Mohon maaf. Silakan cek secara berkala, tadi terjadi kesalahan naskah saat upload. Bab ini tadi terupload di 2 bab sebelumnya. Sudah diganti dan menunggu proses review.
BRAAAK!Beberapa saat sebelumnya setelah pergi meninggalkan seorang wanita yang berada di dalam kamar dan baru saja terlibat perseteruan dengannya, suara pukulan keras tangan seseorang pada meja membuat meja tersebut pecah. Cukup kencang pria itu menghancurkan meja kayu yang ada di hadapannya."Aku tidak butuh jaket ini dulu!" Dia sedang marah besar, jadi dia melepaskan jaketnya sengaja. Tak ingin ada orang yang mendengarkan apa yang dia katakan. "Sial!"Dia merogoh kantongnya mengambil sesuatu dan menghisapnya."Ada apa denganmu, Reizo? Apa yang salah? Aku tidak peduli padanya. Mau dia terus-terusan memikirkan suaminya dan mau dia terus bermimpi kalau dia melihat suaminya dengan menunjukkan kalung itu apa urusannya? Apa peduliku? Toh dia hanya wanita gila dan bodoh yang bermimpi kalau dia akan bertemu lagi dengan suaminya."Pasal kemarahannya adalah saat Aida menunjukkan pada Adiwijaya kalung yang diberikan oleh suaminya. Sebuah kalung yang sebenarnya tidak terlalu penting. Dan tidak
"Tapi selalu ada kemungkinan."Cuma memang seseorang tidak setuju dengan pendapatnya Reizo dia memang yakin sekali kalau memang masih ada kemungkinan. "Dokter Juna, dari mana kau yakin?" Senyum kembali muncul di bibir Reizo, tampak menyindir. "Apa kau tahu alasan utama aku ingin membuatnya menikah denganku sebelum anak-anaknya lahir, meski aku tidak mencintainya?"Dan pria itu sudah memberikan pertanyaan tambahan untuk Alan dan Dokter Juna sebelum pertanyaan yang pertama tadi dijawab."Kau mencintainya tapi kau berusaha untuk menipu kami. Padahal yang sebenarnya kau tipu adalah dirimu sendiri yang sangat mencintainya itu.""Hahaha." Reizo malah terkekeh dan menggelengkan kepalanya."Dokter Juna, dunia ini tidak seperti yang kau pikirkan. Dan semua tidak selalu berjalan seperti yang kau bayangkan. Aku mencintainya? Dalam mimpi pun tidak."Memang jangan berharap kalau Reizo akan mengatakan ‘ya’ untuk pertanyaan dari Dokter Juna."Aku hanya mengantisipasi seandainya dia mati, anak-anak
"Astaghfirullahaladzim, ya Tuhan ... lagi-lagi apa yang tadi kukatakan? Kenapa juga aku malah mengeluarkan sumpahku lagi?"Sementara itu sesaat setelah Aida masuk ke dalam kamarnya, dia merasa sangat bersalah sekali. Dia diam di kamar itu dan menyesali semua yang sudah dikatakannya pada tamu Adiwijaya."Ssh, duh ... maaf banget, Mbak Nada. Aku juga sebenarnya tidak menginginkan adanya keributan seperti ini. Tapi ya ... gimana, ya? Aku juga tidak tahu kenapa bisa aku kelepasan seperti tadi. Seharusnya aku bisa mengendalikan diriku. Aku benar-benar minta maaf."Sekarang saat Aida sudah tenang dan berada di dalam kamarnya, barulah dia bisa kepikiran tentang Nada. Ada rasa menyesal di dalam hatinya kenapa dia tidak kepikiran dari tadi untuk tidak main bicara sembarangan tentang anak keturunan Nada."Dan kenapa sih, aku selalu kepancing saja dengan Raditya itu? Kadang-kadang ngeselinnya itu karena sikapnya sama seperti Mas Reiko yang kalau ngomong itu ngegatelin."Dan lagi-lagi bicara tent
"Romo, kami sudah cari ke mana-mana tapi tidak ada. Di rumahnya Pakde Waluyo juga nggak ada, terus kita udah cari di sekeliling rumah Romo juga nggak ada. Tadi aku tanya sama ibunya Mbak Aida juga nggak ada di dalam kamarnya.""Lah, ke mana Aida? Apa mungkin dibawa sama Reizo atau dia ketemu sama Dokter Juna? Tadi itu kan Raditya ngebicarain soal Dokter Juna dan mungkin aja dia cerita ke Dokter Juna kalau dia habis ngomong sama Raditya?""Bisa jadi, Romo. Tapi tadi aku telepon Mbak Aida handphone-nya ketinggalan tuh. Dia ndak bawa handphone.""Mungkin sengaja handphone-nya ndak dibawa supaya ndak ketahuan sama Reizo dia ke mana.""Tapi kan mereka punya alat-alat yang sama. Pasti bisa komunikasi, Romo. Soalnya kata Mbak Aida itu kalau sudah pakai itu, semuanya bisa saling komunikasi. Terus mereka juga sudah tahu di mana letak koordinat masing-masing.""Yo embuh, aku ndak tahu, lah. Lagian kamu kalau udah tahu kayak gitu kok malah nanya sama orang yang nggak tahu?""Hehehe. Habisnya aku
"Selamat datang di tempat tinggalku.""Ini adalah rumahku. Ini adalah apartemen milik Mas Reiko-ku. Bagaimana kalau bisa bilang kalau ini adalah tempat tinggalmu?" Aida pikir, dia akan dibawa ke mana oleh orang yang menculiknya, tapi lagi-lagi dia dibawa ke apartemen yang dulu ditempati bersama dengan suaminya."Haha, tapi sayangnya dia sudah tidak ada di sini. Dan tempat ini aku yang tinggali. Kau sendiri juga tidak meninggalinya.""Apa yang kau cari di sini?""Haha. Kau sangat curigaan sekali."Sebenarnya Aida tidak melucu dan dia bertanya serius, tapi pria yang ada di hadapannya justru selalu saja tertawa setiap kali mendengar pertanyaan darinya. Aida yakin sekali ada sesuatu yang dicari oleh Alexander di sana. Sesuatu yang tidak bisa dia dapatkan."Relax. Kau baru sampai di rumahku sebaiknya kau bersantai dulu. Kenapa mundur terus? Kau mau ke mana, hmm? Ruangan ini tetap segini saja. Dan di belakangmu sudah ada rak buku."Pria di hadapan Aida terus maju karena itulah dia berusaha
"Kau sudah mengecek semua isi ruangan di sini?" Aida bertanya masih dengan posisinya berdiri di belakang dinding."Tentu saja. Aku mengecek semuanya termasuk semua lingerie yang kau punya. Wow. Ini sangat menarik sekali. Kau tidak memiliki dua bagian penting bagi tubuh wanita, tapi kamu miliki banyak sekali lingerie. Untuk apa kau memakai itu?"Wajah Alexander seakan-akan ingin menertawai Aida. Dan Aida juga tahu alasan kenapa dia harus memiliki baju itu."Lucu, ya? Aku pun merasakan hal yang sama. Tapi itu kemauan suamiku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi dia memintaku untuk memakai itu.”"Sepertinya dia sangat suka berkhayal.”"Tidak. Dia bukan orang yang suka berkhayal. Dia adalah orang yang menggunakan logikanya. Dia lebih baik daripada aku.""Tapi untuk apa dia memberikanmu ini?""Menurutmu untuk apa?" tanya Aida di bibirnya.Setidaknya aku bisa mengulur waktu. Aku harus bisa membuat dirinya banyak bercerita sampai ada orang yang menyelamatkanku, pikir di dalam hati Aid
"Terlalu jauh kalau harus membunuhmu. Aku tidak bisa melawanmu karena sekarang aku juga sedang mengandung. Tapi coba keluarkan dulu saja masnya supaya kau tidak membuang waktuku lebih lama berdiri.""Ah … kau pasti lelah. Kau ingin duduk?” tanyanya lagi.“Kau tunggu di sini! Biar kuambilkan kursi dari ruang kerja suamimu supaya kau bisa duduk.”Dia cukup baik juga. Bisik hati Aida lagi. Sesuatu yang membuat dirinya juga penasaran.Ada sisi baiknya. Apakah ini dari gen yang dimiliki oleh ayahnya Tuan Rafael? Dan ada sisi buruknya, apakah ini dari gen yang dimiliki oleh temannya Tuan Rafael? Karena dia memiliki gabungan gen yang berbeda.Aida tak peduli larangan Alexander untuk mengambil sesuatu dari ruang kerja suaminya, tapi dia sempat mendekat pada tempat emas dan mengambil sesuatu dari sana. Sesuatu yang diselipkan di balik kerudungnya. Di tempat yang tidak bisa terlihat oleh siapa pun tentu saja."Kau duduklah di sini!”"Terima kasih." Aida menjawab dengan ucapan sesantai itu dan d
"Ah tidak. Aku hanya mendengar cerita dari Alan.”"Dan Alan." Kini Alexander menunjuk pada Aida dengan senyum kecut di bibirnya. "Kalau bukan karena ada pengkhianat seperti dirinya, aku pasti menang dari Rafael," ujarnya lagi dan kini dia menekankan sambil berjalan mendekat pada Aida."Bisakah kau berdiri diam di sana dan tidak mendekat padaku? Aku risih jika bukan suamiku dekat padaku.""Dan kau tahu? Aku menyukaimu. Kau bisa hidup damai denganku dan bekerja denganku. Untuk menjadi suamimu aku juga tidak masalah. Karena kau adalah wanita yang menarik. Hanya saja, aku harus tekankan padamu keselamatanmu itu bergantung pada keloyalanmu padaku dan aku tidak suka pengkhianatan.""Ehm, kenapa kau menyimpan gudang senjata di apartemen suamiku?""Oh, kau membicarakan senjata di lemari yang baru kebuka?”Aida tak mau Alexander mendekat lagi sehingga dia kembali menanyakan sesuatu untuk mendistraksinya.Tipe orang yang suka show of. Aku harus membuatnya menceritakan semua hal. Ini adalah cara