Selamat membaca semua. Thank you yang udah komen tentang William dan Alisha, iya nanti setelah Gamma dan Serra selesai baru author lanjutkan mereka khusus untuk mereka berdua. Untuk kali ini hanya sebagai selingan sja. Gimana part ini? Yuk kasih semangat buat Serra di kolom komentar yah. Satu bab lagi seperti biasanya, selamat bertemu nanti malam.
Semuanya hening. Napsu makan semua orang di meja makan itu seketika menjadi hilang. Bahkan William dan Alisha pun turut menegang. Kepergian Serra menyisakan tanda tanya besar bagi seisi ruangan, terutama Romana yang merasa ada yang aneh sejak tadi. Apa yang terjadi pada menantunya itu? Apakah ia sudah salah bicara hingga membuat Serra menjadi murung dan meninggalkan mereka begitu saja? Mengapa istri Gamma itu menjadi sentimental ketika membahas seorang anak. “Gamma, What happened?” tanya Romana kepada putera sulungnya. “Kenapa istrimu tiba-tiba meninggalkan tempat ini? Apa ibu sudah salah bicara?” Romana meletakkan alat makannya kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi berwarna merah. Dua matanya menyorot Gamma menanti penjelasan darinya. Sudah jelas ibunya salah bicara, tetapi apa yang bisa Gamma katakan? Tidak mungkin ia membahas semuanya di sini, terlebih ada Alisha yang belum mengerti bagaimana kehiupan Gamma dan Serra sebelumnya. Lelaki itu lantas menghela napas berat menc
“Gamma …. Aku gugup, aku takut!” Dua menit yang lalu, Serra mengucapkan kalimat itu dan kali ini terdengar kembali di telinga Gamma. Entah sudah berapa kali Serra mengatakan hal yang sama, ia tak menghitungnya. Lelaki itu tahu jika istrinya merasa cemas. Sejak tadi Serra tidak bisa duduk dengan tenang. Kakinya bergerak-gerak mengguncang tubuhnya sendiri. Tangannya meremas-remas rok yang sedang dikenakan seraya menggigit bibir. Berbeda dengan dirinya yang tampak tenang menatap koridor yang lengang bahkan masih bisa tersenyum ketika beberapa tenaga medis menyapa dan menyalaminya. Namun, jangan salah, sebenarnya rasa gelisah yang sama juga melanda hati pria itu. Dadanya pun sejak tadi bergemuruh bak debauran ombak lautan yang menghempas pantai. Lalu rasa khawatir yang seenak hati datang dan pergi. Menghampiri, lalu pergi, kemudian datang lagi. Ah, Itu membuat hatinya tak bisa tenang. Hanya saja, lagi-lagi ia harus menampakkan kejantanannya sebagai seorang pria. Jika ia turut lemah, sia
Di waktu yang sama, Pranadipta Group. Kehadiran Nyonya Besar Pranadipta seketika membuat semua orang menundukkan kepala. Tak jarang pula beberapa orang membungkukkan badan menyambut kedatangannya. Kendati sudah tak bekerja di kantor ini, wanita itu masih menjadi primadona bahkan lebih dihormati layaknya direktur mereka sendiri. Romana memiliki jadwal menghadiri meeting dengan beberapa petinggi perusahaan, termasuk William dan Gamma untuk membahas proyek kondominium yang mereka bangun di Bali sejak Sembilan bulan yang lalu dan Proyek itu akan rampung beberapa bulan lagi, dan kini mereka sedang merencanakan program yang akan mereka lakukan untuk memasarkan bisnis mereka tersebut. Sebenarnya meeting dilakukan setelah makan siang, tetapi Romana sengaja datang tiga puluh menit lebih awal untuk bertemu dengan kedua putranya terlebih dahulu, bermaksud membahas beberapa hal krusial. Sayangnya, ketika ia datang di ruangan direktur utama, ia hanya menemukan laptop yang tertutup dan kursi kebe
“Seharusnya aku yang menuntut penjelasan, kenapa ibu datang dan tiba-tiba bertanya padaku dengan nada tinggi seperti ini?” Gamma meletakkan ponsel yang digunakannya kembali ke atas meja. Selanjutnya tangan pria itu beralih pada laptop yang tertutup, membukanya, dan menekan tombol powernya. Sementara Romana yang tak kunjung mendapatkan jawaban menggeram dalam hati, ia menarik napas dalam seraya mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. Tak lupa Sebuah bidikan tajam masih ia tujukan kepada Gamma. “Jelaskan padaku kenapa kau meninggalkan kantor siang ini!” kata Romana seraya bersedekap di hadapan Gamma. Setiap kata yang diucapkan Romana penuh penekanan seakan memperingati putranya untuk tidak mengalihkan pembicaraan. Sebelum menikah dengan Serra, anak laki-lakinya ini tak pernah berani untuk menyembunyikan sesuatu, bahkan sekecil apapun hal itu Gamma akan selalu jujur ketika ia bertanya. Tetapi lihatlah kali ini. Dua mata pria itu pun tak berani menatapnya dan topik pembicaraan sel
Agenda meeting yang seharusnya dimulai beberapa menit lagi ditunda menjadi hari lusa. Semua karena Romana tidak sadarkan diri dan membuat sebagian orang di kantor ini panik. Tak terkecuali Gamma, ia langsung memerintahkan Anna untuk memanggil dokter pribadi sang ibu. Walaupun sebenarnya lelaki itu tahu jika ibu kandungnya itu hanya syok selepas mendengar pernyataannya beberapa saat yang lalu, tetapi ia ingin memastikan bahwa tidak ada masalah lain pada kesehatan Romana saat ini. Dan sekarang, ibunya sudah mendapatkan penanganan. Dokter yang menangani mengatakan bahwa nyonya besar Pranadipta itu bisa pulang setelah siuman. “Jadi kau menceritakan semua yang kau ceritakan padaku ini pada ibu juga?” William menodongkan pertanyaan itu setelah Gamma selesai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dua pria itu sedang duduk pada sofa di ruang direktur utama, sementara Romana masih terbaring di ruang istirahat milik Gamma ditemani dengan Nara dan Anna. Anggukan pelan diberikan oleh Gamma.
Diijinkan mengurus sebuah cafetaria membuat Serra semakin bertekad untuk belajar dengan dunia yang digeluti suaminya. Bedanya, jika Gamma sudah sampai dengan akar-akarnya, Serra hanya belajar apa yang tampak dipermukaan. Mengenai sistem, cara menjalankan bisnis, dan apa saja hal yang harus diperhatikan dalam berbisnis. Dan, karena Serra akan menjalankan bisnis dalam bidang food & beverage, ia juga harus belajar banyak hal mengenai menu-menu yang sering dijual di café pada umumnya. Kendati banyak hal yang belum ia mengerti tetapi Serra berusaha untuk memahami. Well, semakin banyak kita belajar semakin banyak hal yang tidak kita ketahui, bukan? Benar. Itulah yang Serra rasakan. Saat ini, wanita itu sedang duduk di depan sebuah televisi. Layarnya dibiarkan menyala begitu saja. Dengan memegang pulpen di tangan kirinya, Serra mencermati sebuah resep makanan. Dua bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri memindai kata demi kata yang tercetak rapi di sana. Sesekali membolak-balikkan kerta
Serra meletakkan dua cangkir teh yang sudah diseduh sebelumnya di hadapan sang ibu mertua dan suaminya. Romana dan Gamma masih sama-sama bertukar geming membuat suasana di ruang tengah ini tegang. Kendati sudah tak beradu argumen, tetapi lirikan mata keduanya masih membawa aura pertengkaran. Masih terlihat jelas oleh Serra bagaimana otot rahang mereka masih mengencang. Hanya bisa berharap, semoga saja teh hangat yang dibuatnya ini mampu meredakan amarah dalam hati ibu dan anak itu. Setelah mengambil nampan yang digunakan sebagai alas, Serra menyimpannya pada rak di bawah meja. Setelahnya wanita bertubuh ramping itu mendudukkan diri pada ruang kosong di sebelah suaminya. Serra sudah mempersilakan keduanya untuk menenangkan diri dengan minum teh terlebih dahulu, akan tetapi tak jua ada yang menjamah cangkir bening itu. Bahkan sampai detik itu pula belum ada yang mau membuka suara untuk memecah keheningan. Akhirnya Serra yang menghela napas dalam, mengumpulkan keberanian dalam hatinya u
Sejak membicarakan semua permasalahannya pada sang ibu, hidup Gamma terasa berbeda dari sebelumnya. Walaupun masih tersisa sebuah keresahan hati, setidaknya beban yang cukup berat itu sudah pergi. Tidak sepenuhnya, tetapi cukup melegakan. Pundak lelaki itu terasa ringan sekarang. Hidupnya bahkan cukup lebih tenang pasca sang ibu bisa menerima semua kekurangan istrinya. Sungguh, jika saja Romana tak sebaik ini, mungkin saja ia memilih bunuh diri. Ia jamin tak akan sanggup melihat kedua perempuan yang ia cintai harus tersakiti. Namun, nyatanya, Tuhan masih memberikan secercah kebahagiaan dalam takdir hidupya. Dan itu cukup membuatnya tidur dengan nyaman. Seperti hari ini, misalnya. Lelaki itu masih tertidur pulas di atas ranjang, menyelami mimpi indahnya. “Gamma …. Gamma bangun, William mencarimu.” Serra menggoyang-nggoyangkan lengan suaminya yang masih meringkuk nyaman di balik selimut tebalnya. Selimut berwarna putih itu diturunkan sedikit olehnya agar udara dingin pada air conditi
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika