"Ra, dasiku dimana?"
Jari-jari Gamma menyisir barisan dasi yang tergantung rapi di walk in closet berukuran 13 meter itu. Ia sedang mencari dasi berwarna biru tua bermotif garis, namun sejak tadi ia gak jua menemukannya.Sementara itu, Serra sedang menyetrika kembali jas senada yang akan digunakan suaminya. Dengan secepat kilat Serra mematikan setrika dan dan segera menghampiri Gamma, tak lupa membawa jas yang telah selesai ia setrika.Alis wanita itu bertaut saat tiba di hadapan sang suami. Bagaimana bisa Gamma bertanya dasinya dimana sedangkan puluhan dasi sudah tergantung di hadapannya?"Bukankah dihadapanmu itu banyak dasi?" tanya Serra kemudian meletakkan jas gamma pada sebuah gantungan."Tidak ada yang aku cari. Biru tua motif garis!" Gamma menoleh ke arah Serra. Pria itu menatapnya dengan tatapan datar seraya membenarkan posisi jam tangannya.Serra lantas mengernyitkan dahi. "Harus yang itu ya?"Anggukan kepala diberikan oleh Gamma. "Ya, aku haruDi kantor"Ada apa, Gamma? Kenapa kau memanggilku sepagi ini?" tanya William yang baru saja melemparkan tubuhnya pada sebuah sofa berwarna merah di ruang kerja Gamma. Pria yang sedang mengenakan jas berwarna abu-abu itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, bahkan mungkin posisi william hampir merebahkan diri dengan kedua kelopak mata yang terpejam.Sementara itu, Gamma sedang duduk pada kursi kebesarannya sembari mengutak-atik layar tab berwarna silver lantas menekuk dahi. Kedua netra pria itu menyipit kala mendapati hal tak biasa pada wajah William. Adik lelakinya itu tampak letih, tubuh kekarnya tak sebugar biasanya. Kedua kantung mata yang cukup menggantung itu juga menganggu pandangan Gamma.Ditambah lagi, adiknya itu menguap membuat Gamma semakin bertanya-tanya, apakah William tak sempat tidur? Memang beberapa hari ini ia tak bertemu dengan Adik angkatnya itu. Bahkan sejak kemarin malam, lelaki itu hanya mengantarnya pulang, kemudian pergi lagi. Lalu, semalam William juga t
Sementara itu, Di jam yang sama di tempat yang berbeda."Aku sudah kenyang, Kak," kata Rena sebelum menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan ketika sebuah sendok berisi bubur di sodorkan tepat di hadapannya. Perempuan bertubuh kurus itu menolak tawaran Serra untuk melanjutkan sarapannya barang satu suap lagi. Sedangkan Serra yang baru beberapa detik yang lalu menyuapinya hanya bisa menghela napas pelan. Berusaha berpikir bagaimana caranya agar Rena bisa makan lebih banyak lagi.Adik semata wayangnya itu sejak dulu selalu sama, tidak akan makan lebih dari tiga suap setiap paginya meski diiming-imingi dengan barang keinginannya. Padahal tubuh lemahnya membutuhkan banyak asupan gizi."Satu lagi, ya? Satu sendok saja, yang terakhir," rayu Serra dan kembali mendekatkan sendoknya ke arah Rena.Sementara Rena yang sudah tidak berminat menggelengkan kepalanya. Kedua tangannya bahkan belum beranjak dari wajahnya. "Aku sudah mual."Serra lantas menarik kembal
"Rena! Hidungmu berdarah, Sayang, sebentar Kakak panggilkan dokter!" Serra bangkit dari tidurnya tetapi saat kedua kakinya hampir turun dari ranjang, Tangannya ditahan oleh Rena membuat Serra hanya terduduk di atas brankar. Sebenarnya mimisan semacam ini sudah menjadi hal yang biasa bagi Rena juga hal yang tabu bagi Serra. Karena sebelum rawat inap di rumah sakit ini, mereka tinggal bersama dalam satu atap. Tetapi saat ini Serra tak ingin ada hal buruk yang terjadi mengingat stadium kanker yang telah diderita oleh Rena. Jika lalai karena hal sepele saja mungkin akan menyebabkan kefatalan.Namun, meski tengah mengeluarkan darah cukup banyak, Rena yang masih terlihat tenang. Seakan tak peduli dengan darah yang mengalir deras. Perempuan itu menggeleng lemah. "No, Kak,aku tidak mau dipanggilkan dokter!""Tapi, Rena, ini—""Kak, please! Sekali ini saja. Aku ingin merasakan sehari saja tanpa jarum suntik. Ini hanya mimisan biasa. Aku tidak apa-apa," potong Rena sebelum Serra melanjutkan a
Serra menatap Madam Lily dengan Serius. Wanita yang tengah mengandung calon keturunan Pranadipta itu masih menanti jawaban dari ibu asuhnya. Sementara Madam lily membuang pandangan dari Serra, ia sedang berusaha memutar otaknya, memikirkan bagaimana cara mencari argumen yang tepat agar ia tak kelepasan bicara. Ia tak akan membiarkan itu terjadi. Jika nine night club berhasil diruntuhkan Gamma, maka ia tak akaj memiliki penghasilan apa-apa.wanita itu lantas membuang napas kasar. "Serra, sesuai perjanjian aku tidak bisa menyebutkan siapa mereka," jawab Madam Lily seraya menyandarkan punggungya. "Lagipula, kau hanya cukup bersyukur saja karena mereka tak mengharapkan ucapan terima kasihmu."Karena mendapat jawaban yang tidak sesuai dengan harapan, Serra lantas membuang napas pelan. "Aku hanya ingin menghargai mereka, Madam. Terlebih apa yang mereka lakukan begitu berarti. Tetapi jika mereka memang tidak mau, aku menghargai keputusan itu. Tolong sampaikan rasa terima kasihku kepada mer
"Memangnya kita mau kemana?" Serra mengernyitkan dahinya ketika mendengar pernyataan Gamma yang akan mengajaknya pergi ke suatu tempat. Jelas Serra merasa aneh, karena Gamma sangat jarang mengajaknya pergi secara pribadi seperti ini kecuali dalam acara penting yang harus melibatkan Serra seperti pesta perusahaan beberapa waktu yang lalu."Rahasia. Intinya kau tidak usah memasak, dan berdandanlah secantik mungkin, aku jemput jam tujuh, oke?" Jawab laki-laki itu kembali. Alih-alih memudar kerutan di dahi Serra semakin menekuk dalam. Tetapi, meskipun begitu ia menjawab suaminya dengan pasrah hingga terdengar sebuah helaan napas dari bibir mungilnya."Ya sudah, terserah kau saja. Tapi beri tahu aku, apakah ini acara penting? Aku akan menyesuaikan bajuku jika itu memang acara formal seperti yang kita hadiri kemarin." Bukan tanpa alasan Serra bertanya demikian. Tentu ia tak ingin mempermalukan dirinya dengan kejadian salah kostum pada sebuah acara. Apalagi jika acara biasa tetapi dandannya
"Ga— Gamma?"Serra segera membalikkan badannya saat mendengar suara berat milik Gamma. Kini, Suaminya itu tengah berdiri di hadapannya seraya bersedekap. Matanya menatap tajam membuat Tenggorokan perempuan itu mendadak terasa kering hingga susah payah menelan ludahnya sendiri. Bagaimana bisa Gamma sudah berada di kamarnya? Sedangkan lelaki itu berkata jika akan menjemputnya pukul tujuh. "Gamma aku—""Apa yang kau lakukan, Sayang? Kau mencari sesuatu?" potong Gamma lalu melangkah maju ke arah istrinya. Sedangkan Serra kini tercenung sebab raut wajah garang lelaki itu berubah ramah dalam hitungan detik. Secepat itukah Gamma bisa merubah eskpresinya? Tapi mengapa?"Ah, iya aku .... Aku tadi mencari anting dan ternyata ada di sini," jawab Serra sambil menggaruk pelipisnya sendiri. Perempuan itu menunjuk laci yang sedang terbuka itu dengan telunjuknya. Tidak ada reaksi berlebihan yang ditampilkan oleh Gamma. Pria itu hanya berohria saja dengan menyunggingkan bibirnya — tersenyum ke arah S
Bibir Gamma mendadak kaku saat sang istri baru saja menangkap basah dirinya yang sedang menerima telepon di balkon. Entah sejak kapan wanita itu berada di ambang pintu itu, tetapi ia harap semoga Serra hanya mendengar kalimat terakhirnya saja. Karena apa yang ia bicarakan adalah berkaitan dengan Rena.Pria itu berusaha untuk menampilkan wajah tenang walau sebenarnya ia panik dan gelisah. Harus bagaimana sekarang? Tidak mungkin Gamma memberitahukan semua hal yang william katakan kepadanya tadi. Sedangkan Serra masih bersedekap menatap sang suami, kedua alisnya bertautan seakan melayangkan pertanyaan besar ada apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa ia tak boleh tahu? Lalu, harga apa? Mengapa ada kata yang terbaik dan apapun ia setuju?Karena Gamma tidak memberikan jawaban, Serra kemudian menegakkan badannya. Selanjutnya, perempuan berambut sebahu itu mengurai dekapan tangannya sendiri. "Ada apa, Gamma? Kenapa kau diam saja? Apa yang terjadi hingga kau menyetujui apapun yang terbaik?" t
Romana mengernyit saat melihat penampilan Serra begitu berbeda. Perempuan itu mengenakan dress monokrom, wajahnya juga sudah terpoles dengan make up tipis. Ya Romana tahu Serra akan pergi bersama Gamma, putranya. Bukan itu yang menjadi pertanyaan dalam hati perempuan berusia paruh baya itu. Ia mengernyitkan dahi karena mendapati Raut wajah menantunya itu menegang."Serra? Kenapa kau tegang begini? Ada hal buruk yang terjadi padamu?" tanya Romana tak mengindahkan pertanyaan Serra sebelumnya. Sementara Serra yang tergagap sedang susah payah meneguk ludahnya sendiri. "Em ..., tidak ada hal buruk yang terjadi, Bu. Aku Hanya terkejut saja kenapa ibu tiba-tiba di depan pintu," jawab Serra seraya melekuk bibirnya agar Romana percaya bahwa dia baik-baik saja.Mendengar itu Romana hanya berohria saja. "Oh, aku ke sini karena di depan ada kurir yang mengantar paket untukmu. Terima lah dulu, Nak," kata Romana.Serra yang merasa tidak memesan apa-apa kini menautkan kedua alisnya. "Paket?" beonya
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika