"Aku tidak mau hidup miskin, aku harus hidup serba berkecukupan, bagaimanapun caranya!" Kalimat ini yang sejak awal ada di kepala Ratu. "Hmm, bagaimanapun caranya? Meski harus merendahkan diri di depan orang lain? Nggak! Aku nggak mau diremehkan. Mungkin dengan berjuang sendiri orang akan lebih menghargai aku," Ratu tak berhenti berpikir. Sejak membaca pesan dari Raihan tadi pagi, ada hal yang saling bertolak belakang di pikirannya. Antara tujuan awalnya menjadi orang kaya dengan menghalalkan segala cara, atau berjuang sendiri demi harga dirinya. "Tidak, aku nggak mau mengemis dan memohon lagi pada Raihan. Aku ingin menikah dengan pria yang benar-benar mencintaiku apa adanya." Ratu bertekad dalam hati. Namun demikian, ia akan tetap memenuhi permintaan Raihan untuk menemui kedua orang tuanya. Setidaknya ia tidak mau mengecewakan Salma dan Yuda. [ Jemput aku di depan warung kopi, waktu kamu antar aku sore itu] Akhirnya Ratu membalas pesan dari Raihan. Sesaat kemudian pria itu kembal
"Ehm ... Kaisar, seperti yang mama bicarakan kemarin, mulai hari ini Intan akan menjadi asisten pribadimu. Ia akan lebih fokus untuk urusan keperluan pribadimu. Baik di kantor maupun di rumah. Kamu setuju, kan?" Kaisar yang tadi sempat mematung melihat penampilan Intan yang sangat berbeda, seketika tersentak mendengar penjelasan Maira. "Iy-iyaaa, Ma. Setuju." Kaisar gelagapan. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Setelah berpamitan, ia melangkah keluar menuju mobilnya. "Saya juga permisi, Pak, Bu!" Intan mengangguk sopan, lalu buru-buru menyusul Kaisar ke mobil. Raka membunyikan klakson mobilnya dua kali dan melambaikan tangan pada Kaisar agar ikut bersamanya. "Aku sama supir saja, Pa!" teriak Kaisar. Raka mengacungkan jempolnya, lalu melajukan mobilnya lebih dulu. Kaisar sudah duduk lebih dulu di kursi belakang. Intan yang baru saja sampai di teras, memutuskan untuk duduk di depan bersama supir. Lagi-lagi Kaisar menyempatkan diri menoleh pada gadis itu. Hari ini Intan m
"Aku baru saja mau jemput kamu." Raihan tersenyum berdiri memandang Ratu, dengan kedua tangannya berada di dalam.saku. Ratu gelagapan melihat Raihan telah berada di dalam gang sempit. "Memangnya kamu tau aku tinggal dimana?" tanya Ratu dengan sedikit panik. Raihan terkekeh." Itu hal kecil buatku." "Dih, sombong!" Ratu melanjutkan langkahnya melewati Raihan. Ia sudah melihat mobil Raihan sudah terparkir di depan warung kopi. "Sudah ketemu orangnya, Maas?" teriak pemilik warung pada Raihan. "Sudaah, Paaak!" balas Raihan sambil melambaikan tangannya. Kini Ratu paham, dari mana Raihan tau dimana ia tinggal. "Permisi dulu, Paak!" teriak Raihan lagi sambil mengangkat tangan kanannya ketika mereka sudah akan masuk ke mobil. Pemilik warung itu mengangguk sambil tersenyum. "Sok akrab banget!" gumam Ratu yang terdengar jelas Raihan. "Jelas, dong. Kita itu harus baik dan ramah pada siapapun. Dengan begitu, orang lain pun akan baik pada kita. Paham, kan?" "Pahamlah
"Apa? Office Girl?" Salma tampak terkejut hingga suaranya terdengar agak keras. Lalu pandangannya beralih pada Raihan. Kini Salma justru melotot pada putranya itu. Raihan hanya tersenyum samar sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal menerima tatapan tajam dari Salma. Sedangkan Yuda hanya memasang wajah datar tanpa bicara apapun mendengar penjelasan Ratu. Dengan dada berdebar Ratu mengangguk sambil memperhatikan ekspresi wajah semua yang ada di ruangan itu satu per satu. Kemudian ia kembali bicara dengan menunduk. "Maaf, Tante. Saya memang bukan seorang wanita yang diharapkan. Jika ... Tante dan Om keberatan dengan pertunangan ini, saya ... terima." Ratu tak berani mengangkat wajahnya. Meski ada rasa sesak, tapi ia memang harus mengatakan hal yang sebenarnya. "Sudah-sudah! Nanti saja kita bicarakan tentang pertunangan kalian. Sebaiknya kita makan bersama. Ayo, Raihan. Kamu bawa Ratu ke ruang makan!" sanggah Yuda sambil memberi isyarat pada Salma untuk mendorong kursi ro
"Raihan? Ah, Syukurlah! Akhirnya dia menyusulku." Ratu tersenyum melihat mobil Kaisar tiba-tiba berhenti tak jauh di depannya. Raihan membuka kaca mobil dan mencondongkan kepalanya. "Ayo naik!" teriaknya. Setelah melihat kanan kiri, Ratu berlari kecil menghampiri Raihan, dan masuk ke dalam mobil. "Ternyata kamu tanggung jawab juga orangnya." ujar Ratu sambil menutup pintu. "Hmm ... bukannya ucapkan terima kasih. Aku cuma kasian sama kamu kalau sampai jalan kaki sampai Bogor." Raihan mulai melajukan mobilnya menuju jalan raya. "Kenapa tiba-tiba pergi, sih? Kalau Bunda dan Ayah tau, bisa kena omelan aku," lanjut Raihan mengerling pada Ratu yang sedang menikmati pemandangan rumah-rumah mewah yang ia lewati. Raihan ternyata melewati jalan yang berbeda dengan pagi tadi. "Oh, jadi kamu nyusul aku karena takut dimarahi Bunda? Jadi beneran nggak ikhlas ternyata." Ratu bicara tanpa memandang Raihan. Ia masih memandang keluar jendela. "Aku ikhlas atau nggak, apa kamu perlu tau?" balas Ra
"Apa ini, Tuan?" Sumi membaca tulisan nama brand pakaian wanita terkenal pada paperbag yang diberikan Raihan. "Tolong sampaikan pada Ratu. Itu hadiah dari saya. Tadi tertinggal di mobil." "Oh gitu. Mmm ... Tuan mau bertemu Non Ratu?" Sumi bicara ragu-ragu, ia tidak yakin Raihan akan mau masuk ke kontrakannya yang sangat sempit. "Hmmm ... tidak usah. Sampaikan saja salam dari saya." Namun demikian mata Raihan sempat mengitari isi ruangan kontrakan itu seakan sedang mencari sesuatu. "Saya permisi!" Raihan pun pergi meninggalkan kontrakan Sumi. "Ya Ampuuun, gantengnyaaaaa .... Itu siapa, Sumi?" Beberapa tetangga yang berada di sekitar kamar kontrakannya ternyata memperhatikan kedatangan Raihan sejak tadi. "Pasti orang kaya. Penampilannya aja beda. Nggak kayak kita-kita," sahut tetangga yang lain. "Pacarnya Ratu, ya, Sum?" "Iyaaa, tunangannya Non Ratu," jawab Sumi tersenyum bangga. Namun ia terkejut karena tiba-tiba saja Ratu sudah berdiri di belakangnya. "Bukaaan, bukan tunangan
"Ngapain kamu di sini?" Mendengar seseorang menegurnya, Ratu menoleh ke belakang. Sonia sudah berdiri sambil berkacak pinggang menatapnya tajam. "Saya mau antar minuman ke Pak Bos, Bu," sahut Ratu dengan netranya yang sesekali masih melirik pada pria di dalam ruangan itu. Ternyata sang CEO sedang berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. "Sudah mana minumannya? Sini, biar saya yang bawakan. Kamu sana ke belakang saja!" Sonia langsung meraih nampan dari tangan Ratu dan menerobos masuk. Ratu menghela napas panjang, lalu melangkah pergi meninggalkan ruang CEO itu. Di satu sisi Ratu merasa lega karena tidak jadi bertemu dengan sang CEO yang sejak kemarin ia hindari. Namun, sejak ia melihat pria itu di ruangannya tadi, meski hanya melihat dari belakang, Ratu merasa familiar dengan gestur tubuh sang CEO itu. "Mungkin hanya mirip saja. Nggak mungkin dia," gumam Ratu yang sudah kembali ke ruang meeting. "Sini, Nang, aku bantu dulu sebelum aku ke belakang!" Ratu meletakkan botol air m
"Ratu ... bukankah itu ...." Netra Nanang masih membulat dengan dengan mulut terbuka lebar.Karena sangat terkejut, ia sampai tak mampu mengungkapkan rasa tak percayanya saat ini. Ia memandang ke arah Raihan dan Ratu bergantian.Ingin menegaskan bahwa telinganya tidak salah bahwa ia baru saja mendengar Raihan berteriak memanggil nama Ratu. "Nang, aku duluan, ya!" Ratu bergegas menghampiri mobil Raihan, lalu langsung duduk di sebelah Raihan yang sedang mengemudi, lalu melambaikan tangannya pada Nanang yang masih mematung menatap bingung ke arahnya. "Cih! Dasar genit!" umpat Raihan sambi mulai menjalankan mobilnya. "Apa, sih! Kamu tuh yang sok kegantengan sama si Sonia!" "Hah? Aku sama Sonia?" Raihan terbahak-bahak. "Iyaa, aku lihat waktu itu kamu berduaan di ruangannya sampai sore. Ngapain lagi kalau bukaaaan ...." Mendengar kalimat yang diutarakan Ratu, tawa Raihan semakin keras "Mendingan Sonia, dong! Dari pada Nanang!" Selera kamu tuh, rendahan banget!" Raihan terus mengej
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof