“Bukankah kau seharusnya mengajar?”William baru berani bertanya demikian ketika mereka telah sampai di rumah Alisha kembali setelah sebelumnya mereka mengunjungi pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa kebutuhan. Selama perjalanan tadi tidak ada topik yang dibahas. Hanya hening yang mengakuisisi. Alisha yang hanya bermain ponsel dan William lebih memilih fokus mengendalikan setir. Di supermarket pun sama, mereka hanya berjalan berdampingan tanpa argumen apa-apa. Hingga akhirnya mereka tiba di tempat tujuan dan kembali lagi ke rumah.Untuk kali ini, Alisha mengijinkan William ikut bersamanya. Entahlah, anggap saja begitu karena wanita itu tak berkomentar apa-apa saat William mengikutinya sampai ke dalam bangunan bertingkat itu. Kini lelaki itu sedang membawa beberapa paper bag belanja bersama dengan Alisha yang berjalan di sampingnya, dan meletakkan barang belanjaan itu di atas meja makan.“Aku cuti,” jawab Alisha seraya mengeluarkan dua buah kotak susu dengan merk yang berbeda.Wi
“Morning, Uncle Painter!”“Hei! Morning Anak manis!”Seruan Lexa selalu sama ketika mendapati William berada di dekatnya. Anak itu tak pernah bosan bertemu dengannya, begitu juga dengan William yang menginginkan untuk tinggal serumah saja dengan Lexa—jika bisa dan jika Lisha mengijinkan. Namun, keinginan itu sudah lebih dulu lenyap sebelum diungkapkan. Terlebih ketika Alisha mengatakan bahwa dia tak bisa memberikan ruang dan kesempatan bagi William untuk memulai semuanya dari awal.Sesak, sakit, kecewa, semuanya membaur menjadi satu di dada lelaki itu.Kendati demikian, ia tetap berterima kasih kepada Alisha yang tidak membatasi waktunya—dengan syarat tidak membuka identitas yang sebenarnya—bersama Lexa. Tidak masalah bagi William, setidaknya ia masih punya sumber kebahagiaan. Seperti saat ini, saat William ingin mengajak gadis kecil itu pergi menikmati waktu dengan glamour camping di tepi danau bersama saat akhir pekan. Hanya berdua, tidak ada Suster Nisa, tidak ada alisha sebab wani
Kedua pupil kelam itu seketika membesar. Alisha menelan ludahnya dengan kasar. Kemarau rasanya telah bermukim pada tenggorokannya. Aduh! Rasanya malu sekali telah percaya diri mengatakan tuduhan buruknya kepada William. Jika tahu akhirnya begini, maka ia tidak kan menyerang lelaki itu dengan segala cercaan yang terlintas di kepalanya.Lalu, bagaimana sekarang? Haruskah ia membatalkan keinginannya untuk ikut bersama suaminya ini? Tetapi ia sudah berjanji dengan Lexa akan ikut juga saat liburan selama tiga hari. Kebetulan juga telah memasuki masa liburan sehingga Alisha juga bisa mendapat jatah libur. “Kau bisa berubah pikiran sebelum terlanjur dan menuduhku sengaja melakukannya untuk menjebakmu,” ujar William masih berdiri pada posisinya dan menenteng dua paperbag yang diserahkan oleh Alisha tadi.Alisha membenarkan kalimat itu. Sudah pasti dirinya akan berprasangka demikian bila William tak mengatakannya sejak awal. Mungkin juga akan melontarkan kalimat-kalimat pedas untuknya. Sebena
Tengah malam Alisha terbangun ketika sisi ranjang di sebelahnya terasa kosong. Saat kedua matanya terbuka, memang benar tidak ada tubuh kekar yang tadi tidur di sebelahnya. Hanya ada Lexa yang tidur di ujung ranjang dengan guling sebagai pagar pembatas agar tidak terjatuh.Semula, William tidur di antara mereka. Anak itu mendadak drama tidak mau bersama Alisha. Hanya mau tidur bersama Uncle Painter-nya dan Lexa yang tidak mau di tengah. Alhasil Mamanya harus mengalah dan tidur di samping William.Entah kemana perginya lelaki itu, Alisha tak menyadari pergerakan apapun. Setelah memastikan Alexa tidur dengan nyenyak, wanita itu lantas menyingkap selimut dan beranjak dari ranjang, mencari keberadaan William. Kemungkinan besar lelaki itu ada di luar, dugaannya demikian.Hawa dingin langsung menusuk kulitnya ketika Alisha berada di teras. Ditutupnya pintu berbahan kayu itu dan mengamati keadaan sekitar beberapa saat. Mengawasi satu persatu sudut ruang terbuka yang ia lihat. Gelap, itulah y
Dada Alisha mendadak sesak. Rasanya ada udara yang siap meledak memenuhi rongga paru-parunya. Kalimat yang diucapkan sederhana tetapi mampu membuat Alisha menghela napas berkali-kali dan tak ingin menatap William. Sementara lelaki itu meletakkan peralatan yang dipangkunya dipinggir bangku kemudian berdiri menghadap danau dengan kedua tangan berada pada saku celana. “Andai kau tahu setiap malam aku berpikir, mencari jalan keluar dari masalah kita ini. Memikirkan semua permintaanmu untuk mengakhiri hubungan kita. Tapi sekarang biarkan aku bertanya, apakah rumah tangga kita tidak bisa diselamatkan lagi, Sha? Apakah benar kau lebih bahagia jika berpisah denganku?”Bagai luka yang disiram dengan air garam begitu keadaan hati Alisha. Lagi-lagi kalimat itu menghujaminya dengan rasa sakit. Entah karena rasa bersalah, atau karena belum siap dengan kehilangan yang sebentar lagi nyata di depan mata.“Tolong jujur dan katakan padaku jawabannya,” tanya William kembali ketika tak mendapat sepatahp
“Kau mau makan yang mana?”Alisha membolak-balikkan selembar kertas bergambar macam ragam masakan khas singapura. Telunjuknya bergeser teratur mengarah pada setiap menu yang ia tawarkan kepada seorang lelaki yang ada di sebelahnya. Siapa lagi kalau bukan William? Hanya pria itu yang sejak semalam bersamanya.“Nasi hainan saja, minumnya air mineral,” ujar William seraya menunjuk menu yang ia maksud. “UNCLE!”Seruan itu membuyarkan perbicaraan William dan Alisha. Sepasang suami istri yang duduk berdampingan—sedang asik mencermati menu sarapan pada sebuah resto yang tergabung dengan tempat glamping mereka ini. Suara anak itu melengking keras. Alisha sampai menutup telinga sebab rasanya seperti tertusuk benda tajam. Merasa terpanggil William segera menoleh ke arah Lexa yang kini bersedekap seraya memanyunkan bibirnya. Entah apa maksudnya William hanya mengerti jika anak itu sedang sebal saja. Namun, apa penyebabnya masih belum bisa diketahui. Padahal tadi waktu menuju ke tempat ini, ana
William bahagia, ketika Alisha benar-benar menepati janji untuk bersikap sebagai istrinya selama tiga hari lalu. Kenangan itu tidak akan pernah ia lupakan. Namun, William masih belum juga meninggalkan negeri singa ini, perasannnya belum rela jika harus pergi dari Lexa dan Alisha secepat itu. William lalu meminta tambahan waktu untuk menghabiskan hari liburannya bersama Lexa. Walau sekadar bermain sebentar dengan anak itu lalu pulang di setiap harinya. Seperti hari ini, lelaki itu membawa Lexa pergi ke salah satu pusat perbelanjaan. Hanya ingin membeli sesuatu yang berharga—dan dapat dikenang— untuk putri semata wayangnya. Sebab, waktunya hanya tinggal satu hari lagi dan William akan pergi. Selamanya, dari kehidupan mereka. Seperti yang telah ia janjikan sebelumnya.Mau tidak mau, siap tidak siap, ia harus melakukannya.“Bagaimana, Lexa suka?” tanya William ketika selesai memasangkan sebuah kalung emas dengan liontin kupu-kupu di leher putrinya. Mereka baru saja mengunjungi sebuah to
“Selamat siang, Pak Richo. Tamu Bapak sudah dan sedang menunggu di ruang tamu.”Richo mendongak lalu menganggukkan kepala untuk menjawab sang sekretaris. Lelaki itu baru saja menyelesaikan berkas terakhirnya. Lantas, pria yang memiliki jabatan tertinggi pada perusahaannya itu segera beranjak menuju ruang kecil di sebelah ruang kerja.Ruang tamu yang diperuntukkan bagi orang-orang penting. Atau bila topik pembicaraan yang akan dibahas adalah rahasia dan tertutup. Richo selalu menggunakan ruang itu. Dengan demikian, tidak ada staff yang akan mengganggunya sementara waktu.Sebenarnya Richo sudah tahu, siapa tamu yang akan ia temui hari ini. Seseorang yang sebelumnya tidak pernah disangka akan datang di perusahaannya. Juga seseorang yang tidak pernah ia duga akan merendahkan ego yang setinggi langit itu untuk bertemu dengan dirinya.William Pranadipta, adik tiri dari Gamma Dirgantara Pranadipta, pengusaha properti terbesar di Indonesia yang sebelumnya pernah berjumpa dengannya beberapa ta
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika