"Bagaimana keadaanmu?"
Kabar itu ditanyakan oleh Alisha kepada Wiliam yang sedang terbaring lemah di atas brankar sebuah kamar rawat inap. Tubuh kekarnya belum bisa bergerak leluasa setelah tindakan medis yang ia jalani beberapa jam yang lalu. Pisau yang digunakan para perampok itu melukai bagian perutnya. Menusuk dan menembus kulitnya. Namun, beruntung tusukan itu tidak terlalu dalam dan tidak mengenai organ vital, sebab William berhasil menahan laju senjata tajam itu dengan tangannya. Hanya saja hal itu membuat jemari dan telapak tangannya harus terluka cukup parah.Suaminya itu pun segera mendapatkan pertolongan dan dilarikan ke rumah sakit setelah beberapa tetangga kompleks dan satuan pengamanan yang bertugas segera datang ke rumah meringkus para penjahat yang tersisa. Bahkan Gamma langsung datang ke kantor polisi untuk mengurus beberapa hal yang bisa diwakilkan. Ia mendapatkan laporan dari Serra beberapa waktu yang lalu."Better," jawab lelaki itu seWilliam spontan menutup bibirnya rapat. Kedua matanya terpejam, meredam penyesalan yang tiba-tiba mendrobak keluar. Batinnya tak henti merutuki dirinya sendiri, mengapa ia begitu ceroboh sehingga mengucapkan kalimat seperti itu? Sekarang apa yang harus ia sampaikan kepada Romana? Apakah ia harus jujur atau justru berkilah dan semakin menutupi kebohongan? Jika William memilih untuk jujur, semua pertanyaan Romana bisa saja terjawab. Namun, mengungkapkan bahwa Alisha tidak akan hamil karena William tidak pernah menyentuhnya adalah hal yang sulit. Selain itu, banyak hal lain yang harus disembunyikan William karena hubungan mereka yang tidak baik-baik saja. Tapi, mengungkapkan semuanya secara gamblang kepada Romana bisa menyulut masalah yang lebih besar. Ibunya pasti akan bertanya apa alasan di balik semua ini. Di sisi lain, William juga tidak ingin mengecewakan Romana saat ini. Ia merasa tidak ada pilihan lain, bukan? "Bukan seperti itu maksudku, Bu. Kami tidak memiliki masalah kesehat
Di tempat lain, seorang wanita berambut panjang dan seorang pria tengah menepati janji temu mereka. Hari masih bisa terbilang subuh, akan tetapi tempat ini sudah dipenuhi dengan puluhan manusia. Sebagian pegawai dan tenaga medis, sebagian lagi pengunjung biasa.“Aku mendengar kau dan suamimu baru saja terkena musibah, Bagaimana denganmu? Kau ada yang terluka? Bagaimana bisa rumahmu dirampok, Sha? Bukankah ada security di kompleks rumahmu?” Alisha membuang napas pelan ketika suara bariton melontarkan berbagai pertanyaan itu. Arsakha Daneswara, dokter spesialis yang menangani mamanya. Wanita yang masih mengenakan baju tidur itu lantas menggeser tubuhnya agar Arsa yang baru saja datang bisa duduk di sebelahnya. Alisha pamit tak masuk kerja, kemudian Arsa baru saja selesai bertugas. Wajar mereka bisa bertemu. Arsa bertugas di Pranadipta Hospital, dan suaminya dilarikan di rumah sakit yang sama. Kabar terlukanya William pun sudah menyebar dari jajaran manajemen hingga para tenaga medis,
"Dari mana?"Ketika pintu kamar ini terbuka pertanyaan itulah yang menyambut. Sedangkan sang penanya sudah duduk bersandar di kepala ranjang dengan kedua mata yang telah menatap tajam ke arahnya. Satu tangan berbalut perban diletakkan di atas perut sedang satu tangan yang lain sedang sibuk dengan komputer jinjingnya. Kini benda itu diturunkan di atas kasur dan perhatian penuh di berikan kepadanya, menanti penjelasan mengapa Alisha pergi meninggalkannya begitu lama.Lalu bagaimana kondisi lelaki itu pasca perampokan kemarin? William semakin membaik. Lelaki itu sudah bisa beraktivitas secara normal kembali. Bahkan sudah bisa berjalan dan berlari kecil. Hanya saja belum boleh melakukan aktivitas berat seperti mengangkat beban yang terlalu banyak dari bawah ke atas.Satu minggu lamanya William tidak pergi ke kantor. Dua hari ia menginap di rumah sakit, sisanya beristirahat di apartemen Alisha. Tunggu dulu, mengapa apartemen Alisha? Ya, benar. mereka memutuskan untuk tinggal di apartemen l
"Agh! William ..... Hentikan!"Alisha sudah menjerit kesakitan, entah sudah ke berapa kali wanita itu merintih, memukul dan mencakar punggung William akan tetapi lelaki itu tetap menulikan pendengaran. Hanya terus menggerakkan tubuhnya mengikuti hawa nafsu yang semakin menggebu-gebu tanpa peduli jika wanita di bawahnya sedang menahan rasa nyeri yang begitu hebat pada bagian organ di bawah sana. Bahkan lelaki itu nampak tidak ambil pusing dengan bercak merah yang mengotori tempat tidur mereka.Sementara Alisha hanya bisa pasrah dengan tempo permainan William begitu cepat. Lehernya terasa bagai tercekik dan napasnya tersengal seakan pasokan oksigen dalam tubuhnya mulai menipis."Aku mohon hentikan, William! A-ah! Sakit!" Alisha mencoba bangkit tetapi untuk kesekian kalinya tubuhnya dibanting tanpa ampun. Raungan itu tak dipedulikan. William justru merendahkan tubuhnya mendekat ke arah telinga Alisha. "Kenapa meminta berhenti, hm? Kau sendiri yang bilang ingin diperlakukan sebagai istri
"Alisha?" Arsa terlihat menekuk dahi ketika melihat Alisha berjalan dengan cara tak normal. Wanita itu melangkah dengan tapak sedikit pincang sembari menggigit bibirnya sendiri, seakan sedang menahan rasa sakit akibat gerakan yang ia lakukan. Seturut pengetahuannya kemarin putri tunggal pasiennya itu ia antarkan dengan baik di apartemen. Istri pimpinannya itu masih bisa berjalan dengan baik pula, Akan tetapi kenapa sekarang seperti ini? Pria yang baru saja keluar dari ruang rawat Renata itu kemudian berjalan mendekat ke arah Alisha. Menjemput wanita itu di tengah koridor. Beberapa jam yang lalu Arsa menelpon Alisha karena kedaan Renata yang kurang baik dan terus memanggil dan mencari Alisha. "Ya ampun, kau kenapa?" tanya lelaki itu kembali. Sementara Alisha sudah sekuat tenaga untuk berjalan senormal mungkin agar orang lain tak merasa curiga dengan keadaannya. Namun, agaknya perjuangan itu sia-sia karena Arsa masih melihat sesuatu yang berbeda dari cara berjalannya. Namun, Alish
Dua minggu kemudian. Dispatch Coffee. Entah ini hanya perasaannya atau memang tubuhnya sedang bermasalah, Alisha tidak tahu. Kopi bukan hal baru bagi perutnya. Cairan hitam dan pahit itu biasa ia minum. Bahkan di beberapa kesepatan jika begadang wanita itu selalu menggunakan kopi sebagai penangkal kantuknya. Namun, kali ini perutnya tak bersahabat. Setelah mencerup beberapa mili cairan hangat itu, rasanya ia malah seperti habis naik roller coaster lima putaran sekaligus. Padahal tadi pagi ia tak merasa sakit sedikitpun. Atau mungkin cafe ini menjual kopi yang tak cocok untuknya? Tapi sejak kapan ia punya alergi kopi? Segala kopi sudah pernah ia coba dan tak bermasalah sebelumnya. Lagipula, mengapa bisa Alisha berada di kedai ini? Bukan tanpa alasan wanita yang berprofesi sebagai dosen itu bisa berada di sana. Sore ini, Alisha memiliki janji untuk bertemu dengan Anna di tempat yang menjual menu dengan bahan dasar kopi ini. Entah apa yang ingin dibicarakan wanita pujaan hati suamin
Alisha membilas wajahnya dengan air kran yang mengalir pada wastafel di kamar mandi. Kedua tangannya lantas menempel pada kabinet, menyangga beban tubuhnya agar tidak jatuh. Ada hal yang tak biasa pada wanita itu. Wajahnya pucat, mata sayu, dan bibirnya bergetar. Sesekali menggembungkan pipi, menahan sebuah pusaran yang kembali menyerang lambungnya.Sejak pulang dari cafe kemarin, pusing di kepala Alisha makin menjadi-jadi. Rasa mual yang terus saja datang mengganggu aktivitasnya. Tak hanya itu, penyakit ini juga merepotkan karena setiap makanan yang ia makan terasa pahit. Ia sudah periksa ke rumah sakit dan dokter mendiagnosa bahwa dirinya terkena asam lambung akibat sering terlambat makan.Wanita itu sudah minum obat yang diberikan dokter. Sayangnya, penyakit itu tak kunjung reda. Bahkan mencium bau seikit saja ia harus buru-buru ke kamar mandi. Dan sampai detik ini, Satu-satunya aroma yang bisa ramah di hidungnya hanyalah minyak kayu putih. Selain itu, ia akan mual dan isi perutny
Berondongan pertanyaan itu berputar di kepala William. Ia ingin menceritakan seluruhnya kepada Gamma, barangkali lelaki itu bisa memberikan solusi walau ia tahu jawaban Gamma akan tetap sama seperti kebanyakan orang yang mendengar cerita ini. Gamma pasti akan memintanya untuk meninggalkan dan mengakhiri hubungannya dengan Anna, lalu memberinya wejangan tetek bengek yang intinya ia harus menerima Alisha sebagai istrinya. Namun, sepertinya ini bukanlah waktu yang tepat. Belum, karena situasinya masih terlalu rumit dan perasaannya sendiri masih berantakan. William masih butuh waktu untuk merenung dan memutuskan langkah yang tepat. Ia tidak ingin membuat keputusan sembarangan dan melukai hati banyak orang. Terutama ibu dan mertuanya.“No! Sepertinya pertanyaanmu terlalu jauh. Hubungan kami hanya sebatas pimpinan dan sekretaris saja, Gam! Sorry, aku .... entah kenapa beberapa hari ini aku tidak bisa mengendalikan emosi emosi.” William menghela napas berat, tangannya bergerak memijat pangk
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika