Elisa bersorak senang saat Roy mengangguk mengiyakan keinginannya. Meski sedikit terpaksa, Elisa tak masalah. Setidaknya keinginannya untuk berkunjung dan menemui ibu mertuanya sebentar lagi akan terkabul.Elisa cepat bersiap, menggunkan dress dengan model berlengan, ia terlihat anggun meski perutnya mulai membuncit. Elisa takkan menyiakan kesempatan langka ini. Meski ia harus lebih dulu menghubungi sang papi yang sudah berada di kantor, dan jelas tanggapan pria paruh baya itu seperti apa ketika waktu mulai siang, sedangkan Roy belum juga tiba di kantor.[Ke mana saja, Kau?] Suara Tuan Andreas sedikit kesal di seberang sana. Namun, Elisa malah menanggapinya dengan tawa cekikikan.[El ...! Elisa!] Suara itu kembali terdengar, [Mana Roy? Kenapa belum juga berangkat ke kantor?]Roy yang saat itu berada di sebelah Elisa ingin menyahut, tapi istrinya buru-buru mencegah dengan membuka suara lebih dulu, [Jangan marah-marah dong, Pih? Kak Roy hari ini tidak bisa masuk kantor.]Pria itu diam,
"Harusnya aku tidak datang sekarang. Aku sungguh menyesal," bisik Alex. Namun gadis di sebelahnya jelas mendengar. Airin langsung menoleh menanggapinya dengan cibiran, "Tuh, kan, apa aku bilang. Harusnya kita merencanakan lebih dulu jika ingin berkunjung."Mendapati jawaban dari Airin yang tak enak di dengar, Alex terlihat tidak suka. Ia melayangkan tatapan tajam ke arah sang istri yang masih berdiri di dekatnya, "Kau ingin bermesraan dengan pria itu lagi?" Gadis itu langsung bungkam. Merasa apa yang baru saja ia ucapkan bak bumerang yang berbalik menyerang dirinya. "Tidak! Kenapa pikiranmu sejauh itu?" balasnya."Lalu, kenapa kau ingin berlama-lama di cafe, kalau tidak demi pria itu?" Alex kesal kembali saat Airin mengingatkannya pada kejadian di cafe tadi. Saat ia datang untuk menjemputnya, tak sengaja Alex melihat Airin tengah berpegangan tangan dengan seorang pria di salah satu meja tamu."Apa? Itu tidak seperti yang kamu lihat." Airin masih mengelak. Memang bukan itu kejadian ya
Sontak keduanya saling pandang. Roy dan Alex menatap tangannya masing-masing yang masih terpaut. Mereka ingin segera menarik, namun Rey menatap wajah kedua lelaki dengan tatapan sendu."Bicakah talian taling beldamai?" Ungkapan itu kembali terdengar. Antara Alex dan Roy hanya bisa bingung. Entah apa yang harus mereka lakukan. Haruskah ia berdamai? Haruskan ia menerima keadaan masing-masing? Atau menolak dan membuat kecewa bocah itu?Alex dan Roy sedang berperang dengan egonya sendiri. Jika–pun harus berdamai, kenapa justru karena Rey, bocah kecil yang sama sekali belum tahu apa-apa tentang permasalahan keduanya.Beruntung keadaan itu tidak cukup lama karena kedatangan Papa Wahyu yang baru saja pulang dari kantor. Pria paruh baya itu tersenyum sumringah mengetahui jika anak dan menantunya tengah berkumpul di rumah. Ia berjalan masuk dan pandangannya langsung tertuju pada dua lelaki yang sedang duduk di ruangan tamu miliknya."Kalian ...kenapa tidak menghubungi Papa jika ingin datang?"
"Kau mau bawa ke mana putraku?" Roy menatap tajam Alex saat lelaki itu menghampiri Rey dan mengajaknya menjauh.Melihat tatapan yang tidak bersahabat dari ayahnya, Rey begitu terkejut, bocah kecil itu tidak mengerti dengan permasalahan mereka para orang tua."Aku tidak mungkin mencelakai keponakanku sendiri," jawab Alex ketus. Ia melirik sinis pada sosok Roy yang masih menahan pergerakan tangannya."Cih! Sejak kapan putraku menjadi keponakanmu!" Roy terdengar tidak suka dengan ungkapan Alex. Sampai kapan–pun ia tidak akan menganggapnya sebagai keluarganya."Kau bisa mengelak. Tapi, kau tidak bisa lari dari takdir, karena kita memang ....?""Yah ... !" Panggilan Rey seketika membuat dua lelaki itu menghentikan perdebatan. Papa Wahyu memberikan kode pada Alex agar membawa Rey lebih dulu menyingkir, karena ada sesuatu yang akan ia bicarakan dengan ayah bocah itu."Jangan sampai terjadi apapun dengan putraku!" Roy memperingatkan dengan keras. Sebenarnya ia sangat keberatan melihat kedekat
Ibu Lasmi langsung menarik tangan yang di gengam oleh Elisa. Ia memalingkan wajah ke arah lain, tidak sanggup menatap Elisa yang terlihat sangat memohon."Kami mohon, Bu ... bisakah Ibu menyetujui permintaan Alex untuk berobat?" Airin ikut berjongkok di depan mertuanya. Meyakinkan pada perempuan itu bahwa banyak sekali yang berharap akan kesembuhannya."Apa Ibu tidak ingin bermain dengan anak-anak kami nanti?" Elisa melontarkan sebuah pertanyaan yang langsung membuat hati Bu Lasmi berdenyut. "Maaf ...?" Ia langsung sadar akan ucapanny yang sudah melampaui batas."Maafkan aku juga, Bu. Tapi, Kami hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Ibu. Kami ingin Ibu sembuh dan bermain dengan anak-anak kami nanti." Airin menambahi.Bu Lasmi seperti di lema. Ia juga ingin sekali sembuh dan menghabiskan sisa hidupnya untuk bahagia bersama anak dan para cucunya nanti. Tapi, masih ada satu yang mengganjal di hati, yaitu Roy. Bagaimana dengan anak lelakinya itu? Berapa lama lagi ia akan mendapatkan ma
Elisa langsung merengut mendengar ungkapan Alex. Ia pikir lelaki itu peduli, nyatanya Alex hanya memandang kasihan karena ia tengah hamil."Iya, iya. Aku tahu kok." Masih menahan kesal, Elisa melirik Roy yang tak memberi respon apapun. Lelaki itu malah diam dengan posisi masih menunduk di depannya. "Kak ..! Kamu beneran nggak mau minta maaf sama aku?" tanya Elisa pada Roy. "Apa?" Roy malah bingung. Ia bangkit dan kembali mengajak wanita itu untuk pulang. "Tapi, aku masih mau di sini, Kak?" pinta Elisa. Ternyata usahanya tadi belum membuahkan hasil. Ia pasang wajah sesedih mungkin, berharap suaminya berubah pikiran."Kapan-kapan bisa ke sini lagi, El." Tanganny masih menggantung, menunggu respon dari Elisa. "Masih banyak urusan yang harus aku kerjakan." Roy menjelaskan.Yang di seberang sana memalingkan wjaah. "Dasar, sok sibuk!" Alex mencibir lelaki itu. Namun detik kemudian ia melihat tatapan tajam dari Ibu dan juga istrinya. "Iya, iya. Aku diam. Kenapa kalian kompak sekali sih, me
"Ya, dia. Aku yakin dia bisa banyak membantumu, Lex." Arya sangat yakin jika lelaki yang ia maksud lebih tahu mengenai hal itu."Tapi ..." Alex sangat ragu. Bagaimana mungkin ia meminta bantuannya, sedangkan hubungannya dengan lelaki itu belum membaik."Kau tenang saja, Lex. Sebenci apapun dia, Roy tetaplah kakakmu. Kau mau–pun dia tidak akan pernah bisa menolak takdir!" Arya menegaskan, mengingatkan pada Alex hubungannya dengan lelaki itu."Saya tahu itu, Tuan. Tapi ... apa mungkin dia mau membantuku?" Sekali lagi Alex ragu. Ia sudah hapal perangai Roy yang keras kepala. Di tambah lagi, Roy masih sangat membencinya."Aku akan mengusahakannya untukmu." Arya menepuk pundak lelaki itu."Maksud, Tuan?" Alex ingin memastikan akan ucapan Arya."Aku akan membujuk Roy agar mau membantumu."Obrolan dua lelaki itu tidak memakan waktu lama, karena Arya mendapati telepon dari Rengganis yang memintanya agar segera pulang. Entah sihir apa yang wanita itu berikan, hingga Arya langsung bergegas, mun
"Astaga .... Airinnn!" Alex langsung bergerak cepat, membopong tubuh gadis itu dan membawanya menjauh dari guyuran air. Meski basah kuyub, Alex tak mempedulikannya, ia lebih khawatir melihat keadaan sang istri yang sungguh menyedihkan."Apa yang kamu lakukan? Lepas!" berontak Airin. Ia memaksa Alex untuk menurunkannya segera."Diam! Aku hanya ingin membantu–mu!' Meski beberapa kali Airin memberontak, Alex tetap mendekapnya erat, membawa tubuh basah gadis itu keluar dari kamar mandi."Maaf ..." ungkapnya lirih. Jika tahu kejadiannya akan seperti ini, mungkin lain kali ia akan lebih berhati-hati lagi membelikan makanan untuknya."Kenapa kau tidak bilang jika mempunyai alergi?" Alex mendudukkan tubuh Airin dengan lembut."Apa? Memangnya kamu pernah bertanya?"Nyatanya Alex hanya bisa bungkam. Memang dalam hal ini ia yang bersalah. Harusnya ia tahu sedikit saja mengenai istrinya.Suami tak berguna. Mungkin ituah istilah yang pantas tersematkan pada diri Ale. Bagaimana bisa ia tidak menget
Setelah pertemuannya Riska dengan Erick di depan kampus beberapa hari yang lalu. Riska memutuskan untuk menceritakan siapa sebenarnya pria itu pada putrinya. Dan sejak itu pula Erick berusaha mendekati Nisya dengan perlahan. "Jadi, Om itu papaku, Ma?" tanya Nisya sekali lagi. Yang langsung di jawab anggukan kepala oleh sang mama. "Ya. Dia papamu, Nak." Dan hari-hari mereka mulai berwarna. Apalagi saat Erick terang-terangan melamar Riska di depan semua temannya. Meski terkesan buru-buru, Riska akhirya pun menerima lamaran itu demi putri tercintanya. "Menikahlah denganku, Riska. Aku janji akan membahagiakanmu dan juga Nisya." Seluruh mahasiswa yang menyaksikan acara lamaran itu langsung bersorak, meminta pada Riska untuk segera memberikan jawaban. Tidak butuh waktu lama, acara pernikahan Riska dan Erick segera di laksanakan. Pernikahan sederhana itu di gelar di rumah kediaman Riska dan hanya di hadiri oleh kerabat serta teman dekatnya saja. Mereka melanjutkan hidup dengan bahagia.
"Airinnn ...!!" teriak Elisa kegirangan. Ia mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, lalu ... Bughhh!! Satu pukulan mendarat lagi di perut pria asing yang tadi mencekal sebelah tangannya. Kini Elisa tidak merasa takut lagi, karena ada Airin yang siap membantunya. "Kamu tidak apa-apa 'kan, El?" Meski khawatir, Airin tetap waspada. Tidak ingin ceroboh sampai memberi kesempatan pada penjahat itu lagi. "Aku baik-baik saja, Rin." Elisa berlari ke arah ketiga bocah tadi. Memeriksa satu-persatu dari mereka. Elisa lega karena semuanya dalam keadaan baik-baik saja. "Kalian tunggu Mama di sini. Jangan ke mana-mana!" Lalu Elisa berdiri tepat di depan ketiga bocah itu untuk melindungi dari pria jahat yang masih meringis kesakitan. "Sialan!!" Pria itu mengumpat lagi. Bahkan terdengar juga sumpah serapahnya, memaki pada dua ibu muda yang sudah berhasil mengalahkannya. Tidak ingin memberikan kesempatan lagi, Airin dan Elisa segera memberikan pukulan secara bersamaan. Bughhh, bug
Drama panjang mengenai hilangnya Haidar dan Rey yang terjadi di rumah milik Alex berlalu sudah. Kini dua minggu setelah kejadian itu Airin dan Elisa mengajak anak-anaknya bermain di sebuah taman permainan khusus anak. Dan tentu saja di temani oleh kedua suami dari mereka.Anak-anak mulai bermain, saling berkejaran dan menikmati suasana sore yang semakin ramai. Di sana-sini juga terlihat anak-anak lain tengah bermain dengan di awasi oleh para orang tuanya masing-masing.Suasana taman terasa ramai sekali, apalagi saat ini tengah libur akhir pekan. Sementara para ibu tengah mengawasi para anak main, Alex dan Roy memilih menyingkir mencari tempat untuk berbincang. "Kak Rey, ayo main!" ajak Azki. Gadis kecil itu mulai menyeret tangan Rey untuk mengikutinya. Padahal sejak tadi Lexa juga sudah ada di sebelahnya memainkan boneka yang sengaja mereka bawa dari rumah."Kakak di sini aja ya? Kakak nggak suka main boneka." Rey ogah-ogahan mengikuti tangan gadis itu yanga terus saja menggandengnya
"Kalian ...?" Kay menatap bingung pada dua pria kecil di depannya. Haidar dan Rey kini tengah duduk bersebelahan di dalam gudang yang terletak di samping taman. "Kalian ngapain di sini?"Dua pria kecil tadi menoleh serempak. Melihat gadis kecil berkuncir kuda dengan tatapannya yang berbeda."Kak Kay ...!" Haidar langsung bangkit dan berusaha menyembunyikan tubuh sang kakak di belakangnya. "Kenapa Kakak ke sini?" ucapnya lagi."Kalian ngapain ada di sini?" Kay mengulang pertanyaan itu lagi.Sedangkan di depan sana Rey menatap gadis itu dengan kedua mata yang berbinar."Berhenti menatap Kak Kay seperti itu!" Haidar memasang badan tepat di depan Kay. Menghalangi pandangan pria di depan sana agar tidak terus menerus menatap ke arah sang kakak."Kamu ngapain sih, Dek?" Kay bingung sendiri melihat aksi konyol adiknya. "Ayo, Mama sama Ayah khawatir." Menarik tubuh Haidar agar mengikutinya."Awas kalau kamu berani menatap Kak Kay seperti itu lagi!" ancamnya sebelum melangkah keluar dari dalam
Beberapa tahun kemudian."Kakak, gendong ..." rengek Azki manja pada pria kecil berusia sepuluh tahun. Pria kecil itu hanya menurut, berjongkok dan memasang punggungnya di depan gadis kecil tadi."Yeyyy, asikkk!" Azki tersenyum senang mendapati pria itu tidak menolaknya lagi. Padahal ia tidak tahu saja sebenarnya pria itu tengah memakinya dengan kesal.Azkia Putri Aditama.Nama yang di berikan Airin dan Alex untuk putri pertama mereka. Gadis kecil berkulit putih, serta berambut lurus itu saat ini sudah berusia lima tahun. Azki tumbuh menjadi sosok yang ceria dan juga pintar.Saat ini mereka tengah kedatangan tamu dari Keluarga Roy dan juga Arya. Semua berkumpul di taman belakang menyaksikan anak-anak mereka bermain. Saling berkejaran, ada juga yang terlihat saling berbincang."Lihat ekspresi wajah putramu, El, dia lucu sekali, 'kan?" Airin menunjuk ke arah Rey yang saat ini tengah menggendong Azkia. Gadis kecil itu tampak tertawa senang, sedangkan Rey terus saja menekuk wajahnya masam
"Pa, bagaimana dengan nasibku?" Saat ini perempuan itu tengah menemui papanya di sel tahanan. Tuan Bara harus menjalani hukuman dua tahun lebih lama di banding dengan Sigit Prasetya karena kesalahannya dia anggap lebih fatal. Sedangkan Riska dengan keadaan perutnya yang semakin hari kian membuncit kebingungan harus menyembunyikan kehamilannya dari orang-orang di tempat tinggal barunya nanti."Dari awal Papa sudah bertanya padamu, kan? Siapa Ayah dari bayi yang kau kandungan? Tapi kau malah diam dan seolah melindunginya. " Papa Bara kesal dengan Riska yang sangat keras kepala. Coba saja dulu ia mau jujur, pasti keadaannya tidak akan seperti ini."Maaf, Pa. Maafkan Riska." Bulir bening jatuh begitu saja melewati kedu pipi perempuan itu. Mama Nathali hanya mampu menenangkan dan mengusap lembut punggung putri satu-satunya itu."Sudahlah, Ris. Sebaiknya kita segera pulang." Ibu dan anak itu melangkah gontai meninggalkan sel tahanan suaminya menuju tempat tinggal baru yang mereka sewa denga
Setelah di buat bingung dengan tingkah Airin yang tiba-tiba meminta berhenti secara mendadak, saat ini Alex juga di buat terkesiap dengan kedua bola mata yang membulat serta mulut yang terbuka lebar tatkala melihat tingkah istrinya yang tak masuk akal.Bagaimana mungkin orang yang tadinya terlihat kesakitan sekali sekarang tengah santai dan menyantap semangkuk bakso dengan sangat lahap? Di tambah lagi setelah adegan itu selesai, Alex nyaris jatuh, bangun, serta guling-guling sendiri ketika mendengar si tukang bakso yang bersuara dan meminta bayaran untuk harga bakso yang baru saja istrinya makan."Satu juta lima ratus ribu?! Jangan gila, Pak! Istri saya hanya memesan semangkuk bakso. Kenapa mahal sekali?" Rasanya Alex ingin menghancurkan gerobak sekaligus pemiliknya. Tapi melihat tatapan heran orang-orang di sekitar, Alex terpaksa duduk kembali di bangku plastik yang di sediakan pedagang itu."Memang yang di makan istri Anda hanya semangkuk, Tuan. Tapi, dia tadi bilang akan memborong
Beberapa Bulan Kemudian ...Kehamilan Airin sudah memasuki trimester terakhir. Wanita itu sudah terlihat sekali kesulitan untuk melakukan aktivitasnya seperti biasa. Beruntung Alex selalu menyempatkan waktunya untuk menemani istrinya kemana pun pergi.Seperti pagi ini, mendadak Airin ingin di temani jalan-jalan. Padahal Alex sudah rapi dengan setelan jas dan bersiap untuk berangkat ke kantor. Terpaksa Alex harus menghubungi sekretarisnya dan meminta jadwal ulang untuk rapat yang akan di adakan dua jam lagi.[Tapi, Tuan ....?] Terdengar kasak-kusuk dari seberang sana. Alex paham jika sang sekretaris pasti kebingungan mencari alasan di batalkannya rapat itu.[Katakan saja pada mereka jika istriku sedang ingin di temani di rumah] Alasan yang logis memang. Tapi, apa mungkin mereka akan percaya? Atau malah akan di jadikan bahan lelucon nanti? Entahlah.[Kau mendengarku?] Alex terpaksa bersuara lagi tatkala tidak mendapatkan sahutan dari seberang sana.[I–iya, Tuan. Saya akan coba menjelask
Beberapa bulan setelah semua beres, keadaan akhirya kembali normal seperti biasa. Alex telah menyeret satu persatu orang yang sudah terlibat dalam hancurnya perusahaan papanya. Sigit Prasetya dan Bara adalah dua orang utama yang menerima hukuman dari Alex. Tentu dengan masa hukuman yang berbeda tergantung seberapa besar keterlibatan mereka dalam permasalahan itu.Pengalihan perusahaan milik Papa Wahyu ke tangannya kembali juga sudah di laksanakan dengan mengundang perwakilan dari beberapa perusahaan saja, termasuk dari Keluarga Pratama dan Andreas yang menjadi pendukung utama.Alex sengaja mengadakan acara itu di rumah karena tidak terlalu banyak yang mereka undang. Hanya orang-orang terdekat serta beberapa kolega dari Papa Wahyu dulu yang masih menjalin pertemanan baik dengan mereka.Jika dulu Papa Wahyu yang memimpin perusahaan itu sendiri, tapi sekarang ia sudah menyerahkan tanggung jawab penuh perusahaan pada Alex. Pria paruh baya itu merasa jika Alex lebih mampu di bandingkan dir