"Aaaakh, aku tidak bilang kalau aku merusak rahim tantemu kenapa kau menusukku? Aaakh ... darah! Kau harus membawaku ke rumah sakit. Aaakh ... sakit sekali!""Ke neraka, bukan rumah sakit!" pekik Alan emosi."Aku tak merusak rahim tantemu!" Rika masih berniat berbohong."Kau mengosongkan pikiran, aku tidak menyakiti rahim tantemu, tidak!”“Kau tadi bilang begitu. Tapi bayangan di dalam benakmu, aku bisa membaca kalau ternyata kau memang memberikan sesuatu pada minuman yang kau bilang sebetulnya penyubur kandungan, tapi itu justru membuat kandungan tanteku bermasalah! Kau pikir semua refleksi di dalam otakmu itu tidak bisa kubaca, hmm?"Masalahnya memang Rika tidak mungkin bisa berbohong pada Alan! Alat yang dia buat ini sudah disesuaikan dan sudah menggunakan beberapa kali uji coba dari awal pembentukannya tujuh tahun lalu. Makanya Alan sudah menyerangnya dengan jarum tajam yang sangat panjang dengan ukuran hanya 0,1 mili lebarnya menembus tepat ke livernya Rika."Akan ada pendarahan
"Ikan-ikan itu tidak menggigitmu! Ikan-ikan itu cuma membersihkan lintah. Mereka menggigit lintah-lintah di tubuhmu!""Tidak! Mereka menggigitku dan semakin banyak mereka di sekelilingku! Cepat keluarkan aku dari air ini, cepatlah!"Rika sudah panik. Dia bahkan melupakan niat Alan menculiknya tadi untuk apa. Yang pasti, dia tak mau kulitnya yang bagus sampai terkoyak karena ulah ikan-ikan itu."Sebentar! Aku akan cari tahu dulu sebenarnya kita ada di mana sampai ikan-ikan itu mengganggumu.""Hei, aku sudah sekarat di sini. Cepatlah, mereka bisa membunuhku! Keluarkan aku dari sini!"Senyum Alan ketika mendengar suara meninggi Rika padanya."Hey, kau meninggikan suaramu! Memang kau pikir aku pesuruhmu, hmm?"Sudah terdesak, Rika masih dihadapkan dengan sikap Alan yang tak terima dan malah bersedakep memperhatikannya, bukan menolongnya keluar."Cepatlah! Aku tak kuat lagi, cepaaaat, mereka bisa membunuhku, tolong aku!""Hahaha!"Alan malah terkekeh. Matanya menatap lagi ke arah sungai ya
"Ah, ada yang membunuh ibumu semengerikan itu?""Ya. Mereka jahat pada ibuku.""Tapi apa kau tidak berpikir kalau mungkin pembunuh ibumu itu adalah orang yang terdekat denganmu?" Alan bisa membayangkan tentang gambaran kematian Ibu bocah tadi yang terlintas di benak lawan bicaranya."Bukan. Orang yang membunuhnya sangat jahat. Sama seperti kau.""Hei, justru aku adalah orang yang membunuh orang jahat itu.""Kenapa kau tidak membawanya ke kantor polisi?""Orang seperti dia tidak pantas dibawa ke kantor polisi. Hukumannya terlalu ringan. Aku hanya ingin memberikan hukuman yang setimpal.""Bagaimana kau tahu hukuman setimpal itu?"[Dia terlalu banyak bertanya.][Biarlah, Reizo. Dia hanya ingin tahu dan anak ini berbeda. Aku harus memberitahukannya supaya dia tak salah sangka padaku. Lagian, aku sebetulnya tak yakin kalau pembunuh ibunya, bisa jadi ayahnya sendiri. Ini harus diklarifikasi.][Kalau dia salah paham juga bukan masalah. Cepatlah! Masalah dia dan ayahnya bukan urusan kita. Mas
"Lucy! Baiklah, aku akan mengingat nama itu.""Young Master Adrian!"Sayup-sayup sudah terdengar suara orang yang mencari Adrian."Itu Felix. Dia pasti mencariku karena dia pikir aku hilang. Aku sudah harus kembali, Alan.""Ayahmu?""Bukan, tapi guruku. Dia banyak mengajariku juga dan dia sering membantuku. Dia juga temanku. Dia ....""Dia sangat menyayangimu, ya?""Ya. Dia baik padaku. Karena dia ...." Adrian kembali mengangguk."Sebenarnya kau ingin bilang dia seperti ayahmu, tapi kau punya Ayah. Begitu, kan?" Alan tadi menyentuh anak itu,makanya dia bisa tahu apa yang dilakukan oleh ayah bocah itu padanya."Ingat kata-kataku! Tak apa kalau kau mengganggap dia ayahmu, tapi kau juga punya Ayah. Aku sendiri punya dua Ayah. Salah satunya guruku, Mister Brown yang kuanggap jadi ayahku.""Boleh begitu?""Yep!""Tuan Muda Adrian!"Panggilan itu masih terdengar di telinga mereka, tapi Alan masih berbisik dan masih bicara padanya."Tapi, kau harus ingat satu hal!""Apa yang harus kuingat?"
"Maaf, aku terlambat. Aku hanya sekedar memastikan kalau anak itu tidak kenapa-kenapa.""Kau buang waktu saja! Aku sudah malas melihat wajah mereka. Kita selesaikan cepat!""Hei, sabarlah dulu! Anak itu tadi membuatku tak tega. Kau tahu, dia punya masa kecil seburuk aku dan Rafael, dalam kesendirian dan kesepian."[Aku? Tentu tidak! Aku hidup bersama Xavier Dolan. Keluarganya tidak pernah membuatku kesepian, Alan!][Cih! Kau ingin mengelak? Kau lihat sendiri anak itu tadi seperti apa, kan? Dan tak sekalian kau bilang kalau kau bahagia bersama Ester.][Alan, tak usah bahas masa lampau! Fokus bantu Reizo dan segera ke lab! Aku butuh kau di lab untuk Archie!][Iya, lah! Kau diam dulu saja!]Alan mendekat pada orang-orang yang ditangkap Reizo dan wajah mereka terlihat ketakutan."Siapa kalian?""Reizo belum menjelaskan kah, Anto?" seru Alan mulai mengintimidasi."Reizo?""Kau belum memperkenalkan dirimu, Reizo? Eish, ngapain aja kau dari tadi?" jelas wajah mereka makin bingung dengan pert
Sementara itu di tempat tinggal Adiwijaya."Aida, ayo habiskan makananmu!""Eh, iya, Kakek! Aku memang mau menghabiskannya, cuma perutku agak kekenyangan dan kepalaku agak sedikit pusing. Mungkin karena aku kebanyakan makan seblak?" Alasan di bibir Aida, tapi tentu saja mereka tidak bisa membaca apa yang ada di dalam hati Aida.Mereka tidak mengizinkan aku mendengar apa pun yang mereka katakan. Aku yakin sekali mereka melakukan sesuatu yang lumayan kejam. Ya ampun! Tapi sudahlah, aku bisa apa? Aku yang penting sudah berlepas diri dari semua yang mereka lakukan. Aku sudah mengingatkan kalau mereka tidak boleh kejam. Dan mudah-mudahan apa yang mereka lakukan tidak akan pernah memberatkan Mas Reiko.Kepergian Alan dan Reizo Sudah beberapa jam berlalu dan bahkan Aida juga sudah menghabiskan seblaknya. Lalu, dia juga sudah mengobrol dengan anggota keluarga Adiwijaya yang lain seperti Vanessa, adik-adiknya dan Inggrid.Hubungan Aida dengan Vanessa membaik. Semua keributan kala itu sudah dim
"Oh iya, kamu benar, Endra. Maaf, yo! Kakekmu ini jadi terus saja bertanya padamu. Sekarang makanlah makananmu! Nanti keburu dingin, Le.""Terima kasih!"Untung saja Endra bicara kalau tidak, Reizo pasti tidak akan lepas dari Adiwijaya yang akan terus menginterogasinya."Nah, kalian yang sudah selesai makan kalau mau meninggalkan meja ini silakan!" seru Adiwijaya sambil menatap mereka yang muda-muda. "Mungkin ada yang mau kalian obrolkan, silakan! Atau kalian mau beristirahat juga? Silakan!""Aku mau ngajakin Dharma berenang dulu di indoor swimming pool-nya Kakek! Boleh, kan?""Ya boleh, lah, Vanessa. Sana kalau kamu mau berenang silakan juga!""Terima kasih, Kakek!"Vanessa memang seperti anak kecil. Usianya yang masih muda memang membuatnya masih sangat suka sekali dengan kehidupan wanita seusia dirinya dan kini pandangan matanya mengarah pada adik-adik Aida."Ayo Arum, Inggrid, Lestari! Kita berenang, yuk!" Vanessa sudah bersemangat sekali mengajak mereka."Ayo deh!"Karena mereka
"Romo benar. Aku tentu saja tidak akan melupakan semua hak-hak cucuku." Endra kini menatap Aida dengan wajah yang sulit diartikan, tapi lebih menunjukkan kesedihannya. "Dan Romo juga benar lagi, kalau aku memang harus meminta maaf padamu, Aida. Untuk semua yang sudah kulakukan padamu yang sudah menyakitimu sampai membuat dirimu—""Tidak perlu dilanjutkan, Papa! Aku sudah memaafkan semuanya sebelum Papa menjelaskan. Aku sudah tidak memikirkan masalah itu lagi, apalagi Mas Reiko juga pernah menceritakan padaku tentang dukungan Papa untuk hubungan kami.""Dia bilang begitu?""Ya, sepulang dari Maroko, Mas Reiko mengatakannya padaku." Aida menceritakan sedikit apa saja yang diceritakan oleh suaminya kala itu.Suasana agak sedikit adem dan melow dibuat Aida. Menimbulkan perasaan bersalah yang semakin besar dalam hati Endra.Aifah, dia memang mirip sekali dengan dirimu. Sosok seorang wanita yang bisa membuat laki-laki sepertiku dan seperti putraku menjadi tegar, bahagia dan menikmati cinta