"Pak Fabian ..." lirih Analea. Seketika Fabian tersadar, lalu memanggil salah satu pelayan yang berada di dekatnya. "Ehm ... saya hanya minta gula. Tolong tambahkan sedikit gula pada kopi ini!" Fabian Menyodorkan gelas kopinya pada ART yang berdiri di depannya. Ia sangat ingin melirik pada Analea, namun tentu ia tidak mungkin melakukannya saat ini. Semua yang ada di dapur itu sedang memandang ke arahnya saat ini. Termasuk Analea. "Ini kopinya, Tuan." "Ya, terima kasih!" Fabian meraih gelas kopinya seraya melirik pada Analea. "Lea, saya tunggu di meja makan!" ujarnya singkat, kemudian tanpa menungu jawaban dari Analea, Fabian bergegas keluar dari dapur."Tumben Tuan mau ke dapur." "Apa di dalam sana tidak ada pelayan yang bisa disuruh? Sampai Tuan Bian sendiri yang meminta gula ke dapur?" "Tidak biasanya Tuan Bian ke sini." Analea mendengar celotehan para pelayan yang masih terheran-heran dengan keberadaan Fabian tadi. Tanpa banyak bertanya lagi, ia buru-buru menyelesaikan mas
"Lea ... lihat saya ..!" Analea gugup dan gemetar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Perlahan ia mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Fabian. Namun, sedetik kemudian ia menunduk lagi. "M-mmaaf, Pak! S-sayaa permisi ke kamar dulu!" Anaela sedikit membungkuk, lalu tanpa menunggu jawaban dari Fabian, ia bergegas menuju kamarnya. Fabian memandang punggung ramping itu dengan sedikit mengukir senyum. Ada rasa hangat yang menyelinap di dalam dadanya.Perlahan pria gagah itu bangkit dan melangkah menuju teras. Senyumnya masih terukir di sana. "Rumah ini terasa berwarna sejak ada dia ...," lirih Fabian pelan. " Tidak hanya rumah ini. Tapi, hatikupun merasakan ada yang berbeda." ucap pria itu sembari mengusap cambangnya yang semakin tebal. Keesokan paginya, dapur kembali riuh oleh Analea yang memasak sarapan. Karena hari kerja, ia memasak lebih pagi dengan menu yang sama seperti kemarin, nasi goreng seafood. "Biar kami yang menyiapkan ke meja. Non Ana silakan bersiap-siap saja di
"Pagi Pak, Bu. Pak Kaisar ada di ruangannya. Dengan bapak dan ibu siapa?" tanya Analea dengan sopan. "Kamu pasti baru di sini. Kamu nggak tau siapa kami?" Pria paruh baya itu bicara dengan suara sedikit meninggi . "Maas, sudah!" lirih wanita paruh baya di sebelahnya sembari mengusap lengan suaminya. "Maaf, ya ... Mbak. Ini ... Pak Raka. Papa kandung Kaisar. Kalau saya istrinya, Kayla." Wanita bernama Kayla itu menjelaskan pada Analea dengan ramah dan sabar. "Oh, ya. Maaf Bu. Saya memang baru di sini." Analea menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Halaah, memang saya tidak pernah dihargai lagi di sini. Heh, sekretaris baru! Asal kamu tau, Eternal Group ini awalnya saya yang berjuang mengembangkannya sampai jadi sebesar ini. Yang lain itu hanya tinggal menikmati saja!" Raka bicara berapi-api sambil menunjuk-nunjuk Analea. Sedangkan sang istri sibuk menenangkan sambil mengusap punggungnya. "Hey, ada apa ini? Kenapa Mas Raka marah-marah?" Tiba-tiba saja Maira dan Rein muncul
Tak mau Fabian sampai menunggunya lama di halte, Analea bergegas berjalan menuju ke sana. Namun ketika di perjalanan, ia terkejut saat sebuah tangan kokoh mencengkeram tangannya. "Kamu tidak bisa menghindar lagi dariku, Ana!" Seketika Analea menoleh ke samping. Hamid menyeringai puas menatap dirinya. "Mas Hamid? Lepasin! Lepasin nggak!" Cengkraman tangan Hamid sangat erat hingga Analea sangat sulit melepaskan diri. "Ayo pulang! Kamu ini masih istriku." Hamid menarik tangan Analea dengan kasar. "Nggak! Aku nggak mau tinggal di rumah itu lagi! Lepasin, Maas!" Analea terus berontak. Hingga orang-orang sekitar yang lewat memperhatikan mereka. "Tapi kamu istriku! Seorang istri harus patuh pada suaminya! Bukan malah kabur." tegas Hamid dengan suara tertahan. Ia mulai khawatir melihat orang -- orang mulai mendekat. "Ayoo ...! Hamid terpaksa menarik Analea lebih kuat lagi ke arah yang berbeda, sebelum orang-orang sekitar yang menontonnya lebih banyak lagi. Analea pun mulai tidak nyaman.
"Tuan ..., Tuan ..., ada Tuan besar Arthur dan Nyonya Fatma di dalam." Langkah Fabian dan Analea terhenti. "Ya, saya akan segera masuk," sahut Fabian. Setelah pelayan itu pergi, Fabian bicara pelan dan penuh penekanan pada Analea. "Kita baru saja mencapai kesepakatan. Besok pengacaraku akan mulai bergerak cepat untuk mengurus perceraianmu. Tapi ...tugas kamu ternyata harus mulai dari sekarang. Kamu siap?" "S-sekarang?" ulang Analea dengan wajah memucat. "Kamu ... belum siap?" Analea berpikir sejenak. Ia baru saja membuat perjanjian tidak tertulis dengan Fabian. Sangat tidak pantas jika tiba-tiba ia ragu dan mundur. Sekarang atau nanti, akan sama saja. Terdengar helaan napas Analea. ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk.. "Saya ... siap, Pak!" "Bagus. Saya suka. Ehmm ... maksudnya, saya suka karena kamu tidak mundur." Fabian juga menghela napas lega. "Tapi ... bagaimana jika ... orang tua Bapak tidak suka dengan saya? Eh ..., maksud saya ... walau ini hanya ... pu
" Urus semuanya dengan cepat tanpa melibatkan Analea. Buat bajingan itu menyerah tanpa ampun. Sebelum surat cerai itu terbit, pastikan bajingan itu tidak mengganggu Analea!" Dari balik pintu, Analea mendengar jelas Fabian sedang bicara dengan seseorang lewat ponselnya. Karena tidak mau mengganggu, ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya ke kamar. Fabian benar-benar memenuhi janjinya untuk segera mengurus perceraiannya dengan Hamid. Sampai di kamar, Analea membuka ponselnya, ia akan mencari secara online rumah kost yang berlokasi di dekat kantornya.. Ia akan mengingatkan Fabian akan janjinya bahwa ia boleh meninggalkan rumah itu setelah menjawab tawarannya. Setelah membersihkan diri, Analea mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya, lalu terdengar suara Fitri dari luar. "Non Ana, ditunggu Tuan di meja makan!" "Ya, Mbak Fitri. Sebentar lagi saya ke sana." Analea bergegas bersiap-siap, lalu dengan langkah sedikit lebih cepat ia menuju ruang makan. Seperti yang sudah-sudah,
"Paket apa itu, Mid?" Hamid nyaris terlonjak mendengar suara Nandita yang ternyata sudah berdiri di belakangnya "Ini ... ini ..." "Ck, lama!" Tak sabar akhirnya Nandita merebut amplop itu dari tangan Hamid. Kemudian ia mengeluarkan isi dari amplop yang sudah terbuka itu. Senyum terbit dari wajah Nandita saat membaca surat gugatan cerai dari Analea. "Bagus, dong! Artinya kita bisa lebih cepat menikah.Ya, kan, Mid?" "Iyy--yaaa, tentu, dong, Sayang. Aku juga sudah nggak sabar." Hamid segera meraih surat gugatan cerai itu dari tangan Nandita kemudian menyimpannya di kamar. Lalu ia kembali dan mengajak Nandita melanjutkan sarapan mereka.Pagi itu Hamid sama sekali tidak konsentrasi. Saat dilapangan beberapa kali Nandita memarahinya karena ia salah memberikan keterangan pada klien. Hingga di kantor pun semua pekerjaan tidak ada yang beres olehnya. Hamid rasanya ingin sekali segera pulang dan membawa motornya terbang ke Eternal Group. Pagi tadi Analea telah meminta izin pada Kasar ba
"Masuk!" Jantung Analea berdetak lebih cepat saat mendengar sahutan dari dalam. Suara bariton yang terkesan tegas dan dingin itu membuatnya sedikit gemetar. "Permisi Pak Rein. Ini berkas yang Bapak minta." Analea masuk dan menghampiri meja Rein. Pria itu masih fokus pada laptopnya. Sedetik kemudian Rein menoleh pada Analea. Netra tegas dan tajam itu memberikan tatapan dingin hingga Analea menunduk seketika. "Duduk ...!". "Iy-iyya ..., Pak." Analea mendadak bingung. Kenapa ia diminta duduk? Bukankah tadi Risa hanya memintanya untuk mengantar berkas?" Rein kembali fokus pada laptopnya. Sementara Analea masih menunggu hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara. "Maaf, Pak Rein. Ada yang bisa saya kerjakan?" "Tunggu sebentar!" jawab Rein tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. Analea kembali diam, hingga beberapa menit kemudian Rein menutup laptopnya, lalu menggeser posisi tubuhnya menjadi berhadapan dengan Analea.. Rein menarik napas panjang. "Saya tidak tau, kenapa
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof