"A-pa maksudnya?" tanya Mimi tegang.“Kita diminta makan makanan ini, bukan malah memandanginya saja,” ucap Arfi.Mimi hanya mengangguk, setelah itu membuang muka. Dia ketahuan menatap Arfi dan itu sungguh memalukan. “Biar aku yang cuci saja.” Mimi memunguti semua piring yang kotor sebelum tuan rumah yang melakukannya.“Nggak usah, Mi. Masa tamu pegang pekerjaan rumah. Nggak sopan dong,” ucap Santi.“Nggak apa, San. Aku aja ya? Please …”Mimi memohon pada Santi untuk mengizinkan dia membantu. Santi pun setuju karena kini Laila diajak suaminya main di zona santai bersama teman-temannya.Malam pun berlalu. Mimi yang sudah menidurkan Laila, merasa penasaran dengan suara bising di halaman depan. Teman-teman Santi sedang bakaran dan Mimi pun penasaran ingin melihatnya.“Eh, belum tidur ternyata.” Santi yang sedang bergelayut pada suaminya itu tersenyum melihat Mimi yang ikut bergabung.“Berisik ya?” tanya Seno.“Nggak sih, cuma kedengeran aja suaranya sampai dalam.” Mimi menjawabnya denga
Mimi bangun lebih awal pagi ini dan masih melihat teman-teman Santi belum bangun kecuali Arfi. Lelaki itu sudah bangun Namun sepertinya belum mencuci muka karena masih duduk sambil membenarkan kepalanya. "Kebas ya?" tanya Mimi."Iya. Bantalnya diambil sama Bimo semua. Aku jadi nggak kebagian. Kok kamu udah bangun?""Udah waktunya subuh. Tadi denger aja langsung sholat dan aku berniat buat masak lebih awal," ucap Mimi."Oh."Hanya satu kalimat itu yang keluar dari bibir Arfi. Mimi pun memilih untuk langsung ke dapur dan menyiapkan bahan untuk dimasak."Mau kopi?" Tanya Mimi saat melihat Arfi ke belakangnya. Dia nampak Barus selesai sholat dan mengambil air minum."Boleh."Mimi membuatkan kopi dan meletakkannya di depan Arfi. "Makasih."Suara langkah kaki yang turuni anak tangga, membuat Mimi berpikir bahwa itu pasti Santi ataupun suaminya."Waah, pada bangun jam berapa? Jam segini udah bangun aja,” tanya Santi yang kaget saat melihat Mimi dan Arfi yang sudah ada di dapurnya.“Maaf, S
“Udah. Aku panggilin sekarang?” “Lima menit, Yank. Kami tata dulu di meja makan,” jawab Santi mencolek dagu suaminya.“Pacaran ngerti tempat, woi!” Arfi kembali merajuk.“Sirik aja, lu!” Alvin berjalan menjauhi dapur untuk memanggil teman temannya. Semua makanan sudah tersaji, Mimi memang biasa memasak cepat dan dia suka profesi memasak jika saja ada bahan lengkap seperti yang di rumah Santi. Namun, setiap harinya pasti Mimi selalu dihadapkan dengan kosongnya bumbu dapur dan tak ada olahan pangan yang layak konsumsi.“Mama!” Suara tangis Laila membuat Mimi segera beranjak dan melihat keadaan anaknya terlebih dahulu. Laila yang sudah bangun, langsung diajak mandi dan ikut sarapan bersama teman-teman Santi.“Eh, keponakan Tante udah cantik. Udah mandi, Sayang?” tanya Santi sambil mencium pipi Lala yang dipenuhi bedak bayi. Laila merengut khas bocah ngambek yang sedang tidak mood untuk berbicara. “Kenapa anak kamu, Mi?”“Kalau bangun tidur nggak ada emaknya ya gitu. Dikira ditinggal,,”
Mimi akhirnya sampai di rumah dengan mengendarai mobil taksi yang dipesankan oleh Arfi. Dia sengaja menolak untuk diantar ke rumah karena tidak ingin menambah masalah semakin rumit jika sampai ketahuan para tetangga atau suaminya sendiri. Siapa tahu Ardan sudah pulang di rumah dan sedang menunggunya."Loh, kok rame?" tanya Mimi dalam hati.Mimi pun bingung saat sampai di rumah, ia melihat rumahnya sudah banyak orang-orang berkerumun. Dia menanyakan pada seseorang yang baru dia jumpai di sana."Ada apa, Bu? Kenapa semua orang berkerumun di depan rumah saya?""Oalah, Mi. Kamu dari mana saja sampai nggak tahu suamimu sudah di grebek masa? Yang sabar ya, Mi. Kita sudah mengarak dia keliling kampung dan sekarang dia sedang di sidang di dalam sana bersama Pak RT dan juga Pak lurah," ucap Rita–tetangga Mimi yang juga ikut menyaksikan kejadian itu.Mimi langsung menerobos mereka yang menatapnya iba. Dia tidak mungkin akan menangis ataupun merengek saat mengetahui suaminya diarah kampung dan s
"Mi, Tolong dengarkan semua penjelasan ku. Ini tidak seperti yang kamu lihat," sangkal Ardan. Dia kembali berbalik dan memohon kepada Mimi. Mimi Hanya diam sambil berdiri di tempat yang sama dan dipeluk Ibu untuk dikuatkan agar tidak lemah ketika menghadapi lelaki bergelar suami yang sudah mengkhianatinya itu."Aku memang orang bodoh yang aneh lulusan SMP, Mas. Aku memang tidak setinggi kamu dan tidak sehebat kamu dalam hal apapun. Aku juga tidak sebanding dengan wanita yang kamu jadikan kekasih selingkuhan itu. Maka untuk kali ini aku yang akan mengalah dan pilihlah wanita yang hebat di sisimu itu. Aku ikhlas. Aku ikhlas Jika kamu memilih kebahagiaan dengan dia; wanita yang lebih hebat dan lebih sempurna daripada istrimu yang bodoh. Pergilah! Ceraikan aku, jangan pernah kembali lagi ke sini kecuali karena urusan Laela."Mimi beranjak dari tempatnya dan masuk ke dalam rumah. Orang-orang yang tadi meneriakinya kembali melempari mereka dengan kerikil-kerikil kecil Ardan kesal dan perg
Irah kembali dengan wajah cemberutnya. Selama ini dia sangat dekat dengan Ardan Dan menganggap bahwa Ardan adalah menantu yang cukup baik. Dia masih tidak percaya jika menantunya itu berbuat zina di rumah ini dan dia pun menjadi kesal karena tetangga juga ikut bertanya-tanya mengenai Ardan dan Mimi."Ibu jadi seperti tidak punya muka," ucap Irah."Kalau ini bukan muka, Ini namanya apa? Tembok?" kekeh Tono menunjuk wajah istrinya dengan jari telunjuknya."Bapak, Ih. Bapak itu nggak tahu ya namanya mulut ibu-ibu kalau udah ngomong. Mereka bakalan tanya sesuatu yang kita sendiri bingung bagaimana menjawabnya. Ardan juga, jadi lelaki kok kebangetan banget. Kaya duit nggak, banyak gaya iya.""Sabar, Bu. Namanya juga orang khilaf dan mata hatinya sedang ditutup dengan dosa dan bujukan setan. Kita doakan saja semoga dia mendapatkan hidayah dan yang penting Sekarang kita adalah memikirkan anak dan cucu kita. Bapak yang akan antar Mimi jemput Laila.""Jemput pake apa? Kalau pakai angkutan umum
"Maksudnya?" tanya Mimi bingung."Ya kan kamu bingung karena nggak ada uang buat urus ini itu, kamu pake lah itu keahlian kamu berjualan. Kamu kelola bisnis aku, bantu aku dan nanti aku bakalan anggap utang kamu lunas. Aku pinjami modal, kamu kelola. Bagaimana?"Mimi diam sekejap, lalu mengangguk paham. "Yakin nggak kalau aku bisa?" tanya Mimi ragu."Yakin nggak yakin semuanya tergantung sama diri kamu sendiri. Namanya sebuah kesuksesan itu berasal dari sugesti. Kamu yakin nggak kalau bisa sukses dari jalan yang aku tunjukkan itu?""Insyaallah," jawab Mimi pelan."Ya udah sekarang jalani aja dulu dan misalnya nanti hasilnya tidak begitu memuaskan kamu bisa mencoba untuk usaha lainnya. Nggak boleh kata-kata menyerah untuk melanjutkan hidup ini. Tuhan kasih otak untuk berpikir dan kaki untuk berjalan, jadi semangat aja. Optimis kamu bisa.""Aku akan mencoba semuanya demi kehidupan yang lebih baik. Makasih atas bantuannya ya, aku akan berusaha se bisanya."Mimi memeluk Santi dengan hang
Jam 9 pagi, jenazah Tono dikebumikan. Pelayat yang datang juga banyak yang ikut ke makam. Tak terkecuali Arfi, Alvin dan Santi. Ketiganya hadir untuk turut mengucapkan bela sungkawa dengan kematian Tono."Ardan sudah kamu kabari, Mi?" tanya Irah."Sudah, Bu."Mimi sempat mengabari pagi tadi, bersamaan dengan mengabari ketiga sahabatnya itu. Namun, sampai jenazah dikebumikan Ardan tak kunjung datang. Bukan salah Mimi jika Ardan tak datang, toh dia sudah mengabari; pikirnya saat ini.Semua pelayat sudah hampir pulang ke tempat masing masing karena jenazah sudah dikebumikan. Tinggallah kini Siti, Arfi, Alvin dan Santi."Mbak, aku pulang dulu ya. Nanti aku balik lagi sorenya, buat bantu acara tahlilan," ucap Siti."Iya, makasih, Ti." Siti adalah tetangga yang sering membantunya. Dia juga berpamitan dengan Arfi dan yang lain."Mampir ke rumah, Mas, Mbak, kalau pulang nanti. Rumahnya tak jauh kok dari sini. Yang ujung itu," ucap Siti."Iya, Ti. Aku masih ingat kok rumah kamu," ucap Santi.