"Ratu hanya mengantuk, Bun." Raihan menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita di depan Salma. "Ada apa kamu ke sini, Sonia?" Raihan bertanya dengan raut wajah dingin. "Sa-saya hanya silaturahmi saja." "Hmm .... Bunda, aku antar Ratu ke kamar dulu." Salma mengangguk. "Bu Salma, karena sudah malam, saya pamit pulang." Wanita yang ternyata adalah Sonia itu bangkit dari sofa, tapi pandangannya masih tertuju pada Raihan yang pergi meninggalkan ruang tamu. "Baiklah, Sonia." "Saya mohon, Bu Salma bisa bantu saya!" Sonia meraih kedua tangan Salma dan menggenggamnya. Wanita yang masih mengenakan pakaian kantor itu menatap Salma penuh harap. Salma menghela napas panjang dan tersenyum. "Saya akan coba bicara pada Raihan. Keputusan tetap hanya pada mereka." "Terima kasih, Bu Salma!" Sonia melangkah keluar meninggalkan rumah mewah itu Sementara Raihan sudah berada di kamarnya. Pikirannya terus tertuju pada kedatangan Sonia tadi. Ia penasaran, kira-kira apa yang dibicarakan pere
"Ratu, maaf, aku sudah tak sanggup menahan." Raihan menegakan tubuhnya, lalu melepaskan ikat pinggang. Tatapannya terus tertuju pada Ratu saat ia melepaskan celana panjangnya. Napasnya tersengal menahan diri. Sementara Ratu masih saja memejam dengan dengkuran halusnya. "Habisnya kamu susah banget dibangunin. Mungkin dengan cara ini kamu akan terjaga." Raihan mulai melakukan aktifitasnya dengan pelan dan lembut. Bibirnya mulai menyusuri tubuh bagian atas Ratu. Sementara satu tangannya pun tak mau berhenti bermain-main di sana. "Raaiii ..." Raihan tersenyum mendengar suara Ratu yang mirip sebuah desahan. Ia kini sudah tau bagaimana cara membangunkan istrinya jika tertidur pulas. Mata Ratu masih memejam, tapi tubuhnya tidak bisa berhenti menggeliat saat merespon semua sentuhan Raihan. Bibirnya pun berkali-kali menyebut nama Raihan. Saat ini ia merasa berada di atas awan dengan kenikmatan yang tak terkatakan. Raihan benar-benar berhasil membuatnya melayang-layang. Sesekali t
"Aku mau bebas secepatnya, Mela. Aku janji akan jadi suami yang baik setelah ini. Tolong segera urus semuanya!" Alif tampak memohon. Ia menatap Mela penuh harap. "Halaaah! Kamu dari dulu tidak pernah berubah. Aku nggak percaya. Kalau bukan pengacara itu yang bilang kalau kamu punya istri dan anak selain aku, tidak akan pernah terbongkar semua ini." Mela memandang Alif dengan kesal. "Apa karena aku nggak bisa ngasih kamu anak? Lagian memangnya kamu bisa kasih makan apa anakmu? Aku aja nggak pernah kamu nafkahin," Mela terus menyerocos, sementara Alif hanya menunduk tak berkutik. Sesaat keduanya diam. Meski kesal, Mela tetap saja merasa iba melihat Alif berada di penjara. Entah berapa bulan lamanya suaminya itu tidak pernah pulang dan tidak ada kabar. Tiba-tiba saja seorang pengacara mendatanginya dan menjelaskan keadaan Alif. Saat ini usaha WO milik Mela memang sedang naik daun. Tidak sedikit pengusaha dan kalangan artis yang menggunakan jasanya. Meski demikian ia harus mengeluarka
"Terima kasih, Mel. Kamu benar-benar istri yang baik. Aku yang bodoh selama ini tidak bersikap baik padamu." Setelah melalui proses yang cukup panjang. Akhirnya Alif sudah bisa bebas dan saat ini sudah berada di mobil bersama Mela. "Tapi ingat, Lif! Kamu masih dalam pengawasan. Jangan cari gara-gara lagi. Aku nggak akan tolongin kamu lagi nanti!" Mela yang sedang mengemudi melirik sekilas pada suaminya. Hingga setelah melewati perjalanan cukup panjang mereka pun tiba di depan rumah Mela. "Wah, wah, wah! Lama aku nggak pulang, rumahku sudah jadi istana." Alif tercengang melihat rumah Mela yang berubah drastis. "Enak saja rumah kamu! Ini rumahku!" protes Mela sambil menutup pintu mobilnya dengan kesal. "Iyaaaa, gitu aja protes! Buatin aku minum, aku capek mau istirahat!" Alif bergegas masuk ke dalam rumah dan langsung merebahkan diri di sofa empuk yang ada di ruang tamu. "Enak banget hidup kamu! Sana buat minum sendiri! Mulai hari ini aku nggak mau kamu suruh-suruh lagi! Dan mulai
"Bagaimana ini Ratu? Kita cari Bang Gondrong kemana?" Sumi menjatuhkan tubuhnya di jok mobil dengan lemas. Wajahnya tampak sedih dan kecewa. "Kenapa mereka nggak kasih tau kita kalau Bang Gondrong sudah bebas? Kenapa dibiarin pergi? Terus kenapa Bang Gondrong nggak ke kontrakan kita?" Mendengar kata-kata Sumi, Ratu semakin panik. "Bisa gawat kalau sampai pria tua itu datang ke kontrakan," bathin Ratu yang mulai menjalankan mobilnya. "Kita sekarang kemana?" tanya Sumi bingung memandang Ratu "Sesuai rencana awal. Kita mau beli rumah. Ibu akan pindah secepatnya. Kalau perlu hari ini," tegas Ratu dengan tatapan lurus ke depan. "Hah? Hari ini?" Sumi hanya bisa bicara sendiri. Ia tidak berani protes. Apalagi saat ini wajah Ratu tampak sangat serius. Ia tak lagi berani bertanya. Sepanjang perjalanan wajah Ratu masih saja tegang. Sumi hanya bisa diam hingga akhirnya mereka tiba di sebuah perumahan cluster dengan bangunan minimalis. Ratu menerima kartu tamu saat masuk di pintu gerbang p
"Acara resepsi tinggal dua hari lagi. Sebaiknya kita nggak usah ngantor." Pagi ini Raihan masih memeluk Ratu di kamar apartemennya. Setelah kemarin kembali mengurus kepindahan Sumi yang dibantu salah satu asisten Raihan, Ratu tampak kelelahan sejak semalam. Belum lagi menjelang pagi Raihan menyerangnya tanpa ampun. "Iya, Raaii. Aku capek. Kamu sih ...!" lirih Ratu manja, masih dengan mata memejam. Seluruh tubuhnya sakit-sakit. Kali ini ia benar-benar kewalahan melayani suaminya. Namun demikian ia sangat bahagia. Ia tidak mau Raihan berpaling darinya. Ia memang tidak secantik Analea atau wanita-wanita cantik yang menginginkan suaminya di luar sana. Mungkin dengan cara membahagiakan suaminya setiap malam, Ratu bisa membuat suaminya semakin cinta dan tergila-gila padanya. "Maaf, ya, Sayang! Habisnya kamu selalu bikin aku on," balas Raihan sambil mempererat pelukannya. Tubuh keduanya yang masih polos kembali menempel satu sama lain di balik selimut. "Aku masih ngantuk, Rai." Ratu tau
"Ayo cepat bawa baju-baju ini ke sana!" Mela memberi perintah pada dua asistennya, hingga mereka bergegas bergerak ke arah yang ditunjuk Mela. Mereka tidak ingin Mela kesal. Sejak Mela menerima banyak order dan mulai terkenal, wanita itu jadi sangat sibuk. Hal itu membuatnya jadi tidak sabaran dan mudah marah. "Ck! Alif, cepat sedikit! Kenapa gerakmu lama sekali, sih! Dasar lamban!" Suara Mela meninggi meskipun masih pelan karena berada di tempat umum. Seketika Alif menjatuhkan barang-barang yang ada di genggamannya. Darahnya mendidih mendengar umpatan Mela yang cukup kasar di telinganya. Baru kali ini ada wanita yang berani membentaknya seperti itu. "Hei, hati-hati! Yang kamu pegang itu bukan barang murahan. Kamu nggak akan pernah sanggup menggantinya!" Mela semakin geram melihat sikap Alif. "Urus saja sendiri! Nih!" Setelah melepaskan begitu saja barang-barang yang ada di tangannya, Alif pergi dengan wajah merah padam. Menurutnya ia lebih baik menjauh dari Mela daripada terjadi
"Mela?" Alif terlonjak melihat Mela tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Ternyata Alif tadi tidak melihat mobil Mela yang sudah berhenti di depan halte. "Ayo, pulang! Mobilku tidak bisa lama-lama berhenti di sini!" Mela yang saat ini mengenakan kacamata hitam, meraih tangan Alif dan menariknya. "Iyya, iyaaa!" Alif terpaksa bangkit dan menuruti Mela menuju mobil. Ia menoleh sesaat pada Sumi yang hanya bisa terdiam melihat kepergian Alif. "Itu pasti istri pertamanya," bathin Sumi. "Pasti istrinya itu yang telah membebaskan Bang Gondrong," lirih Sumi dengan helaan napas berat. Setelah memastikan Alif telah benar-benar pergi, Sumi bergegas pergi menuju apartemen Ratu. Hari ini Ratu memintanya untuk tinggal di apartemen agar saat acara resepsi nanti Sumi tidak terlalu jauh ke lokasi acara. "Ibu? Ke sini naik apa? Saya pasti akan minta asisten saya untuk jemput Ibu." Raihan terkejut melihat kedatangan Sumi. "Ibu bisa naik angkutan umum, Nak Raihan. Tidak enak kalau terus merepotkan."