Selamat membaca.
“Bangsat!” Umpatan kasar itu telah meluncur dari bibir Gamma. Tangan yang sejak tadi mengepal akhirnya melampiaskan apa yang sejak tadi diredam. Lelaki itu menggebrak meja berbahan kayu jati dihadapannya dengan cukup keras hingga air teh dalam cangkirnya hampir meruap ke dasar meja. Sementara William, masih terdiam. Lelaki itu bahkan masih berekspresi datar, seakan tak mengambil masalah soal gebrakan itu. Bagaimana tidak? Sejak kecil mereka hidup berdampingan, sudah mengerti kepribadian mereka satu sama lain dan ia sudah biasa dengan sikap temperamental Gamma. Mungkin lebih tepat disebut kebal. Dan, biasanya jika Gamma naik pitam seperti ini, maka kakaknya itu tak akan bisa berpikir dengan bijaksana. Kepalanya bak penuh dengan air keruh. Namun, untuk kali ini, William tak melihat kepanikan itu. Justru ekspresi Gamma saat ini membuat William penasaran. “Ada informasi kabur kemana dia?” tanya Gamma kembali setelah mendecakkan bibirnya. Satu tarikan napas panjang telah diambil lalu di
Serra sedang sibuk mengaduk saus kari jepang yang hampir mendidih dalam wajannya. Ya, lagi-lagi ia berjumpa dengan kentang, wortel, dan bumbu kari block. Sudah tak terhitung berapa kali dalam minggu ini ia membuat menu yang sama. Wanita itu sendiri juga bosan dengan makanan ini, tapi apa boleh buat ia harus tetap meraciknya. Apa lagi kalau bukan karena permintaan Gamma? Tidak tahu apa yang menjadi sebab, tetapi setiap kali ditanya menu lelaki itu selalu menjawab hal yang sama. Kari jepang, dengan ayam katsu saja.Padahal, ada banyak menu lain yang Serra tawarkan. Tapi ya sudahlah, namanya permintaan suami, sebagai istri yang baik menuruti agar suami bahagia adalah kewajibannya, bukan?Lima belas menit lamanya, Serra berkutat dengan dapur ini.Semula hanya bunyi api dan letupan saus yang terdengar. Namun, gendang telinganya tiba-tiba terusik saat menangkap derap langkah yang terkesan buru-buru. Dan, benar sa
Di tempat lain. Suara ketukan pada pintu kayu jati itu terdengar sedikit arogan. Lebih tepatnya mungkin bisa disebut sebagai gedoran. Tiga kali Gamma melakukan hal yang sama dengan William yang berdiri di belakangnya, tak jua membuat sang pemilik rumah menampakkan batang hidungnya. Jika kalian menduga mereka sedang berada di rumah Bu Ambar, maka selamat, kalian benar. Beberapa menit yang lalu dua pria itu tiba di halaman rumah yang nampak asri ini. Walau harus tersasar sekian meter, tetapi setelah bertanya pada beberapa orang akhirnya mereka menemukan bangunan yang terselip di antara gang-gang kecil ini. Itu artinya, Gamma membohongi Serra? Bukan disebut begitu juga. Sebab lelaki itu memang datang ke kantor dan menemui Arsen sungguhan. Jadwal yang seharusnya diagendakan hari Senin, mereka batalkan sebab Arsen tak bisa datang karena sebuah urusan di Bali sedangkan orang kepercayaannya itu sudah memesan tiket untuk terbang nanti malam. Dan pada akhirnya mereka memilih untuk bertemu h
“Kau akan percuma jika melaporkannku kepada polisi, Gamma. Tuan Bian dan Nyonya Rossa telah membayar beberapa orang agar tidak menyelesaikan dan mengusut semua perkaramu,” ujar Bu Ambar setelah diberikan waktu untuk berbicara oleh Gamma. Dengan sebuah perjanjian Bu Ambar akan memberikan informasi dan Gamma tidak akan membawanya kepada polisi. Lelaki itu hanya mengiyakan saja. Wanita paruh baya itu masih dalam posisi berdiri. Entah karena ketakutan atau teringat perihal rasa manusiawi, akhirnya wanita paruh baya itu mengungkapkan sebuah fakta yang selama ini menjadi pertanyaan bagi Gamma dan William. Tentang pihak berwajib yang tidak bertanggung jawab. Dan ketika Mendengar jawaban itu, seketika batin Gamma tertawa. Oh, pantas! Pantas saja perkara yang sudah berbulan-bulan lamanya itu tidak pernah tuntas. Jadi karena itu? Selama ini memang otaknya selalu menuntut penjelasan, merasa janggal dan ada yang tidak beres dengan penyelidikan kasus-kasus yang ia ajukan. namun, demi menghorma
“Jangan bicara ngawur!” Gamma meringis saat menahan rasa nyeri pada sudut bibirnya. Tubuh lelaki itu sedikit tersentak ke belakang saat sang istri mengatakan kalimat peringatan dengan suara lantang. Dua kelopak mata terkulai, spontan terpejam kala pipinya perlahan mulai terasa panas akibat keplakan tangan yang cukup bertenaga. Saking kuatnya kepala Gamma sampai tertoleh ke arah berlawanan. Argh! Mimpi apakah ia semalam? Dalam hati sudah khawatir dengan kemungkinan terburuk yang harus ia hadapi —mungkin Serra menangis, atau malah pingsan seperti ibunya kemarin—Gamma justru mendapat sebuah gamparan. Sungguh saat ini lelaki itu merasa dirinya sebagai seorang bajingan. Sebab selama menikah, ini adalah tamparan ke sekian dari istrinya sendiri. Sementara itu, sang pelaku tampak merasa bersalah. Terlihat jelas di wajah Serra, bagaimana penyesalan melucutinya. Tangan yang digunakan untuk melayangkan bogem mentah tadi terkepal ringan lalu melemas dan turun perlahan. “Kau berani menampar su
Di sebuah taman, di rooftop rumahnya sendiri Gamma merenung. Memanggil angin malam, melemaskan tubuhnya yang terasa kaku. Sesekali memijat tangannya sendiri, menghalau rasa nyeri yang datang dan pergi sesuka hati. Dua jam yang lalu amarah penguasa tahta Pranadipta itu memuncak lalu meledak, bagai gunung api yang sedang erupsi. Tak ayal, sebuah dinding bermotif bata mendadak jadi lawan tinju tanpa kompensasi. Kendati demikian, api yang berkobar itu hanya tinggal bara saat ini. Lainnya telah menjadi abu, dilebur hawa dingin dari udara yang berhembus. Mulanya, sisi gelap Gamma memerintahkan pergi, kalau bisa sejauh-jauhnya dari rumah ini. Mungkin sebotol alkohol dalam vodka bisa jadi sebuah pelampiasan emosi yang masih berapi-api. Namun, sisi lain dalam hatinya memperingati, untuk tidak melakukannya lagi. Sudah cukup, jangan diulangi. Ingat istri dan jaga kesehatan hati. Toh, ia tak bisa menghubungi William saat ini. Ponsel saja ia tinggalkan di kamar tadi, bersama istrinya yang enta
“Ibu sepakat untuk mengadakan grand opening Sintara Hotel di Bali minggu depan.” William meletakkan computer jinjing yang dibawanya ke atas meja di depan sofa milik Gamma setelah berhasil menghempaskan diri pada kursi berbahan kulit. Lelaki itu baru saja menghadiri rapat bersama sang ibu dan beberapa orang di ruang meeting membahas agenda grand opening hotel yang baru selesai digarap. Gamma memang tidak ikut karena ia ada kepentingan lain menyambut tamu asal Rusia yang berkunjung pagi ini. Ya, Ada tiga proyek yang sedang mereka garap di pulau seribu pura itu. Dua hotel dan satu kondominium. Satu hotel bernama Sintara dan satu hotel lainnya bernama Candrakumara. Untuk Candrakumara Hotel proyeknya sudah selesai beberapa bulan yang lalu, telah diresmikan sendiri oleh Romana—selaku pemilik— dan sekarang sudah beroperasi. Sementara Sintara Hotel baru selesai pengerjaan finishing interior beberapa hari yang lalu disusul dengan kondominium yang ditargetkan selesai sebentar lagi. Sedang pr
Di rumah Gamma. Bibir Serra mendesis pelan ketika merasakan sebuah nyeri yang tiba-tiba menjalar di perutnya. Dahinya berkerut dalam menyiratkan betapa sakit yang sedang ia tahan, sesekali meniup napas panjang lalu mengusap perutnya agar mereda. Entah apa sebabnya, ia tidak tahu, beberapa hari terakhir perutnya sering terasa seperti ini, bahkan kerap kali disertai mual. Namun, frekuensinya tidak tentu, kadang hanya sebentar lalu hilang, tetapi kadang lama sampai-sampai ia harus mengistirahatkan tubuhnya lebih dulu baru nyeri itu pergi. Mungkin karena haid yang sejak kemarin belum juga muncul, pikirnya. Ya, sejak masa nifasnya berakhir, periode datang bulannya jadi tidak teratur. Malah, pernah selama dua bulan berturut-turut ia tidak mengalaminya. Moodnya berubah menjadi lebih sensitive, kadang emosi bisa datang padanya secara tiba-tiba. Hal itu jelas mengganggu aktivitas dan membuatnya tak bisa bergerak leluasa. Seperti sekarang ini. Ia sedang disibukkan dengan baju-baju Gamma y
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika