"Terima kasih untuk penjelasannya Mbak Mira. Kalau begitu saya permisi dulu. Kapan-kapan saya ke sini lagi." Maira bangkit dan berdiri, lalu meraih sesuatu dari dalam tasnya. "Ini bonus yang saya janjikan sekaligus uang untuk beli kipas angin yang baru " Maira menyodorkan apa yang sudah ia janjikan tadi. Mata Mira membelalak melihat lembaran uang berwarna merah dengan jumlah yang lebih dari dugaannya. "Wah, banyak banget!" serunya tanpa sadar saking senangnya. "Baiklah. Kalau begitu, saya permisi!" Maira bergerak keluar dari rumah itu dan berjalan kembali menapaki gang sempit yang masih terlihat lengang. Hanya ada beberapa wanita muda sedang duduk di sebuah warung nasi yang sepertinya baru saja buka. Pakaian mereka sebagian besar ketat dan terbuka. Maira mengangguk ramah pada mereka karena tak lepas memperhatikan dirinya dari jauh. "Kasihan para wanita itu. Mereka masih muda. Seharusnya mereka bisa melakukan pekerjaan yang lebih layak. Bukan menjual diri seperti ini." Maira meri
"Kemana aja kamu dari tadi?" Hamid menoleh, seketika wajahnya menegang. "Nandita? Kamu nggak makan siang?" Hamid yang tadi nyaris terlonjak berusaha untuk terlihat tenang dan mengalihkan pertanyaan Nandita. "Aku nyariin kamu dari tadi mau ajak makan siang. Tapi kamu nggak ada di mana-mana. Kamu kemana, sih?" ketus Nandita kesal, lalu ia melangkah ke dalam ruangannya dengan memberi kode pada Hamid agar ikut dengannya. Hamid mengekor dari belakang, lalu seperti biasa ia menutup tirai dan pintu setelah berada di dalam ruangan Nandita. "Aku tadi ketemu temen bisnisku di cafe depan itu. Aku buru-buru karena dia sudah nunggu aku sejak tadi." Hamid bicara dengan gaya sedikit sombong. "Bisnis, bisnis. Sedikit-sedikit bisnis. Mana hasilnya?" Nandita merasa tidak percaya pada pria di depannya "Kamu ngerti apa sih tentang bisnis? Kalau bisnis itu hasilnya nanti, nggak langsung ada." Hamid membalas dengan suara sedikit meninggi. Hal itu membuat Nandita terkejut. Tidak biasanya Hamid sepe
"Hei, jaga tuh mata! Udah tua bangka masih aja melotot liat perempuan cantik!" Ratu semakin meradang mendapatkan tatapan yang begitu intens dari pria paruh baya itu. "Ratu! Sudah! Dia tidak sengaja." Fabian bicara pelan namun dengan penuh penekanan pada Ratu. Ia menarik tangan Ratu dan bergegas membawanya ke mobil. "Kak Fabian harusnya belain aku, dong! Bapak-bapak itu udah kurang ajar sama Aku!" Suara Ratu masih meninggi, ia menoleh ke belakang sekali lagi dan mendapatkan pria dengan rambut dikuncir itu masih memandangnya. "Tuh, kak lihat! Matanya masih aja liatin aku. Ih, jijik banget!" gerutu Ratu hingga mereka tiba di dekat mobil. "Cukup, Ratu! Masuk!" Fabian memandang kesal pada Ratu, karena sikap wanita itu, mereka berdua jadi pusat perhatian orang di sekitar mereka . Setelah sang supir membukakan pintu mobil, Fabian meminta Ratu masuk lebih dulu. Setelah itu dirinya duduk di samping Ratu dan mobilpun mulai melaju. "Kak Bian kenapa, sih? Kok malah marah sama aku? Udah jela
"Nandita ... Nandita ..., bangun, Nandita ...! Astaga ...!" Hamid semakin panik saat Nandita tak sadarkan diri dalam gendonganya. Ia mempercepat langkahnya menuju Unit Gawat Darurat. Dua orang petugas rumah sakit bergegas menghampiri Hamid sambil membawa sebuah brankar. "Baringkan pasiennya di sini, Pak!" Hamid menurut, perlahan ia merebahkan Nandita di sana, Matanya melebar melihat celana kulot Nandita telah basah oleh darah. Ia pun baru menyadari kalau lengan kemejanya juga terkena darah. Saat telah tiba di ruang periksa, seorang perawat menanyakan banyak hal pada Hamid. "Saya tidak tau, Suster. Tadi dia bilang perutnya nggak enak, tapi makin lama bertambah sakit sampai ia tak sadar," jelas Hamid. Wajahnya ikut pucat, tubuhnya pun gemetar. Hamid sangat panik karena sebenarnya ia tau apa penyebabnya Nandita jadi begini. "Apakah pasien sedang hamil?" tanya perawat itu lagi. "Iy-iyyaa suster." "Berapa bulan hamilnya, Pak? Bapak suaminya?" Hamid gelagapan mendengar pertanyaan s
"Ana ..., mau kemana? Mending ikut aku aja, yuk!" Terdengar suara seseorang yang sangat ia kenali. "M-mas Hamid?" Mata Analea membelalak saat tau siapa yang saat ini toba-tiba mencengkeram lengannya di lorong ini. Analea terdesak ke dinding saat hendak memberontak. Pria memakai batik biru lengan pendek itu memandang Analea tidak berkedip. Mantan istrinya itu memang jauh lebih cantik dari pada saat masih menjadi istrinya dulu. Analea tidak lagi memakai daster lusuh seperti dulu. Wajahnya pun kini tidak lagi polos. Analea memakai riasan dengan kesan natural dan terlihat elegan. "Lepasin Aku, Mas! Aku mau sendiri!" ketus Analea sembari berusaha menarik tangannya. "Mau sendiri? Kenapa? Sedih ya, ditinggal ? Orang kaya memang suka seenaknya mempermainkan perasaan orang. Udah, nggak usah percaya sama orang kaya! Mereka pasti akan cari pasangan yang sepadan. Kamu sih, mimpi ketinggian. Mending sama aku aja lagi!" Hamid menaik turunkan alisnya sambil tersenyum nakal pada Analea. "Ap
"Laki-laki brengsek!" Satu pukulan kembali diterima Hamid saat pria itu hendak berusaha berdiri. "Sudah, Bian! untuk apa Bian pukul pria itu? Apa karena tadi dia sedang bersama Analea?" Arthur menghampiri Fabian yang masih diselimuti emosi yang memuncak. Fatma pun tergopoh-gopoh ikut mendekat saat mendengar keributan. Wanita tua itu menatap putranya dengan cemas. Lalu pandangannya jatuh pada Analea yang terlihat shock. "Pergi kamu! Saya tunggu kamu di ruangan saya senin pagi!" tegas Fabian dengan napas memburu. Hamid pun bergegas bangkit, kemudian pergi meninggalkan rumah mewah itu. Melihat semua orang mendekat, Fabian yang tadinya ingin menghampiri Analea menjadi urung. Ia tak ingin Analea kembali dihujat oleh Ratu dan keluarganya. Namun pandangannya sempat terhenti pada Analea yang terlihat begitu cantik siang itu. Fabian tersenyum melihat kalung berlian yang ia belikan melingkar indah pada leher jenjang Analea yang sempat mencuri perhatiannya. Siang itu Analea benar-benar te
"Kenapa dia semarah itu? Apa aku salah bicara?"Mela yang tidak terima dibentak oleh Alif bergegas bangkit dan menghampiri Alif ke kamar. "Kamu tadi bentak aku? Kamu pikir siapa selama ini yang hidupin kamu? Kalau masih menumpang hidup, jangan sombong!" Mela bertolak pinggang di depan pintu. Ia menatap Alif dengan tajam. "Udah, Mel. Aku capek ribut terus," Alif menyahut tanpa bangkit dari tempat tidur. "Capek, capek. Yang capek itu aku. Yang kerja seharian tiap hari itu aku. Kamu itu kerjanya cuma nongkrong sana sini aja kok capek." Mela semakin kesal kareba Alif tidak menghiraukannya. Akhirnya ia memilih untuk keluar dari kamar dan mulai merapikan rumah. "Untung saja tadi aku nggak ketemu si Maira. Ia pasti akan tertawakan aku yang kini cuma pegawai di WO. Sementara dia nasibnya malah semakin baik sejak bercerai dari Alif. Seharusnya ketika Alif di penjara, aku juga minta cerai. Huh, dasar laki-laki bawa sial!" Mela terus menggerutu sembari menyapu rumahnya yang sejak pagi
"Jadi ... karena dua kesalahanmu yang sangat fatal, mulai hari ini kamu saya pecat!" "A-apaa, Pak? Pecat ...?" Wajah Hamid memucat. Seketika butiran-butiran keringat keluar dari keningnya. Padahal pendingin ruangan di ruang CEO itu suhunya cukup rendah. Hal yang selama ini ia takutkan justru benar-benar ia alami sekarang. "Pak, Pak Fabian saya mohon jangan pecat saya. Saya minta maaf, Pak. Saya tidak akan ulangi lagi. Saya mohon, Pak!" Hamid sangat panik. Kalau dia tidak bekerja, bagaimana kelanjutan hidup ia dan ibunya? Bagaimana dia bisa rujuk lagi dengan Analea? Bagaimana ia bisa mencicil hutang-hutang cicilannya? Seketika kepala Hamid terasa ingin pecah. "Tolong, Pak. Bapak boleh potong gaji saya, atau turunkan gaji saya, asalkan saya jangan dipecat, Pak. Tolong, Pak!" Hamid bangkit dari duduknya dan membungkuk di depan Fabian. Jika diminta, ia rela di suruh apapun. Sujud di depan Fabian pun ia bersedia asalkan ia tidak dipecat. Menjadi karyawan di PT Bina Sanjaya adalah suatu k
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof