Yuhu .... Ada yang bahagia? Komen yukkkk Selamat membaca
Tidur nyenyak Serra terusik ketika mendengar sebuah suara berat yang memanggil-manggil namanya. Tubuh yang belum sepenuhnya sadar tak mampu membuat gendang telinganya menangkap jelas suara apa yang terdengar itu. Juga ranjang yang bergerak-gerak gelisah di sampingnya sedikit mengguncang tubuhnya yang sedang bergelung nyaman. Entah. Matanya terlalu berat untuk terbuka akibat kantuk yang masih melanda. “Sayang! Serra!” Panggilan itu sontak membuat matanya terbuka lebar. Sedikit terkejut sebab ia menyadari itu suara Gamma. Buru-buru wanita itu membalikkan badan dan menemukan suaminya sedang mengigau. Kepalanya bergerak ke kanan dan kekiri. Matanya terpejam tetapi bibirnya terus menyebutkan namanya namanya. Dengan perlahan Serra mendudukkan dirinya kemudian beringsut mendekat ke arah Gamma. Sepertinya lelaki itu sedang mimpi buruk. “Gamma …. Hei! Gamma bangunlah!” pinta Serra sembari menepuk pelan pipi suaminya. Berulang kali ia lakukan hingga Gamma terbangun dari tidurnya. Entah apa y
“Bagaimana perkembangan kerjasama kita dengan Pranadipta Group?” Suara itu langsung menggema begitu seorang berkemeja putih datang. Adam menghadap Presiden Direktur Surya Kencana. “Maaf, Pak. Gamma tetap ingin kita mengubah seperti kesepakatan awal!” jawab Adam masih dengan berdiri di hadapan sang atasan. Menundukkan kepala seraya menggenggam tangannya. “Kau ini benar-benar tidak becus, ya! Aku sudah bilang lakukan cara apapun supaya Gamma mau menandatangani perjanjian itu! Apa kau tidak mencoba bertemu dengannya sekali lagi?!” “Sudah, Pak. Namun, Sepertinya Gamma masih belum ada waktu untuk bertemu dengan kita. Tadi pagi saya menelpon sekretarisnya, ada banyak agenda minggu ini dan tidak bisa dibatalkan. Jadi kemungkinan kita bisa bertemu Gamma kembali saat makan malam nanti, tanggal sebelas di Samsara.” Pria paruh baya itu berdecak. Kesal akan sikap Adam yang menurutnya terlalu suci dalam bekerja. “Kenapa lama sekali? Apa kau tidak meminta sekretarisnya mencarikan waktu? Apa kau
“Gamma?” Serra mengerutkan dahinya ketika melihat avocado toast yang dibuat beberapa saat lalu hanya dibiarkan mendingin di meja makan. Roti gandumnya masih utuh, telur setengah matangya pun hanya dipecah tanpa tujuan. Sepuluh menit yang lalu, Serra menaruh piring itu, tetapi hingga ia selesai membuat sarapan untuk dirinya sendiri penampilan piring Gamma masih saja sama, tak berubah sedikitpun. Lelaki itu sibuk memandangi tablet kerjanya, entah apa yang sedang dibaca tetapi ekspresinya tampak serius sekali. Dua mank hitamnya tak bergeser sedikitpun dari layar benda pipih berwarna abu itu. Begitulah suaminya jika sudah fokus dengan pekerjaan. Perihal makan bisa jadi prioritas nomor sekian. Padahal, dua puluh menit lagi sudah harus pergi bekerja. “Gamma!” tegur Serra sekali lagi. Merasa namanya disebut, Gamma yang sejak tadi mencermati layar tabnya lantas mendongakkan kepala. Pria itu berdeham sebentar dan meletakkan tablet kerjanya. “Ya?” Pada akhirnya Serra mendengus. “Kenapa be
SAMSARA CAFE AND EATERY. Bangunan berkelir putih itu lebih terlihat memukau. Berhias lampu-lampu kristal yang tergantung di dinding atap menciptakan efek kilau yang mempesona di seluruh penjuru ruangan. Sentuhan elegan dari paduan konsep klasik dan eropa pada setiap fasad bangunan, menambah nuansa mewah nan menawan. Dikombinasikan dengan dekorasi bunga-bunga segar yang tersebar di setiap meja semakin memanjakan mata. Tak heran, jika ketika matahari mulai tenggelam, Samsara disesaki manusia dengan beragam latar belakang. Mulai dari para anak muda yang sekedar bersantai, mahasiswa yang tengah mengerjakan tumpukan tugas, pegawai kantoran yang mencari asupan perut setelah bekerja seharian, hingga para pebisnis yang sengaja berkumpul untuk menjalin kerjasama. Seperti di lantai dua gedung ini, di sebuah ruang VIP, telah berkumpul beberapa orang yang menikmati sajian makan malam. Direktur Surya Kencana beserta istrinya, Adam dengan Rossa, William dengan Romana, dan Gamma dengan Serra. Lalu
Ketika berjalan menuruni tangga yang ada di pikiran Gamma hanyalah satu, menemukan sang istri dan memeluknya erat. Ia tahu Serra sangat terpukul dengan kejadian malam ini. Siapa yang bisa merasa baik-baik saja setelah dicemooh dan dipermalukan di hadapan semua orang? Terlebih di depan orang-orang penting dan memiliki jabatan. Rossa memang wanita kurang ajar! Seharusnya ia juga juga menampar mulutnya tadi! Sayangnya ia tak ingin melanggar peraturan, ia tak ingin bermain tangan dengan perempuan. Tetapi tidak apa-apa, meski ia tak bisa memukul Rossa, ia cukup puas kali ini karena bisa melampiaskan emosi yang selama ini ia pendam kepada Adam.Ya ya ya. That’s enough, even in the midst of her unresolved fury.Persetan dengan mereka dan kekacauan di lantai dua. Ia hanya ingin melihat Serra saat ini. Entah kemana perginya wanita itu, Gamma tidak tahu. Dirinya sendiri pun panik, tidak tahu kemana arah yang harus ia tuju. Ingin mengamuk lagi tetapi itu tak akan berpengaruh apa-apa, tak akan me
Mendengar Rossa terjatuh, sebenarnya Gamma ingin acuh. Tidak peduli dengan nasibnya. Masa bodoh jika mantan kekasihnya itu akan mengalami hal apa, pun jika terjadi hal buruk maka terkutuklah! Biarkan saja Rossa menerima karmanya! Namun, lagi-lagi Serra dengan kerendahan hatinya memaksa Gamma agar membantu wanita itu.“Bagaimanapun dia jatuh di café kita, Gamma. Lupakan sejenak statusnya siapa, tapi sebagai pemilik kita harus membantu dan bertanggung jawab atas kejadian itu,” kata istrinya beberapa saat yang lalu.Sungguh hati istrinya ini mulia sekali, bukan? Masih ingin peduli dengan seseorang yang baru saja mempermalukannya dan menghinanya di hadapan banyak orang. Jika ia menjadi Serra tidak akan pernah sedikit membantu Wanita itu. Akan tetapi Serra yang sebenarnya tidak demikian. Mau tidak mau Gamma harus melakukannya, menyusul William dan Romana ke rumah sakit milik keluarganya. Toh, ia sudah berjanji akan mengakhiri semua perselisihan yang terjadi antara dirinya dengan Rossa. Dan
“Sayang?” Gamma memanggil seraya memeluk Serra dari belakang. Pria itu baru saja mandi, wangi sabunnya menguar kemana-mana. Ah, entah kenapa Serra selalu menyukainya. Sedang Gamma sendiri tidak peduli bahwa perempuan yang sedang dipeluknya itu belum mandi. Sudah terkena air atau belum baginya aroma tubuh istrinya sama saja. Selepas membersihkan diri, ia langsung menuju meja makan menyusul sang istri yang sejak subuh berpamitan untuk membuat sarapan, tetapi hingga pukul delapan pagi masih saja berkutat di tempat ini. Padahal biasanya tidak pernah memasak selama itu, toh hanya porsi untuk berdua saja. Seharusnya tidak sampai berjam-jam lamanya. “Kau habis mandi?” tanya wanita itu seraya menaruh sebuah kotak bekal berbahan akrilik di meja. “Iya,” sahut Gamma dengan suara berat. Dua detik berikutnya, dahi Gamma terlipat kala melihat beberapa buah segar telah dipotong dan dikemas dalam sebuah tempat makan. Tidak hanya buah saja, sepotong daging salmon yang Gamma duga sudah di-steam
“Memang kau sudah tahu dimana ruangan rawat inapnya?”“Sudah, Gamma, tadi pagi ibu memberitahuku. Mandevila nomor 26, lantai empat.”Gamma dan Serra telah tiba di rumah sakit. Dengan langkah mantap, sepasang suami istri itu berjalan beriringan menyusuri lorong-lorong beraroma antiseptic ini. Setelah beberapa saat menaiki lift menuju lantai empat. Kabarnya Romana sudah pulang, wanita paruh baya itu hanya menegok sebentar selanjutnya pergi menuntaskan agendanya pada hari ini.Sebenarnya dalam hati Gamma tidak sepenuhnya merasa lega. masih ada sisa-sisa kemarahan tempo hari. Wajar ia hanya manusia biasa, memaafkan mungkin bisa, tapi melupakan itu butuh banyak perjuangan. Lalu merelakan, itu juga butuh beribu keikhlasan. Ia sendiri juga yakin bahwa Serra juga merasakan hal yang sama. Hanya saja mereka harus tetap melakukan, karena tak ingin membuat perpanjangan konflik di masa depan. Mereka hanya ingin Sagara—putra mereka yang belum lahir ke dunia— kedepannya akan hidup bahagia.Setelah m
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika