Ellard berdiri di ambang pintu salah satu ruang inap rumah sakit ternama di kota itu. Dengan ekspresi yang sulit untuk diartikan, Ellard menatap tajam punggung kecil seorang wanita yang menatap jauh ke arah luar jendela. Seorang wanita yang duduk di atas kursi roda.
Ellard mendengkus, kesal dengan kesempatan hidup yang diberikan pada Emily. Kenapa wanita itu tidak mati, kenapa harus Naura, dan yang membuat Ellard semakin dibakar amarah adalah kenyataan bahwa sepertinya kecelakaan itu memang disengaja. Ellard merasakan tenggorakan tercekat memikirkan hal miris yang menimpa kekasihnya. Apa kesalahan wanita yang begitu baik itu.
Ya, baginya Naura adalah wanita terbaiknya. Wanita yang membuat seorang Ellard percaya bahwa tidak semua wanita berwajah malaikat berhati iblis. Ellard mempunyai kenangan buruk terhadap seorang wanita yang membuatnya enggan untuk mempercayai kaum hawa, kaum yang sudah melahirkannya ke dunia. Ellard sangat membenci semua jenis wanita sebelum ia bertemu dengan Naura yang berhasil meruntuhkan pertahanannya.
Dan sekarang apa yang terjadi. satu-satunya orang yang membuatnya percaya kembali kepada wanita, kini dirampas paksa darinya, oleh wanita iblis lainnya. Masihkah ia akan percaya pada wanita disaat satu-satunya wanita yang ia agungkan sudah tiada.
Dengan langkah arogant, pelan tapi pasti Ellard memasuki ruangan itu lebih dalam. Tatapan sinis itu tidak hilang dari wajahnya. Aura negatif yag terpancar dari sosoknya terasa begitu jelas. Terbukti seorang perawat yang langsung pergi begitu mendapat tatapan horor dari seorang Ellard. Tanpa Ellard mengeluarkan suara, perawat itu cukup pintar bahwa Ellard ingin ia menyingkir dari ruangan tersebut.
Kini ia berdiri tepat di belakang punggung wanita itu. Aroma lemon sontak memanjakan indra penciumannya begitu angin berhembus dari jendela. Ellard mengibaskan sebelah tangannya, mengusir bau yang berasal dari tubuh Emily.
Mengabaikan bahwa aroma itu cukup menyegarkan dan sedikit unik, Ellard meyakinkan diri bahwa ia benci dengan semua yang ada di dalam tubuh wanita itu.
Ellard dengan kasar segera memutar kursi roda tersebut.
"Akhh.." pekik Emily terkejut, wajahnya tegang seketika. Kedua tangannya mencengkram erat kedua sisi kursi roda tersebut. Ellard menyunggingkan senyum sinis, ia kembali memutar kursi roda tersebut, menikamati kepanikan yang jelas terpancar di wajah Emily yang memucat.
"Se-seseorang," panggilanya gelagapan.
"Suster, perawat, dokter," tidak ada sahutan membuat Emily semakin panik. Ellard bersedekap, kaki panjangnya kembali terulur dan menendang kursi roda tersebut.
Emily menjerit panik, Ellard menukik alisnya, menyunggingkan senyum mencemooh, begitu melihat Emily yang terlihat enggan beranjak dari kursinya.
Begitu tatapan keduanya bertemu, Ellard dengan congkak mengangkat dagunya, tatapannya menghunus tepat di manik wanita itu.
Wajah wanita itu sudah terlihat berantakan akibat kepanikan yang dialaminya, kondisinya terlihat semakin menyedihkan dengan banyaknya luka di memar di wajah cantiknya.
Wajah cantik? Cihh, iblis sesungguhnya ya model seperti ini. Ellard membatin dan merutuk.
"A-apakah ada seseorang di sini? Apa ada orang lain?"
Ellard menautkan kedua alisnya. Apakah ia transparan? Manik mereka sudah beradu beberapa detik lalu, bagaimana bisa ia masih mempertanyakan apa ada orang lain di dalam ruangan itu.
Ellard kembali menukik sebelah alisnya dengan congkak begitu melihat Emily mengulurkan tangannya di udara seperti seakan ingin menggapai sesuatu.
"Apa ada orang?" tanya Emily dengan suara lembut.
Mendengar nada yang sangat enak di dengar itu membuat Ellard berdecis sinis.
"Siapa di sana?" Ellard tidak berniat untuk menyahut sama sekali. Ia memperhatikan tingkah wanita yang menurutnya sangat memuakkan itu.
"Dokter?" Emily mencoba mendorong kursinya dan Ellard segera menahannya begitu di hadapannya. Ia menyoroti wajah wanita itu yang masih terlihat sangat pucat. Infus yang terpasang sudah terlepas dengan paksa akibat ulahnya yang mendorong dan memutar kursi wanita itu tadi. Darah segar mengalir dari tangannya, dan senyum mengejek kembali terukir di wajahnya begitu ia melihat wajah Emily meringis menahan perih.
"Siapa kau?" tanya Emily dan kembali mengulurkan tangannya. Tap! Telapak tangan wanita itu menyentuh kakinya yang dengan cepat di tepis oleh Ellard dengan menarik kasar kakinya dan kembali mendorong kursi roda tersebut dengan kakinya. Alhasil kursi roda itu kembali meluncur dan membentur ranjangnya cukup kuat hingga membuatnya terjatuh, meluncur ke lantai.
Buta? Batin Ellard. Menarik? Ia tersenyum puas. Hasratnya semakin menggebu untuk mempermainkan wanita itu. Wanita yang sudah dengan kejam merampas paksa miliknya.
Emily merangkak membawa kakinya, mencoba menggapai kursi roda.
Apakah juga lumpuh? Tanya Ellard seraya menunggu dan memperhatikan. Aku berharap kakinya juga tidak berfungsi, ia pantas mendapatkannya. Kembali ia membatin dengan kejam, tidak ada rasa kasihan sedikit pun melihat kondisi Emily sama sekali.
"Kau di sini?" terdengar suara berat seorang pria yang membuat Ellard menoleh. Ia mengisyaratkan pria itu agar diam dengan meletakkan jari telunjuknya di jari.
"Apa yang kau lakukan di sini?" kini suara seorang wanita cantik yang terdengar yang membuat Ellard mengembuskan napas panjang. Wanita itu adalah kakak perempuannya dan pria yang pertama kali menyapa tadi adalah suaminya yang kebetulan adalah pemilik rumah sakit itu dan juga orang yang menangani wanita iblis yang telah merenggut kebahagiaannya dan ia kesal akan fakta itu. Kenapa keluarganya harus menyelamatkan wanita sialan itu dengan alasan sumpah dan dedikasi. Akh! mengingat itu Ellard memutar bola matanya jengah. Peduli apa dia dengan sumpah dan dedikasi, persetan dengan semua itu.
"Oh astaga!" pekik Morin-kakak perempuannya seraya berlari mendekati Emily. "Kau baik-baik saja nona Emily?" Morin pun membantu Emily untuk kembali duduk di kursinya. "Kenapa kau bisa terjatuh?"
"Sepertinya seseorang mendorongku," Emily tersenyum tipis.
Morin menoleh cepat dan tidak menemukan Ellard maupun suaminya di sana. Keduanya sudah pergi begitu saja.
🗿🗿
"Kau tidak memberi kabar setelah menghilang beberapa bulan," Jovan, suami dari kakaknya menatap Ellard penuh makna. Keduanya kini duduk berhadapan di dalam ruangannya.
"Bagaimana kabarmu?""Tidak pernah baik semenjak kepergian Naura," lirihnya. Bahkan setelah 5 bulan berlalu hatinya masih nyeri setiap kali mengingat dan menyebut nama Naura. "Dan keadaanku semakin memburuk begitu mendengar kakak dan saudara iparku justru menyelamatkan orang yang harus bertanggung jawab atas semuanya," Ellard menatap tajam ke arah Joven yang juga sedang memperhatikannya dengan tatapan prihatin. "Jangan menatapku seperti itu," dengkus Ellard dengan kesal. "Aku datang untuk mengirim wanita itu ke penjara, hukuman yang harus ia jalani yang dengan beraninya kalian hentikan!" Rahangnya mengeras, bukan hanya menyelamatkan nyawa wanita itu, keluarganya juga justru menghentikan proses hukum yang seharusnya dijalani oleh Emily dengan alasan kesehatan.
"Berbaik hatilah sedikit," Jovan memohon dan memelas atas nama Emily.
"Untuk kekejaman yang sudah ia lakukan? Ia membunuh tunanganku, calon istriku. M.e.m.b.u.n.u.h!!!" Ucapnya penuh tekanan. "Jangan berani menghentikanku kali ini!" Ellard segera berdiri dan meninggalkan ruangan Jovan dengan bantingan pintu yang disengaja.
"Kau sungguh tidak apa-apa, Emily?" Morin bertanya untuk kesekian kalinya. Sungguh ia merasa tidak enak hati dengan perlakuan Ellard yang membuat gadis itu terjatuh."Terima kasih," sahut Emily begitu ia sudah berbaring di atas ranjangnya. "Entah kapan aku bisa berjalan dan tidak menyusahkanmu lagi," Emily mengulurkan tangannya ke udara yang dengan segera ditangkap oleh Morin.Emily tersenyum, ia mengusap tangan Morin yang selama 5 bulan ini sudah menjaga dan merawatnya.Morin menatap miris mendengar pernyataan Emily yang hanya menginginkan kesembuhan kakinya, tidak dengan penglihatannya."Sebentar lagi, kau pasti bisa berjalan, Emily. Kau seorang pasien yang sangat tangguh," Morin mengusap bahunya dengan lembut, memberi semangat pada wanita itu.Morin mengetahui apa yang terjadi antara adiknya dengan Emily. Ia juga tahu betapa Ellard sangat membenci Emily dan berniat menjebloskannya ke dalam penjara. Dan selama lima bulan ini para wartawan dan pihak po
"Kenapa kau masih di sini?" Morin mendelik kesal ke arah Ellard yang duduk dengan kaki bersilang dan tangan bersedekap. Sorot matanya tertuju pada satu titik di mana Emily sedang berjalan tertatih dengan memegang salah satu tiang besi yang disediakan oleh Jovan.Melihat hal itu, Ellard tahu bahwa Emily tidak mengalami kelumpuhan total di kakinya. Hanya butuh beberapa kali latihan, sepertinya wanita itu akan bisa berjalan kembali.Ellard tersenyum sinis yang berhasil ditangkap oleh saudarinya. "Apa yang kau rencanakan?" seru Morin yang bisa melihat rencana jahat di tatapan adiknya."Berapa lama lagi ia bisa berjalan?" Ellard mengabaikan pertanyaan Morin, ia merasa pertanyaan Morin tidak penting dan? tidak ada kewajiban untuk menjawabnya. Dan yang paling penting tanpa ia menjawab pertanyaan Morin, ia yakin kakaknya itu sudah mengetahui jawabannya."Aku sedang bertanya padamu, Ell?!" sentak Morin, memaksa Ellard agar menoleh ke arahnya.Ellard menatap Mori
Satu bulan berlalu, akhirnya Emily mampu berjalan. Kakinya sudah sembuh dan berfungsi selayaknya. Seperti yang diperkirakan Morin dan Jovan, polisi pun segera membawanya ke luar dari rumah sakit untuk diminta keterangan perihal tabrakan maut yang terjadi yang menewaskan Naura Lordez, kekasih Ellard.Emily tidak menolak dan membantah, selama melakukan penyidikan, ia juga tidak banyak berbicara sehingga ia diputuskan bersalah.Ellard selalu mengikuti perkembangan hingga akhiranya kasusnya masuk ke pengadilan. Ellard tersenyum sinis melihat Emily melangkah masuk ke dalam persidangan dengan kedua tangan terborgol serta dengan baju tahanan yang terlihat kumuh. Dua orang sipir membimbingnya untuk berjalan."Sangat pantas," decisnya dengan wajah bengis. Ellard melihat kedua kaki Emily yang sudah lancar berjalan dan kembali ia berdecak kesal. Sangat ia sesalkan kenapa kaki itu mampu berjalan. Ia ingin melihat wanita itu merangkak dalam kegelapan."Jadi wanita itu yan
Emily dimasukkan ke dalam ruang tahanan yang mana sudah berisi lima perempuan narapida lainnya."Bargaullah dengan baik dengan para seniormu," salah satu sipir memberi nasihat yang terdengar seperti sebuah ejekan. Sipir tersebut pun menarik pintu jeruji besi dengan kasar dan hal itu ia lakukan dengan sengaja hingga membuat Emily berjengkit kaget.Tidak peduli dengan keterkejutan yang dialami Emily, setelah memastikan gembok dan kuncinya aman, sipir itu pun meninggalkan Emily bersama lima tahanan lainnya.Emily pun melangkah masuk secara perlahan. Mengulurkan tangan mencoba meraih apa yang bisa ia jadikan sebagai pegangan. Ia tidak tahu gambaran ruangan ini seperti apa dan setelah menjadi buta selama hampir 6 bulan tetap saja ia belum terbiasa dengan kondisinya.Selama 6 bulan, ia hanya berada di rumah sakit. Ada Morin dan Jovan yang baik hati untuk menolongnya dengan ikhlas. Dan sekarang ia bagaikan sebatang kara yang dilemparkan ke tempat asing yang ti
Seperti yang diperintahkan Ellard, kini Emily dipindahkan ke dalam ruangan yang sangat sempit bahkan untuk tidur pun tidak bisa. Ruangan yang teramat sangat pengap dan tidak ada pencahayaan sama sekali dan baginya itu tidak menjadi masalah karena ia sudah mulai terbiasa dengan kegelapan. Ia bahkan tidak tahu ruangan itu gelap atau tidak. Namun ruangan sempit itu sedikit menyiksa dan membuatnya takut. Ia tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Ia hanya duduk dengan memeluk kedua lututnya, membenamkan wajahnya di atasnya.Di sana ia juga tidak mendengar hiruk pikuk suara tahanan lainnya, satu-satunya suara yang ia dengar adalah suara tikus yang berulang kali melewati kakinya hingga membuatnya menjerit kepanikan.Sebenarnya di mana aku berada? Batinnya sembari menangis.Detik berganti menit, dan menit berganti jam, jam pun berganti hari. Hari-hari mengerikan dilewati Emily selama beberapa bulan di ruangan pengasingan itu. Jika di ruangan tahanan bersama Beti ia tak ku
“Bagaimana keadaannya? Apa dia sudah pulih?” Ellard memainkan bolpoin di jarinya. Setelah satu minggu ia kembali mendatangi rumah sakit untuk menjenguk Emily. Tepatnya memastikan apa wanita itu masih bernyawa atau tidak.Memastikan nyawa Emily sangat lah penting baginya, bukan karena ia peduli tapi karna ia ingin nyawa wanita itu berada dalam genggamannya. Tidak boleh ada satupun yang berhak melukai wanita itu selain dirinya. Dan percayalah Beti berserta kelompoknya mendapat imbas dari apa yang mereka lakukan. Ellard memerintahkan pekerja di rumah tahanan agar tidak memberi makan mereka selama satu minggu. Beraninya mereka menyentuh mangsanya.“Kau datang untuk mengunjungi calon istrimu?” pertanyaan yang dilontarkan dengan nada geli itu membuat Ellard memutar kursinya untuk menatap Jovan. Masih dengan wajah geli, Jovan melangkah mendekati mereka sambil mengeringkan tangannya. Pria itu baru keluar dari dalam toilet.“Wajah sumr
“Jadi kau menolakku?” Ellard tidak bisa menerima penolakan Emily. Harga dirinya terluka. Yang benar saja, seorang wanita buta baru saja menolaknya. Jika ia mau, wanita mana pun bisa ia lamar detik ini juga, wanita cantik dengan penglihatan yang sempurna.Edward mencoba menahan tawanya agar tidak lepas. Bisa-bisa ia kembali mendapat tendangan di betis.“Ja-jadi kau yang ingin menikah denganku, Tuan?” tanya Emily tidak percaya. Ia mengira Edward lah yang sedang mempersuntingnya.“Kau fikir siapa?” decisnya dengan wajah kesal. “Katakan pada wanita itu apa yang sudah kulakukan terhadapnya,” perintah Ellard kepada Edward.Edward pun menjelaskan bahwa Ellard, tanpa menyebut nama pria itu sesuai perintah Ellard, sudah mengurus surat pembebasannya. Ya, Emily sekarang bukan seorang tahanan lagi. Statusnya berubah menjadi mantan narapidana. Tidak hanya sampai di situ, Edward atas perintah Ellard juga membeberkan kebai
Edward membunyikan klakson mobilnya berulang kali, namun setelah sepuluh menit berlalu, pagar yang menjulang tinggi itu tidak kunjung terbuka. Edward kembali membunyikan klakson untuk kesekian kalinya dibarengi dengan keluhan bahwa para pekerja sepertinya harus lebih didisiplinkan.Ya, mereka sudah sampai di rumah yang akan Ellard dan Emily tinggali. Rumah yang memang Ellard huni selama ini.Pintu gerbang terbuka, Edward menoleh ke belakang dengan cepat, terlihat bahwa Ellard dengan santainya mengarahkan sebuah remote kecil ke arah gerbang tersebut.“Para pekerja cuti massal,” Ellard menggidikkan bahunya. Tentu saja itu hanya alasannya saja. Ia memang sengaja untuk membuat sahabatnya kesal dengan memerintah para pekerjanya agar tidak membukakan pintu gerbang untuk mereka.“Kenapa tidak melakukannya sejak beberapa menit lalu?” hardik Edward dengan wajah kesal.“Aku lupa.”Pintu gerbang terbuka dengan sempur
"Wueekk!" Emily memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat pasi, seakan menahan sakit yang luar biasa.Ellard pun terbangun begitu mendengar Emily muntah. Dengan sigap ia berlari ke dalam toilet."Kau baik-baik saja?" tanya Ellard penuh khawtir. "Wajahmu pucat. Apa kau memakan sesuatu yang salah?"Emily mengernyit, menatap bingung ke arah Ellard melalui cermin besar yang ada di hadapannya."Aku suamimu, kita sudah menikah beberapa tahun," jelas Ellard sebelum Emily sempat bertanya."Aku merasa mual," adu Emily dengan wajah meringis menahan sakit."Akan kupanggil Morin untuk memeriksa," Ellard pun menuntun Emily ke luar dari dalam toilet. Ia juga membantu Emily untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang lalu mengambil ponse untuk menghubungi saudarinya -Morin."Emily mual dan muntah. Tolong kau periksa dia," ucap Ellard to the point begitu panggilannya terhubung. "Sekarang juga!" imbuhnya penuh tekanan."M
Emily melihat jam tangannya. Pukul 16.01. Belum waktunya pulang jam kantor tapi Ellard sudah berada di kamar mereka."Kau pulang cepat hari ini?" Emily berjalan mendekat ke arahnya.Ellard mengangguk sambil tersenyum. "Mulai hari ini aku akan bekerja dari rumah," menarik Emily agar duduk di atas pangkuannya."Kenapa?""Perusahaan membosankan. Kau juga selalu ingkar janji. Tidak pernah datang tepat waktu," Ellard mengecup tengkuk Emily.Emily hanya diam karena tidak tahu harus memberi reaksi seperti apa."Apa yang sedang kau kerjakan?" tanya Emily mengalihkan topik."Aku sedang mencari fotoku yang paling keren," sahut Ellard sembari menunjukkan layar laptopnya."Untuk apa?" tanya Emily dan mulai memperhatikan satu persatu foto Ellard."Aku akan memajangnya di kamar kita. Di setiap sudut ruangan." Ellard menatapnya teduh. Kembali perasaan berkecamuk menghampirinya. Pembicaraan Emily dan Frans kini terdengar jelas di telingan
"Aku akan datang membawakan makan siang untuk kita," Emily berjinjit dan mendaratkan satu kecupan hangat di pipi kanan Ellard."Aku sudah memasukkan nomorku di ponselmu. Segera angkat teleponku jika aku menghubungimu," Ellard mengusap lembut kepala Emily.Sesungguhnya ia tidak ingin meninggalkan Emily disaat benaknya menyisakan banyak tanya yang menuntut jawaban ada apa gerangan yang terjadi dengan istrinya.Kejanggalan-kejanggalan sikap Emily sangat mengusiknya. Jika mengikuti kata hatinya, ingin rasanya ia membawa Emily ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh.Ellard sebenarnya sudah memiliki dugaan-dugaan atas apa sebenarnya yang sedang dialami Emily. Apa pun itu sesungguhnya ia tidak peduli. Hanya saja yang ia khawatirkan hal itu bisa melukai dan menyakiti Emily. Sungguh ia tidak akan sanggup lagi untuk melihat Emily terluka. Untuk itu lah ia juga menahan diri agar tidak bertanya secara terang-terangan kepada Emil
"Argghhhhh!!" teriakan Emily sontak saja membuat Ellard terbangun dari tidur nyenyaknya."Ada apa, sayang?" Ellard menatap Emily khawatir. Apa gerangan yang membuat Emily histeris di pagi hari. Ya, Ellard melirikkan mata ke arah nakas dan melihat jam weker yang menunjukkan jam 05.30."Apa kau mengalami mimpi buruk?" mengulurkan tangan berniat untuk memeluk dan menenangkan Emily.Plak!Emily dengan kasar menepis tangan Ellard dan baru lah pria itu menyadari cara Emily menatapnya begitu berbeda. Seperti orang asing yang takut melihat keberadaannya."Emily?" panggil Ellard penuh hati-hati, tapi jangan tanya jantungnya yang memompa, berpacu lebih cepat. Ke mana tatapan teduh yang selalu Emily tunjukkan padanya selama ini. Apakah Emily mulai berubah fikiran. Pertanyaan demi pertanyaan menyerang batinnya, membuat perasaannya semakin tidak menentu."SIAPA KAU?! KENAPA KAU ADA DI KAMARKU?!"Butuh beberapa d
“Selamat datang!” Emily merentangkan kedua tangannya menyambut kepulangan Ellard.Mendapat sambutan ceria dari Emily, Ellard mengulum senyumnya. Segera meletakkan tas kerjanya, Ellard pun membawa Emily ke dalam pelukannya. “Kau sangi sekali,” bisik Ellard dengan nada menggoda.“Aku sengaja melakukannya untuk membuatmu senang. Apa kau terhibur? Aku berdandan untukmu,” seru Emily dengan wajah merona.Perasaan Ellard dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran. Tadinya ia menolaj untuk bekerja dalam waktu dekat. Namun Emily terus saja membujuknya, dengan syarat akan sering mengunjungninya ke kantor. Baru hari pertama bekerja, Emily sudah mengingkari janjinya. Ellard menantikan kedatanganya namun istrinya tak kunjung datang. Ia uring-uringan tidak jelas. Mencoba menghubungi telepon rumah, namun istrinya tidak berada di sana membuatnya semakin galau.Namun begitu melihat sambutan Emily yang manis, kegalau
“Apakah kita akan tinggal di sini?” tanya Ellard begitu mereka kembali ke dalam kamar. Ellard masih merasa tidak nyaman jika berlama-lama duduk bersama Rebcca. Beruntung Morin dan Jovan ada jadwal operasi sehingga mereka segera pergi setelah sarapan.“Apa kau keberatan?” Emily yang merapikan tempat tidur menghentikan kegiatannya dan menoleh pada Ellard yang duduk manis di sofa seraya memperhatikannya.“Aku tidak keberatan, hanya saja kita juga memiliki rumah,” Ellard beralasan. Faktanya ia memang tidak menyukai harus tinggal di dalam satu atap bersama Rebecca.“Rumahnya sudah kujual,” cicit Emily dengan wajah memelas.Ellard mengerjap, mencoba mencerna kalimat yang baru saja dicetuskan oleh Emily.“Apa kau mengatakan bahwa kau sudah menjual rumah kita, sayang?”Emily menganggukkan kepala, “Aku sudah pernah mengatakan bahwa aku kesepian. Rumah itu selalu
Tok. TokTerdengar ketukan dari luar kamar. Emily dan Ellard yang hendak tidur kompak duduk kembali.“Aku akan membuka pintu,” Ellard menyingkap selimut dan turun dari atas ranjang.Emily pun melakukan hal yang sama, mengikuti suaminya dari belakang. Emily dan Ellard mengernyit begitu melihat Rebecca berdiri di sana.“Ini sudah hampir jam 22.00, ada apa?” ketus Ellard yang langsung mendapat tepukan di lengannya dari sang istri tercinta.“Ibu membutuhkan sesuatu?” tanya Emily dengan lembut.Rebecca pun ikut tersenyum sembari menggeleng, “Aku hanya ingin mengucapkan selamat malam,” Rebecca mengusap kepala Emily penuh sayang.“Oh Ibu, selamat malam dan selamat beristrahat,” Emily merentangkan kedua tangannya dan memeluk Rebecca, dan semua hal itu tidak luput dari perhatan Ellard.Sepertinya Emily melupakan janjinya yang mengatakan akan menemui Rebecca untuk mengucapkan se
Rebecca menatap Ellard dengan penuh kelembutan juga kerinduaan. Sungguh ia ingin sekali memeluk Ellard, memohon maaf atas apa yang sudah ia lakukan selama ini. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usianya, penyesalan itu pun ia rasakan dengan sendirinya. Memangnya apa salah pria itu disaat suaminya yang bermain curang. Jika ditanya soal kondisi yang dialami Ellard, apakah ia menginginkan hal itu, terlahir hanya dari sebuah perselingkuhan.Sama seperti Ellard yang menyesali perbuatannya terhadap Emily, demikian juga Rebecca merasakan hal yang sama. Kekerasan-kekerasan yang ia lakukan dahulu seolah diputar ulang di hadapannya. Kejam, ya, satu kata itu lah yang pantas disematkan padanya. Di mana hati nuraninya dulu saat menyiksa anak laki-laki yang begitu sangat mencintainya dan menginginkan perhatiaannya. Sekarang, disaat ia menyesali semuanya anak laki-laki tersebut sudah sangat membencinya dan bahkan tidak sudi untuk melihatnya.Rebecca mencoba untuk meneri
Ada kenyataan yang harus terus difahami dan dimengerti, bahwa tidak setiap keinginan, perjuangan akan terbalas sesuai harapan. Tapi, meski begitu, ada juga kenyataan yang harus selalu kita tahu, bahwa apa pun itu, walau tidak seperti yang kita inginkan tetap saja hidup berjalan sesuai takdir. Satu yang pasti, Tuhan pasti memberikan yang terbaik.Seperti Ellard yang awalnya begitu sangat membenci Emily, kini berubah haluan begitu sangat memuja wanita yang tidak lain adalah istrinya. Kesalahfahaman yang terjadi antara keduanya akhirnya terselesaikan oleh waktu. Yang benar akan menang pada akhirnya.Ada sesuatu yang menanti setelah banyak kesabaran melalui ujian dan rintangan yang dijalani. Buah dari kesabaran adalah sesuatu yang pastinya sangat indah, membuat terpana hingga melupakan betapa pedihnya itu rasa sakit.Jika mencintai orang yang tepat, kebahagiaan dan kenyamanan yang akan didapatkan, namun jika yang dirasakan adalah kesedihan dan rasa sakit artinya men