"Ana, maaf, bisa tolong ambilkan saya minum?" Kaisar yang sedang serius berbincang dengan salah satu direksi berbisik pada Analea yang duduk di sebelahnya. "Baik, sebentar, Pak!" Analea bergegas menuju meja prasmanan dan meraih segelas jus untuk Kaisar. Kemudian bergegas kembali lagi. Namun, ia terkejut saat melihat Fabian kini juga ada di sana. Pria bercambang tebal itu duduk tepat di sebelah Kaisar. "Pak, minumnya!" Analea menyodorkan jus pada Kaisar, sambil mengangguk sopan pada Fabian yang sedang memperhatikan dirinya.Tatapan Fabian yang penuh arti, membuat dirinya tak sanggup berlama-lama berada di sana. Setelahnya, Analea sedikit menjauh dari para pria petinggi perusahaan itu. Ia merasa tidak pantas berada di antara mereka. Berada di dekat Fabian juga membuatnya tidak nyaman. Wanita memiliki rambut bergelombang itu memutuskan untuk melangkah menuju taman yang berada di samping aula. Jika Kaisar memerlukannya, pasti ia akan dihubungi lewat ponsel. Analea berdiri menghadap ta
"Ana, kamu baru pulang jam segini?" Analea nyaris terlonjak mendengar sapaan Hamid dari pintu pagar. Ia terkejut, ternyata di dalam rumah hanya Nandita dan ibu mertuanya. Sedangkan Hamid baru saja tiba entah dari mana. Nandita dan Bu Irma spontan berdiri dan ikut melihat ke luar. Mereka pun terkejut melihat keberadaan Analea di depan pintu "Heh, sejak kapan kamu berdiri di situ?" Nandita bertanya dengan mata mendelik pada Analea. "Sejak lima menit yang lalu. Aku juga dengar apa yang kamu dan Ibu bicarakan." Analea berusaha menjawab dengan tenang. Senyuman tipis menghiasi wajahnya. "Jangan sembarangan ngomong kamu, Ana! Nandita dan Ibu cuma ngobrol biasa!" Wajah Bu Irma sedikit memucat karena gugup. Sesaat wanita paruh baya itu melirik Hamid dengan sudut matanya. "Hei, ini ada apa?" Hamid berdiri di belakang Analea dengan berkacak pinggang. Ia melirik Nandita dan Bu Irma bergantian. "Nandita, Aku memang sudah berkali-kali minta cerai pada Mas Hamid. Tapi entah kenapa Mas Hamid m
"Mending malam ini kita senang--senang. Mumpung ibu sedang menginap di rumah Bi Ratri." "Stop!" Teriakan Analea menghentikan langkah kaki Hamid. Dua tangan milik Analea menahan dada pria bertubuh gempal itu yang semakin mendekat. Keduanya terdiam beberapa detik dengan posisi saling menatap dengan isi pikiran masing-masing yang berbeda. "Kenapa?" tanya Hamid dengan suara berat. Pria yang masih sah menjadi suaminya itu menatap mata Analea dengan lekat. Menurut Hamid, Analea sudah mulai tenang. Istrinya itu sudah tidak lagi berontak. "Aku ... aku ... gemeteran, Mas." Analea menunduk. Hamid tersenyum senang melihat Analea malu-malu. Ia semakin gemas. Saat ini, dirinya memilih untuk melupakan egonya yang selalu meledak-ledak, demi mencapai tujuannya. Yaitu, membuat Analea hamil. "Tenang, Sayang. Mungkin karena ini baru yang kedua kalinya kamu melakukannya. Nikmati saja. Tangan Hamid mulai terangkat membelai rambut panjang Analea yang bergelombang. Ia mencium aroma shampo yang begitu
Dua preman itu seketika memucat melihat pria yang dihadapinya memiliki tubuh jauh lebih besar. Tatapan tajam dari netra elang milik Fabian mampu menjatuhkan nyali kedua preman yang setengah mabuk itu. Cepat pergi dari sini! Atau mau aku habisi kalian sekarang juga!" Fabian mulai menggulung lengan switernya dan melangkah mendekati dua preman itu. Diam-diam Analea berhasil melepaskan diri. Dengan tubuh yang masih gemetar, ia berlari ke belakang Fabian. "Am-ampun, mister. Kami jangan diapa-apain. Kami pergi sekarang juga." Seketika itu juga dua preman yang sedang mabuk itu berlari menjauh hingga menghilang di dalam sebuah gang yang tak jauh dari tempat itu. Kini konsentrasi Fabian beralih pada Analea yang tubuhnya masih bergetar hebat karena ketakutan "Lea ... kamu nggak apa-apa? Sini!" Fabian meraih tubuh Analea dan mendekapnya erat. Suara tangis Analea seketika pecah di dada bidang Fabian. Sekian detik keduanya tak ada yang bicara. Menikmati hangatnya pelukan yang tidak pern
"Ini rumahku. Silakan masuk!" Fabian berjalan lebih dulu diikuti Analea. "Tasnya biar dibawa ART nanti, Non!" cegah sang supir ketika Analea hendak meraih tas besarnya. Analea mengangguk, kemudian bergegas mengikuti Fabian. Dalam hatinya, Analea tak berhenti memuji rumah mewah berlantai dua milik Fabian itu. Setiap Asisten Rumah Tangga yang berpapasan, mengangguk sopan pada Fabian dan juga dirinya. "Fitri, siapkan kamar tamu!" perintah Fabian pada seorang wanita berumur tiga puluhan yang memakai seragam ART. "Sudah, Tuan. Kamar tamu sudah siap," sahut wanita bernama Fitri itu. "Lea, kamu ikut dengan Fitri. Jika perlu sesuatu, bilang Fitri!" "Baik, Pak. Terima kasih!" Analea mengangguk sopan. Kemudian Fabian pergi meninggalkan Analea dengan ART bernama Fitri itu. "Kenalkan saya Fitri, kepala ART di sini. Jika Nona butuh sesuatu, Nona bisa hubungi saya lewat telephon meja yang ada di kamar, nanti." Fitri menangkup kedua tangannya di depan dada dengan sopan. "Saya Analea, Mbak
"Pak Fabian ..." lirih Analea. Seketika Fabian tersadar, lalu memanggil salah satu pelayan yang berada di dekatnya. "Ehm ... saya hanya minta gula. Tolong tambahkan sedikit gula pada kopi ini!" Fabian Menyodorkan gelas kopinya pada ART yang berdiri di depannya. Ia sangat ingin melirik pada Analea, namun tentu ia tidak mungkin melakukannya saat ini. Semua yang ada di dapur itu sedang memandang ke arahnya saat ini. Termasuk Analea. "Ini kopinya, Tuan." "Ya, terima kasih!" Fabian meraih gelas kopinya seraya melirik pada Analea. "Lea, saya tunggu di meja makan!" ujarnya singkat, kemudian tanpa menungu jawaban dari Analea, Fabian bergegas keluar dari dapur."Tumben Tuan mau ke dapur." "Apa di dalam sana tidak ada pelayan yang bisa disuruh? Sampai Tuan Bian sendiri yang meminta gula ke dapur?" "Tidak biasanya Tuan Bian ke sini." Analea mendengar celotehan para pelayan yang masih terheran-heran dengan keberadaan Fabian tadi. Tanpa banyak bertanya lagi, ia buru-buru menyelesaikan mas
"Lea ... lihat saya ..!" Analea gugup dan gemetar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Perlahan ia mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Fabian. Namun, sedetik kemudian ia menunduk lagi. "M-mmaaf, Pak! S-sayaa permisi ke kamar dulu!" Anaela sedikit membungkuk, lalu tanpa menunggu jawaban dari Fabian, ia bergegas menuju kamarnya. Fabian memandang punggung ramping itu dengan sedikit mengukir senyum. Ada rasa hangat yang menyelinap di dalam dadanya.Perlahan pria gagah itu bangkit dan melangkah menuju teras. Senyumnya masih terukir di sana. "Rumah ini terasa berwarna sejak ada dia ...," lirih Fabian pelan. " Tidak hanya rumah ini. Tapi, hatikupun merasakan ada yang berbeda." ucap pria itu sembari mengusap cambangnya yang semakin tebal. Keesokan paginya, dapur kembali riuh oleh Analea yang memasak sarapan. Karena hari kerja, ia memasak lebih pagi dengan menu yang sama seperti kemarin, nasi goreng seafood. "Biar kami yang menyiapkan ke meja. Non Ana silakan bersiap-siap saja di
"Pagi Pak, Bu. Pak Kaisar ada di ruangannya. Dengan bapak dan ibu siapa?" tanya Analea dengan sopan. "Kamu pasti baru di sini. Kamu nggak tau siapa kami?" Pria paruh baya itu bicara dengan suara sedikit meninggi . "Maas, sudah!" lirih wanita paruh baya di sebelahnya sembari mengusap lengan suaminya. "Maaf, ya ... Mbak. Ini ... Pak Raka. Papa kandung Kaisar. Kalau saya istrinya, Kayla." Wanita bernama Kayla itu menjelaskan pada Analea dengan ramah dan sabar. "Oh, ya. Maaf Bu. Saya memang baru di sini." Analea menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Halaah, memang saya tidak pernah dihargai lagi di sini. Heh, sekretaris baru! Asal kamu tau, Eternal Group ini awalnya saya yang berjuang mengembangkannya sampai jadi sebesar ini. Yang lain itu hanya tinggal menikmati saja!" Raka bicara berapi-api sambil menunjuk-nunjuk Analea. Sedangkan sang istri sibuk menenangkan sambil mengusap punggungnya. "Hey, ada apa ini? Kenapa Mas Raka marah-marah?" Tiba-tiba saja Maira dan Rein muncul
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof