“Bagaimana keadaannya? Apa dia sudah pulih?” Ellard memainkan bolpoin di jarinya. Setelah satu minggu ia kembali mendatangi rumah sakit untuk menjenguk Emily. Tepatnya memastikan apa wanita itu masih bernyawa atau tidak.
Memastikan nyawa Emily sangat lah penting baginya, bukan karena ia peduli tapi karna ia ingin nyawa wanita itu berada dalam genggamannya. Tidak boleh ada satupun yang berhak melukai wanita itu selain dirinya. Dan percayalah Beti berserta kelompoknya mendapat imbas dari apa yang mereka lakukan. Ellard memerintahkan pekerja di rumah tahanan agar tidak memberi makan mereka selama satu minggu. Beraninya mereka menyentuh mangsanya.
“Kau datang untuk mengunjungi calon istrimu?” pertanyaan yang dilontarkan dengan nada geli itu membuat Ellard memutar kursinya untuk menatap Jovan. Masih dengan wajah geli, Jovan melangkah mendekati mereka sambil mengeringkan tangannya. Pria itu baru keluar dari dalam toilet.
“Wajah sumringahmu terlihat bahwa kau sangat mendukung keputusan bodoh bin gila itu, Jovan!” hardik Morin, menatap kesal ke arah suaminya. Bahkan setelah berlalu dua minggu, Morin tetap enggan untuk berbicara pada Ellard. Ditambah dengan ulah baru yang akan dilakukannya dalam waktu dekat. Menikahi Emily.
Jovan menggidikkan bahunya, ia berdiri di samping istrinya sembari merangkul bahu wanita yang sangat dicintainya itu. “Aku bisa apa jika dia sudah mengambil keputusan.”
Morin mendelik kesal sedangkan Ellard yang mendengar pernyataan Jovan terkekeh sambil menganggukkan kepala.
“Nah, kau lihat itu. Setelah sekian lama akhirnya kita bisa melihat gigi adikmu, sayang,” Jovan menatap Ellard dengan tatapan menggoda. Kekehan Ellard seketika berubah kecut. Ia juga tidak sadar bahwa ia sedang tertawa.
“Sepertinya Emily akan membawa pengaruh baik untuknya,” Jovan masih saja menggodanya tanpa peduli dengan wajah masam yang ditunjukkan oleh iparnya itu.
“Tapi dia akan membawa pengaruh buruk untuk Emily.” Tegas Morin yang membuat Ellard mendengkus dengan kasar.
“Kau tahu aku tidak akan membantah hal itu,” Jovan membenarkan sembari tertawa.
“Apa yang diberikan wanita itu pada kalian sehingga kalian berdua terlihat sangat menyebalkan. Perlu kuingatkan dia seorang pembunuh!”
“Dia membayar Morin dengan mobilnya,” aku Jovan dengan jujur yang mendapat pukulan dari istrinya.
Ya, atas perawatan yang diberikan oleh Morin dan suaminya, Emily memang memberikan mobilnya pada Morin. Mobil sport limitid edition yang dibandrol dengan harga selangit.
“Bukankah mobil itu juga hancur?” Ellard menegakkan tubuhnya.
Jovan membenarkan dengan menganggukkan kepalanya. “Dan sekarang mobil itu sudah kembali sehat dan normal setelah menjalani perawatan di tangan seorang mekanis handal dan terpercaya,” Jovan mengerling jenaka.
“Aku tidak tahu kau sangat murahan. Hanya karena sebuah mobil kau lebih mendukungnya dibanding dengan adikmu,” sindir Ellard dengan tatapan mengejek. “Aku bisa membelimu jika kau mau,”
“Ck! Kau melukai harga diriku seakan aku tidak bisa memenuhi kebutuhan istriku,” Jovan menimpali dan Morin menganggukkan kepala sembari melingkarkan kedua tangannya di pingang suaminya dengan manja.
“Mobil itu tidak diproduksi lagi, Dude. Hanya ada tiga di dunia dan dua lainnya milik kerajaan Arab. Dan istriku sangat menginginkannya dari dulu.”
“Peter juga memiliki mobil seperti itu, jadi berlebihan jika kau mengatakan itu hanya diproduksi sebanyak 3 buah.”
“Benarkah?” Jovan mengerutkan dahinya. “Hmm, aku mendengar dia mengadakan pesta untuk nanti malam.”
Ellard menganggukkan kepala, “Aku juga sudah mendengarnya. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali kami bertemu. Bisnisnya mulai melesat, dan hal itu membuat dia susah untuk ditemui. Teman macam apa pria brengsek itu, dia bahkan tidak menyadari aku menghilang dari negara ini selama lima bulan.”
“Kau yang tak bisa dihubungi. Dia mengkhawatirkanmu di tengah ia sedang sibuk merintis bisnisnya. Dia selalu menghubungiku bertanya apakah pernah menghubungiku untuk konsultasi. Ia khawatir kau mengalami mimpi buruk lagi.” Jelas Jovan.
“Dan mengenai mimpi buruk, sejak Naura tiada aku tidak pernah memimpikan wanita iblis itu lagi. Bukankah Tuhan sangat baik, ia tidak ingin aku terpuruk. Hanya Naura satu-satunya manusia yang bisa menenangkanku dari kekejaman wanita iblis itu. Dan sekarang setelah Naura tiada, mimpi itu juga menghilang. Sepertinya wanitaku itu membawa semua penderitaan dan lukaku ikut bersamanya,” Ellard menghela napas panjang. Manik matanya yang dingin kini memancarkan kesedihan. “Aku sungguh sangat merindukannya, berharap ia hadir di mimpiku, namun tidak sekali pun.” Lagi dan lagi ia menghela napas berat. Setiap mengingat Naura, hanya perasaan sesak yang ia rasakan.
“Dan semua ini terjadi karena wanita iblis lainnya,” Ellard kembali ke mode asli. Dingin dan menakutkan.
“Ell,.” Morin bersuara.
Ellard segera berdiri dari kursinya. “Aku tidak ingin berdebat denganmu,” ia menatap Morin dengan wajah datar. “Kau melihat betapa menderitanya aku dulu. Dan kau juga melihat bagaimana pengaruh Naura di dalam hidupku. Ibumu dan wanita itu benar-benar membuatku muak, Morin.”
“Ibu ingin bertemu denganmu,”
“Ciih! Wanita agung dengan sosok iblis ingin bertemu dengan anak haram. Ayolah, Morin, aku tidak pernah dianggap sebagai anaknya. Dan faktanya memang begitu. Aku terlahir dari hubungan gelap ayahmu dan simpanannya. Melukai dan menghajarku serta mengurungku selama bertahun-tahun hingga aku beranjak dewasa. Hal itu tidak bisa kulupakan begitu saja. Aku mencintainya namun ia menuntutku agar membencinya. Dan sekarang itulah yang kulakukan, lalu apa yang ia lakukan sekarang? Ingin bertemu denganku? Itu menakutkan.” Lirihnya.
***
“Selamat siang, nona Emily,” Emily terkejut mendengar sapaan suara lain yang mengunjunginya. Hanya Morin, Jovan dan dua perawat yang biasa menyapanya dan ia juga sudah ia hafal dengan suara mereka.
Melihat wajah tegang Emily, Edward tersenyum tipis. Dan ia juga merasa ketegangan wanita itu adalah sesuatu yang wajar mengingat betapa ia sudah menderita beberapa bulan terakhir ini.
“Perkenalkan, Edward Carter.” Edward mengulurkan tangannya ke hadapan Emily. Mendengar dengkusan di belakangnya Edward segera menoleh. Ellard dengan dua jarinya, jari tengah dan jari telunjuknya menunjuk kedua bola matanya lalu menunjuk Emily.
Seketika Edward tersadar dan menarik tangannya. Sesaat ia melupakan kondisi Emily yang tidak bisa melihat.
“Hmm, aku adalah pria yang membawamu kemari,” Mendengar pernyataan Edward yang mengumumkan kebaikannya sebagai penyelamat membuat Ellard berdecak. Apa pentingnya pernyataan itu!
“Oh, terima kasih, terima kasih.” Emily menganggukkan kepalanya berulang kali ke arah depan, sedangkan Edward berdiri di sampingnya.
“Sama-sama. Tapi sepertinya kau harus berterima kasih juga pada pria yang sudah memerintahku datang ke tempat itu. Dia juga menginginkan ucapan terima kasih darimu,” Bugh! Satu tendangan di betisnya. Hadiah dari Ellard atas kalimat unfaedahnya. Edward menahan tawanya dengan wajah meringis.
“Pantas saja aku merasakan kehadiran seseorang. Terima kasih, Tuan. Sepertinya kau orang yang sama dengan pria yang menggendongku saat Beti menyiksaku di dalam toilet. Maaf, aku bisa mencium aromamu.”
Jalang! Batin Ellard. Tapi harus ia akui penciuman yang bagus. Ya, Ellard lah yang datang saat Emily menjerit dalam diam meminta pertolongan seseorang. Sesaat sebelum ia pingsan.
“Oh, jadi sebelumnya dia sudah pernah datang,” Edward memutar bola matanya jengah dengan menatap ke arah Ellard.
“Jadi Nona Emily, maksud kedatangan kami kemari adalah, ingin melamarmu,” tukas Edward to the poin.
“Me—melamar,” Emily terkejut. Terang saja ia terkejut, ia tidak mengenal siapa dua pria yang ada di kamarnya, dan hal yang tidak masuk akal adalah, ia seorang wanita buta yang menyedihkan. Adakah hal yang lebih gila daripada melamar seorang wanita buta untuk dijadikan istri. Emily yakin dunia belum kehabisan stok wanita cantik, cerdas, dan tidak bermasalah dengan penglihatannya.
“Ya, nona Emily. Apa kau bersedia?”
“Aku tidak bisa melihat.”
“Aku tahu,” jawab Edward.
“Ma-maaf aku tidak bisa,”
“Jadi kau menolakku?” Ellard bersuara.
“Jadi kau menolakku?” Ellard tidak bisa menerima penolakan Emily. Harga dirinya terluka. Yang benar saja, seorang wanita buta baru saja menolaknya. Jika ia mau, wanita mana pun bisa ia lamar detik ini juga, wanita cantik dengan penglihatan yang sempurna.Edward mencoba menahan tawanya agar tidak lepas. Bisa-bisa ia kembali mendapat tendangan di betis.“Ja-jadi kau yang ingin menikah denganku, Tuan?” tanya Emily tidak percaya. Ia mengira Edward lah yang sedang mempersuntingnya.“Kau fikir siapa?” decisnya dengan wajah kesal. “Katakan pada wanita itu apa yang sudah kulakukan terhadapnya,” perintah Ellard kepada Edward.Edward pun menjelaskan bahwa Ellard, tanpa menyebut nama pria itu sesuai perintah Ellard, sudah mengurus surat pembebasannya. Ya, Emily sekarang bukan seorang tahanan lagi. Statusnya berubah menjadi mantan narapidana. Tidak hanya sampai di situ, Edward atas perintah Ellard juga membeberkan kebai
Edward membunyikan klakson mobilnya berulang kali, namun setelah sepuluh menit berlalu, pagar yang menjulang tinggi itu tidak kunjung terbuka. Edward kembali membunyikan klakson untuk kesekian kalinya dibarengi dengan keluhan bahwa para pekerja sepertinya harus lebih didisiplinkan.Ya, mereka sudah sampai di rumah yang akan Ellard dan Emily tinggali. Rumah yang memang Ellard huni selama ini.Pintu gerbang terbuka, Edward menoleh ke belakang dengan cepat, terlihat bahwa Ellard dengan santainya mengarahkan sebuah remote kecil ke arah gerbang tersebut.“Para pekerja cuti massal,” Ellard menggidikkan bahunya. Tentu saja itu hanya alasannya saja. Ia memang sengaja untuk membuat sahabatnya kesal dengan memerintah para pekerjanya agar tidak membukakan pintu gerbang untuk mereka.“Kenapa tidak melakukannya sejak beberapa menit lalu?” hardik Edward dengan wajah kesal.“Aku lupa.”Pintu gerbang terbuka dengan sempur
“Ini panas sekali, sungguh,” adunya sembari terisak. Melihat air mata yang mulai membasahi wajah Emily, di situ Ellard merasa puas. Ia suka melihat ketidak berdayaan wanita itu. Ini lah yang ia harapkan, penyiksaan secara langsung serta menyaksikan dampaknya. Semakin wanita itu merintih kesakitan, mengiba memohon pertolongan semakin ia gencar dan semakin bahagia. Katakan lah ia gila, tapi bagi Ellard yang ia lakukan adalah hal yang sepadan dengan apa yang sudah dilakukan Emily karena sudah melenyapkan wanita terkasihnya, Naura.“Aku tidak akan membuat kulitmu sampai melepuh, aku hanya membantu untuk mensterilkan tubuhmu dari kuman-kuman yang menempel di tubuhmu,” dengan satu kali hentakan kuat, ia menarik Emily dari dalam bathup. Kulit putih Emily terlihat memerah, senada dengan manik matanya.Tubuh itu menggigil, bukan karena kedinginan namun karena merasa takut. Seperti yang dikatakan Edward, Devil ternyata bukan hanya ucapan asal belaka. Kini
“Tolong berhati-hatilah.” Ucapan Emily diabaikan oleh Ellard. Pria itu justru semakin menaikkan laju mobilnya. Ia mengemudi semakin menggila, bahkan umpatan dan klakson para pengendara lain ia abaikan begitu saja. Ia sangat menikmati kepanikan dan wajah pucat Emily. Tidak hanya pucat, kini dahi Emily dialiri keringat sebesar biji jagung.Ya, semenjak kecelakaan yang dialami Emily, wanita itu memiliki ketakutan tersendiri saat berada di dalam mobil, dan sepertinya Ellard menyadari hal itu sehingga semakin menjadi dalam mempermainkan Emily.“A-aku mm-mohon..” suara Emily bergetar ketakutan. Ellard tentu saja mendadak tuli, namun tersenyum penuh kemenangan dengan apa yang terlihat di wajah cantik Emily.“Ssu-suamiku..”Ciiiittt....Ellard menginjak rem secara mendadak membuat Emily terlonjak kaget dan tidak kuasa menahan tubuhnya hingga kepalanya terbentur ke depan.Bukan tanpa alasan Ellard menginjak rem mobil secara mendadak, ia terkejut mendengar
Emily dan Morin sudah sampai di depan toilet, bertepatan dengan ponsel Morin yang berdering.“Aku akan menunggumu di sini, masuklah.” Morin membuka pintu untuk Emily.“Terima kasih,” Emily mulai melangkah perlahan, meraba pintu sebagai pegangannya.Begitu Emily masuk ke dalam toilet, Morin menjauh dan menjawab panggilan yang ternyata dari ibunya. Morin menjauh dari pintu toilet karena suara musik dari luar terdengar sangat jelas sehingga ia tidak mendengar apa yang sedang dikatakan ibunya.Sepuluh menit berlalu, Emily pun sudah selesai dengan keperluannya di dalam toilet. Ia pun berpegangan pada dinding kamar mandi untuk berjalan ke arah pintu. Emily membuka pintu toilet yang ternyata tidak bisa dibuka.“Morin, apa kau masih di sana?” panggil Emily. “Morin?” Emily menaikkan nada suaranya dan tetap tidak ada sahutan dari luar membuat Emily mulai panik.“Seseorang, apa ada seseorang di luar sana.” Emily lagi dan lagi berteriak meminta bantuan hingga
“Sepertinya aku harus memecat si keparat itu,” maki Ellard seraya menerima uluran tangan Peter untuk membantunya naik ke atas. Mendengar ancaman Ellard, Peter hanya menanggapinya dengan tertawa. Ia tahu Ellard tidak akan pernah melepaskan seorang Edward dari sisinya. Ibarat kata jika Edward adalah wanita, Ellard tidak akan menunggu lama untuk menikahinya. Ya, Ellard sangat membutuhkan Edward dan Peter tahu itu.“Aku akan meminjamkan kamarku dan meminta seseorang mengantarkan pakaian baru untukmu,” Peter menuntun Ellard berjalan menuju kamarnya.“Kapan terakhir kali aku mengunjungi kamarmu.” Ellard mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan kamar. Ini pertama kalinya ia memasuki kamar Peter setelah pria itu membeli rumah yang pria itu tempati sekarang. “Terlihat berbeda dan sedikit feminim. Kau mempunyai kekasih?” Ellard melepaskan jas, dasi dan kemeja yang ia kenakan.Peter tergelak mendengar pernyataan Ellard. Pasalnya dulu ia memang hanya tinggal dis
Emily terbangun karena merasa tenggorokannya kering. Cacing-cacing manja di perutnya juga berdemo minta di kasih jatah. Wajar saja mengingat Emily memang melewatkan makan malamnya dan bukan hanya makan malam, makan siangnya juga terlewat begitu saja karena Ellard menyeretnya dari rumah sakit pas jam makan siang.Duduk dari pembaringannya, Emily meraba nakas yang ada di sampingnya. Tidak ada apa-apa selain sebuah jam weker. Emily meraba sisi tempat tidur di sebelahnya dan tentu saja kosong karena Ellard tertidur di bawah. Menyadari Ellard tidak tidur bersamanya, Emily segera berpindah tempat, berharap nakas yang berada di sisi lain tempat tidur terdapat air minum. Ternyata sama saja, hanya ada lampu hias.Emily hanya tidak mengetahui bahwa Ellard melarang pelayan untuk menyediakan air minum di dalam kamar guna menyulitkan Emily. Ellard juga tidak berniat sama sekali untuk tidur di atas ranjang yang sama. Ia tidak sudi.Tidak menemukan air, akhirnya Emily memilih unt
"Aa-aku Emily," Emily perlu menegaskan karena berulang kali pria itu mengigau memanggil nama Naura. Ia juga khawatir Ell tidak menyadari hal itu mengingat pria itu dalam pengaruh alkohol dan tentu saja ia juga takut Ell menyakitinya karena menuduh mendekatinya."Aku tahu. Diamlah!" Ell memeluk erat tubuh Emily.Mendengar penegasan Ellard, Emily bernapas lega. Tangannya terulur mengusap lembut kepala Ellard berharap usapannya mampu menenangkan pria itu. Ya, tubuh Ellard masih bergetar hebat akibat mimpi buruk yang cukup mengguncang mentalnya, napasnya juga masih memburu hebat.Merasakan sentuhan Emily di kepalanya, Ellard semakin mengeratkan pelukannya, membenamkan kepalanya di ceruk leher Emily bahkan menghirup dalam aroma tubuh Emily.Napas Ellard mulai tenang dan terkendali. Ia juga terkejut dengan reaksi tubuhnya sendiri, tidak menyangka ada hal lain yang mampu menenangkannya dari mimpi buruknya selain Naura bahkan dengan cara yang sangat berbeda
"Wueekk!" Emily memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat pasi, seakan menahan sakit yang luar biasa.Ellard pun terbangun begitu mendengar Emily muntah. Dengan sigap ia berlari ke dalam toilet."Kau baik-baik saja?" tanya Ellard penuh khawtir. "Wajahmu pucat. Apa kau memakan sesuatu yang salah?"Emily mengernyit, menatap bingung ke arah Ellard melalui cermin besar yang ada di hadapannya."Aku suamimu, kita sudah menikah beberapa tahun," jelas Ellard sebelum Emily sempat bertanya."Aku merasa mual," adu Emily dengan wajah meringis menahan sakit."Akan kupanggil Morin untuk memeriksa," Ellard pun menuntun Emily ke luar dari dalam toilet. Ia juga membantu Emily untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang lalu mengambil ponse untuk menghubungi saudarinya -Morin."Emily mual dan muntah. Tolong kau periksa dia," ucap Ellard to the point begitu panggilannya terhubung. "Sekarang juga!" imbuhnya penuh tekanan."M
Emily melihat jam tangannya. Pukul 16.01. Belum waktunya pulang jam kantor tapi Ellard sudah berada di kamar mereka."Kau pulang cepat hari ini?" Emily berjalan mendekat ke arahnya.Ellard mengangguk sambil tersenyum. "Mulai hari ini aku akan bekerja dari rumah," menarik Emily agar duduk di atas pangkuannya."Kenapa?""Perusahaan membosankan. Kau juga selalu ingkar janji. Tidak pernah datang tepat waktu," Ellard mengecup tengkuk Emily.Emily hanya diam karena tidak tahu harus memberi reaksi seperti apa."Apa yang sedang kau kerjakan?" tanya Emily mengalihkan topik."Aku sedang mencari fotoku yang paling keren," sahut Ellard sembari menunjukkan layar laptopnya."Untuk apa?" tanya Emily dan mulai memperhatikan satu persatu foto Ellard."Aku akan memajangnya di kamar kita. Di setiap sudut ruangan." Ellard menatapnya teduh. Kembali perasaan berkecamuk menghampirinya. Pembicaraan Emily dan Frans kini terdengar jelas di telingan
"Aku akan datang membawakan makan siang untuk kita," Emily berjinjit dan mendaratkan satu kecupan hangat di pipi kanan Ellard."Aku sudah memasukkan nomorku di ponselmu. Segera angkat teleponku jika aku menghubungimu," Ellard mengusap lembut kepala Emily.Sesungguhnya ia tidak ingin meninggalkan Emily disaat benaknya menyisakan banyak tanya yang menuntut jawaban ada apa gerangan yang terjadi dengan istrinya.Kejanggalan-kejanggalan sikap Emily sangat mengusiknya. Jika mengikuti kata hatinya, ingin rasanya ia membawa Emily ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh.Ellard sebenarnya sudah memiliki dugaan-dugaan atas apa sebenarnya yang sedang dialami Emily. Apa pun itu sesungguhnya ia tidak peduli. Hanya saja yang ia khawatirkan hal itu bisa melukai dan menyakiti Emily. Sungguh ia tidak akan sanggup lagi untuk melihat Emily terluka. Untuk itu lah ia juga menahan diri agar tidak bertanya secara terang-terangan kepada Emil
"Argghhhhh!!" teriakan Emily sontak saja membuat Ellard terbangun dari tidur nyenyaknya."Ada apa, sayang?" Ellard menatap Emily khawatir. Apa gerangan yang membuat Emily histeris di pagi hari. Ya, Ellard melirikkan mata ke arah nakas dan melihat jam weker yang menunjukkan jam 05.30."Apa kau mengalami mimpi buruk?" mengulurkan tangan berniat untuk memeluk dan menenangkan Emily.Plak!Emily dengan kasar menepis tangan Ellard dan baru lah pria itu menyadari cara Emily menatapnya begitu berbeda. Seperti orang asing yang takut melihat keberadaannya."Emily?" panggil Ellard penuh hati-hati, tapi jangan tanya jantungnya yang memompa, berpacu lebih cepat. Ke mana tatapan teduh yang selalu Emily tunjukkan padanya selama ini. Apakah Emily mulai berubah fikiran. Pertanyaan demi pertanyaan menyerang batinnya, membuat perasaannya semakin tidak menentu."SIAPA KAU?! KENAPA KAU ADA DI KAMARKU?!"Butuh beberapa d
“Selamat datang!” Emily merentangkan kedua tangannya menyambut kepulangan Ellard.Mendapat sambutan ceria dari Emily, Ellard mengulum senyumnya. Segera meletakkan tas kerjanya, Ellard pun membawa Emily ke dalam pelukannya. “Kau sangi sekali,” bisik Ellard dengan nada menggoda.“Aku sengaja melakukannya untuk membuatmu senang. Apa kau terhibur? Aku berdandan untukmu,” seru Emily dengan wajah merona.Perasaan Ellard dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran. Tadinya ia menolaj untuk bekerja dalam waktu dekat. Namun Emily terus saja membujuknya, dengan syarat akan sering mengunjungninya ke kantor. Baru hari pertama bekerja, Emily sudah mengingkari janjinya. Ellard menantikan kedatanganya namun istrinya tak kunjung datang. Ia uring-uringan tidak jelas. Mencoba menghubungi telepon rumah, namun istrinya tidak berada di sana membuatnya semakin galau.Namun begitu melihat sambutan Emily yang manis, kegalau
“Apakah kita akan tinggal di sini?” tanya Ellard begitu mereka kembali ke dalam kamar. Ellard masih merasa tidak nyaman jika berlama-lama duduk bersama Rebcca. Beruntung Morin dan Jovan ada jadwal operasi sehingga mereka segera pergi setelah sarapan.“Apa kau keberatan?” Emily yang merapikan tempat tidur menghentikan kegiatannya dan menoleh pada Ellard yang duduk manis di sofa seraya memperhatikannya.“Aku tidak keberatan, hanya saja kita juga memiliki rumah,” Ellard beralasan. Faktanya ia memang tidak menyukai harus tinggal di dalam satu atap bersama Rebecca.“Rumahnya sudah kujual,” cicit Emily dengan wajah memelas.Ellard mengerjap, mencoba mencerna kalimat yang baru saja dicetuskan oleh Emily.“Apa kau mengatakan bahwa kau sudah menjual rumah kita, sayang?”Emily menganggukkan kepala, “Aku sudah pernah mengatakan bahwa aku kesepian. Rumah itu selalu
Tok. TokTerdengar ketukan dari luar kamar. Emily dan Ellard yang hendak tidur kompak duduk kembali.“Aku akan membuka pintu,” Ellard menyingkap selimut dan turun dari atas ranjang.Emily pun melakukan hal yang sama, mengikuti suaminya dari belakang. Emily dan Ellard mengernyit begitu melihat Rebecca berdiri di sana.“Ini sudah hampir jam 22.00, ada apa?” ketus Ellard yang langsung mendapat tepukan di lengannya dari sang istri tercinta.“Ibu membutuhkan sesuatu?” tanya Emily dengan lembut.Rebecca pun ikut tersenyum sembari menggeleng, “Aku hanya ingin mengucapkan selamat malam,” Rebecca mengusap kepala Emily penuh sayang.“Oh Ibu, selamat malam dan selamat beristrahat,” Emily merentangkan kedua tangannya dan memeluk Rebecca, dan semua hal itu tidak luput dari perhatan Ellard.Sepertinya Emily melupakan janjinya yang mengatakan akan menemui Rebecca untuk mengucapkan se
Rebecca menatap Ellard dengan penuh kelembutan juga kerinduaan. Sungguh ia ingin sekali memeluk Ellard, memohon maaf atas apa yang sudah ia lakukan selama ini. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usianya, penyesalan itu pun ia rasakan dengan sendirinya. Memangnya apa salah pria itu disaat suaminya yang bermain curang. Jika ditanya soal kondisi yang dialami Ellard, apakah ia menginginkan hal itu, terlahir hanya dari sebuah perselingkuhan.Sama seperti Ellard yang menyesali perbuatannya terhadap Emily, demikian juga Rebecca merasakan hal yang sama. Kekerasan-kekerasan yang ia lakukan dahulu seolah diputar ulang di hadapannya. Kejam, ya, satu kata itu lah yang pantas disematkan padanya. Di mana hati nuraninya dulu saat menyiksa anak laki-laki yang begitu sangat mencintainya dan menginginkan perhatiaannya. Sekarang, disaat ia menyesali semuanya anak laki-laki tersebut sudah sangat membencinya dan bahkan tidak sudi untuk melihatnya.Rebecca mencoba untuk meneri
Ada kenyataan yang harus terus difahami dan dimengerti, bahwa tidak setiap keinginan, perjuangan akan terbalas sesuai harapan. Tapi, meski begitu, ada juga kenyataan yang harus selalu kita tahu, bahwa apa pun itu, walau tidak seperti yang kita inginkan tetap saja hidup berjalan sesuai takdir. Satu yang pasti, Tuhan pasti memberikan yang terbaik.Seperti Ellard yang awalnya begitu sangat membenci Emily, kini berubah haluan begitu sangat memuja wanita yang tidak lain adalah istrinya. Kesalahfahaman yang terjadi antara keduanya akhirnya terselesaikan oleh waktu. Yang benar akan menang pada akhirnya.Ada sesuatu yang menanti setelah banyak kesabaran melalui ujian dan rintangan yang dijalani. Buah dari kesabaran adalah sesuatu yang pastinya sangat indah, membuat terpana hingga melupakan betapa pedihnya itu rasa sakit.Jika mencintai orang yang tepat, kebahagiaan dan kenyamanan yang akan didapatkan, namun jika yang dirasakan adalah kesedihan dan rasa sakit artinya men