"Jangan lupa hari ini kita ada pertemuan dengan PT Bina Sanjaya. Bagaimana persiapan untuk rapat hari ini, Risa? Ana, siapkan semua berkas yang dibutuhkan!" Pagi ini Kaisar sedang memberi arahan pada dua sekretarisnya. Risa dan Analea yang kini duduk berhadapan dengan Kaisar di ruang presdir, telah mendapat bagian tugasnya masing-masing. "Apa Pak Rein dan Bu Maira juga akan hadir, Pak?" tanya Risa sembari mencatat siapa saja yang akan hadir di rapat ini. "Tidak. Mereka sedang sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ratu." Jawaban Kaisar sempat menghentikan hembusan napas Analea beberapa detik. Ada sesuatu yang menusuk dadanya saat ini. Namun ia berusaha untuk tidak memperlihatkan hal itu. Diam-diam Analea mengatur napasnya yang tiba-tiba sesak. "Ana, bagaimana? Apa semua berkas yang saya perlukan sudah ada? Ana, kamu baik-baik saja?" tanya Kaisar sembari memandang Analea ya sejak tadi hanya diam saja. "B-baik, Pak. Maaf!" jawab Ana gugup. "Bagaimana, berkas-berkasnya apa sudah si
"Maaf, lepasin saya, Pak!" Setelah tersadar berada dalam pelukan Fabian, Analea lantas berusaha untuk melepaskan diri. "Leaa ...." Fabian menatap Analea sedih setelah wanita itu terlepas dari pelukannya. "S-saya permisi, Pak!" "Tunggu ...!" Fabian kembali meraih tangan Analea dan tidak membiarkan wanita itu melepaskan diri lagi. Tatapan tajam Fabian beralih pada Hamid yang masih memandang keduanya dengan wajah kesal. "Kamu kembali ke ruang rapat!" tegas Fabian dengan sorot mata menusuk. "Iy-iyaaa, Pak. Tapi dia ..." Pandangan Hamid berpindah pada Analea. "Kenapa? Dia sudah bukan istrimu lagi. Pria brengsek seperti kamu memang pantas untuk ditinggalkan!" Fabian meradang melihat tatapan Hamid pada Analea yang begitu memuja. Iy-iyaa, Pak. Saya pergi sekarang." Hamid melangkah mundur, lalu sesaat menoleh kembali pada Analea dan tangan mantan istrinya itu yang berada dalam genggaman jemari kokoh Fabian. Kemudian iya memutar tubuhnya dan berjalan menjauh dari tempat itu. Setelah ke
"Bagaimana bisa kamu masuk ke apartemenku?" Wajah Fabian menegang karena terkejut. Dari nada bicaranya jelas sekali ia sangat emosi kali ini. Seingatnya ia tidak pernah memberikan access card miliknya pada siapapun. Bukan hanya Fabian, Analea pun nyaris terlonjak saat melihat seorang wanita yang ia kenal berada di dalam apartemen Fabian. Pikiran negatif mulai berkecamuk di benaknya. Apa memang sering wanita itu ada di apartemen ini? "Hei, memang dasar perempuan murahan! Kamu pasti sudah menggoda calon suamiku!" Wanita yang ternyata Ratu, menunjuk-nunjuk wajah Analea dengan mata melotot. "Hentikan, Ratu! Aku tidak mengundangmu ke apartemen ini. Dari mana kamu dapat access card unit ini?" Suara Fabian penuh penekanan, netra tegasnya menatap Ratu dengan sangat tajam. Tatapan Ratu berpindah pada Fabian. Ia melirik sesaat pada tangan kokoh pria itu yang masih menggenggam jemari Anaela. "Jawab, Ratu!" pinta Fabian tak sabar. "Kakak lupa kalau aku ini calon tunangan Kak Bian? Kakak jug
"Menikah diam-diam? Maksud Kak Bian, menikah siri?" tanya Analea dengan wajah terkejutnya yang masih terlihat jelas. Fabian mangangkat tangannya untuk membetulkan letak rambut Analea yang bagjan depannya hampir menutupi mata. Ia menyelipkan anak-anak rambut itu ke balik telinga. Perlakuan manis itu menciptakan debaran sesaat bagi Analea. Namun ia juga sedang cemas menunggu jawaban dari Fabian. Setelah menghela napas panjang, Fabian pun mulai kembali bicara. "Iyaa. Hanya untuk beberapa waktu saja. Sampai pernikahan kita direstui. Lea setuju, kan?" Analea diam terpaku. Lagi-lagi ada yang bertolak belakang dalam hatinya. Di satu sisi ia memang ingin menerima Fabian sebagai suaminya nanti. Di sisi lain, ia ragu, apakah ia akan mendapatkan kebahagian nantinya? Mengingat banyaknya orang yang tidak mendukung hubungannya. Apa mungkin pernikahan keduanya nanti juga akan mengalami masalah besar? Analea menggeleng. " Entahlah, Kak." "Maafkan, Aku! Aku ingin kita sama-sama perjuangkan hubu
"Saya turun di sini aja, Pak. Bapak cari parkir, ya! Nanti saya hubungi kalau sudah selesai." Maira membuka pintu mobil. "Perlu saya temani turun, Bu?" Pak Pardi sedikit khawatir melhat Maira berada di tempar asing itu sendirian. "Tidak perlu." Maira melangkahkan kakinya turun dari mobil. Lalu berdiri sambil membetulkan blousenya hingga mobil yang dikendarai Pak Pardi pergi. "Cari apa, Bu?" Pria pemilik warung rokok memandang Maira bingung. "Selamat pagi, Pak! Apa Bapak tau rumahnya Mbak Mira?" Maira bertanya sambil mengangguk sopan. "Maaf, ibu ini siapa?" tanya pemilik warung rokok itu dengan tatapan menyelidik. "Saya Maira, beberapa waktu lalu saya pernah antar pulang Mbak Mira. Dan waktu itu dia turun di sini. Sesaat pria paruh baya pemilik warung itu mengerutkan keningnya, mencoba mengingat sesuatu. "Oooh iyaaa, saya ingat. Ayo mari saya antar ke rumah si Mira, Bu!" "Baik, Pak. Terima kasih!" Mereka berjalan memasuki sebuah gang yang agak sempit. Rumah-rumah kontrakan be
"Terima kasih untuk penjelasannya Mbak Mira. Kalau begitu saya permisi dulu. Kapan-kapan saya ke sini lagi." Maira bangkit dan berdiri, lalu meraih sesuatu dari dalam tasnya. "Ini bonus yang saya janjikan sekaligus uang untuk beli kipas angin yang baru " Maira menyodorkan apa yang sudah ia janjikan tadi. Mata Mira membelalak melihat lembaran uang berwarna merah dengan jumlah yang lebih dari dugaannya. "Wah, banyak banget!" serunya tanpa sadar saking senangnya. "Baiklah. Kalau begitu, saya permisi!" Maira bergerak keluar dari rumah itu dan berjalan kembali menapaki gang sempit yang masih terlihat lengang. Hanya ada beberapa wanita muda sedang duduk di sebuah warung nasi yang sepertinya baru saja buka. Pakaian mereka sebagian besar ketat dan terbuka. Maira mengangguk ramah pada mereka karena tak lepas memperhatikan dirinya dari jauh. "Kasihan para wanita itu. Mereka masih muda. Seharusnya mereka bisa melakukan pekerjaan yang lebih layak. Bukan menjual diri seperti ini." Maira meri
"Kemana aja kamu dari tadi?" Hamid menoleh, seketika wajahnya menegang. "Nandita? Kamu nggak makan siang?" Hamid yang tadi nyaris terlonjak berusaha untuk terlihat tenang dan mengalihkan pertanyaan Nandita. "Aku nyariin kamu dari tadi mau ajak makan siang. Tapi kamu nggak ada di mana-mana. Kamu kemana, sih?" ketus Nandita kesal, lalu ia melangkah ke dalam ruangannya dengan memberi kode pada Hamid agar ikut dengannya. Hamid mengekor dari belakang, lalu seperti biasa ia menutup tirai dan pintu setelah berada di dalam ruangan Nandita. "Aku tadi ketemu temen bisnisku di cafe depan itu. Aku buru-buru karena dia sudah nunggu aku sejak tadi." Hamid bicara dengan gaya sedikit sombong. "Bisnis, bisnis. Sedikit-sedikit bisnis. Mana hasilnya?" Nandita merasa tidak percaya pada pria di depannya "Kamu ngerti apa sih tentang bisnis? Kalau bisnis itu hasilnya nanti, nggak langsung ada." Hamid membalas dengan suara sedikit meninggi. Hal itu membuat Nandita terkejut. Tidak biasanya Hamid sepe
"Hei, jaga tuh mata! Udah tua bangka masih aja melotot liat perempuan cantik!" Ratu semakin meradang mendapatkan tatapan yang begitu intens dari pria paruh baya itu. "Ratu! Sudah! Dia tidak sengaja." Fabian bicara pelan namun dengan penuh penekanan pada Ratu. Ia menarik tangan Ratu dan bergegas membawanya ke mobil. "Kak Fabian harusnya belain aku, dong! Bapak-bapak itu udah kurang ajar sama Aku!" Suara Ratu masih meninggi, ia menoleh ke belakang sekali lagi dan mendapatkan pria dengan rambut dikuncir itu masih memandangnya. "Tuh, kak lihat! Matanya masih aja liatin aku. Ih, jijik banget!" gerutu Ratu hingga mereka tiba di dekat mobil. "Cukup, Ratu! Masuk!" Fabian memandang kesal pada Ratu, karena sikap wanita itu, mereka berdua jadi pusat perhatian orang di sekitar mereka . Setelah sang supir membukakan pintu mobil, Fabian meminta Ratu masuk lebih dulu. Setelah itu dirinya duduk di samping Ratu dan mobilpun mulai melaju. "Kak Bian kenapa, sih? Kok malah marah sama aku? Udah jela