Lima belas menit lamanya kuda besi yang ditumpangi Gamma dan Serra melaju, membelah jalanan kota yang lumayan padat. Hari memang terik, tetapi nampaknya orang-orang tak peduli.Sedang di dalamnya, Sepasang suami istri itu masih bertukar geming. Deru mesin mobil ini yang sejak tadi menemani.Sesekali klakson kendaraan lain berteriak menjadi pelengkap riuhnya jalanan. Ada yang dipukul kencang seakan memberikan peringatan, ada pula yang dibunyikan berkali-kali layaknya melayangkan protes kepada sang pengemudi. Yang pasti bukan Gamma, lelaki itu masih cukup waras untuk berkendara di jalanan. Bahkan sejak tadi fokusnya tak teralihkan, dua manik hitam itu tak sedikitpun melepaskan pandangan dari bulevar di hadapannya dengan kedua tangan yang masih setia mengendalikan setir kemudi.Sementara Serra yang duduk di sampingnya juga enggan membuka pembicaraan. Wanita itu memilih mengalihkan pandangan ke luar jendela. Kendati dalam hatinya telah menumpuk segudang pertanyaan, termasuk mengapa Gamma
“Kau tidak ingin makan malam dulu?” Serra menyodorkan secangkir air teh hangat kepada Gamma yang sedang sibuk menatap computer jinjingnya. Sepulang dari gedung tahanan tadi, lelaki itu langsung menuju ruang kerja dan menyibukkan diri di sana. Sudah dua jam lamanya— bahkan jam makan malam—dilewatkan. Gamma bergeming, seakan tak berminat dengan tawaran Serra atau sekedar mengucapkan terima kasih seperti biasanya jika mengantar teh. Lelaki ini memang pandai membuat suasana hatinya naik turun seperti roller coaster. Kadang manisnya kebangetan, kadang hangatnya memabukkan, kadang romantis sampai Serra malu kepalang, tapi jika sedang marah, ya seperti ini, dingin semacam kulkas berjalan. Padahal beberapa jam sebelumnya Gamma memeluknya begitu erat, menenangkannya dengan lembut hingga tangisnya reda. Tetapi sampai di mobil sikapnya kembali seperti semula. Jujur saja Serra jengah bertengkar, tetapi bagaimana lagi jika ini adalah kesalahannya. Kebodohan yang tak kunjung hilang darinya. Sema
“Ibu rindu kamu, Gara.” Gerakan tangan Gamma seketika terhenti ketika mendengar suara Serra yang lamat-lamat di telinga, alhasil pria itu hanya berakhir menyentuh gagang pintu. Ingin mendorong lebar-lebar tetapi hatinya mendadak ragu. Dadanya bahkan saat ini terasa bagai tertinju. Alhasil pria itu mengurungkan niat dan memilih mengintip apa yang sedang dilakukan oleh Serra dari celah pintu. Dari renggangan yang sedikit terbuka, bisa Gamma lihat dengan jelas bagaimana Serra sedang meringkuk di atas bed kasur seraya memeluk sebuah guling kecil berwarna biru. Mata wanita itu terpejam dan bibirnya mengeluarkan isakan. Sudah tidak perlu ditanyakan lagi jawabannya. Serra menangis. Menangis karena perlakuan Gamma, atau karena benar-benar merindukan Anggara? Entah, tetapi boleh jadi, keduanya. namun, sepertinya, Serra yang di dalam sana sepertinya belum menyadari kedatangan sang suami. Tidak mengetahui jika ada sosok lain yang sedang mengintainya dari pintui yang sedikit terbuka. “Ibu sed
Serra mondar-mandir di depan kamar mandi —lebih tepatnya di depan wastafel—sembari meremas tangan, sesekali memijat kepala dengan ibu jari. Nampak gugup dan cemas. Di meja berbahan marmer itu terdapat sebuah gelas kecil berisi cairan berwarna kuning. Ya, jangan ditanya lagi cairan kuning itu apa. Sudah jelas urine yang ia tampung. Wanita itu tidak yakin, tetapi pagi ini ia merasakan mual yang begitu hebat. Kepalanya terasa sedikit pusing, dan datang bulannya tidak kunjung datang. Gejalanya sama persis, saat ia hamil Anggara dulu. Mungkinkah ia hamil saat ini? Entah. Tetapi boleh jadi, bisa terjadi. Hubungannya dengan Gamma berangsur pulih seminggu ini, bahkan setelah kejadian tertidur di kamar Anggara, mereka terlihat tak memiliki beban sama sekali. Semua seperti sudah lepas, plong rasanya. Komunikasi keduanya terjalin baik, hubungan ranjang pun semakin intim. Bahkan, tak bosan-bosan Gamma dan Serra melakukan itu lagi dan lagi. Masalahnya, sekarang Serra bingung, harus melakukan
Kelopak mata Serra berkedip-kedip cepat beberapa kali. Dahinya masih setia berkerut dengan alis yang menekuk dalam. Alih-alih senang ataupun sedih, justru ekspresi tidak percaya sekaligus bingung tergambar jelas pada wajah cantiknya. Strip yang telah ia uji itu lantas diletakkan, kemudian meraih satu lagi strip yang masih terbungkus rapi. Untuk memastikan hasilnya, ia harus menguji dua kali. Jika hasilnya sama maka sudah ia pastikan itu cukup akurat. Lantas, ia melakukan hal yang sama kembali, mencelupkan strip itu kemudian menunggunya beberapa detik. Sayangnya untuk kali ini Serra hanya bisa membuang napas panjang saat ia melihat indicator garis pada alat penguji itu. Bahunya seketika melemas seakan menelan kekecewaaan ketika harapan yang benar-benar ia inginkan tidak terwujud hari ini. Garis satu yang sudah jelas artinya negative, ia tidak hamil. Kemarin, ia gagal dan sekarang ia harus menerima kegagalan itu lagi. Tubuh yang lemah itu terbungkuk, seolah-olah menahan beban yang
“Sebentar lagi makan siang saya datang. Siapkan dan bawa ke dapur belakang ruangan. Kemudian panggilkan William, bilang saya ajak beliau makan Siang. Tawari menu, ingin makan makanan dari istri saya atau pesan di luar.” Begitulah perintah yang diberikan oleh Gamma melalui sambungan telepon pararelnya. Lelaki itu segera memutus pembicaraan setelah mendapatkan jawaban ‘baik, Pak’ dari Anna. Tidak perlu banyak-banyak menjelaskan karena sang sekretaris sudah mengerti apa yang harus dilakukan setelah ini. Direktur utama Pranadipta Group itu kembali berkutat dengan pekerjaan. memindai satu persatu nominal angka yang tertera pada kertas putih itu. Sesekali mencoret beberapa hal yang tidak ia setujui dengan pena berwarna hijau. Sejak kemarin, ia disibukkan dengan beberapa berkas yang diajukan bawahannya. Para staff, terutama bagian keuangan dan R&D berlomba-lomba meminta approval Gamma ketika mengetahui jika suami Serra ini akan meninggalkan kantor untuk sementara waktu. Meski hanya tiga ha
Biasanya, Rossa memakai dress formal yang mewah. Rambutnya ditata rapi dan Kaki jenjangnya selalu berhias stiletto. Tak pernah sedikitpun ia rela melepas sepatu ber-hak runcing itu. Sebagai seorang model, tidak jarang sang mantan kekasih menggunakan barang dan baju keluaran terbaru, bahkan dulu ketika masih menjalin hubungan bersama Gamma, ia selalu menggunakan pakaian edisi terbatas dari seorang designer ternama. Dulu saat namanya masih tersohor di seluruh Indonesia. Namun, hari ini Gamma melihat perubahan besar pada hidup wanita itu setelah beberapa saat tak berjumpa dengannya. Semua pakaian glamour yang dimiliki lenyap entah kemana. Tubuh rampingnya hanya berbalut gaun biasa yang acap kali dijual murah di toko pakaian. Meski tidak terlalu buruk, tetapi semua itu terasa asing untuk seorang model seperti Rossa. Rambut yang memang dasarnya bergelombang dibiarkan terurai tanpa dicatok. Kulit wajahnya bahkan terlihat sedikit kusam. Polesan makep yang tipis tak mampu menutupi beberapa b
SINTARA HOTEL. Siapa yang tidak suka makanan khas Bali? Sebagian dari kalian pasti menjawab iya, Sebagian lagi mungkin menjawab tidak, dan mungkin beberapa dari kalian menjawab tidak tahu. Serra sendiri bingung harus suka atau tidak. Sebab matanya terpikat tetapi perutnya menggeliat. Bahkan sampai siang ini Serra tidak bisa menelan makanan. Perutnya terasa mual dan semua menu yang baru dicicip hanya terasa pahit dalam mulutnya, kemudian berujung muntah di kamar mandi. Sudah tiga macam makanan yang ia coba, tetapi sama saja. Entahlah sejak ia melakukan tes itu tubuhnya terasa lebih gila. Yang paling parah kemarin saat di rumah sakit, Gamma sempat membelikan sebuah roti isi daging di kantin, tampak menggoda selera tetapi ketika ditelan justru mengaduk-aduk perutnya. Pada akhirnya ditengah pemeriksaan ia harus muntah di hadapan para tenaga medis. Itu memalukan tapi bagaimana lagi, sudah terjadi. Tunggu, rumah sakit? Yap. Sebelum berangkat ke pulau dewata ini, mereka menyempatkan wak
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika