Emily dimasukkan ke dalam ruang tahanan yang mana sudah berisi lima perempuan narapida lainnya.
"Bargaullah dengan baik dengan para seniormu," salah satu sipir memberi nasihat yang terdengar seperti sebuah ejekan. Sipir tersebut pun menarik pintu jeruji besi dengan kasar dan hal itu ia lakukan dengan sengaja hingga membuat Emily berjengkit kaget.
Tidak peduli dengan keterkejutan yang dialami Emily, setelah memastikan gembok dan kuncinya aman, sipir itu pun meninggalkan Emily bersama lima tahanan lainnya.
Emily pun melangkah masuk secara perlahan. Mengulurkan tangan mencoba meraih apa yang bisa ia jadikan sebagai pegangan. Ia tidak tahu gambaran ruangan ini seperti apa dan setelah menjadi buta selama hampir 6 bulan tetap saja ia belum terbiasa dengan kondisinya.
Selama 6 bulan, ia hanya berada di rumah sakit. Ada Morin dan Jovan yang baik hati untuk menolongnya dengan ikhlas. Dan sekarang ia bagaikan sebatang kara yang dilemparkan ke tempat asing yang tidak pernah ada dalam bayangannya sama sekali. Ruangan yang begitu sangat pengap dan berbau tak sedap.
Menyadari bahwa ada orang lain di dalam ruangan itu, Emily dengan sebaik mungkin tidak menunjukkan ekspresi menggelikan akibat ketidak nyamanan atas bau yang tercium oleh hidungnya, bau busuk yang menjijikkan. Ia takut para penghuninya merasa tersinggung.
"Ha..halo," sapanya dengan suara terbata seraya menganggukkan kepala satu kali sebagai salam hormatnya. Terdengar kekehan dari balik punggungnya.
"Apa yang kau lakukan wanita buta! Kau menyapa toilet, kami berada di belakangmu, idiot!" salah satu dari lima wanita itu berucap dengan kasar yang disahut teman lainnya dengan gelak tawa puas.
Emily segera memutar tubuhnya, "Ma-maaf,"
"Jika kata maaf bisa menyelesaikan perkara, kau, aku dan mereka tidak akan ada di sini, bodoh!" kembali hinaan terdengar yang ditujukan pada Emily. Emily merasa ciut seketika, ia gugup dan takut. Baru beberapa menit di sini ia sudah merasa tempat itu mengerikan.
"Jadi kesalahan apa yang sudah kau lakukan?"
"Kesalahan?" Emily mengulang sepenggal pertanyaan yang ditujukan padanya.
"Kasusmu?"
"Tabrakan yang membuat nyawa melayang," lirihnya.
"Membunuh, wow! Wanita psikopat!" ledek yang lainnya.
Emily hanya bergeming tidak memberikan reaksi. Hal yang selalu ia lakukan jika menyangkut perkara yang dialaminya mengenai kecelakaan yang ia alami.
"Welcome to the club. Kita satu server!" sahut yang lainnya.
"Maemunah, apa kau ingin berteman dengan wanita buta itu," desis wanita yang mengatakan Emily idiot beberapa menit lalu.
"Maaf kakak Beti," Maemunah memasang wajah masam seketika.
"Aku adalah aturan di sini!" kembali Beti bersecis kesal. Maemunah menganggukkan kepalanya begitu juga dengan tiga wanita lainnya, Markonah, Marina dan Julia.
"Hei anak baru kemarilah!" perintah Beti. Emily segera mendekat, melangkah dengan lambat, menerka arah dari sumber suara.
"Bahkan siput pun lebih cepat melangkah darimu," Beti melalui matanya memerintah Maemunah agar menariknya dengan segera.
"Aakkh!" pekik Emily tatkala ia diseret dengan paksa. "Beri hormat pada Kak Beti, ketua di sini!" Maemumah mendorong Emily hingga terjatuh.
"Aku merasa tidak enak badan, tugas pertamamu adalah memijat kakiku!" Beti mengulurkan kakinya hingga hidung dan mulut Emily hampir saja menyentuh telapak kakinya.
Emily merasakan mual yang sangat luar biasa. Sumpah demi apa pun, Emily tidak bisa menerjemahkan bau busuk yang tidak ia tahu asalnya dari mana.
"Bbwuueeekkk!" Emily akhirnya memuntahkan isi perutnya. Ia tidak kuat menahan dorongan perutnya dari dalam.
"Brengsek!!" Beti segera berdiri. Muntahan Emily mengenai kakinya, dan bau busuk itu berasal dari kaki wanita itu. Bau menyengat yang sangat mengerikan didukung kurangnya sirkulasi udara di dalam sana.
Beti, wanita berusia 43 tahun, berbadan besar dan gempal. Membunuh suaminya karena ketahuan selingkuh. Bukan hanya suaminya tetapi ia juga membunuh selingkuhan dari suaminya dan ia mengatakan tidak menyesal sama sekali. Usut punya usut, suami Beti berselingkuh karena tidak tahan dengan bau busuk yang tercium dari tubuhnya. Beti wanita yang sangat kotor dan jorok, malas mandi hingga tubuhnya dipenuhi dengan gatal-gatal yang mengandung nanah. Dari sanalah sumber bau busuk itu berasal. Dan bagaiamana bisa keempat temannya bisa bertahan sejauh ini. Emily yang baru bergabung belum 30 menit sudah tidak kuat menahan gejolak cobaan baunya.
"Kau menghinaku, jalang!" Beti menarik rambut panjang Emily dengan kasar hingga membuat kepalanya mendongak ke atas.
"Sa-sakit," Lirihnya. "Ma-maafkan aku, aku tidak sengaja. Aku bisa membersihkannya," ucapanya dengan menahan tangisannya. Sungguh ia merasa kepalanya akan copot dari lehernya begitu pun dengan rambutnya.
"Maaf! Enak saja kau berbicara, sialan!" Beti dengan kejam menarik Emily hingga Emily menjerit kesakitan. Teriakannya cukup kuat, namun tidak ada seorang pun yang datang untuk melerai. Ruang tahanan lain yang melihat hal itu menunjukkan ekpresi berbeda. Ada yang menatap iba namum tidak sedikit bersorak gembira melihat tontonan menyakitkan yang menurut mereka merupakan suatu hiburan.
Emily tidak kuasa menahan tangisannya. Kepalanya berdenyut dan telinganga berdenging hebat menahan sakitnya tarikan di rambutnya. Emily tidak tahu ia di seret ke mana, namun mencium aroma pesing ia kini tahu sekarang mereka berada di dalam toilet.
Byuur!
Emily di siram dengan kasar. Emily seketika menggigil. Airnya begitu sangat dingin. Tidak sampai di situ, kini wajah cantiknya di benamkan ke dalam toilet. Lagi dan lagi Emily menjerit histeris ketakutan. Mengiba memohon maaf dan ampunan namun tidak ada yang mendengar teriakannya. Di tengah tangisannya, Emily kembali merasa mual. Air mata dan muntahan kini menyatu jadi satu.
Aku mohon seseorang tolong aku. Ini mengerikan Ibu, Ayah. Tidak bisakah kalian menjemputku. Rintihnya dengan pilu.
"Aku tidak akan segan untuk membunuhmu, beraninya kau menghinaku, jalang!" Kembali wajah Emily di benamkan ke dalam toilet. Sorak sorai yang terdengar mendadak hening. Pintu sel itu dibuka.
"Hentikan!" terdengar suara berat, dingin tak bernada namun mampu membuat suasana mendadak horor.
Satu-satunya yang tidak menyadari perubahan atmosfer di ruangan pengap itu adalah Emily. Wanita itu berusaha mempertahankan kesadarannya di tengah rasa mual yang menyiksanya.
Emily baru menyadari kehadiran seseorang begitu tubuhnya diangkat bertepatan dengan matanya yang tertutup sempurna. Emily pingsan.
š¦
Emily membuka matanya secara perlahan, tetap saja yang terlihat hanya kegelapan. Tubuh Emily berguncang hebat, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis, menangisi keadaannya yang tidak berdaya.
Hari-hari terberatnya tidak sampai di situ saja. Setelah pingsan dua hari. Penderitaannya kembali berlanjut. Beberapa kali ia mendapat tindak kekerasan. Permohonannya untuk pindah kamar tidak dihiraukan. Beti dan kelompoknya menyiksanya semakin menjadi.
Tubuh indah itu kini terlihat kurus kering setelah satu bulan berada di sana. Ia tidak kuasa mengunyah makanannya. Dan setiap kali ia muntah, ia juga mendapat pukulan dan hinaan.
Emily benar-benar tidak bisa melakukan apa pun. Bodoh, idiot, ya kini ia mengakui ejekan Beti dan kelompoknya benar adanya. Ia benar-benar terlihat seperti si bodoh yang menyedihkan.
Dua bulan berlalu, Emily sedang berada di lapangan, duduk menyendiri disaat semuanya sedang melakukan kegiatan. Ada yang sekedar berbincang-bincang, ada yang melakukan olahraga.
Duk!
Sebuah bola kaki mendarat sukses di wajahnya hingga membuatnya terjungkal ke belakang. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Beti dan kelompoknya, mereka tertawa dan melarang siapa pun untuk membantunya.
Ellard dari salah satu ruangan menatap hal itu dengan wajah datar. Selama dua bulan ini ia juga selalu datang ke sana untuk menyaksikan penderitaan yang dirasakan wanita itu.
"Bukankah ini sudah keterlaluan, Dude?" Edward menatap iba pada Emily yang berusaha untuk berdiri.
"Sudah kukatakan kau bisa jadi walinya jika kau mau!" Ellard menyunggingkan senyum mengejek, berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Di ambang pintu ia menghentikan langkahnya.
"Pindahkan ia ke dalam ruang hukuman. Ruangan sempit dan gelap. Biarkan ia bergaul dengan tikus!" perintahnya dan berlalu.
Seperti yang diperintahkan Ellard, kini Emily dipindahkan ke dalam ruangan yang sangat sempit bahkan untuk tidur pun tidak bisa. Ruangan yang teramat sangat pengap dan tidak ada pencahayaan sama sekali dan baginya itu tidak menjadi masalah karena ia sudah mulai terbiasa dengan kegelapan. Ia bahkan tidak tahu ruangan itu gelap atau tidak. Namun ruangan sempit itu sedikit menyiksa dan membuatnya takut. Ia tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Ia hanya duduk dengan memeluk kedua lututnya, membenamkan wajahnya di atasnya.Di sana ia juga tidak mendengar hiruk pikuk suara tahanan lainnya, satu-satunya suara yang ia dengar adalah suara tikus yang berulang kali melewati kakinya hingga membuatnya menjerit kepanikan.Sebenarnya di mana aku berada? Batinnya sembari menangis.Detik berganti menit, dan menit berganti jam, jam pun berganti hari. Hari-hari mengerikan dilewati Emily selama beberapa bulan di ruangan pengasingan itu. Jika di ruangan tahanan bersama Beti ia tak ku
“Bagaimana keadaannya? Apa dia sudah pulih?” Ellard memainkan bolpoin di jarinya. Setelah satu minggu ia kembali mendatangi rumah sakit untuk menjenguk Emily. Tepatnya memastikan apa wanita itu masih bernyawa atau tidak.Memastikan nyawa Emily sangat lah penting baginya, bukan karena ia peduli tapi karna ia ingin nyawa wanita itu berada dalam genggamannya. Tidak boleh ada satupun yang berhak melukai wanita itu selain dirinya. Dan percayalah Beti berserta kelompoknya mendapat imbas dari apa yang mereka lakukan. Ellard memerintahkan pekerja di rumah tahanan agar tidak memberi makan mereka selama satu minggu. Beraninya mereka menyentuh mangsanya.“Kau datang untuk mengunjungi calon istrimu?” pertanyaan yang dilontarkan dengan nada geli itu membuat Ellard memutar kursinya untuk menatap Jovan. Masih dengan wajah geli, Jovan melangkah mendekati mereka sambil mengeringkan tangannya. Pria itu baru keluar dari dalam toilet.“Wajah sumr
“Jadi kau menolakku?” Ellard tidak bisa menerima penolakan Emily. Harga dirinya terluka. Yang benar saja, seorang wanita buta baru saja menolaknya. Jika ia mau, wanita mana pun bisa ia lamar detik ini juga, wanita cantik dengan penglihatan yang sempurna.Edward mencoba menahan tawanya agar tidak lepas. Bisa-bisa ia kembali mendapat tendangan di betis.“Ja-jadi kau yang ingin menikah denganku, Tuan?” tanya Emily tidak percaya. Ia mengira Edward lah yang sedang mempersuntingnya.“Kau fikir siapa?” decisnya dengan wajah kesal. “Katakan pada wanita itu apa yang sudah kulakukan terhadapnya,” perintah Ellard kepada Edward.Edward pun menjelaskan bahwa Ellard, tanpa menyebut nama pria itu sesuai perintah Ellard, sudah mengurus surat pembebasannya. Ya, Emily sekarang bukan seorang tahanan lagi. Statusnya berubah menjadi mantan narapidana. Tidak hanya sampai di situ, Edward atas perintah Ellard juga membeberkan kebai
Edward membunyikan klakson mobilnya berulang kali, namun setelah sepuluh menit berlalu, pagar yang menjulang tinggi itu tidak kunjung terbuka. Edward kembali membunyikan klakson untuk kesekian kalinya dibarengi dengan keluhan bahwa para pekerja sepertinya harus lebih didisiplinkan.Ya, mereka sudah sampai di rumah yang akan Ellard dan Emily tinggali. Rumah yang memang Ellard huni selama ini.Pintu gerbang terbuka, Edward menoleh ke belakang dengan cepat, terlihat bahwa Ellard dengan santainya mengarahkan sebuah remote kecil ke arah gerbang tersebut.“Para pekerja cuti massal,” Ellard menggidikkan bahunya. Tentu saja itu hanya alasannya saja. Ia memang sengaja untuk membuat sahabatnya kesal dengan memerintah para pekerjanya agar tidak membukakan pintu gerbang untuk mereka.“Kenapa tidak melakukannya sejak beberapa menit lalu?” hardik Edward dengan wajah kesal.“Aku lupa.”Pintu gerbang terbuka dengan sempur
“Ini panas sekali, sungguh,” adunya sembari terisak. Melihat air mata yang mulai membasahi wajah Emily, di situ Ellard merasa puas. Ia suka melihat ketidak berdayaan wanita itu. Ini lah yang ia harapkan, penyiksaan secara langsung serta menyaksikan dampaknya. Semakin wanita itu merintih kesakitan, mengiba memohon pertolongan semakin ia gencar dan semakin bahagia. Katakan lah ia gila, tapi bagi Ellard yang ia lakukan adalah hal yang sepadan dengan apa yang sudah dilakukan Emily karena sudah melenyapkan wanita terkasihnya, Naura.“Aku tidak akan membuat kulitmu sampai melepuh, aku hanya membantu untuk mensterilkan tubuhmu dari kuman-kuman yang menempel di tubuhmu,” dengan satu kali hentakan kuat, ia menarik Emily dari dalam bathup. Kulit putih Emily terlihat memerah, senada dengan manik matanya.Tubuh itu menggigil, bukan karena kedinginan namun karena merasa takut. Seperti yang dikatakan Edward, Devil ternyata bukan hanya ucapan asal belaka. Kini
āTolong berhati-hatilah.ā Ucapan Emily diabaikan oleh Ellard. Pria itu justru semakin menaikkan laju mobilnya. Ia mengemudi semakin menggila, bahkan umpatan dan klakson para pengendara lain ia abaikan begitu saja. Ia sangat menikmati kepanikan dan wajah pucat Emily. Tidak hanya pucat, kini dahi Emily dialiri keringat sebesar biji jagung.Ya, semenjak kecelakaan yang dialami Emily, wanita itu memiliki ketakutan tersendiri saat berada di dalam mobil, dan sepertinya Ellard menyadari hal itu sehingga semakin menjadi dalam mempermainkan Emily.āA-aku mm-mohon..ā suara Emily bergetar ketakutan. Ellard tentu saja mendadak tuli, namun tersenyum penuh kemenangan dengan apa yang terlihat di wajah cantik Emily.āSsu-suamiku..āCiiiittt....Ellard menginjak rem secara mendadak membuat Emily terlonjak kaget dan tidak kuasa menahan tubuhnya hingga kepalanya terbentur ke depan.Bukan tanpa alasan Ellard menginjak rem mobil secara mendadak, ia terkejut mendengar
Emily dan Morin sudah sampai di depan toilet, bertepatan dengan ponsel Morin yang berdering.āAku akan menunggumu di sini, masuklah.ā Morin membuka pintu untuk Emily.āTerima kasih,ā Emily mulai melangkah perlahan, meraba pintu sebagai pegangannya.Begitu Emily masuk ke dalam toilet, Morin menjauh dan menjawab panggilan yang ternyata dari ibunya. Morin menjauh dari pintu toilet karena suara musik dari luar terdengar sangat jelas sehingga ia tidak mendengar apa yang sedang dikatakan ibunya.Sepuluh menit berlalu, Emily pun sudah selesai dengan keperluannya di dalam toilet. Ia pun berpegangan pada dinding kamar mandi untuk berjalan ke arah pintu. Emily membuka pintu toilet yang ternyata tidak bisa dibuka.āMorin, apa kau masih di sana?ā panggil Emily. āMorin?ā Emily menaikkan nada suaranya dan tetap tidak ada sahutan dari luar membuat Emily mulai panik.āSeseorang, apa ada seseorang di luar sana.ā Emily lagi dan lagi berteriak meminta bantuan hingga
āSepertinya aku harus memecat si keparat itu,ā maki Ellard seraya menerima uluran tangan Peter untuk membantunya naik ke atas. Mendengar ancaman Ellard, Peter hanya menanggapinya dengan tertawa. Ia tahu Ellard tidak akan pernah melepaskan seorang Edward dari sisinya. Ibarat kata jika Edward adalah wanita, Ellard tidak akan menunggu lama untuk menikahinya. Ya, Ellard sangat membutuhkan Edward dan Peter tahu itu.āAku akan meminjamkan kamarku dan meminta seseorang mengantarkan pakaian baru untukmu,ā Peter menuntun Ellard berjalan menuju kamarnya.āKapan terakhir kali aku mengunjungi kamarmu.ā Ellard mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan kamar. Ini pertama kalinya ia memasuki kamar Peter setelah pria itu membeli rumah yang pria itu tempati sekarang. āTerlihat berbeda dan sedikit feminim. Kau mempunyai kekasih?ā Ellard melepaskan jas, dasi dan kemeja yang ia kenakan.Peter tergelak mendengar pernyataan Ellard. Pasalnya dulu ia memang hanya tinggal dis
"Wueekk!" Emily memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat pasi, seakan menahan sakit yang luar biasa.Ellard pun terbangun begitu mendengar Emily muntah. Dengan sigap ia berlari ke dalam toilet."Kau baik-baik saja?" tanya Ellard penuh khawtir. "Wajahmu pucat. Apa kau memakan sesuatu yang salah?"Emily mengernyit, menatap bingung ke arah Ellard melalui cermin besar yang ada di hadapannya."Aku suamimu, kita sudah menikah beberapa tahun," jelas Ellard sebelum Emily sempat bertanya."Aku merasa mual," adu Emily dengan wajah meringis menahan sakit."Akan kupanggil Morin untuk memeriksa," Ellard pun menuntun Emily ke luar dari dalam toilet. Ia juga membantu Emily untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang lalu mengambil ponse untuk menghubungi saudarinya -Morin."Emily mual dan muntah. Tolong kau periksa dia," ucap Ellard to the point begitu panggilannya terhubung. "Sekarang juga!" imbuhnya penuh tekanan."M
Emily melihat jam tangannya. Pukul 16.01. Belum waktunya pulang jam kantor tapi Ellard sudah berada di kamar mereka."Kau pulang cepat hari ini?" Emily berjalan mendekat ke arahnya.Ellard mengangguk sambil tersenyum. "Mulai hari ini aku akan bekerja dari rumah," menarik Emily agar duduk di atas pangkuannya."Kenapa?""Perusahaan membosankan. Kau juga selalu ingkar janji. Tidak pernah datang tepat waktu," Ellard mengecup tengkuk Emily.Emily hanya diam karena tidak tahu harus memberi reaksi seperti apa."Apa yang sedang kau kerjakan?" tanya Emily mengalihkan topik."Aku sedang mencari fotoku yang paling keren," sahut Ellard sembari menunjukkan layar laptopnya."Untuk apa?" tanya Emily dan mulai memperhatikan satu persatu foto Ellard."Aku akan memajangnya di kamar kita. Di setiap sudut ruangan." Ellard menatapnya teduh. Kembali perasaan berkecamuk menghampirinya. Pembicaraan Emily dan Frans kini terdengar jelas di telingan
"Aku akan datang membawakan makan siang untuk kita," Emily berjinjit dan mendaratkan satu kecupan hangat di pipi kanan Ellard."Aku sudah memasukkan nomorku di ponselmu. Segera angkat teleponku jika aku menghubungimu," Ellard mengusap lembut kepala Emily.Sesungguhnya ia tidak ingin meninggalkan Emily disaat benaknya menyisakan banyak tanya yang menuntut jawaban ada apa gerangan yang terjadi dengan istrinya.Kejanggalan-kejanggalan sikap Emily sangat mengusiknya. Jika mengikuti kata hatinya, ingin rasanya ia membawa Emily ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh.Ellard sebenarnya sudah memiliki dugaan-dugaan atas apa sebenarnya yang sedang dialami Emily. Apa pun itu sesungguhnya ia tidak peduli. Hanya saja yang ia khawatirkan hal itu bisa melukai dan menyakiti Emily. Sungguh ia tidak akan sanggup lagi untuk melihat Emily terluka. Untuk itu lah ia juga menahan diri agar tidak bertanya secara terang-terangan kepada Emil
"Argghhhhh!!" teriakan Emily sontak saja membuat Ellard terbangun dari tidur nyenyaknya."Ada apa, sayang?" Ellard menatap Emily khawatir. Apa gerangan yang membuat Emily histeris di pagi hari. Ya, Ellard melirikkan mata ke arah nakas dan melihat jam weker yang menunjukkan jam 05.30."Apa kau mengalami mimpi buruk?" mengulurkan tangan berniat untuk memeluk dan menenangkan Emily.Plak!Emily dengan kasar menepis tangan Ellard dan baru lah pria itu menyadari cara Emily menatapnya begitu berbeda. Seperti orang asing yang takut melihat keberadaannya."Emily?" panggil Ellard penuh hati-hati, tapi jangan tanya jantungnya yang memompa, berpacu lebih cepat. Ke mana tatapan teduh yang selalu Emily tunjukkan padanya selama ini. Apakah Emily mulai berubah fikiran. Pertanyaan demi pertanyaan menyerang batinnya, membuat perasaannya semakin tidak menentu."SIAPA KAU?! KENAPA KAU ADA DI KAMARKU?!"Butuh beberapa d
“Selamat datang!” Emily merentangkan kedua tangannya menyambut kepulangan Ellard.Mendapat sambutan ceria dari Emily, Ellard mengulum senyumnya. Segera meletakkan tas kerjanya, Ellard pun membawa Emily ke dalam pelukannya. “Kau sangi sekali,” bisik Ellard dengan nada menggoda.“Aku sengaja melakukannya untuk membuatmu senang. Apa kau terhibur? Aku berdandan untukmu,” seru Emily dengan wajah merona.Perasaan Ellard dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran. Tadinya ia menolaj untuk bekerja dalam waktu dekat. Namun Emily terus saja membujuknya, dengan syarat akan sering mengunjungninya ke kantor. Baru hari pertama bekerja, Emily sudah mengingkari janjinya. Ellard menantikan kedatanganya namun istrinya tak kunjung datang. Ia uring-uringan tidak jelas. Mencoba menghubungi telepon rumah, namun istrinya tidak berada di sana membuatnya semakin galau.Namun begitu melihat sambutan Emily yang manis, kegalau
“Apakah kita akan tinggal di sini?” tanya Ellard begitu mereka kembali ke dalam kamar. Ellard masih merasa tidak nyaman jika berlama-lama duduk bersama Rebcca. Beruntung Morin dan Jovan ada jadwal operasi sehingga mereka segera pergi setelah sarapan.“Apa kau keberatan?” Emily yang merapikan tempat tidur menghentikan kegiatannya dan menoleh pada Ellard yang duduk manis di sofa seraya memperhatikannya.“Aku tidak keberatan, hanya saja kita juga memiliki rumah,” Ellard beralasan. Faktanya ia memang tidak menyukai harus tinggal di dalam satu atap bersama Rebecca.“Rumahnya sudah kujual,” cicit Emily dengan wajah memelas.Ellard mengerjap, mencoba mencerna kalimat yang baru saja dicetuskan oleh Emily.“Apa kau mengatakan bahwa kau sudah menjual rumah kita, sayang?”Emily menganggukkan kepala, “Aku sudah pernah mengatakan bahwa aku kesepian. Rumah itu selalu
Tok. TokTerdengar ketukan dari luar kamar. Emily dan Ellard yang hendak tidur kompak duduk kembali.“Aku akan membuka pintu,” Ellard menyingkap selimut dan turun dari atas ranjang.Emily pun melakukan hal yang sama, mengikuti suaminya dari belakang. Emily dan Ellard mengernyit begitu melihat Rebecca berdiri di sana.“Ini sudah hampir jam 22.00, ada apa?” ketus Ellard yang langsung mendapat tepukan di lengannya dari sang istri tercinta.“Ibu membutuhkan sesuatu?” tanya Emily dengan lembut.Rebecca pun ikut tersenyum sembari menggeleng, “Aku hanya ingin mengucapkan selamat malam,” Rebecca mengusap kepala Emily penuh sayang.“Oh Ibu, selamat malam dan selamat beristrahat,” Emily merentangkan kedua tangannya dan memeluk Rebecca, dan semua hal itu tidak luput dari perhatan Ellard.Sepertinya Emily melupakan janjinya yang mengatakan akan menemui Rebecca untuk mengucapkan se
Rebecca menatap Ellard dengan penuh kelembutan juga kerinduaan. Sungguh ia ingin sekali memeluk Ellard, memohon maaf atas apa yang sudah ia lakukan selama ini. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usianya, penyesalan itu pun ia rasakan dengan sendirinya. Memangnya apa salah pria itu disaat suaminya yang bermain curang. Jika ditanya soal kondisi yang dialami Ellard, apakah ia menginginkan hal itu, terlahir hanya dari sebuah perselingkuhan.Sama seperti Ellard yang menyesali perbuatannya terhadap Emily, demikian juga Rebecca merasakan hal yang sama. Kekerasan-kekerasan yang ia lakukan dahulu seolah diputar ulang di hadapannya. Kejam, ya, satu kata itu lah yang pantas disematkan padanya. Di mana hati nuraninya dulu saat menyiksa anak laki-laki yang begitu sangat mencintainya dan menginginkan perhatiaannya. Sekarang, disaat ia menyesali semuanya anak laki-laki tersebut sudah sangat membencinya dan bahkan tidak sudi untuk melihatnya.Rebecca mencoba untuk meneri
Ada kenyataan yang harus terus difahami dan dimengerti, bahwa tidak setiap keinginan, perjuangan akan terbalas sesuai harapan. Tapi, meski begitu, ada juga kenyataan yang harus selalu kita tahu, bahwa apa pun itu, walau tidak seperti yang kita inginkan tetap saja hidup berjalan sesuai takdir. Satu yang pasti, Tuhan pasti memberikan yang terbaik.Seperti Ellard yang awalnya begitu sangat membenci Emily, kini berubah haluan begitu sangat memuja wanita yang tidak lain adalah istrinya. Kesalahfahaman yang terjadi antara keduanya akhirnya terselesaikan oleh waktu. Yang benar akan menang pada akhirnya.Ada sesuatu yang menanti setelah banyak kesabaran melalui ujian dan rintangan yang dijalani. Buah dari kesabaran adalah sesuatu yang pastinya sangat indah, membuat terpana hingga melupakan betapa pedihnya itu rasa sakit.Jika mencintai orang yang tepat, kebahagiaan dan kenyamanan yang akan didapatkan, namun jika yang dirasakan adalah kesedihan dan rasa sakit artinya men