"Itu benar mobil Daddy. Tapi, kenapa hanya lewat saja? Kenapa tidak berhenti? Apa mereka tidak lihat aku di sini? Apa mereka benar-benar tidak peduli denganku lagi?" Ratu menekan dadanya yang bergemuruh dan terasa begitu sesak. Harapannya ingin bertemu dengan sang Daddy siang itu pupus sudah. Ia juga tidak bisa melihat jelas siapa yang ada di balik kaca gelap mobil yang biasa dipakai Rein itu. "Ah, mungkin bukan Daddy yang ada di mobil itu. Bukankah mobil itu kadang dipakai oleh para asisten Daddy? Lagipula bukankah Daddy sedang sakit?" Ratu berusaha menghibur dirinya. Setelah mobil Rein menjauh, Ratu memutuskan untuk pulang. Ia berjalan kaki menuju jalan raya. Setidaknya sejenak ia bisa mengenang masa kecilnya dulu ketika tinggal di komplek mewah itu. Ia dulu sering bersepeda mengelilingi komplek hingga ke jalan raya bersama Kaisar dan Daddynya. Sesekali Ratu tersenyum miris mengingat hal itu. Andai saja waktu bisa diputar, ia sangat ingin kembali ke masa kecilnya. Ia bisa berlama-
"Ngapain kamu di dalam?" Sonia melirik ke ruang CEO yang pintunya belum tertutup rapat. Ia tau kalau di dalam ruangan itu ada Raihan. "Seperti biasa, setiap pagi saya memang membersihkan semua ruangan di sini," jawab Ratu tenang. "Ya sudah sana sekarang bersihkan ruanganku!" Sonia mengangkat dagunya ke arah ruangannya. "Sebentar Bu Sonia, saya mau buatkan Pak Raihan sarapan dulu!" "Sarapan?" Kening Sonia berkerut. Namun, ia membiarkan Ratu pergi menuju pantry. Karena sudah beberapa kali diajarkan oleh Susi cara membuat makanan, Ratu sudah cukup mahir membuat beberapa makanan. Dengan cekatan ia membuat roti sandwich dengan isi ayam, keju dan sayuran. Setelah selesai, Ratu menatanya di atas nampan beserta segelas jus buah. Ia tersenyum memandang hasil masakannya sendiri. Ia ingin membuktikan pada Raihan bahwa ia bukan lagi wanita manja yang selalu bergantung pada asisten rumah tangga. Dengan semangat dan senyum samar di wajahnya, Ratu membawa nampan itu menuju ruangan Raihan. Nam
"Maaf Suster, Dokter Harisnya ada?" Ternyata yang menyapa Ratu adalah perawat yang biasa bertugas mendampingi dokter Haris yang merupakan dokter pribadi Rein. "Dokter Haris sedang keluar negeri. Mbak mau berobat?" tanya perawat itu lagi. "Oh, bu-bukan. Saya hanya mau tanya ... " Ratu ragu untuk bicara karena Nanang terus mengawasinya. "Apa saya boleh bicara di dalam, suster?" "Boleh, silakan!" Ratu mengikuti perawat itu ke dalam ruangan. "Kamu tunggu aku di sini saja!" Ratu mencegah Nanang yang ternyata masih ingin mengikutinya. Setelah menutup pintu Ratu pun mulai bicara. "Maaf, Suster. Apa ada pasien bernama Pak Reinhard sedang dirawat di sini?" "Oh benar, memang ada pasien dokter Haris bernama Pak Reinhard dan baru saja masuk rawat inap tadi pagi." "Bagaimana kondisinya, Suster?" Ratu semakin cemas. Pantas saja sejak pagi tadi perasaannya tidak tenang. "Memang sedikit menurun. Pak Rein beberapa kali kena serangan jantung. Tapi masih ringan. Disarankan dokter untuk dirawa
"Bu Sonia, m-maafkan saya. Pak Raihan m-memaksa saya untuk pergi sendiri." Nanang bicara menunduk dengan tubuh gemetar, berdiri di samping mobil Sonia. Kedua tangan wanita itu mencengkeram setir dengan kuat. Wajahnya memerah menahan marah. "Dasar bodoh! Seharusnya kamu bisa cari tau dulu untuk apa Pak Raihan ada di sana? Apa mereka sengaja janjian? Seharusnya kamu jangan langsung pergi gitu aja!" Sonia tampak sangat geram. Ia memukul stir mobil berkali-kali sambil mengumpat, untuk meluapkan kekesalannya. "M-maaf, Bu. Tadi saya gugup. Pak Raihan sangat marah pada saya." "Halaaah! Sudah, sudah! Dari dulu kamu itu nggak pernah becus kalau dikasih kerjaan. Pantas aja kamu jadi OB terus!" umpat Sonia yang mulai menyalakan mobilnya. Ia sempat menoleh ke kanan dan kiri sebelum meninggalkan tempat yang cukup sepi itu. Area belakang rumah sakit itu memang jarang dilalui orang. Karena itulah Sonia memilih tempat itu untuk menemui Nanang secara diam-diam. Sementara di ruang tunggu rumah saki
"Maaf, mungkin Ibu salah lihat. Saya belum ada melakukan pembayaran belakangan ini. Tidak mungkin tiba-tiba sudah lunas." Ratu mengerutkan keningnya. "Sebentar saya periksa dulu." Wanita paruh baya itu kembali membuka data-data pada komputernya. Ratu menunggu dengan berdebar. Sebenarnya ia sangat senang jika memang biaya kuliahnya sudah lunas. Setidaknya ia tidak lagi berpikir keras mencari uang tambahan untuk biaya semesternya nanti. Karena gajinya tentu saja tidak cukup. "Mbak Khairatun, setelah saya cek kembali, biaya kuliah Mbak memang sudah lunas sejak semester lalu." Ratu tertegun. Ternyata sejak awal Rein memang sangat berharap ia menyelesaikan kuliahnya. Ratu ingat terakhir kali Rein mengantarnya ke kampus semester lalu. Saat itu Ratu tidak mau lagi kuliah. Namun, Rein berusaha membujuknya dan mengantarnya sampai ke kampus. Ratu menduga waktu itulah Rein membayar semua biaya kuliahnya hingga lunas. Namun, kenyataannya, Ratu kembali berulah dengan tidak mau kuliah lagi. "M
"Ada apa? Kalian kenapa? Apa ada masalah?" Rein yang sejak tadi diam memperhatikan Analea dan Fabian, memandang serius pada keduanya. Maira yang sudah mulai menduga-duga tesenyum samar dengan wajah penasaran "Daad, Mom, aku ... sudah terlambat datang bulan. Dokter bilang ... aku ... sedang hamil." Maira dan Rein saling pandang dengan wajah berbinar. Rein seketika berdiri dan menghampiri Analea. Tanpa ragu lagi pria gagah itu langsung memeluk Analea dengan erat. "Selamat, Sayang! Daddy sangat bahagia." Rein mencium kening putrinya. Fabian yang duduk di samping Analea pun ikut berdiri. Ia turut merasa haru dan bahagia melihat Rein dan Maira sampai menitikkan air mata. "Fabian, kamu harus jaga baik-baik putriku juga ... cucuku. Pastikan keduanya selalu dalam keadaan sehat!" Suara Rein sedikit tegas pada Fabian. "Itu pasti, Dad. Jangan khawatir!" "Rein, gantian, dong! Aku juga mau peluk putriku!" Maira meraih tubuh Analea dari rengkuhan tangan suaminya. Ia pun langsung memeluk Ana
"Terima kasih, Sonia. Tapi aku akan mendampingi suamiku selama meeting ini berjalan." Analea menjawab dengan sopan. "Terserah saja. Tapi sepertinya CEO kami tidak akan suka jika ada orang luar yang ikut duduk di ruang meeting ini tanpa ada gunanya."Nada bicara Sonia mulai ketus. Ia tak lagi tersenyum setelah mendengar jawaban Analea. "CEO perusahaan ini, maksudnya Raihan?" Analea menaikkan alisnya. "Tepatnya ..., Pak Raihan!" jelas Sonia seakan tak suka mendengar Analea menyebut nama Raihan tanpa diawali kata Pak. "Oh ya, Pak Raihan." Sekali lagi Analea bicara sambil tersenyum. Beberapa detik kemudian, ruang meeting itu dihadiri oleh beberapa karyawan dari PT LikeSport dan Bina Sanjaya. Sedangkan Analea menyibukkan diri dengan tabletnya. Ia membalas pesan dan email dari para asistennya. Sejak mengetahui kehamilannya, Analea mempercayakan perusahaan pada semua asistennya. Jadi, ia tidak harus datang setiap hari ke kantor. Ia justru memilih untuk mendampingi Fabian bekerja. "Sila
"Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan sesuatu." Raihan berdiri dan memandang ke seluruh karyawan di ruangan itu. "Mulai bulan depan, omzet kita akan meningkat pesat. Selain didukung oleh perusahaan retail PT.Bina Sanjaya, perusahaan kita juga mendapatkan investasi dana yang cukup besar dari PT Anggada Jaya. Untuk itu kami sangat berterima kasih pada Bu Analea sebagai CEO PT Anggada Jaya. Ternyata beliau langsung tertarik menginvestasikan dananya setelah mengikuti rapat ini." Semua karyawan yang hadir bertepuk tangan karena senang. Berbeda dengan Sonia yang duduk di sebelah Raihan. Wajahnya menegang dan memucat. Netranya melebar seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. "Apa? Perempuan itu CEO PT. Anggada jaya?" desis Sonia hingga terdengar oleh Raihan. "Kenapa, Sonia? Ada masalah?" Raihan menaikkan alisnya pada Sonia hingga wanita itu menjadi gugup seketika. "Ti-tidak, Pak. Tidak ada masalah!" Sonia spontan menunduk. Apalagi sekilas ia melihat Analea sedang te
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof