Selamat membaca, maaf kalau masih ada typo dan semoga suka dengan alur yang author buat ya. Thank youu
Serra membentangkan baju bayi bergambar jerapah dengan kedua tangannya. Kedua sudut bibirnya terangkat membayangkan betapa lucunya jika ada seorang bayi yang mengenakan baju ini. Namun, sesaat kemudian yang muncul dalam hati hanyalah tusukan jarum yang terulang puluhan kali. Kumpulan rasa bersalah yang sejak kemarin diredam olehnya kembali muncul ke permukaan.Tidak bisa ia tepiskan sebuah fakta yang tersaji dihadapannya saat ini, bahwa tidak ada bayi yang mengenakan tumpukan baju-baju bayi di ruangan ini.Wanita yang tengah mengenakan baju berwarna merah muda itu lantas membuang napas pelan, berusaha menyurut genangan air yang mulai berhimpun di pelupuk mata. Selanjutnya Serra melipat baju berbahan baby terry itu menjadi lebih kecil. Ditumpuknya baju itu pada sebuah lemari khusus. Semua baju yang tergelar di hadapannya ini adalah pilihan Gamma. Entah berapa kodi baju yang dibeli oleh suaminya, tetapi lemari yang disiapkan untuk menyimpan baju putranya itu penuh, bahkan tak cukup sek
“Gamma, maaf aku kesiangan hari ini, jadi aku hanya memasak nasi goreng saja.” Serra menyajikan sepiring menu sarapan di atas meja. Lebih tepatnya di hadapan Gamma yang baru saja datang. Suaminya itu sedang sibuk mengenakan jam tangannya. Kemudian duduk di sebuah kursi di samping Serra yang sedang berdiri kegerahan. Wanita itu mengibaskan-ngibaskan tangan, lalu mengambil sebuah tisu dari sebuah box berwarna ungu dan menyeka butiran keringat yang mengalir di wajahnya. Penampakan dapur pagi ini tak seperti biasanya. Beberapa bahan makanan berserakan di atas cabinet dapur, pan penggorengan, pisau dan beberapa alat memasak masih teronggok kotor di sana. Serra memang belum sempat membereskannya. Jangankan mencuci, memasak nasi goreng saja ia hampir tak memiliki waktu. Terlebih, ia hanya sendiri sekarang. Bi Sumi sudah kembali ke rumah ibu mertuanya beberapa hari yang lalu. Serra yang memintanya sebab Sudah dua bulan lamanya asisten rumah tangga kepercayaan keluarga Pranadipta itu tingga
“Sayang? Apa yang kau bawa itu?” Gamma mengernyitkan dahi kala sang istri datang membawa sebuah buket bunga mawar putih. Tidak peduli dengan bunga itu, tetapi yang menjadi masalah adalah perubahan raut wajah Serra. Terlihat Lesu dan sebuah bongkahan kaca pada kedua bola matanya. Apa yang terjadi dengannya? Tidak tahu. Pria bertubuh kekar itu belum menemukan jawabannya. Sepengetahuan Gamma, ia meninggalkan Serra hanya untuk menerima panggilan dari William sebentar. Pun Serra tadi sedang asik membereskan dapurnya. Memang sih, tadi saat berbincang dengan adiknya, Gamma sempat mendengar sebuah suara bel yang berdering. “Ra?” tegur Gamma kepada Serra yang masih bungkam seribu Bahasa. Serra hanya menoleh sebentar ke arahnya. Setelahnya terdengar sebuah helaan napas. “Bunga untukmu,” jawab wanita itu singkat, jelas, dan padat. Tangannya terulur lalu memberikan buketan bunga itu kepada Gamma membuat tekukan pada dahinya semakin dalam. “Untukku?” beo lelaki itu dengan perasaan bingung yan
“Apa katamu? Bagaimana bisa? Bertahun-tahun aku berhubungan dengan wanita sialan itu, tapi aku tidak pernah melihat dan mendengar nama Bian sama sekali!” Gamma membuat punggunggnya lebih berjarak dengan kursi. Kedua matanya sudah memicing tajam ke arah William, meminta penjelasan yang sejelas-jelasnya. Tangannya lalu terulur mengembalikan sebuah benda pipih dengan layar menyala itu kepada pemiliknya. William menganggukkan kepalanya pelan. Lelaki itu menerima ponsel yang dikembalikan oleh Gamma kemudian meletakkan di atas meja. Setelahnya ia mencerup kembali kopi hitam miliknya. “Jelas kau tak melihatnya karena dia ada di penjara karena kasus obat terlarang! Dia baru keluar beberapa hari setelah kau memutuskan hubungan dengan Rossa. Aku juga baru tahu itu, kau harus berhati-hati, Gam. Aku yakin, mereka pasti akan terus mengincar Serra saat ini.” “Aku harus mengatur rencana kalau begitu. Di kejadian lalu, kita masih beruntung karena Serra masih bisa bertahan, tapi bagaimana dengan ren
Helaan napas panjang telah keluar dari bibir Gamma kala menginjakkan kaki di lantai ruang tamu rumahnya. Akhirnya setelah siang yang begitu berat dan panjang sudah ia lalui. Laki-laki itu cukup beruntung Rapat dengan beberapa manager proyek petang ini bisa segera berakhir dengan begitu damai. Tidak terbayang bagaimana kalutnya Gamma jika rapat itu hanya mengundang amarahnya kembali. Baiklah, lupakan pekerjaan itu. Saat ini yang ada dalam pikiran Gamma hanyalah Serra. Arloji yang melingkar pada tangan kirinya menunjukkan pukul delapan malam. Ia bermain tebak-tebakkan dengan batinnya sendiri, apakah istrinya itu sudah terlelap? Ah, Bukan. Itu tak penting. Maksudnya, apakah ia baik-baik saja? Sejak tadi siang fokus terbelah menjadi dua. Pekerjaan di kantor dan juga Serra di rumah. Semoga malam ini tidak ada pertengkaran. Doa itu terus ia rapalkan dalam hati, berharap sang pencipta mengabulkannya. Semoga saja begitu. Sampai pada akhirnya ia tiba di ruang tengah. Lampu ruangan ini me
“Sudah larut, Gam. Kau masih tak ingin pulang juga?” tanya William seraya memberikan segelas air mineral kepada Gamma yang sedang menghibur diri dengan sebotol vodka. Pria yang tengah mengenakan piyama berwarna hitam itu tidak menghitung berapa sloki cairan beralkohol yang diteguk kakaknya. Namun, ia melihat dengan jelas sebotol vodka yang ada di meja bundar miliknya itu sudah hampir tandas. “Aku menginap.” Sebuah jawaban singkat keluar dari bibir Gamma. Pria itu duduk bersandar pada kursi seraya memejamkan matanya. Satu tangannya menyangga dahi dan satu tangan lainnya memegang gelas sloki berisi cairan bening. Kening pria itu berkerut dalam, wajahnya muram, dan rambutnya sudah berantakan. Baru tadi siang, William menceramahinya untuk mengendalikan diri dan ia berharap Gamma akan mengingatnya baik-baik. Akan tetapi, sepertinya pesan itu bagai masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. Malam ini saat baru saja merebahkan diri, ia dikejutkan dengan kedatangan Gamma di rumahnya, la
Serra termenung melihat bayangan dirinya di cermin. Kedua tangannya berpegangan pada cabinet berbahan marmer. Entah sudah berapa jam ia menumpahkan air mata, yang jelas sekarang ini ia merasa kelopak matanya lebih berat dari biasanya. Dadanya sesak dan kepala terasa pening. Wanita itu baru saja mencuci wajahnya dengan air hangat. Ia berharap suhu ruam kuku yang membasahi bisa meredakan rasa perih pada matanya. Beberapa kali wanita itu mengatur napas dengan mulut agar pergantian karbondioksida itu meredakan rasa sesaknya. Setelah merasa baik, istri Gamma Pranadipta itu beranjak menuju kamar tidur. jam beker pada nakas sudah menunjukan pukul lima subuh. Itu artinya, matahari sudah hampir menjulang tinggi, tetapi suaminya belum juga menampakkan diri. Apakah pria itu sudah tidur dengan baik? Atau justru malah sama sepertinya tak bisa memejamkan mata hingga pagi? Helaan napas panjang diloloskan wanita itu. Semua pikiran negative yang menjauh kini menyerangnya kembali bersamaan dengan r
Siang ini Gamma tersentak dari alam mimpi karena sebuah suara yang meraung keras di sebelahnya. Ia mendesis, menyentuh keningnya. Kedua kelopak matanya masih terasa sangat berat bagai menahan kiloan beban. Badannya terasa linu dan jerih. Setelah berhasil menetralkan rasa nyeri, Gamma mengusap wajahnya. Sedikit menguap akibat kantuk yang masih hinggap. Akhirnya kedua mata itu bisa terbuka lebar. Satu hal yang tertangkap penglihatan adalah Serra yang masih bergelung nyaman pada selimut yang ia gunakan. Tubuh wanita itu meringkuk menggunakan lengan berototnya sebagai alas kepala. Sejenak pria itu termenung, menghela napas panjang ke dasar diafragma. Kepalanya mereka ulang kembali peristiwa yang terjadi sebelum akhirnya menghantarkan sepasang suami istri ini lelap. Mengabaikan jeritan ponsel yang berangsur lenyap. Entah siapa duluan yang tidur, pria itu tidak ingat. Satu hal yang ia sadari adalah mereka baru istirahat beberapa jam setelah pertengkaran itu terjadi. Ponsel yang ada di sa
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika