"Apa maksudmu sih, Irsyad?" Alan bingung."Konsep kehidupan setelah mati, Alan." Irsyad lanjut menjelaskan."Seorang wanita yang menikah dengan dua pria, dia boleh memilih salah satu dari pria itu yang terbaik baik ibadah, sikap dan mana yang lebih bertanggungjawab. Tapi jika seorang wanita yang suaminya sudah meninggal dia tidak menikah lagi, kemungkinan besar dia akan bersama dengan suaminya! Insya Allah! Aku juga tidak tahu tapi yang pasti mereka mungkin akan ketemu lagi jika dua-duanya sama-sama baik. Tempat perjumpaan dan reuni yang memang diinginkan yaitu di surga. Aida tak mau memilih dari dua pria dan Aida hanya ingin bersama suaminya.""Kau percaya dengan yang seperti itu irsyad? Kuno sekali pemikiranmu.""Alan kau jangan bicara begitu. Tentu saja Irsyad sangat percaya. Dia tidak pernah melewati waktu ibadahnya. Itu tandanya dia percaya.""Tuhan itu hanya konsep tipuan otak manusia di alam semesta. Konsep di mana kita ada dalam satu wahana seperti video game dan ujungnya kita
"Tuan Rafael, saya tahu apa yang Anda maksud. Tapi di sini saya ingin menegaskan kalau saya bergabung di laboratorium milik Anda ini karena saya percaya Anda tidak akan melakukan sesuatu yang buruk. Ini berdasarkan pengalaman saya saat Anda menolong saya.""Lalu? Apa ada masalah denganmu, Irsyad?""Ya. Pernyataan Anda barusan kalau percobaan ini sangat bernilai. Dan kesimpulan yang saya ambil, dengan percobaan ini kita bisa menguasai dunia. Tapi saya bukan orang yang ingin membuat kerusakan di dunia ini. Jadi sebelum saya melanjutkannya, saya hanya ingin memastikan kalau Anda tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan umat manusia."Irsyad tahu menjadi seorang dokter itu resikonya sangat tinggi dan menjadi seorang ilmuwan ini lebih parah lagi. Dia harus mempertanggungjawabkan sesuatu yang besar. Dan dia sangat berhati-hati sekali karena itu Irsyad tidak mau membuat masalah kalau sampai percobaan ini jatuh ke tangan orang yang salah dan dimanfaatkan untuk sesuatu yang merugikan manu
BRAAAK!Beberapa saat sebelumnya setelah pergi meninggalkan seorang wanita yang berada di dalam kamar dan baru saja terlibat perseteruan dengannya, suara pukulan keras tangan seseorang pada meja membuat meja tersebut pecah. Cukup kencang pria itu menghancurkan meja kayu yang ada di hadapannya."Aku tidak butuh jaket ini dulu!" Dia sedang marah besar, jadi dia melepaskan jaketnya sengaja. Tak ingin ada orang yang mendengarkan apa yang dia katakan. "Sial!"Dia merogoh kantongnya mengambil sesuatu dan menghisapnya."Ada apa denganmu, Reizo? Apa yang salah? Aku tidak peduli padanya. Mau dia terus-terusan memikirkan suaminya dan mau dia terus bermimpi kalau dia melihat suaminya dengan menunjukkan kalung itu apa urusannya? Apa peduliku? Toh dia hanya wanita gila dan bodoh yang bermimpi kalau dia akan bertemu lagi dengan suaminya."Pasal kemarahannya adalah saat Aida menunjukkan pada Adiwijaya kalung yang diberikan oleh suaminya. Sebuah kalung yang sebenarnya tidak terlalu penting. Dan tidak
"Tapi selalu ada kemungkinan."Cuma memang seseorang tidak setuju dengan pendapatnya Reizo dia memang yakin sekali kalau memang masih ada kemungkinan. "Dokter Juna, dari mana kau yakin?" Senyum kembali muncul di bibir Reizo, tampak menyindir. "Apa kau tahu alasan utama aku ingin membuatnya menikah denganku sebelum anak-anaknya lahir, meski aku tidak mencintainya?"Dan pria itu sudah memberikan pertanyaan tambahan untuk Alan dan Dokter Juna sebelum pertanyaan yang pertama tadi dijawab."Kau mencintainya tapi kau berusaha untuk menipu kami. Padahal yang sebenarnya kau tipu adalah dirimu sendiri yang sangat mencintainya itu.""Hahaha." Reizo malah terkekeh dan menggelengkan kepalanya."Dokter Juna, dunia ini tidak seperti yang kau pikirkan. Dan semua tidak selalu berjalan seperti yang kau bayangkan. Aku mencintainya? Dalam mimpi pun tidak."Memang jangan berharap kalau Reizo akan mengatakan ‘ya’ untuk pertanyaan dari Dokter Juna."Aku hanya mengantisipasi seandainya dia mati, anak-anak
"Astaghfirullahaladzim, ya Tuhan ... lagi-lagi apa yang tadi kukatakan? Kenapa juga aku malah mengeluarkan sumpahku lagi?"Sementara itu sesaat setelah Aida masuk ke dalam kamarnya, dia merasa sangat bersalah sekali. Dia diam di kamar itu dan menyesali semua yang sudah dikatakannya pada tamu Adiwijaya."Ssh, duh ... maaf banget, Mbak Nada. Aku juga sebenarnya tidak menginginkan adanya keributan seperti ini. Tapi ya ... gimana, ya? Aku juga tidak tahu kenapa bisa aku kelepasan seperti tadi. Seharusnya aku bisa mengendalikan diriku. Aku benar-benar minta maaf."Sekarang saat Aida sudah tenang dan berada di dalam kamarnya, barulah dia bisa kepikiran tentang Nada. Ada rasa menyesal di dalam hatinya kenapa dia tidak kepikiran dari tadi untuk tidak main bicara sembarangan tentang anak keturunan Nada."Dan kenapa sih, aku selalu kepancing saja dengan Raditya itu? Kadang-kadang ngeselinnya itu karena sikapnya sama seperti Mas Reiko yang kalau ngomong itu ngegatelin."Dan lagi-lagi bicara tent
"Romo, kami sudah cari ke mana-mana tapi tidak ada. Di rumahnya Pakde Waluyo juga nggak ada, terus kita udah cari di sekeliling rumah Romo juga nggak ada. Tadi aku tanya sama ibunya Mbak Aida juga nggak ada di dalam kamarnya.""Lah, ke mana Aida? Apa mungkin dibawa sama Reizo atau dia ketemu sama Dokter Juna? Tadi itu kan Raditya ngebicarain soal Dokter Juna dan mungkin aja dia cerita ke Dokter Juna kalau dia habis ngomong sama Raditya?""Bisa jadi, Romo. Tapi tadi aku telepon Mbak Aida handphone-nya ketinggalan tuh. Dia ndak bawa handphone.""Mungkin sengaja handphone-nya ndak dibawa supaya ndak ketahuan sama Reizo dia ke mana.""Tapi kan mereka punya alat-alat yang sama. Pasti bisa komunikasi, Romo. Soalnya kata Mbak Aida itu kalau sudah pakai itu, semuanya bisa saling komunikasi. Terus mereka juga sudah tahu di mana letak koordinat masing-masing.""Yo embuh, aku ndak tahu, lah. Lagian kamu kalau udah tahu kayak gitu kok malah nanya sama orang yang nggak tahu?""Hehehe. Habisnya aku
"Selamat datang di tempat tinggalku.""Ini adalah rumahku. Ini adalah apartemen milik Mas Reiko-ku. Bagaimana kalau bisa bilang kalau ini adalah tempat tinggalmu?" Aida pikir, dia akan dibawa ke mana oleh orang yang menculiknya, tapi lagi-lagi dia dibawa ke apartemen yang dulu ditempati bersama dengan suaminya."Haha, tapi sayangnya dia sudah tidak ada di sini. Dan tempat ini aku yang tinggali. Kau sendiri juga tidak meninggalinya.""Apa yang kau cari di sini?""Haha. Kau sangat curigaan sekali."Sebenarnya Aida tidak melucu dan dia bertanya serius, tapi pria yang ada di hadapannya justru selalu saja tertawa setiap kali mendengar pertanyaan darinya. Aida yakin sekali ada sesuatu yang dicari oleh Alexander di sana. Sesuatu yang tidak bisa dia dapatkan."Relax. Kau baru sampai di rumahku sebaiknya kau bersantai dulu. Kenapa mundur terus? Kau mau ke mana, hmm? Ruangan ini tetap segini saja. Dan di belakangmu sudah ada rak buku."Pria di hadapan Aida terus maju karena itulah dia berusaha
"Kau sudah mengecek semua isi ruangan di sini?" Aida bertanya masih dengan posisinya berdiri di belakang dinding."Tentu saja. Aku mengecek semuanya termasuk semua lingerie yang kau punya. Wow. Ini sangat menarik sekali. Kau tidak memiliki dua bagian penting bagi tubuh wanita, tapi kamu miliki banyak sekali lingerie. Untuk apa kau memakai itu?"Wajah Alexander seakan-akan ingin menertawai Aida. Dan Aida juga tahu alasan kenapa dia harus memiliki baju itu."Lucu, ya? Aku pun merasakan hal yang sama. Tapi itu kemauan suamiku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi dia memintaku untuk memakai itu.”"Sepertinya dia sangat suka berkhayal.”"Tidak. Dia bukan orang yang suka berkhayal. Dia adalah orang yang menggunakan logikanya. Dia lebih baik daripada aku.""Tapi untuk apa dia memberikanmu ini?""Menurutmu untuk apa?" tanya Aida di bibirnya.Setidaknya aku bisa mengulur waktu. Aku harus bisa membuat dirinya banyak bercerita sampai ada orang yang menyelamatkanku, pikir di dalam hati Aid