"Paket apa itu, Mid?" Hamid nyaris terlonjak mendengar suara Nandita yang ternyata sudah berdiri di belakangnya "Ini ... ini ..." "Ck, lama!" Tak sabar akhirnya Nandita merebut amplop itu dari tangan Hamid. Kemudian ia mengeluarkan isi dari amplop yang sudah terbuka itu. Senyum terbit dari wajah Nandita saat membaca surat gugatan cerai dari Analea. "Bagus, dong! Artinya kita bisa lebih cepat menikah.Ya, kan, Mid?" "Iyy--yaaa, tentu, dong, Sayang. Aku juga sudah nggak sabar." Hamid segera meraih surat gugatan cerai itu dari tangan Nandita kemudian menyimpannya di kamar. Lalu ia kembali dan mengajak Nandita melanjutkan sarapan mereka.Pagi itu Hamid sama sekali tidak konsentrasi. Saat dilapangan beberapa kali Nandita memarahinya karena ia salah memberikan keterangan pada klien. Hingga di kantor pun semua pekerjaan tidak ada yang beres olehnya. Hamid rasanya ingin sekali segera pulang dan membawa motornya terbang ke Eternal Group. Pagi tadi Analea telah meminta izin pada Kasar ba
"Masuk!" Jantung Analea berdetak lebih cepat saat mendengar sahutan dari dalam. Suara bariton yang terkesan tegas dan dingin itu membuatnya sedikit gemetar. "Permisi Pak Rein. Ini berkas yang Bapak minta." Analea masuk dan menghampiri meja Rein. Pria itu masih fokus pada laptopnya. Sedetik kemudian Rein menoleh pada Analea. Netra tegas dan tajam itu memberikan tatapan dingin hingga Analea menunduk seketika. "Duduk ...!". "Iy-iyya ..., Pak." Analea mendadak bingung. Kenapa ia diminta duduk? Bukankah tadi Risa hanya memintanya untuk mengantar berkas?" Rein kembali fokus pada laptopnya. Sementara Analea masih menunggu hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara. "Maaf, Pak Rein. Ada yang bisa saya kerjakan?" "Tunggu sebentar!" jawab Rein tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. Analea kembali diam, hingga beberapa menit kemudian Rein menutup laptopnya, lalu menggeser posisi tubuhnya menjadi berhadapan dengan Analea.. Rein menarik napas panjang. "Saya tidak tau, kenapa
"Hey, Analea! Apa yang kamu kerjakan di sini?" "Rein? Ya. Aku baru saja datang." Maira mengurai pelukan pada Analea. "Analea di sini karena aku yang memintanya datang ke ruanganku." Maira bicara masih dengan senyum mengembang pada Rein. Berbeda dengan Rein. Pria itu masih bersikap dingin. Tak ada senyum sedikitpun di wajah tampan itu. "Bu Maira, Pak Rein, saya permisi kembali ke meja kerja saya!" "Ya. Ana. Bagaimana? Sudah lebih tenang?" Maira kembali mengusap lengan Analea. "S-sudah, Bu. Terimakasih. Permisi, Bu, Pak!" Setelah mengangguk sopan, Analea bergegas keluar dari ruangan itu. Maira memandang Analea hingga menghilang di balik pintu. "Ada apa sebenarnya dengan karyawan magang itu, Maira?" Maira mengerutkan keningnya. "Analea. Namanya Analea, Sayang. Anak itu baik. Aku ... prihatin dengan kehidupannya." Maira menjatuhkan tubuhnya di sofa, tepat.di sebelah Rein. "Kehidupannya? Kamu tau tentang kehidupannya? Sudah sedekat itukah kalian?"Rein menggeser tubuhnya hing
"Analea, cepat sedikit!" teriak Rein sambil menoleh ke belakang. Ia dan Ratu hampir saja tiba di pintu keluar hendak menuju mobil yang sudah menunggu sejak tadi. Analea yang baru saja keluar dari lift yang berbeda, mempercepat langkahnya menyusul Rein dan Ratu. "Kamu sama supir di depan!" ketus Ratu dengan tatapan sinis pada Analea. Analea mengangguk. Ia membawa satu tas berkas di tangannya, kemudian sesuai perintah, ia duduk di samping supir. "Jalan, Pak!" Sang supir mengangguk mendengar perintah dari Rein. Selama perjalanan, Analea hanya diam. Ia melihat Ratu begitu manja pada Rein. Mereka berbincang hangat. Jelas terlihat bahwa Rein begitu memanjakan Ratu selama ini. Analea melirik dari kaca spion yang ada di depannya. Dalam hatinya ia bertanya, seperti apa rasanya memiliki seorang ayah? Apalagi ayah yang begitu memanjakannya. Tanpa ia sadari, ada tetesan bening yang menggantung di kedua sudut netra teduh itu. Analea menarik napas dalam-dalam demi menghilangkan rasa se
"Hallo, Ana!" Terdengar suara Hamid cukup keras, hingga Ana sempat menjauhkan ponsel itu sesaat dari telinganya. "Ya, ada apa?" jawab Analea. Netranya sempat melirik pada Fabian yang masih memandang lurus ke depan. "Kenapa baru dijawab telponnya? Sudah ribuan kali aku nelpon kamu dari pagi. Tau nggak kamu?" jelas terdengar suara Hamid sangat kesal dari seberang sana. "Aku sejak pagi kerja. Mana mungkin bisa terima telepon dari kamu," tegas Ana. "Halaah! Kamu pasti sudah diapa-apain sama bos kamu yang bernama Kaisar itu, kan?" "Jaga bicara kamu, Mas! Aku nggak semurah itu!" Analea bicara cukup tegas, sampai-sampai Fabian menoleh padanya Terdengar tertawa mengejek dari seberang sana. "Hei Ana. Sekarang juga kamu cabut gugatan ceraimu. Kalau tidak, semua karyawan dan pemilik Eternal Group akan tau asal usulmu dari mana! Aku yakin sebentar lagi kamu akan dipecat, dan bosmu itu tidak akan tertarik lagi padamu!" Tawa lepas Hamid terdengar begitu nyaring, hingga panggilan itu terputus
"Bukalah! Itu untukmu!" Tangan Analea gemetar membuka kotak berbentuk hati itu. Netranya melebar saat melihat isi kotak itu yang ternyata adalah sebuah kalung bermata berlian yang sangat cantik. Analea membekap mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Ia belum pernah melihat kalung sebagus itu. Desain yang sederhana namun berkesan elegan. Liontin yang berbentuk elips dan unik sangat indah menghiasi kalung itu. "Ini ... untuk aku, Kak?" tanya Analea tak percaya. Ia tidak berani meraih kalung itu. Memandangnya saja sudah membuatnya gugupIa memang tidak tau persis berapa harga kalung itu.Tapi ia pernah tau kalau kalung seperti itu harganya puluhan juta. "Ya, pakailah!" "T-tidak, tidak, Kak. Aku tidak pantas mendapatkan ini." Analea menggeser kotak perhiasan berisi kalung itu ke arah Fabian. "Oke. Apa Lea ingin aku yang memakaikannya?" Fabian meraih kalung itu, kemudian berdiri. "Eh, b-bukan, Kak. Bukan begitu." Analea berusaha menyanggah, namun terlambat, pria itu sudah berdiri tep
"Dimana orang tuamu tinggal, Analea? Ayah dan Ibu ingin sekali berkenalan dengan keluargamu." Wajah Analea mendadak pucat mendengar pertanyaan Arthur. Ia menundukkan kepalanya. "Ehm ... Ayah, Ibu ... , saat ini Lea ... hidup sendiri." Fabian mencoba menjawab pertanyaan Arthur. Ia mungkin akan menjelaskan tentang latar belakang Analea pada kedua orang tuanya. Tapi tidak sekarang. Mendengar jawaban Fabian, Arthur dan Fatma saling pandang. Keduanya tidak ada yang saling bicara. Sementara itu, Analea masih menunduk. Ia sangat khawatir jika kedua orang tua Fabian mempermasalahkan hal ini. Entah kenapa ia seperti tidak ingin kehilangan moment kebersamaan mereka hari ini. Moment dimana ia bisa merasakan memiliki orang tua yang lengkap dan menyayanginya. Tanpa ia sadari, tetesan bening itu mulai lolos dari kedua matanya. "Anaaaa ..., kamu ... nggak apa-apa, Sayang?" Melihat Analea meneteskan air mata, Fatma langsung bangkit dan memeluk Analea. "Nggak apa-apa, Bu. Maaf ... saya nggak bis
"Heh, anak magang! Lagi cari mangsa lo di sini?" "N-Non Ratu?" Analea terperanjat melihat penampilan Ratu yang sangat berbeda dari biasanya. Cara bicara Ratu pun berbeda. "Siapa, Khai? Temenlo?"tanya salah satu pria yang bersama Ratu. "Mana mungkin gue punya temen udik begini?" Terdengar tawa lepas dari teman-teman Ratu yang memanggil dirinya dengan 'Khai' karena nama asli Ratu adalah Khairatun Nisa yang artinya adalah wanita murah hati. Namun kenyataannya sangat berbeda dengan karakter aslinya. Analea turun dari saung dan berdiri di tepi. "Saya dari suatu tempat, Non. Karena macet, jadi berhenti di sini." Analea menjawab tegas, namun tetap menjaga kesopanan. Ratu memandang Analea dengan tatapan merendahkan. Sambil bertolak pinggang ia bicara cukup lantang. "Cowok mana lagi yang lo kerjain malam ini? Untung kakak gue nggak tertarik sama perempuan murahan kayak lo." Analea tidak menjawab. Ia hanya diam dengan dada bergemuruh. Ratu sudah menghinanya. Sakit sekali rasanya. Tapi