"Ayo aku antar pulang!" Ratu spontan menoleh saat merasakan bahunya ada yang menyentuh. Matanya membulat melihat Raihan kini sudah berada di sampingnya. "K-kamu ...? Bukannya kamu ada di dalam?" Jari telunjuk Ratu mengarah ke ballroom. "Ya, aku ngantuk, mau pulang. Raihan melepas tangannya dari bahu Ratu lalu bergerak menuju sebuah mobil yang sudah menunggu tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Ayo cepat naik!" Suara Raihan menyentak Ratu dari lamunan. Seketika ia melihat ke kanan dan kiri. Ia bernapas lega karena di sekitar tempat itu sepi. Buru-buru ia mengikuti Raihan dan menaiki mobilnya. Kali ini Raihan pakai mobil yang berbeda dan seorang supir yang mengendarainya. Ratu duduk di sebelah Raihan di kursi penumpang. Kali ini mereka duduk cukup dekat. "Kamu cocok pakai gaun ini." Raihan menoleh pada Ratu sambil tersenyum. "Iyaaa deeeh, mentang-mentang kamu yang beliin," sahut Ratu membalas senyum Raihan. Beberapa saat kemudian senyumnya lenyap mengingat kejadian di ballroom t
"Pagi-pagi sudah bangun mau kemana, Non? Bukannya hari ini masih libur?" Sumi heran melihat Ratu yang biasanya masih tidur di hari minggu, tapi hari ini sejak pagi ia sudah bangun. "Aku ... kangen Daddy. Apa Daddy akan usir aku kalau kita ke sana?" Ratu duduk dengan wajah murung di atas kasur busa, bersandar pada dinding sambil memeluk kedua kakinya. "Sudahlah, Non. Sebaiknya jangan terlalu memikirkan Tuan Rein. Lebih baik Non sekarang serius saja sama Tuan Raihan. Syukur-syukur Tuan Raihan cepat-cepat nikahin Non Ratu." "Nggak mungkin, Sumi! Raihan itu nggak cinta sama aku. Dia tunangan hanya untuk memenuhi keinginan kedua orang tuanya. Kami nggak saling cinta. Mana mungkin bisa bersama." "Terus, Non memang cintanya sama siapa?" Ratu menggeleng. "Aku belum menemukan pria yang persis seperti Daddy. Sosok Daddy adalah pria idamanku. Rasanya hanya Daddy satu-satunya pria yang bisa ngertiin aku." Sumi memandang iba pada Ratu. Putrinya itu pasti sangat terluka ketika diusir dari rum
"Non Ratu?" seorang security terkejut melihat Ratu telah berdiri di depan gerbang. Wajah security itu tampak bingung dan ketakutan. Ia sangat mengenal Ratu yang ketus dan arogan. Sedikit saja berbuat kesalahan padanya, Ratu tidak akan segan-segan memaki para pelayan atau security di rumah itu. "Pak, mmm ... apakah Daddy ada di rumah?" Ratu bertanya ragu-ragu dengan matanya mengintip ke dalam lewat gerbang yang sedikit terbuka. "T-tuan ada, Non. Tapi ... " Sang security menoleh ke rumah mewah yang ada di belakangnya. Ia tau bagaimana posisi Ratu saat ini di rumah itu. Tetapi ia juga takut untuk.mengusir Ratu "Kenapa, Pak? Apa mereka melarang saya untuk masuk?" Security itu terlihat semakin serba salah. Ia beberapa laki menoleh ke rumah Maira. "Bu-bukan begitu, Non. Tuan sedang sakit. Sebaiknya Non pulang saja!" Dengan hati-hati security itu menjawab pertanyaan Ratu. Ia sudah mempersiapkan diri jika tiba-tiba saja Ratu marah dan memakinya seperti dulu. "Daddy sakit? Daddy sakit ap
"Itu benar mobil Daddy. Tapi, kenapa hanya lewat saja? Kenapa tidak berhenti? Apa mereka tidak lihat aku di sini? Apa mereka benar-benar tidak peduli denganku lagi?" Ratu menekan dadanya yang bergemuruh dan terasa begitu sesak. Harapannya ingin bertemu dengan sang Daddy siang itu pupus sudah. Ia juga tidak bisa melihat jelas siapa yang ada di balik kaca gelap mobil yang biasa dipakai Rein itu. "Ah, mungkin bukan Daddy yang ada di mobil itu. Bukankah mobil itu kadang dipakai oleh para asisten Daddy? Lagipula bukankah Daddy sedang sakit?" Ratu berusaha menghibur dirinya. Setelah mobil Rein menjauh, Ratu memutuskan untuk pulang. Ia berjalan kaki menuju jalan raya. Setidaknya sejenak ia bisa mengenang masa kecilnya dulu ketika tinggal di komplek mewah itu. Ia dulu sering bersepeda mengelilingi komplek hingga ke jalan raya bersama Kaisar dan Daddynya. Sesekali Ratu tersenyum miris mengingat hal itu. Andai saja waktu bisa diputar, ia sangat ingin kembali ke masa kecilnya. Ia bisa berlama-
"Ngapain kamu di dalam?" Sonia melirik ke ruang CEO yang pintunya belum tertutup rapat. Ia tau kalau di dalam ruangan itu ada Raihan. "Seperti biasa, setiap pagi saya memang membersihkan semua ruangan di sini," jawab Ratu tenang. "Ya sudah sana sekarang bersihkan ruanganku!" Sonia mengangkat dagunya ke arah ruangannya. "Sebentar Bu Sonia, saya mau buatkan Pak Raihan sarapan dulu!" "Sarapan?" Kening Sonia berkerut. Namun, ia membiarkan Ratu pergi menuju pantry. Karena sudah beberapa kali diajarkan oleh Susi cara membuat makanan, Ratu sudah cukup mahir membuat beberapa makanan. Dengan cekatan ia membuat roti sandwich dengan isi ayam, keju dan sayuran. Setelah selesai, Ratu menatanya di atas nampan beserta segelas jus buah. Ia tersenyum memandang hasil masakannya sendiri. Ia ingin membuktikan pada Raihan bahwa ia bukan lagi wanita manja yang selalu bergantung pada asisten rumah tangga. Dengan semangat dan senyum samar di wajahnya, Ratu membawa nampan itu menuju ruangan Raihan. Nam
"Maaf Suster, Dokter Harisnya ada?" Ternyata yang menyapa Ratu adalah perawat yang biasa bertugas mendampingi dokter Haris yang merupakan dokter pribadi Rein. "Dokter Haris sedang keluar negeri. Mbak mau berobat?" tanya perawat itu lagi. "Oh, bu-bukan. Saya hanya mau tanya ... " Ratu ragu untuk bicara karena Nanang terus mengawasinya. "Apa saya boleh bicara di dalam, suster?" "Boleh, silakan!" Ratu mengikuti perawat itu ke dalam ruangan. "Kamu tunggu aku di sini saja!" Ratu mencegah Nanang yang ternyata masih ingin mengikutinya. Setelah menutup pintu Ratu pun mulai bicara. "Maaf, Suster. Apa ada pasien bernama Pak Reinhard sedang dirawat di sini?" "Oh benar, memang ada pasien dokter Haris bernama Pak Reinhard dan baru saja masuk rawat inap tadi pagi." "Bagaimana kondisinya, Suster?" Ratu semakin cemas. Pantas saja sejak pagi tadi perasaannya tidak tenang. "Memang sedikit menurun. Pak Rein beberapa kali kena serangan jantung. Tapi masih ringan. Disarankan dokter untuk dirawa
"Bu Sonia, m-maafkan saya. Pak Raihan m-memaksa saya untuk pergi sendiri." Nanang bicara menunduk dengan tubuh gemetar, berdiri di samping mobil Sonia. Kedua tangan wanita itu mencengkeram setir dengan kuat. Wajahnya memerah menahan marah. "Dasar bodoh! Seharusnya kamu bisa cari tau dulu untuk apa Pak Raihan ada di sana? Apa mereka sengaja janjian? Seharusnya kamu jangan langsung pergi gitu aja!" Sonia tampak sangat geram. Ia memukul stir mobil berkali-kali sambil mengumpat, untuk meluapkan kekesalannya. "M-maaf, Bu. Tadi saya gugup. Pak Raihan sangat marah pada saya." "Halaaah! Sudah, sudah! Dari dulu kamu itu nggak pernah becus kalau dikasih kerjaan. Pantas aja kamu jadi OB terus!" umpat Sonia yang mulai menyalakan mobilnya. Ia sempat menoleh ke kanan dan kiri sebelum meninggalkan tempat yang cukup sepi itu. Area belakang rumah sakit itu memang jarang dilalui orang. Karena itulah Sonia memilih tempat itu untuk menemui Nanang secara diam-diam. Sementara di ruang tunggu rumah saki
"Maaf, mungkin Ibu salah lihat. Saya belum ada melakukan pembayaran belakangan ini. Tidak mungkin tiba-tiba sudah lunas." Ratu mengerutkan keningnya. "Sebentar saya periksa dulu." Wanita paruh baya itu kembali membuka data-data pada komputernya. Ratu menunggu dengan berdebar. Sebenarnya ia sangat senang jika memang biaya kuliahnya sudah lunas. Setidaknya ia tidak lagi berpikir keras mencari uang tambahan untuk biaya semesternya nanti. Karena gajinya tentu saja tidak cukup. "Mbak Khairatun, setelah saya cek kembali, biaya kuliah Mbak memang sudah lunas sejak semester lalu." Ratu tertegun. Ternyata sejak awal Rein memang sangat berharap ia menyelesaikan kuliahnya. Ratu ingat terakhir kali Rein mengantarnya ke kampus semester lalu. Saat itu Ratu tidak mau lagi kuliah. Namun, Rein berusaha membujuknya dan mengantarnya sampai ke kampus. Ratu menduga waktu itulah Rein membayar semua biaya kuliahnya hingga lunas. Namun, kenyataannya, Ratu kembali berulah dengan tidak mau kuliah lagi. "M