Kebas ya?" tanya Mimi."Iya. Bantalnya diambil sama Bimo semua. Aku jadi nggak kebagian. Kok kamu udah bangun?""Udah waktunya subuh. Tadi denger aja langsung sholat dan aku berniat buat masak lebih awal," ucap Mimi."Oh."Hanya satu kalimat itu yang keluar dari bibir Arfi. Mimi pun memilih untuk langsung ke dapur dan menyiapkan bahan untuk dimasak."Mau kopi?" Tanya Mimi saat melihat Arfi ke belakangnya. Dia nampak Barus selesai sholat dan mengambil air minum."Boleh."Mimi membuatkan kopi dan meletakkannya di depan Arfi. "Makasih."Suara langkah kaki yang turuni anak tangga, membuat Mimi berpikir bahwa itu pasti Santi ataupun suaminya."Waah, pada bangun jam berapa? Jam segini udah bangun aja,” tanya Santi yang kaget saat melihat Mimi dan Arfi yang sudah ada di dapurnya.“Maaf, S
“Udah. Aku panggilin sekarang?” “Lima menit, Yank. Kami tata dulu di meja makan,” jawab Santi mencolek dagu suaminya.“Pacaran ngerti tempat, woi!” Arfi kembali merajuk.“Sirik aja, lu!” Alvin berjalan menjauhi dapur untuk memanggil teman temannya. Semua makanan sudah tersaji, Mimi memang biasa memasak cepat dan dia suka profesi memasak jika saja ada bahan lengkap seperti yang di rumah Santi. Namun, setiap harinya pasti Mimi selalu dihadapkan dengan kosongnya bumbu dapur dan tak ada olahan pangan yang layak konsumsi.“Mama!” Suara tangis Laila membuat Mimi segera beranjak dan melihat keadaan anaknya terlebih dahulu. Laila yang sudah bangun, langsung diajak mandi dan ikut sarapan bersama teman-teman Santi.“Eh, keponakan Tante udah cantik. Udah mandi, Sayang?” tanya Santi sambil mencium pipi Lala yang dipenuhi bedak bayi. Laila merengut khas bocah ngambek yang sedang tidak mood untuk berbicara. “Kenapa anak kamu, Mi?”“Kalau bangun tidur nggak ada emaknya ya gitu. Dikira ditinggal,,”